Monday, 22 December 2025, 22:21
KOROPAK.CO_.ID-YouTuber-Resbob-Resmi-Ditahan

gaulislam edisi 948/tahun ke-19 (2 Rajab 1447 H/ 22 Desember 2025)

Di media sosial, viral sering dianggap puncak prestasi. View naik, followers bertambah, nama makin dikenal. Cuma problemnya, nggak semua jalan menuju viral itu lurus. Ada yang memilih jalur karya, ada pula yang sengaja menabrak rambu—asal viral, urusan belakangan. Kalo model begini, nggak mikir jauh ke depan. Bahaya.

Kasus yang menimpa streamer dan YouTuber bernama Muhammad Adimas Firdaus Putra Nasihan alias Resbob menjadi contoh nyata. Sebuah potongan siaran langsung yang berisi hinaan terhadap suku Sunda dan pendukung Persib Bandung menyebar luas. Reaksi publik pun meledak. Ada yang marah, ada yang membela, ada pula yang santai sambil berkata, “Ah, suku lain dihina juga biasa aja.”

Padahal, persoalannya bukan siapa yang baper dan siapa yang kuat mental. Bukan pula soal siapa yang bisa menertawakan hinaan dan siapa yang memilih melapor. Intinya sederhana: jika salah, katakan salah. Dan setiap kesalahan memiliki konsekuensi. Itu logis dan pasti.

Ironisnya, sebagian warganet justru sibuk menormalisasi keburukan. Ujaran kasar dibungkus candaan. Penghinaan dianggap hiburan. Konten yang jelas-jelas melukai martabat orang lain malah dibela atas nama “kebebasan berekspresi”. Seolah-olah media sosial adalah wilayah tanpa adab dan tanpa tanggung jawab. Ngeri!

Padahal, kalo tujuannya sekadar viral, bukankah masih banyak cara lain? Konten kreatif, edukatif, inspiratif, atau sekadar lucu tanpa harus merendahkan pihak lain. Mengapa justru memilih jalur kontroversi yang udah jelas berisiko, bahkan berujung pada persoalan hukum?

Kasus Resbob seharusnya nggak berhenti sebagai drama sesaat di linimasa. Ia layak dibaca sebagai pengingat bersama: media sosial bukan arena cyberbullying, melainkan ruang publik yang menuntut saling menghormati. Viral boleh, tapi merusak jangan. Apalagi jika kerusakan itu disengaja demi perhatian.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Sobat gaulislam, agar nggak terjebak pada emosi atau asumsi liar, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menempatkan kasus ini di atas pijakan fakta. Tanpa itu, diskusi mudah berubah menjadi saling serang, bukan saling memahami.

Pertama, siapa Resbob? Muhammad Adimas Firdaus Putra Nasihan, yang dikenal dengan nama Resbob, adalah kreator konten yang aktif di berbagai platform media sosial, terutama YouTube dan TikTok. Ia mulai dikenal publik setelah kerap muncul bersama adiknya, Muhammad Jannah alias Bigmo. Jika Bigmo dikenal dengan konten yang relatif ramah dan fokus pada dunia gim, Resbob justru memilih jalur berbeda.

Ciri khas Resbob adalah gaya bicara ceplas-ceplos, blak-blakan, dan sering disertai kata-kata kasar. Dalam berbagai siaran langsungnya, ia menampilkan persona yang terkesan arogan dan provokatif. Menurut pengakuannya sendiri, gaya tersebut bukan tanpa alasan. Ia sengaja membangun konten bernuansa konflik karena menilai drama dan keributan lebih cepat menarik perhatian penonton. Hadeeuh!

Kedua, bagaimana kronologi kasusnya? Gini. Masalah bermula dari sebuah siaran langsung yang dilakukan Resbob saat berada di dalam mobil. Dalam live streaming tersebut, ia melontarkan kalimat bernada penghinaan terhadap pendukung Persib Bandung (Viking) dan suku Sunda. Ucapan tersebut dinilai kasar, merendahkan, dan mengandung unsur SARA.

Potongan video siaran itu dengan cepat menyebar ke berbagai platform media sosial. Dalam hitungan jam, cuplikan tersebut sudah beredar luas, ditonton ribuan orang, dan memantik kemarahan publik, khususnya masyarakat Sunda dan warga Jawa Barat.

Ketiga, respons publik dan pelaporan resmi. Reaksi keras nggak hanya datang dari warganet. Viking Persib Club (VPC) Pusat secara resmi melaporkan Resbob ke Polda Jawa Barat. Mereka menilai ucapan tersebut berpotensi memicu permusuhan antarkelompok dan nggak bisa dianggap sekadar candaan.

Kasus ini juga menarik perhatian pejabat daerah. Wakil Gubernur Jawa Barat, Erwan Setiawan, secara terbuka meminta aparat kepolisian menindaklanjuti kasus tersebut. Menurutnya, ujaran kebencian bernuansa SARA nggak boleh dibiarkan karena berisiko merusak harmoni sosial.

Keempat, proses hukum yang berjalan. Setelah menerima laporan, Direktorat Siber Polda Jawa Barat melakukan penyelidikan dan menaikkan perkara ke tahap penyidikan. Resbob sempat berpindah-pindah lokasi, namun akhirnya berhasil diamankan aparat kepolisian di wilayah Jawa Timur dan dibawa untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut di Bandung.

Langkah cepat aparat ini menunjukkan bahwa kasus ujaran kebencian di ruang digital nggak lagi dipandang sepele. Media sosial bukan ruang bebas nilai yang kebal hukum.

Kelima, permintaan maaf Resbob. Di tengah derasnya sorotan publik, Resbob mengunggah video klarifikasi dan permohonan maaf melalui akun TikTok dan Instagram pribadinya. Ia menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya kepada masyarakat Sunda dan keluarganya.

Dalam pernyataannya, Resbob mengakui ucapannya telah menyinggung banyak pihak dan menyatakan penyesalan. Namun, dalam konteks hukum, permintaan maaf tersebut nggak serta-merta menghapus proses yang sedang berjalan. Permintaan maaf adalah sikap moral, sementara proses hukum adalah mekanisme negara.

Dari rangkaian fakta ini, terlihat jelas bahwa kasus Resbob bukan muncul tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari pola konten provokatif yang berulang, hingga akhirnya menabrak batas yang selama ini dianggap “aman”.

Baper atau pelanggaran?

Nah, setelah fakta disusun dengan utuh, muncul satu narasi yang ramai bergema di media sosial: “Kenapa sih harus baper? Suku lain dihina juga santai aja.” Kalimat ini terdengar sederhana, bahkan seolah rasional. Namun jika ditelaah lebih dalam, justru di sinilah letak masalahnya.

Pertama, kesalahan berpikir tentang ‘baper’. Label “baper” sering dipakai untuk meredam kritik. Siapa pun yang keberatan dianggap lemah mental, nggak dewasa, atau kurang humor. Padahal, keberatan terhadap penghinaan nggak otomatis berarti rapuh secara emosi. Ada perbedaan besar antara tersinggung dan dilecehkan. Catet!

Jadi, dalam kasus Resbob, yang dipersoalkan bukan selera humor, melainkan ujaran yang menyasar identitas kolektif—suku dan kelompok pendukung sepak bola—dengan kata-kata kasar. Ini bukan soal perasaan pribadi, tetapi soal martabat kelompok dan suku.

Kedua, standar ganda yang kerap dinormalisasi. Argumen “suku lain santai” sering kali dipakai sebagai pembenaran. Seolah-olah jika ada kelompok yang memilih diam, maka penghinaan menjadi sah. Logika ini keliru banget. Diamnya sebagian orang bukan berarti tindakan tersebut benar, melainkan bisa jadi karena sudah lelah, terbiasa, atau memilih nggak memperpanjang masalah.

Itu artinya, kesalahan tetaplah kesalahan, meski nggak semua orang melaporkannya. Jika ada pencurian yang nggak diproses hukum, bukan berarti mencuri boleh dilakukan. Prinsip yang sama berlaku dalam ujaran kebencian. Paham sampai sini? Mestinya, sih.

Ketiga, kritik nggak sama dengan penghinaan. Sebagian pembela berdalih bahwa Resbob hanya “beropini” atau “ngomong apa adanya”. Namun kebebasan berpendapat memiliki batas yang jelas. Kritik menyoal perilaku, kebijakan, atau tindakan. Sementara penghinaan menyerang identitas dan martabat, apalagi jika dibungkus kata-kata kasar dan generalisasi. Itu jelas beda banget pengertiannya, ya.

Ketika sebuah ucapan membawa unsur SARA, ia nggak lagi berada di wilayah ekspresi bebas, melainkan masuk ke ranah pelanggaran. Jadi, waspadalah. Tentu, bijak juga kalo maen medsos. Kamu nggak sendirian di dunia maya. Ada orang lain yang juga punya hak.

Keempat, kontroversi sebagai komoditas. Jika ditarik lebih jauh, kasus ini memperlihatkan pola lama yang berulang di dunia konten digital. Konflik dijadikan bahan bakar engagement. Emosi publik diperah demi view, like, dan share. Kontroversi dianggap strategi, bukan kecelakaan.

Tapi perlu digarisbawahi, ketika drama dijadikan komoditas, dampak sosial sering diabaikan. Sebab, yang dihitung hanya angka statistik, bukan luka kolektif atau potensi konflik yang bisa muncul di dunia nyata. So, hati-hati.

Kelima, dampak yang sering diremehkan. Ujaran kebencian bukan sekadar kata-kata di layar. Ia membentuk persepsi, menormalisasi penghinaan, dan perlahan mengikis rasa saling menghormati. Ketika dibiarkan, ruang digital berubah menjadi arena bebas caci maki, di mana yang paling kasar justru paling didengar. Udah nggak normal sih, kalo gitu mah.

Inilah sebabnya mengapa kasus Resbob nggak bisa disederhanakan menjadi soal baper atau nggak. Ia adalah soal batas, tanggung jawab, dan konsekuensi. Media sosial boleh menjadi ruang ekspresi, tetapi bukan ruang tanpa etika. Begitu.

Jangan normalisasi keburukan

Sobat gaulislam, salah satu penyakit paling berbahaya di era media sosial bukan sekadar ujaran kebencian, melainkan kebiasaan menormalisasikannya. Ketika hinaan dibungkus candaan, ketika kata-kata kasar dianggap “gaya konten”, dan ketika pelanggaran diperlakukan sebagai hiburan, saat itulah keburukan berubah wajah menjadi sesuatu yang terlihat wajar.

Banyak yang berkilah, “Namanya juga live, kebablasan dikit wajar.” Padahal, justru karena disiarkan langsung dan ditonton banyak orang, setiap ucapan memiliki dampak yang lebih luas. Media sosial bukan ruang privat. Ia adalah ruang publik. Apa yang diucapkan di sana nggak berhenti di telinga penonton, tetapi membentuk cara pandang, sikap, bahkan kebiasaan.

Itu sebabnya, ketika konten semacam ini dibiarkan, standar etika perlahan turun. Hari ini menghina satu kelompok dianggap biasa. Besok, menghina kelompok lain dianggap lumrah. Lusa, mungkin giliran kita yang menjadi sasaran. Keburukan yang dinormalisasi nggak pernah berhenti pada satu titik. Jadi, tetaplah berpikir waras.

Oya, sebagian orang memilih diam dengan alasan ingin “menjaga suasana” atau takut dianggap lebay. Namun diam bukan selalu netral. Dalam banyak kasus, diam justru menjadi bentuk persetujuan nggak langsung. Ketika yang salah dibiarkan, pesan yang sampai ke publik adalah: ini boleh dilakukan, nggak apa-apa. Duh, parah banget, kan?

Di sinilah letak bahayanya. Media sosial seharusnya menjadi ruang bertemunya gagasan, kreativitas, dan inspirasi. Namun ketika penghinaan diberi panggung, ruang itu berubah menjadi arena adu ego dan adu nyali: siapa paling berani berkata kasar, dia yang paling viral. Udah kebalik-balik standard nilainya.

Islam sendiri sangat tegas dalam perkara lisan. Dalam banyak hadits dan perkataan para ulama, diingatkan bahwa keselamatan manusia banyak ditentukan oleh apa yang keluar dari mulutnya. Terkait hal ini, lisan itu bukan hanya suara, tetapi juga jari yang mengetik dan tombol “unggah” yang ditekan.

Itu sebabnya, kasus seperti Resbob seharusnya nggak dipandang sebagai musibah pribadi semata, tetapi sebagai cermin sosial. Cermin yang memantulkan kebiasaan kita menikmati konten buruk, lalu heran ketika dampaknya benar-benar terjadi. Udah rusak, baru sadar. Udah telat banget, atuh.

Jika ingin ruang digital yang sehat, langkah pertama adalah berhenti menormalisasi keburukan. Salah tetap salah, meski dibungkus tawa. Kasar tetap kasar, meski dibela ribuan komentar. Dan penghinaan tetaplah penghinaan, meski diklaim hanya konten.

Lalu bagaimana?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Perbaikan ruang digital nggak selalu harus menunggu regulasi atau kebijakan besar. Ia bisa dimulai dari hal paling sederhana: diri sendiri. Dari cara berbicara, cara bercanda, hingga cara menekan tombol “unggah”. Seperti apa teknisnya?

Pertama, adab berbicara di ruang digital. Sering kali orang lupa bahwa media sosial hanyalah perpanjangan dari dunia nyata. Lisan yang dilarang menyakiti orang lain di dunia nyata, tetap terlarang meski berubah menjadi teks, suara, atau video. Perbedaan platform nggak mengubah nilai. Kasar tetap kasar, meski dibungkus filter dan backsound lucu.

Dalam Islam, menjaga lisan bukan sekadar etika sosial, tetapi bagian dari iman. Maka, sebelum berbicara atau membuat konten, pertanyaannya bukan “ini bakal rame atau nggak?”, melainkan “ini pantas atau nggak?” atau “melanggar akidah dan syariat atau nggak?”.

Kedua, biasakan menyaring sebelum membagikan. Ada tiga pertanyaan sederhana yang bisa menjadi rem digital: Apakah ini benar? Apakah ini bermanfaat? Apakah ini perlu dibagikan?

Jika salah satu jawabannya “nggak”, sebaiknya berhenti. Nggak semua yang benar perlu diumbar, dan nggak semua yang viral membawa kebaikan.

Ketiga, pilih jalan viral yang lebih bermartabat. Viral bukan barang haram, tapi yang perlu diperhatikan adalah cara mencapainya. Konten edukatif, kreatif, inspiratif, atau humor yang sehat terbukti mampu menarik perhatian tanpa harus merendahkan orang lain. Bahkan, konten sederhana yang jujur dan konsisten sering kali lebih bertahan lama dibanding kontroversi sesaat.

Itu artinya, menjadi kreator bukan berarti bebas nilai. Justru semakin besar audiens, semakin besar tanggung jawab moral yang dipikul.

Keempat, hentikan kebiasaan ikut-ikutan. Banyak konten buruk nggak akan besar tanpa dukungan penonton. View, like, dan share adalah oksigen bagi konten semacam itu. Ketika kita berhenti memberi atensi, perlahan ia kehilangan panggung. Unfollow aja. Unsubsribe aja.

Beneran. Nggak semua hal perlu dikomentari, nggak semua provokasi perlu ditanggapi. Kadang, sikap paling bijak adalah nggak ikut nimbrung, nggak ikut ngeramein.

Kelima, sadar akan jejak digital. Apa yang diunggah hari ini bisa menjadi beban esok hari. Jejak digital nggak mengenal lupa. Ia bisa muncul kembali saat seseorang melamar kerja, membangun reputasi, atau bahkan ketika berhadapan dengan hukum.

Jadi, kasus Resbob memberi pelajaran penting bahwa satu ucapan bisa menghapus banyak hal yang udah dibangun sebelumnya. Popularitas bisa naik dalam semalam, tetapi kepercayaan publik bisa runtuh dalam satu kalimat.

Oya, solusi teknis ini mungkin terlihat sederhana. Namun jika dilakukan secara kolektif, dampaknya besar. Ruang digital yang sehat bukan sekadar hasil satu kebijakan, melainkan akumulasi dari jutaan keputusan kecil yang dibuat setiap hari oleh para penggunanya.

Negara kudu hadir

Solusi teknis dari sisi individu memang penting, tetapi nggak cukup. Realitasnya, nggak semua orang mau belajar dari kesadaran diri. Sebagian baru berhenti ketika ada konsekuensi nyata. Di sinilah peran negara dan sistem hukum menjadi krusial alias penting banget.

Kasus Resbob menunjukkan bahwa ruang digital nggak bisa dibiarkan mengatur dirinya sendiri. Ketika konten bermasalah dibiarkan tanpa sanksi, yang tumbuh bukan kebebasan berekspresi, melainkan kebebasan menghina. Jelas, gawat banget.

Nah, bagaimana peran negara dalam hal ini? Pertama, hukum harus hadir secara tegas. Ujaran kebencian, apalagi yang mengandung unsur SARA, bukan pelanggaran ringan. Ia berpotensi memicu konflik horizontal, merusak harmoni sosial, dan menumbuhkan kebencian kolektif. Itu sebabnya, penegakan hukum nggak boleh ragu-ragu.

Kudu tegas. Ya, tegas bukan berarti kejam. Tegas berarti jelas batasnya. Mana yang boleh, mana yang nggak. Mana yang kritik, mana yang penghinaan. Tanpa ketegasan, hukum hanya menjadi teks mati.

Kedua, keadilan nggak boleh tebang pilih. Salah satu sumber ketidakpercayaan publik terhadap hukum adalah kesan “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Influencer, figur publik, atau orang dengan banyak pengikut sering dianggap kebal. Padahal, justru mereka yang memiliki audiens besar seharusnya lebih bertanggung jawab.

Jika melanggar, ya dihukum—siapa pun dia. Jika benar, ya dibela—tanpa melihat latar belakang, suku, atau popularitas. Keadilan hanya bermakna jika diterapkan secara konsisten.

Ketiga, efek jera sebagai bentuk perlindungan. Tujuan hukum bukan sekadar menghukum pelaku, tetapi melindungi masyarakat. Pesan yang ingin disampaikan jelas, yakni ruang digital punya batas, dan batas itu dijaga.

Ketika satu kasus diproses dengan serius, ribuan orang lain akan berpikir ulang sebelum meniru. Sebaliknya, ketika pelanggaran dibiarkan, ia akan direplikasi tanpa rasa takut. Bahaya banget, kan?

Keempat, kebebasan berekspresi bukan kebebasan tanpa nilai. Sering kali, kebebasan berekspresi dijadikan tameng untuk membenarkan apa saja. Padahal, dalam sistem apa pun, kebebasan selalu diiringi tanggung jawab. Nggak ada kebebasan yang mengizinkan perendahan martabat orang lain.

Islam sejak awal telah meletakkan prinsip ini dengan jelas. Kebebasan berbicara dibatasi oleh keharaman menyakiti, memfitnah, dan merendahkan. Hak individu dijaga, tetapi hak masyarakat juga dilindungi. Catet.

Kelima, keadilan sejati dalam Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara. Dalam Islam, hukum nggak tunduk pada tekanan massa, popularitas, atau kepentingan elit. Semua setara di hadapan syariat. Kalo salah ya tetap salah, meski dia terkenal. Kalo benar tetap benar, meski dia lemah. Begitu konsepnya.

Inilah mengapa keadilan dalam Islam bersifat sistemik, bukan situasional. Ia nggak lahir dari emosi sesaat, tetapi dari prinsip yang konsisten. Ketika keadilan dijadikan fondasi negara, maka ruang publik—termasuk media sosial—akan lebih tertib, aman, dan bermartabat.

Kasus Resbob seharusnya menjadi momentum evaluasi bersama. Bukan hanya tentang satu orang atau satu konten, tetapi tentang sistem apa yang kita biarkan mengatur kehidupan digital kita. Tanpa sistem yang adil dan tegas, pelanggaran akan terus berulang dengan wajah berbeda.

Kita semua punya peran. Bukan hanya kreator konten, tetapi juga penonton. Apa yang kita tonton, kita sukai, dan kita bagikan akan menentukan konten seperti apa yang terus hidup. Jika keburukan diberi panggung, jangan heran jika ia tumbuh subur.

Islam mengajarkan bahwa setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban. Nggak ada yang benar-benar hilang, baik di dunia nyata maupun di dunia digital. Apa yang hari ini dianggap lucu, bisa menjadi penyesalan di kemudian hari.

Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang dia tidak pikirkan dahulu, Dia akan menggelincirkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa di antara timur.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Itu sebabnya, jika ingin viral, carilah jalan yang bermartabat. Jika ingin dikenal, biarlah karena manfaat. Media sosial seharusnya menjadi ladang kebaikan, bukan ladang perkara. Viral boleh, tapi merusak jangan. Salah tetap salah, dan keadilan harus ditegakkan—demi ruang digital yang lebih sehat dan manusiawi. Gimana? Setuju! [O Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *