Wednesday, 19 November 2025, 21:25
68fb2acd8b374

gaulislam edisi 943/tahun ke-19 (26 Jumadil Awal 1447 H/ 17 November 2025)

Kalau kamu merasa timeline akhir-akhir ini makin panas, makin liar, dan makin penuh perdebatan yang bikin jidat berkerut… tenang, kamu nggak sendirian. Drama ijazah mantan presiden Jokowi memang seperti serial yang nggak tamat-tamat. Setiap minggu muncul episode baru: laporan baru, tersangka baru, konferensi pers baru, dukungan baru, hingga perang komentar yang makin absurd di media sosial.

Pekan lalu, Roy Suryo, mantan Menpora yang terkenal sering pegang kamera dan bicara soal digital-digital itu, diperiksa polisi selama 9 jam 20 menit bareng dua rekannya, dr. Tifa dan Rismon Hasiholan. Setelah diperiksa panjang banget (yang bahkan ujian sekolah tidak selama itu), mereka nggak ditahan. Polisi bilang masih mau memeriksa saksi dan ahli yang mereka ajukan.

Lebih lucu (atau lebih miris?), drama seperti ini bukan hal baru. Sebelumnya sudah ada nama seperti Bambang Tri dan Gus Nur yang pernah dipenjara karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian soal isu serupa. Sekarang, giliran Roy Suryo cs jadi tersangka. Tapi setelah diperiksa, nggak ditahan. Publik pun bingung, “Ini serius atau cuma seri terbaru dari saga politik Indonesia?”

Tentu saja, begitu berita ini naik, warganet langsung membludak. Timeline seperti pasar malam: rame, berisik, penuh komentar aneh-aneh. Ada yang mendukung mati-matian, ada yang ngegas tanpa mikir, ada yang marah karena lelah dengan drama politik, ada pula yang cuma nonton sambil makan seblak.

Kalau baca kronologi resminya, rasanya kayak baca sinopsis season terbaru dari drama investigasi. Tapi kalau lihat komentar warganet… rasanya kayak masuk ke hutan belantara tanpa kompas: banyak yang marah, banyak yang ngegas, banyak yang sok tahu, dan sedikit sekali yang benar-benar paham duduk perkaranya.

Nah, di tengah kehebohan ini, kita coba ngobrol dari sudut pandang remaja: gimana sih seharusnya menyikapi drama politik yang aduhai ruwetnya ini?

Dibikin ribet?

Sobat gaulislam, kalau dipikir-pikir, semua ini bisa selesai dalam lima menit:
Ada yang nuduh ijazah palsu. Oke, lalu tunjukkan ijazah asli. Clear. Selesai. Tapi entah kenapa muter-muter, belok-belok, nabrak sana-sini, dan nggak kelar-kelar. Sebagian bilang negara harus tegas. Sebagian bilang penuduh harus dipenjara. Sebagian bilang kok nggak ditunjukkan aja? Sebagian lagi sibuk nyerang siapa pun yang beda pendapat.

Nah, buat kamu para remaja (eh, buat yang para sepuh juga sih) yang cuma pengen hidup tenang, semua ini capek banget. Scroll sedikit, ketemu debat. Refresh timeline, ketemu makian. Buka komentar, isinya serangan pribadi. Dan mau nggak mau, kamu ikut pusing walaupun kamu nggak ngapa-ngapain. Iya, kan?

Satu hal yang bikin drama ini makin rame adalah… tentu saja… media sosial.
Tempat di mana semua orang merasa paling tahu, paling benar, dan paling wajib didengar.

Buat remaja, ini kayak serius nggak serius. Serius karena jadi trending terus.
Nggak serius karena banyak banget orang komen tanpa tahu duduk perkaranya, tapi suaranya paling kenceng. Oya, yang lebih lucu lagi nih, topik ini munculnya bisa kapan aja. Pagi-pagi buka HP? Ada. Abis makan siang? Ada. Malam mau tidur? Ada lagi. Kadang rasanya ingin teriak, “Plis… bisa nggak timeline dikasih istirahat dulu?”

Tapi sayangnya, algoritma nggak mengenal kasihan. Kalau sesuatu lagi panas, ya kamu akan terus disuguhi—mau kamu pusing, mau kamu capek, mau kamu cuma mau lihat tutorial masker wajah dari kopi campur mengkudu—tetap aja yang muncul drama politik.

Dan begini siklusnya. Setiap ada update, entah dari polisi, entah dari Roy Suryo, entah dari buzzer, entah dari akun-akun anonim yang fotonya cuma anime—seluruh timeline langsung meledak lagi. Ada yang bilang, “Ini fitnah!” Ada yang bilang, “Ini penelitian ilmiah!” Ada yang bilang, “Ini disembunyikan!” Ada yang bilang, “Udahlah Broo…, pusing liatnya!”

Makanya banyak remaja yang akhirnya ikut komentar kasar, ikut nimbrung tanpa tabayyun, ikut memanas-manasi walau nggak paham pasal-pasalnya, ikut share berita tanpa cek sumber, atau ikut ngegas cuma karena melihat akun lain ngegas duluan. Timeline kita sudah terlalu ramai oleh hal-hal yang bukan tanggung jawab kita, tapi kita diseret untuk peduli. Lalu, yang bikin kamu dan kita semua makin bingung adalah kok urusan ijazah jadi kayak teka-teki yang nggak selesai-selesai?

Berpikir normal, dong!

Sobat gaulislam, sekarang mari berpikir pakai logika sederhana: Kalau ada tuduhan, ya jawab dengan bukti. Kalau ada pertanyaan, jawab dong dengan transparansi. Kalau jujur, mestinya nggak takut membuktikan. Kalau sering berbohong, maka lama-lama tambalannya makin ribet. Beneran. Pusing tujuh keliling Lapangan Merdeka di Monas. Tahu luasnya Merdeka Square berapa? Satu juta meter persegi alias 100 hektar! (ah, gempor, dong!)

Dan drama ini seperti membuka bab baru dari pelajaran: “Kebohongan yang ditutupi kebohongan lain akan selalu jadi bom waktu.” Sudah basah? Nyebur sekalian. Sudah nyebur? Ya berenang aja terus, toh tanggulnya belum ketemu. Begitu kira-kira support sesama pendukung kebohongan.

Buat remaja, ini bukan sekadar gosip politik. Ini contoh nyata betapa hidup itu lebih mudah kalau jujur sejak awal. Dan kita sebagai manusia waras harus berani ngomong: kalau seseorang memang nggak bohong, harusnya dia tampil dengan depan dada–tunjukin bukti, selesai. Tapi kalau responnya belok-belok, disembunyikan, dialihkan, di-buzzer-in, digoreng… ya wajar kalau publik makin curiga.

Sekarang jujur saja, remaja pun bisa menangkap pola dasar manusia: Orang yang terbiasa berbohong nggak akan mudah berhenti. Karena setiap kebohongan itu butuh “kebohongan lain” untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Dan ujung-ujungnya seperti kue lapis: makin lama makin tebal. Eh, makin lama makin habis dimakan.

Kalau kamu pernah bohong ke orang tua tentang pergi ke mana, kamu pasti pernah merasakan rasanya. Bilangnya mau belajar kelompok. Padahal nongkrong. Terus pulang telat. Bilangnya karena macet. Ibunya nanya detail, “Macet di mana?” Akhirnya kamu bikin cerita baru. Nah, kebohongan itu kayak itu, cuma versi politiknya berlipat-lipat lebih ruwet dan lebih berdampak.

Dan ketika seseorang sudah lama berada di zona itu, makin sulit buat jujur. Karena jujur berarti mengakui semua yang sudah dilakukan sebelumnya. Itu berat. Berat banget. Makanya ada istilah: “Kalau sudah basah, ya nyebur sekalian.” Orang yang sudah terlalu jauh dalam kebohongan lebih memilih untuk tenggelam dalam drama—daripada naik ke daratan kejujuran yang menuntut keberanian. Remaja harus paham hal ini sejak dini. Supaya tidak tumbuh menjadi generasi yang terbiasa memoles kebohongan dengan kebohongan baru.

Dalam Islam, kalau ada tuduhan, yang dituntut adalah tabayyun: cek fakta, buka bukti, hadirkan kebenaran. Nggak perlu buzzer. Nggak perlu banjir komentar maki-maki. Nggak perlu drama pasal-pasal yang berderet panjang. Nggak perlu memanaskan suasana. Kalau benar, katakan benar. Kalau salah, katakan salah. Kalaubohong, minta maaf. Urusan hukum ada konsekuensinya, jalani. Selesai.

Sayangnya, realitas politik tidak sesederhana itu. Dan kamu harus tahu bahwa persoalan yang harusnya ringkas, bisa dibuat rumit karena ada kepentingan, gengsi, citra, atau agenda.

Tapi kamu sebagai remaja jangan ikut terseret. Jangan ikut bingung. Jangan ikut masuk pusaran drama ini. Jadi, yang harus kamu pelajari justru: beginilah akibat orang yang membiasakan diri berbohong–hidupnya jadi penuh kepanikan, penuh lari-lari, penuh dalih, penuh buzzer, penuh klarifikasi, penuh drama penyidikan.

Kalau kamu tidak ingin hidup seperti itu, mulailah dari kebiasaan kecil:
jujur pada diri sendiri, pada orang tua, pada guru, pada teman, dan tentu saja pada Allah Ta’ala. Karena remaja yang jujur itu hidupnya ringan. Lebih bebas. Lebih damai. Tidak akan masuk babak baru setiap minggu seperti kasus ini.

Cara pandang Islam

Sobat gaulislam, di tengah dunia yang ribut, cepat panas, dan gampang terprovokasi, Islam sebenarnya menawarkan “mode tenang” yang sering dilupakan remaja: bicara yang benar, hati yang jernih, dan sikap yang terkontrol. Dan ini bukan sekadar teori—ini bekal hidup yang bikin kamu makin dewasa dalam berpikir dan bertindak. Oke, kita bedah satu per satu, ya.

Pertama, bicara harus benar. Islam itu sangat menghormati kejujuran. Sampai-sampai, kalau kita tidak tahu kebenaran sebuah berita, diam itu lebih baik daripada sebar gosip. Karena kata-kata itu kayak boomerang: kalau salah arah, dia balik nyakitin kamu. Itu sebabnya, ada perintah tabayyun: cek dulu, cari tahu dulu. Kalau ada berita yang bikin kamu panas, jangan langsung gas duluan. Jangan jadi remaja yang “cepat share, lambat mikir”. Kalau benar, maka kamu ikut menyebarkan kebaikan. Kalau salah, kamu ikut menyebarkan fitnah. Dan itu berat pertanggungjawabannya.

Kedua, nggak boleh caci-maki. Banyak remaja yang merasa keren kalau bisa roasting orang lain. Idih, keliatan banget suka nge-bully. Jangan ya, Dek. Merasa lucu kalau bisa menjatuhkan orang lewat komentar pedas. Padahal caci-maki itu bukan tanda keberanian—itu tanda kamu kalah dengan emosimu sendiri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu lembut, tapi tegas. Senyap dari makian, tapi penuh dengan kata-kata yang membuat orang sadar. Kita disuruh meniru itu, bukan meniru gaya debat medsos yang isinya serangan pribadi.

Ketiga, nggak boleh ikut provokasi. Remaja itu gampang terbawa suasana. Lihat teman marah, ikut marah. Lihat teman menyerang, ikut nyerang. Padahal sebenarnya kamu tidak paham apa masalahnya. Islam mengajarkan kita untuk memilih sikap dengan kepala dingin. Kalau kamu tidak tahu duduk perkaranya, mengapa ikut ribut? Gimana kalo sebenarnya kita dijebak karena udah terbiasa mudah disulut emosi? Ngeri, kan?

Keempat, membela tokoh atau idola pun ada batasnya. Boleh kagum. Boleh hormat. Boleh suka karya atau pemikirannya. Tapi jangan sampai fanatik buta. Jangan merasa harus membela seseorang meskipun dia salah. Jangan menutup mata hanya karena itu “idola kamu”. Dalam Islam, ukuran benar dan salah tidak ditentukan oleh ketenaran seseorang, tidak ditentukan oleh siapa yang paling berpengaruh, dan tidak ditentukan oleh siapa yang punya fans paling galak. Kebenaran bukan soal likes dan followers. Kebenaran itu soal amanah. Berani memegang yang benar meski kamu minoritas. Berani menolak yang salah meski kamu sendirian. Dan berani berkata jujur meski itu tidak populer. Inilah sikap yang bikin remaja tumbuh jadi manusia kuat—bukan hanya kuat di dunia, tapi juga kuat di hadapan Allah Ta’ala.

Pesan terakhir

Sobat gaulislam, ada akhirnya, hidup remaja itu sayang banget kalau dihabiskan buat hanyut dalam drama politik orang dewasa. Serius deh, masalah ijazah aja bisa bikin satu negeri rame, apalagi kalau ada isu lain yang lebih seru? Bisa-bisa timeline kamu jadi kayak sinetron yang sudah 200 episode tapi belum tahu kapan akan selesai karena plotnya menggantung terus.

Lalu harus bagaimana? Kamu perlu punya rem. Punya filter. Punya standar sehat sebelum ikut arus. Saring sebelum sharing. Ini bukan slogan basi—ini penyelamat reputasi. Karena sekali kamu ikut nyebar info yang salah, kamu bukan cuma merusak orang lain, tapi juga merusak kepercayaan orang ke kamu. Dan trust itu kayak kaca: jatuh sekali, susah balik utuh lagi. Kepercayaan udah pecah berantakan.

Selain itu, tentu aja kudu berpihak pada kebenaran, bukan pada keramaian atau ketenaran dan selera suka or nggak suka. Meski kadang dunia akan menggiring kamu untuk ikut yang paling rame, yang paling lantang, yang paling sensasional. Padahal kebenaran sering datang dengan suara pelan, sederhana, bahkan kadang nggak menarik buat dikomentari.

Jangan biarkan jumlah like, share, atau komentar menentukan posisi pikiranmu. Kemampuan untuk berpikir jernih itu kayak superpower remaja masa kini—nggak semua orang punya, tapi semua orang bisa melatihnya.

Akhir kata. Semoga polemik yang begini-begini cepat selesai. Bukan malah dibumbui, ditambah-tambahi, atau dijadikan konten perang komentar yang nggak berfaedah. Indonesia ini punya banyak hal penting yang perlu dibereskan. Remaja pun punya mimpi besar yang perlu dikejar. Jangan sampai energi habis untuk drama yang tidak berujung.

Jadilah remaja yang bijak, yang hati-hati, yang berpihak pada kebenaran. Biar hidup kamu tetap tenang di tengah keramaian yang makin nggak jelas arah. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *