Wednesday, 26 November 2025, 06:11
02-Generasi Emas

gaulislam edisi 944/tahun ke-19 (3 Jumadil Akhir 1447 H/ 24 November 2025)

Setiap kali orang dewasa bicara tentang generasi emas, rasanya kamu seperti sedang ditatap dengan ekspektasi setinggi langit—padahal PR matematika saja masih bikin gelisah. Di satu sisi, kita dipuji sebagai generasi masa depan, agen perubahan, calon pemimpin, calon ilmuwan, calon ustaz, calon ibu bangsa, dan calon segala-galanya. Di sisi lain, hampir setiap hari kita bergulat dengan hal sederhana: sinyal WiFi yang hilang saat kelas online, notifikasi sosmed yang bikin overthinking, dan standar “hidup aesthetic” yang malah bikin stres. Belum lagi soal pergaulan, gaya hidup, karakter, adab, dan sejenisnya. Jadi sebenarnya kamu ini generasi emas atau generasi cemas? Di tengah tekanan, godaan, dan dunia yang semakin cepat berubah, adab—yang sering dianggap hal kecil dan kuno—ternyata bisa jadi jangkar yang membuat kita tetap waras, stabil, dan bertumbuh.

Kondisi lucu sekaligus sedih itu mengantarkan satu pertanyaan yang entah sudah berapa kali muncul di kepala banyak orang: Kenapa ya, banyak remaja zaman sekarang belum selesai dengan dirinya sendiri?

Pertanyaan itu mungkin tak terucap secara formal, tapi terekam dalam obrolan warung kopi, diskusi guru, bahkan dalam hati para orang tua yang bingung menghadapi perubahan cepat pada generasi setelah mereka. Fenomenanya mirip—malas, gampang baper, tujuan hidup kabur, disiplin berantakan, tanggung jawab sering hilang dari radar. Adab? Hmm… itu kayak fitur yang hanya keluar kalo kepepet.

Uniknya, di media sosial, banyak remaja berubah jadi ‘makhluk’ lain. Mereka jadi mendadak pintar, filosofis, suka memberi nasihat kehidupan, dan sering merasa sebagai komentator profesional di kolom komentar. Ada yang flexing, ada yang sok bijak, ada yang merasa sudah banyak pencapaian, padahal PR matematika saja belum selesai karena saking mumetnya. Belum lagi kalo belum bayar utang ke teman. Oppss…

Tentu aja ini nggak menggambarkan semua remaja. Banyak, bahkan sangat banyak remaja yang baik, cerdas, sopan, punya prinsip hidup, dan tahu batas antara bercanda dan kebablasan. Masalahnya, remaja seperti ini biasanya tidak suka ribut. Tidak suka mencari spotlight. Tidak heboh di sosial media. Jadinya ketutup. Suara kebaikan kalah oleh kelakuan yang penuh drama.

Fenomena ini tentu memprihatinkan, terutama bagi mereka yang fokus pada dunia remaja: guru, pembina rohis, kakak kelas yang peduli, para aktivis pendidikan, bahkan orang tua. Semua merasa ada yang salah, tapi tidak semua tahu apa penyebabnya.

Faktor penyebab

Sobat gaulislam, masalah besar tidak hanya muncul dari satu hal. Begitu juga kondisi remaja. Faktor penyebabnya bertingkat-tingkat, saling tumpang tindih seperti mie instan yang dibiarkan terlalu lama sampai menggumpal. Kita perlu satu per satu mengupasnya.

Pertama, pola asuh di rumah. Rumah adalah tempat pembentukan karakter pertama. Namun tidak semua rumah menjalankan fungsi ini. Ada yang terlalu galak hingga anak tidak berani bersuara. Ada yang terlalu cuek hingga anak mencari perhatian ke luar. Ada yang overprotektif, sehingga remaja tumbuh tanpa kemampuan mengambil keputusan. Dan ada pula yang terlalu memberi kebebasan, sehingga batas-batas moral menjadi kabur.

Ketika orang tua sibuk dengan pekerjaan, anak pun mencari figur pengganti. Dan figur itu—sayangnya—sering ditemukan di internet atau dalam pergaulan dengan teman-temannya, bukan di rumah. Ini memang bisa menjadi faktor yang menyumbang masalah. Pola asuh terkendala karena memang orang tua kurang fokus dalam mengasuh anaknya.

Kedua, lingkungan sekitar. Ya, lingkungan berpengaruh cukup besar. Anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh gosip, malas, dan konflik biasanya menyerap pola itu tanpa sadar. Lingkungan adalah cermin: kalau kacanya kotor, pantulannya kacau.

Di beberapa tempat, budaya nongkrong lebih kuat daripada budaya belajar. Budaya pamer lebih kuat daripada budaya berprestasi. Budaya nyinyir lebih kuat daripada budaya menghormati. Tak heran banyak remaja kehilangan arah. Ini juga faktor yang bisa menjadi penyebab permasalahan remaja saat ini.

Ketiga, Sekolah yang fokus pada nilai, bukan adab. Sekolah umum sering kali menjadi tempat mencetak nilai, bukan mencetak kepribadian. Pelajaran akhlak dan adab hanya jadi materi tambahan yang tidak pernah masuk ujian. Padahal para ulama udah menegaskan bahwa adab itu sebelum ilmu.

Selain itu, guru sebenarnya ingin membina, tapi beban administrasi dan tuntutan kurikulum membuat banyak hal terabaikan. Akibatnya, remaja pintar teori, tapi amburadul dalam akhlak dasar seperti menghormati guru, menghargai teman, atau sekadar mematikan ponsel saat belajar masih menjadi problem sehari-hari.

Keempat, circle pertemanan. Lingkar pertemanan menentukan masa depan. Remaja zaman sekarang lebih sering mengikuti standar teman daripada orang tua. Kalo circle-nya hobi pamer, ia ikut pamer. Kalo lingkaran pertemanannya suka pacaran, ia merasa aneh kalo single bin jomblo. Kalo lingkungannya malas, ia ikut malas. Dan, banyak hal buruk lainnya yang melekat erat dalam kehidupan remaja zaman now yang jauh dari ajaran Islam.

Circle itu kuat, dan remaja sering kalah oleh arus di sekitarnya. Mereka butuh teman yang membangun, bukan teman yang menyeret kepada keburukan. Ini menjadi salah satu penyebab mengapa remaja lebih gampang terpengaruh keburukan ketimbang yang baik-baik. Jadi, tergantung dengan siapa dia berteman.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Ali ‘Imran [3]: 101)

Allah Ta’ala juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS at-Taubah [9]: 119)

Kelima, media sosial. Dan inilah faktor yang cukup besar pengaruhnya. Ya, media sosial. Dunia tanpa pagar yang mengajarkan semuanya, tapi tidak bertanggung jawab atas apa pun. Terutama dalam masalah ta’dib atau penanaman adab.

Betul. Di media sosial, semua orang bisa menjadi “ahli”. Semua bisa berpendapat tanpa harus benar. Semua bisa tampil keren walau realitanya mengkhawatirkan. Konten-konten toxic, standar hidup palsu, gaya pacaran viral, hingga konsep self-love yang disalahpahami terus mengalir setiap menit.

Babak berikutnya, remaja tenggelam dalam dunia yang membandingkan, menilai, dan menekan. Mereka ingin terlihat sempurna, padahal tidak satu pun manusia begitu. Ketika ada influencer yang upload status di TikTok, Instagram, WhatsApp dan platform lainnya, netizen lainnya yang menjadi penggemar bisa langsung ngelakuin hal serupa. Berharap bisa viral, lalu punya penggemar yang bikin dia jadi semangat untuk terus update status.

Sobat gaulislam, selain masalah pribadi, ada faktor-faktor yang benar-benar merusak masa depan: pacaran gaya bebas, judi online, kecanduan game online, tawuran, bullying, bahkan perzinaan. Masalah remaja kini tidak linier, tapi acak dan kompleks. Ribet bin ruwet alias riweuh.

Ada memang remaja yang terlihat baik, tapi diam-diam terjerumus dalam dunia digital yang gelap. Ada yang pendiam tapi aktif di grup yang salah. Ada yang rajin ibadah, tapi goyah saat melihat konten viral yang merusak. Ini malah jadi lebih bahaya dan tentunya perlu perhatian. Jadi, semua ini membuat kondisi remaja seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Gimana, ngeri nggak? Ngeri banget! Bikin panik nggak? Paniklah!

Remaja baik itu ada, tapi…

Meski begitu, ada remaja yang hebat di luar sana. Ada banyak juga mereka yang tegas menolak pacaran, mereka yang menjaga pandangan, mereka yang nggak mau nyentuh judi online, mereka yang memilih belajar daripada rebahan berjam-jam, mereka yang sopan kepada guru, dan mereka yang menghormati orang tua tanpa dibuat-buat. Alhamdulillah.

Tapi… modelan mereka yang begitu nggak viral, nggak muncul (atau minimal jarang) di FYP, nggak bikin drama. Itu sebabnya, keberadaan mereka sering tidak terlihat. Padahal, merekalah yang seharusnya diangkat. Mereka contoh terbaik generasi ini. Tapi dunia tidak selalu adil. Ya, yang ribut disorot, yang kalem dilupakan.

Oya, ada satu versi lain. Dan, ini juga nggak kalah serius dan perlu mendapat perhatian. Tentang apa? Ya, ada fenomena lain yang lebih membuat hati teriris: remaja yang tampak religius, berlabel santri atau anak kyai, tapi perilakunya jauh dari nilai agama. Ini sangat berbahaya. Karena kesalahannya dibungkus identitas suci. Waspadalah!

Orang akan lebih kecewa, karena ekspektasinya tinggi. Dan dampaknya lebih besar, karena mencoreng nama baik agama. Label tidak menjamin kualitas. Seragam tidak menjamin kesalehan. Akhlak tidak tercapai hanya karena berada di tempat religius.

Kamu bisa cek deh gimana faktanya akhir-akhir ini. Sebenarnya ini lebih bikin malu dan kesal. Gimana pun juga, karena ibarat melemahkan semangat mereka yang tengah menempuh jalur hijrah. Begitu ada kasus dari perilaku yang kayak tadi itu, jadinya lebih bikin malu. Mau marah ya ini masalah internal kita. Fakta, dan nggak bisa disangkal. Tapi, tentu jadi bahan muhasabah. Sebab, meski itu menyakitkan, tapi memang itulah faktanya.

Solusi tuntas

Sobat gaulislam, dalam seluruh kekacauan ini, Islam sudah memberi solusi lengkap. Bukan setengah-setengah. Bukan dari potongan motivasi. Tapi dari sistem yang menyeluruh. Ya, Islam bukan hanya ritual ibadah. Ia adalah jalan hidup alias ideologi. Dalam hal apa? Mengatur pribadi, membina keluarga, mendidik masyarakat, hingga mengatur negara. Jadi, Islam bisa diterapkan sebagai ideologi negara. Sebagaimana yang pernah diimplemantasikan di masa kejayaan Islam.

Itu artinya, selama negeri ini tidak menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang utuh, maka masalah moral akan terus muncul. Sebab, remaja (dan seluruh jenjang usia) butuh lingkungan yang mendukung iman, bukan lingkungan yang mendukung hedonisme. Butuh sistem pendidikan yang menanamkan adab, bukan sekadar nilai rapor. Butuh keluarga yang dibangun dengan ketakwaan, bukan sekadar kebutuhan materi. Butuh masyarakat yang seia sekata dalam menilai suatu persoalan dan mencari solusinya. Dan, tentu saja butuh negara untuk menerapkan aturan dan sanksi agar setiap persoalan bisa diatasi dengan tuntas.

Okelah, bisa jadi remaja mungkin masih sering baper, tapi baper nggak boleh menjadi hunian tetap. Hidup memang sulit, tapi bukan alasan untuk menyerah. Bangsa ini menaruh harapan besar pada generasinya, dan generasi itu adalah kamu. Iya, kamu yang sering lupa matiin lampu kamar (eh, nyambung?). Iya, maksudnya kamu yang masih belum ajeg dalam prinsip hidup.

Langkah konkretnya apa? So, bangkitlah. Perbaiki adab. Rapikan tujuan hidup. Berani menolak arus buruk. Jadilah remaja yang tidak hanya keren di pergaulan sesamanya, tapi juga keren di hadapan Allah Ta’ala. Why? Karena masa depan tidak diberi pada yang malas, tapi pada yang bangkit. Dan bangkit itu dimulai dari satu keputusan sederhana: “Aku mau memperbaiki diri.”

Gimana, siap berubah menjadi lebih baik? Jadilah generasi emas, bukan malah jadi generasi cemas yang bikin semua orang was-was. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *