gaulislam edisi 942/tahun ke-19 (19 Jumadil Awal 1447 H/ 10 November 2025)
Setiap 10 November, Indonesia mendadak jadi sendu. Lagu “Gugur Bunga” berkumandang di mana-mana, status Instagram dipenuhi foto hitam-putih para pahlawan, dan caption-nya selalu mirip: “Terima kasih pahlawan, jasamu takkan kulupa.” Tapi tahun ini, suasananya agak beda. Bukan cuma haru, tapi juga gaduh. Gara-garanya, salah satu nama yang diumumkan sebagai pahlawan nasional tahun 2025 bikin banyak orang “nggak bisa diem”. Ya, nama itu adalah Soeharto, presiden kedua RI yang pernah berkuasa 32 tahun.
Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan gelar pahlawan kepada sepuluh tokoh di Istana Negara pada 10 November 2025. Di antara mereka ada nama-nama yang bikin banyak orang mengangguk setuju: Gus Dur (yang santai tapi kelucuannya legendaris), Marsinah (aktivis buruh di zamannya yang menuntut keadilan), hingga Syaikhona Kholil, ulama kharismatik dari Madura. Tapi saat nama Soeharto dibacakan (bahkan jauh hari sebelum diumumkan), suasana media sosial langsung berubah. Ada yang bilang, “Akhirnya, Bapak Pembangunan diakui.” Ada juga yang nge-tweet, “Lah, katanya pahlawan, kok dulu bikin rakyat takut bicara?”
Dalam hitungan jam, timeline X (dulu Twitter) berubah jadi koloseum gladiator. Mereka yang pro dan yang kontra saling lempar argumen, lengkap dengan meme dan potongan sejarah. Sebagian membela dengan nostalgia harga sembako yang katanya stabil di era Orde Baru, sebagian lain menolak keras karena mengingat sisi kelam masa kekuasaannya.
Pemerintah pun menjelaskan alasannya. Kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon, prosesnya udah panjang dan tidak ada masalah hukum. Soeharto dianggap berjasa dalam perjuangan militer, pembangunan nasional, dan pengentasan kemiskinan. Tapi kritik datang deras: dari aktivis HAM, akademisi, hingga tokoh agama. KH. Mustofa Bisri alias Gus Mus bahkan bilang, “Saya paling tidak setuju.”
Nah, di titik ini, kita sebagai generasi muda mungkin jadi mikir: loh, emang siapa sih yang berhak disebut pahlawan? Kok tiap tahun kayaknya selalu ada perdebatan baru? Apa gelar pahlawan itu kayak fans K-pop–tergantung siapa yang kamu idolakan?
Pertanyaan itu penting banget. Karena ternyata, bicara soal pahlawan bukan cuma urusan sejarah atau keputusan presiden, tapi juga soal cara kita memaknai kebaikan, keberanian, dan kebenaran. Siapa pun bisa disebut pahlawan, tapi tergantung dari kacamata siapa yang melihat. Bener, kan?
Pahlawan apa?
Sobat gaulislam, kalo biasanya suasana Hari Pahlawan penuh suasana khidmat dan tenang, tahun ini suasananya lebih mirip drama Korea politik–penuh plot twist dan komentar panas. Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh.
Daftarnya sebagai berikut: ada KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dikenal humoris dan pluralis, Marsinah sang buruh perempuan pemberani yang jadi simbol keadilan, lalu Syaikhona Kholil dari Madura, guru dari para kiai besar yang jasanya di dunia pesantren luar biasa. Nama-nama lain termasuk Mochtar Kusumaatmadja, Rahmah El Yunusiyyah, Sultan Muhammad Salahuddin, Sarwo Edhie Wibowo, dan beberapa tokoh daerah lain yang juga berperan besar dalam perjuangan bangsa.
Sampai di sini, semua adem. Tapi begitu nama Soeharto muncul dalam pengumuman, suasana langsung berubah drastis. Ada yang spontan bertepuk tangan, ada juga yang langsung nyari mic buat debat.
Pemerintah menjelaskan, Soeharto diberi gelar karena jasanya di masa perjuangan–katanya ikut Serangan Umum 1 Maret, Pertempuran Ambarawa, Operasi Mandala Irian Barat, hingga menghentikan pemberontakan G30S/PKI. Belum lagi program pembangunan seperti Repelita, Swasembada Pangan, dan Inpres Desa Tertinggal yang dianggap punya dampak besar bagi rakyat. Kedengarannya meyakinkan, sampai akhirnya muncul pihak-pihak yang bilang: “Eh, tapi gimana dengan sisi gelapnya?”
Lembaga-lembaga seperti Amnesty International Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai keputusan ini mencederai semangat reformasi. Mereka menyoroti dugaan pelanggaran HAM dan korupsi besar-besaran di masa Orde Baru. Bahkan Gus Mus menegaskan, “Orang NU yang ikut setuju itu berarti nggak ngerti sejarah.”
Kontroversinya makin ramai setelah tagar #SoehartoPahlawan jadi trending di media sosial. Isinya? Campur aduk. Ada yang nostalgia masa BBM murah dan sembako stabil, ada yang membongkar arsip pelanggaran HAM 1965, dan ada juga yang cuma bikin meme: “Gelar pahlawan nasional, tapi netizen belum maafkan.”
Lucunya, di tengah semua debat itu, putri Soeharto, Tutut, bilang santai, “Kami nggak perlu bela diri. Rakyat sudah pintar, bisa menilai sendiri.”
Pernyataannya bikin suasana makin menarik–seolah dunia sedang disuruh mikir, “Oke, rakyat udah pintar, tapi sepintar apa sih kita dalam menilai sejarah?”
Dan di situ letak serunya. Karena faktanya, tidak ada tokoh yang benar-benar bersih dari kontroversi. Setiap orang punya sisi terang dan sisi gelap, tergantung dari mana kita menyorotnya. Soeharto bukan satu-satunya yang menuai pro-kontra. Nama seperti Sarwo Edhie Wibowo juga sempat diprotes karena dianggap terlibat dalam peristiwa 1965. Tapi toh, pemerintah tetap memutuskan memberi gelar.
Mungkin di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: kalo setiap kali kita kasih gelar pahlawan, ujung-ujungnya jadi perdebatan panjang, jangan-jangan masalahnya bukan di siapa yang dikasih gelar, tapi di cara kita memahami makna pahlawan itu sendiri? Bener, nggak?
Kata “pahlawan” terdengar megah, tapi kalo ditanya artinya, banyak dari kita yang masih mikir, “hmm… yang berjuang di medan perang?” Padahal zaman sekarang, nggak semua pahlawan pegang senjata. Ada yang berjuang lewat pena, lewat mikrofon, lewat keyboard laptop, atau bahkan lewat kesabaran menghadapi macet setiap hari demi nafkah halal buat keluarga.
Tapi ya gitu, masalahnya bukan di definisi kamus, melainkan di cara kita memuliakan pahlawan. Karena entah kenapa, kita seringkali sibuk mencari siapa yang layak disebut pahlawan, tapi jarang bertanya apakah kita sendiri masih punya semangat kepahlawanan itu. Kalo mau jujur, sebagian dari kita mungkin baru merasa jadi “pahlawan” saat bantu emak belanja atau bantu panitia 17-an masang bendera. Tapi begitu disuruh jaga kebersihan lingkungan, langsung pura-pura sibuk.
Nah, sampai sini, makna pahlawan jadi kabur. Kita lebih sering menganggap pahlawan itu gelar resmi, bukan sikap hidup. Padahal, kalo kita buka sejarah Islam, banyak contoh orang biasa yang jadi luar biasa karena niat dan perjuangannya. Bilal bin Rabah radiallahu ‘anhu, misalnya. Beliau bukan jenderal, bukan pejabat, tapi suaranya menggema sampai langit karena keteguhannya menjaga tauhid dan terkenal karena yang mengumandangkan azan pertama kali.
Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha, yang jadi tulang punggung dakwah Rasulullah–bukan karena perang, tapi karena keikhlasan berkorban harta dan hati. Artinya, jadi pahlawan itu nggak perlu tunggu diumumkan di Istana Negara. Cukup dengan terus berbuat baik, melawan ego, dan memperjuangkan kebenaran, bahkan kalo itu bikin kita nggak populer.
Nah, di tengah kontroversi gelar pahlawan nasional tahun ini, rasanya kita perlu introspeksi, “Hei, berhenti ribut soal siapa yang dapat gelar, dan mulai mikir serius. Apakah kamu sendiri udah hidup seperti pahlawan yang kamu kagumi?”
Ya, itu pertanyaan kontemplasinya. Mengapa? Karena sejujurnya, bangsa ini nggak akan berubah hanya dengan nama-nama di daftar penghargaan. Tapi akan berubah kalo rakyatnya meniru semangat juang mereka, di level paling kecil sekalipun. Mulai dari hal-hal sederhana: disiplin, jujur, tanggung jawab, saling bantu, nggak nyontek, nggak korup waktu, dan berani bilang “tidak” untuk hal-hal haram. Kalo semua orang melakukan itu, Indonesia bakal penuh pahlawan tanpa perlu piagam.
Dan mungkin, di mata Allah Ta’ala, justru mereka yang tak dikenal tapi sabar dalam kebaikan itulah pahlawan sejati. Karena gelar dunia bisa hilang, tapi amal baik nggak pernah musnah.
Pahlawan zaman now?
Oya, kadang kita mikir, “Ah, jadi pahlawan mah nggak level buat anak zaman sekarang.” Padahal, siapa bilang jadi pahlawan harus berperang di hutan atau pidato di podium? Di zaman modern ini, medan perang udah pindah tempat–dari ladang tembak jadi ruang digital, ruang moral, dan ruang tanggung jawab.
Contohnya sederhana. Ketika teman-teman sebaya sibuk pamer gaya hidup hedon di medsos, kamu memilih untuk jaga pandangan dan nggak ikut-ikutan flexing, itu perjuangan. Saat semua orang santai bohong demi konten lucu atau ada seseorang yang doyan berbohong demi menutupi kebohongan sebelumnya, tapi kamu tetap jujur dan nggak mau manipulasi fakta, itu heroik. Dan ketika kamu memilih shalat Subuh di masjid daripada rebahan dengan dalih “nanti aja, kan Allah Maha Pengampun,”–percayalah, itu juga bentuk kepahlawanan. Karena pahlawan sejati bukan yang selalu dikenang, tapi yang selalu berjuang. Mereka nggak menunggu sorotan, tapi terus bergerak karena hati mereka hidup.
Dan kalo kita mau jujur, semangat itu seharusnya tumbuh di hati santri, pelajar, dan remaja Islam masa kini. Santri adalah penerus perjuangan para ulama, bukan cuma di bidang ilmu, tapi juga dalam menjaga akhlak, adab, dan kejujuran di tengah dunia yang makin kabur batas benar-salahnya. Kalo dulu para pahlawan melawan penjajah bersenjata, maka hari ini tantangan kita adalah melawan penjajahan gaya baru: malas, mager, mementingkan diri sendiri, dan lupa tanggung jawab. Ini faktor internal. Kalo faktor eksternalnya kayak kezaliman penguasa, penindasan, aturan yang bikin rakyat sengsara dan sejenisnya.
Zaman boleh berubah, tapi nilai-nilai pahlawan nggak boleh hilang: ikhlas, tangguh, dan berani membela kebenaran. Kalo itu bisa hidup di diri kita, maka nggak perlu tunggu tua atau terkenal untuk jadi pahlawan. Cukup jadi remaja yang jujur, santri yang disiplin, atau pelajar yang berani menolak kebatilan–itu udah luar biasa.
Maka, ketika negara sibuk memberi gelar kepada mereka yang telah tiada, semoga kita tidak lupa memberi “gelar” pada diri sendiri: pahlawan kecil yang berjuang di jalan Allah, dalam sunyi, tapi sungguh-sungguh. Sebab di akhirat nanti, bukan piagam atau medali yang diminta pertanggungjawabannya–tapi niat dan amal yang kita bawa pulang ke akhirat.
Like or dislike gelar pahlawan
Sobat gaulislam, satu hal yang sering kita lupa: sejarah itu bukan cermin bening, tapi lebih mirip kaca patri–cantik, tapi penuh warna dan potongan. Siapa yang menulis, siapa yang berkuasa, dan siapa yang punya panggung–semua memengaruhi bentuk akhirnya.
Begitu juga dengan gelar Pahlawan Nasional. Kita mungkin mengira itu murni soal jasa dan perjuangan, tapi sebenarnya, di balik setiap keputusan selalu ada unsur subjektif: pilihan politik, interpretasi sejarah, bahkan suasana zaman.
Contohnya? Dulu, ada tokoh yang dielu-elukan, tapi kemudian dipertanyakan karena catatan masa lalunya yang kelam. Artinya, siapa yang dianggap pahlawan itu bisa berubah tergantung siapa yang memegang pena sejarah. Sejarah bukan soal kebenaran tunggal, tapi soal versi yang paling kuat dipertahankan.
Nah, di sinilah kita harus hati-hati. Kalo gelar pahlawan diberikan hanya karena kedekatan dengan kekuasaan, maka penghargaan itu kehilangan maknanya. Tapi kalo ditolak hanya karena perbedaan pilihan politik tanpa menimbang fakta sejarah, kita juga bisa terjebak dalam fanatisme buta. Keduanya sama-sama berbahaya. Mengapa? Karena kebenaran tidak hidup di ujung opini, tapi di keseimbangan antara data, nurani, dan keadilan.
Masalahnya, kadang masyarakat kita lebih suka menilai dari suka atau tidak suka. Kalo tokoh itu satu pandangan dengan kita, langsung dielu-elukan. Kalo tidak, langsung dicap musuh. Padahal, sejarah bangsa ini penuh orang yang kompleks: berjuang di satu sisi, tapi juga punya kekurangan di sisi lain. Sama seperti kita semua–tidak sempurna, tapi berusaha memberi arti.
Mungkin inilah yang seharusnya kita pahami bahwa memberi gelar pahlawan itu bukan soal menyucikan manusia, tapi menghargai perjuangannya. Dan penghargaan itu akan tetap bermakna kalo disertai kesadaran bahwa setiap manusia punya catatan baik dan buruk–yang penting, catatan baiknya memberi manfaat bagi banyak orang. But, ini juga pasti beragam cara menilainya. Sudut pandang bisa berbeda. Ribet jadinya.
Maka daripada ribut soal siapa yang lebih layak disebut pahlawan, mungkin kita perlu bertanya: apa yang bisa kita pelajari dari mereka? Karena pada akhirnya, yang membuat seseorang benar-benar menjadi pahlawan bukanlah gelar dari negara, tapi legasi kebaikan yang terus hidup di hati rakyatnya.
Pahlawan menurut Islam
Kalo dunia sibuk mencari siapa yang pantas disebut pahlawan, Islam udah lama memberi jawaban yang menenangkan: pahlawan sejati adalah orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta, tenaga, dan dirinya demi menegakkan kebenaran. Baik berjihad di medan perang, maupun dalam arti bahasa, yang dimaknai sebagai “sungguh-sungguh” seperti dalam bekerja mencari nafkah untuk keuarga dan juga menahan hawa nafsu.
Artinya, setiap kali kita melawan rasa malas, menahan amarah, menolak godaan maksiat, atau berusaha jujur di tengah lingkungan yang penuh tipu daya–kita sedang menjalankan perjuangan. Dan di situlah letak kepahlawanan menurut Islam: bukan di pangkat, bukan di piagam, tapi di perjuangan hati yang istiqamah.
Dalam pandangan Islam, pahlawan bukan hanya mereka yang gugur di medan perang, tapi juga mereka yang sabar menjaga iman. Pahlawan adalah ayah yang berpeluh mencari nafkah halal. Ibu yang setia mendidik anak dengan kasih sayang. Santri yang tekun menuntut ilmu demi masa depan umat. Guru yang tetap mengajar meski gajinya pas-pasan. Pun remaja yang berani berbeda demi menjaga prinsip Islam di tengah arus pergaulan bebas.
Mereka semua adalah pahlawan kehidupan, yang mungkin tidak dikenal dunia, tapi dicatat malaikat di langit. Dalam Islam, dijelaskan bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala bukanlah yang paling banyak prestasinya di dunia, tapi yang paling bertakwa. Dan takwa itu butuh keberanian. Ya, keberanian untuk jujur ketika ada kesempatan untuk bisa berbohong, keberanian untuk sabar ketika disakiti, keberanian untuk tetap istiqamah saat semua orang menertawakan iman kita.
Jadi, kalo kita bertanya “apa arti pahlawan hari ini?”, mungkin jawabannya sederhana, yakni pahlawan adalah mereka yang berjuang mempertahankan kebenaran, walau tak ada yang menonton. Itulah yang membuat perjuangan Islam begitu murni–karena ukurannya bukan like di media sosial, tapi ridha Allah Ta’ala di hati.
Maka, kalian para remaja, kalian yang jadi santri zaman now–jangan tunggu gelar, jangan tunggu pujian. Jadilah pahlawan kecil yang menegakkan kebenaran di lingkunganmu sendiri. Karena bangsa ini bukan hanya butuh tokoh besar di buku sejarah, tapi juga generasi muda yang hidup dengan semangat para mujahid sejati: ikhlas, jujur, tangguh, dan berani berjuang di jalan Allah.
Dan semoga suatu hari nanti, ketika dunia lupa siapa yang paling berjasa, nama kita mungkin tak tercatat di monumen mana pun, tapi insya Allah tercatat di catatan amal sebagai pejuang kecil yang tak lelah berbuat baik. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]