Thursday, 30 October 2025, 12:39
pexels-mateusz-dach-99805-5956083

gaulislam edisi 940/tahun ke-19 (5 Jumadil Awal 1447 H/ 27 Oktober 2025) 
 
Lucu ya, zaman sekarang? Apanya yang lucu? Itu. Ada video orang joget di depan cermin bisa jutaan views, tapi video ustaz ngomongin sabar malah di-skip dalam 3 detik. Ya, yang receh dirayakan, yang berfaedah ditinggalkan. Dan semua itu kita saksikan setiap hari lewat layar kecil di tangan kita sendiri. Ponsel. Iya, kan? Hampir semua remaja kayaknya punya deh, smartphone.  

Mau bilang aneh, tapi nyata. Dunia maya makin rame, tapi maknanya makin menipis. Kadang bikin ketawa, kadang bikin geleng-geleng sambil mikir, “ini dunia masih normal nggak, sih?” 

Padahal, layar kecil itu bukan sekadar hiburan, tapi juga cermin hati zaman ini. Begitulah, yang tampak ringan, malah dianggap menarik. Eh, yang berat dan berisi, malah diabaikan. Seolah-olah manusia lebih haus tawa daripada hikmah.  

Kalo dipikir-pikir, ini kayak dunia yang kebalik. Mereka yang ngomong kebenaran dianggap nyinyir. Ada yang ngomong ngawur malah dianggap inspiratif. Eh, yang ngajak taubat malah dibilang menakut-nakuti. Ada yang ngajak santai malah dijadikan role model

Itu sebabnya, penting banget buat kita duduk sebentar (ya boleh sambil ngopi yang kentel), dan merenung: Apakah yang viral itu selalu benar? Apakah yang banyak disukai pasti bermanfaat? 

Perlu kamu tahu, dari jari-jari yang men-scroll itu, bisa lahir pahala atau dosa. Dan di situlah ujian kita hari ini: perang bukan lagi di medan fisik, tapi di lini masa. Siapa yang menguasai perhatian, dialah yang mengarahkan hati. Waspadalah! 

Lalu muncul pertanyaan besar: “Emang kenapa sih, manusia–termasuk remaja kayak kita–lebih suka yang receh?” 

Apakah ini karena masyarakat kita kurang filter dalam memilih konten? Atau karena mesin algoritma yang nyuruh kita nonton hal-hal itu terus sampai ketagihan? Atau jangan-jangan… dua-duanya? 

Jadi, yuk, mulai sadar. Dunia viral itu seru, tapi jangan sampai kita cuma jadi penonton yang gagal paham. Sebab, di balik semua hiburan dan scroll-scroll santai itu, ada pertanyaan besar yang harus dijawab: Apa yang sebenarnya kita cari dari semua ini–kesenangan sesaat, atau makna yang menenangkan? 

Perlu kesadaran 

Sobat gaulislam, kita ini makhluk yang gampang banget tergoda sama hal-hal instan. Otak manusia, apalagi yang usia remaja, punya kebiasaan aneh: lebih cepat nyala kalo dikasih sesuatu yang nyenengin dan cepet terasa efeknya.  

Kayak dopamin–zat kimia di otak yang bikin kita ngerasa senang. Nah, dopamin ini tuh gampang banget keluar kalo kita nonton video lucu, scroll meme absurd, atau lihat orang ribut kolom di komentar. Padahal, kalo disuruh baca artikel panjang tentang akhlak, dopaminnya malah kabur duluan. Boleh dibilang, hawa nafsu kita hanya nyambungnya ke hal-hal yang receh dan hiburan, tapi kalo yang serius berat banget. Artinya, kita emang harus belajar nahan diri, termasuk di dunia digital. Sebab, yang kelihatan menghibur belum tentu menghidupkan jiwa. 

Belum lagi kalo ngomongin algoritma. Ini nih mesin misterius yang ngatur apa yang nongol di layar kamu setiap kali buka aplikasi. Algoritma tuh kayak temen yang suka banget nebak-nebak kesukaan kamu. Sekali kamu nonton video prank, dia langsung ‘mikir’, “Oh, kamu suka beginian ya? Nih, aku kasih lagi lima video sejenis!” 

Dan begitu kamu nonton lagi, dia tambah semangat, “Wah, ternyata kamu beneran suka! Nih, dua puluh video lagi, biar puas!” 

Tanpa sadar, kita diseret ke lubang “scroll tak berujung,” yang isinya makin receh tapi makin bikin nagih. Lama-lama, dunia kita cuma dipenuhi hal-hal yang mirip itu aja. Parahnya lagi, algoritma nggak punya moral. Dia nggak peduli mana yang baik, mana yang jelek. Sebab, yang penting engagement–selama kamu nonton, like, share, atau komen, dia anggap itu sukses. Mau isinya maksiat, gosip, atau ghibah terselubung, yang penting rame! 

Kamu bisa bayangin kalo akal dan hati kita disetir sama algoritma. Jadinya kayak mobil tanpa sopir, cuma ngikut arah jalan yang disukai mesin. Bahaya banget kan? 

Nah, ini yang perlu diwaspadai, kalo manusia dengan nafsu yang gampang goyah, digandeng sama algoritma yang tahu cara memanipulasi kesenangan kita. Hasilnya? Dunia digital yang super rame, tapi makin miskin makna. Itu sebabnya, kadang kita ngerasa capek banget setelah scrolling lama. Badan nggak ngapa-ngapain, tapi hati kerasa kosong. Karena sebenarnya, dopamin udah kebanyakan, tapi ruhiyah (jiwa) kita kelaparan. 

Dan di sinilah pentingnya kesadaran digital seorang muslim. Kita nggak bisa berharap algoritma jadi baik, tapi kita bisa milih buat jadi manusia yang sadar. Kita bisa atur ulang “feed” hati kita–dengan cara follow kebaikan, unfollow kebodohan, dan mute segala hal yang bikin iman kita drop. Sebab pada akhirnya, bukan algoritma yang salah. Dia cuma cermin dari apa yang kita tonton. Kalo timeline kita berantakan, mungkin bukan aplikasinya yang rusak–tapi selera hati kita yang perlu diperbaiki.  

Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan Teori Cermin (al-Mir’ah) dalam karyanya yang sangat terkenal itu–Ihya’ ‘ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya.   

Jadi, yuk mulai sekarang belajar jadi penonton yang sadar, bukan korban algoritma. Tonton yang baik, follow yang manfaat, dan jangan lupa isi “feed” hati dengan dzikir dan ilmu. Karena kalo nafsu dan algoritma terus bersekongkol, bisa-bisa kita bukan cuma kehilangan waktu… tapi juga kehilangan arah. 

Anomali perilaku 

Sobat gaulislam, pernah nggak kamu lihat video ceramah yang dalem banget, tapi kolom komentarnya malah penuh hujatan? Ada yang bilang “nggak usah sok suci”, ada yang komen “terlalu ekstrem”, bahkan ada yang nyeletuk, “udah, mending bahas yang ringan aja, Ustaz.” 

Ironisnya, di waktu yang sama, video orang nyanyi lipsync sambil ngedip dua kali bisa tembus sejuta views. Lucu, tapi juga tragis. Dunia digital sekarang tuh kayak lomba siapa yang paling heboh. Kriteria yang viral bukan lagi karena apa yang benar, tapi apa yang paling rame. Dan sayangnya, konten agama yang serius, mendidik, atau ngajak mikir justru sering kalah pamor dari yang ramai tapi hampa. 

Coba perhatiin deh, konten yang ngajarin tentang tauhid, adab, atau larangan maksiat, sering banget dilabeli “keras” atau “nggak toleran.” Padahal kalo dipikir logis, masa ngajak orang buat taat sama Allah dibilang keras? 

Kalimat kayak “Jangan pacaran sebelum nikah” langsung dianggap ketinggalan zaman. Tapi dunia digital sering ngebolak-balik narasi. Mereka yang ngajak taubat dianggap fanatik, yang ngajak maksiat malah dibilang open-minded. Anomali bin aneh, kan? Beneran. Kadang, ustaz yang tegas dianggap menghakimi. Tapi influencer yang ngomong ngawur sambil ngelucu, malah dibilang, “inspiratif banget, relate banget sama anak muda!” 

Padahal kalo ditelusuri, “relate” itu kadang cuma karena dia ngomong apa yang kita pengen dengar, bukan apa yang kita perlu dengar. Coba deh, teliti.  

Sebaliknya nih, yang bikin tambah bingung, konten agama yang tampil “lembut banget” atau “nggak jelas arahnya” justru sering viral. Kenapa? Karena lebih aman buat algoritma dan selera publik. Kalimatnya netral, nggak bikin mikir, nggak bikin hati ketusuk. 

Misal, “Ah, yang penting jadi diri sendiri aja, ya.”Hmm… kedengerannya positif, tapi kalo diri sendiri lagi salah arah, gimana? Atau yang bilang, “Semua agama mengajarkan kebaikan.” Kedengarannya damai, tapi kalo dilihat dari kacamata Islam, kebenaran itu cuma satu–yang datang dari Allah Ta’ala. 

Masalahnya, banyak orang sekarang lebih suka kata-kata feel good daripada truth that hurts but heals. Kita hidup di era paradoks: Ilmu susah nyebar karena nggak disukai algoritma, sementara kebodohan viral karena disukai massa. Dan akibatnya, banyak remaja muslim yang akhirnya bingung: mana ustaz yang lurus, mana yang liberal; mana yang ngajak lurus, mana yang ngajak santai tapi melenceng. Kalo dibiarkan, ini bisa bahaya. Sebab lama-lama yang benar bisa terlihat salah, dan yang salah malah kelihatan keren. 

Itulah kenapa Allah Ta’ala mengingatkan dalam al-Quran, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra’ [17]: 36) 

Jadi, kita nggak bisa asal “like” dan “share” tanpa mikir. Karena jempol kita juga bakal dimintai pertanggungjawaban. 

Siapa yang salah?  

Sobat gaulislam, banyak yang nyalahin publik: “Ya salah sendiri, kenapa yang ditonton yang receh?” Ada juga yang nyalahin sistem: “Ini semua gara-gara algoritma!” Padahal bisa jadi dua-duanya punya andil. Kalo penonton nggak punya selera yang terlatih, ya konten receh bakal terus mendominasi. Dan kalo kreator dakwah cuma nyalahin sistem tanpa berinovasi, ya mereka bakal terus tenggelam di lautan hiburan.  

Jadi sebenarnya bukan soal siapa yang salah, tapi siapa yang mau berjuang memperbaiki. Bukan cuma ustaz dan dai, tapi juga remaja muslim yang paham kebenaran. Karena di zaman sekarang, bikin konten yang bermanfaat itu juga bagian dari perjuangan, meski melalui jalur digital. 

Zaman boleh viral, tapi kebenaran nggak boleh dikorbankan demi “rame.” Boleh tampil lucu, asal isinya lurus. Boleh ringan, asal tetap mencerahkan. Karena kalo cahaya kebenaran nggak dikemas dengan menarik, dunia maya bakal terus dikuasai oleh konten yang menghibur tapi meninabobokan. Jadi, tugas kita bukan sekadar “jadi penonton bijak,” tapi juga berkontribusi walau dengan cahaya kecil di tengah gelapnya timeline dunia (widih, heroik sekali kesannya).  

Oya, ada juga lho yang udah tahu itu salah, tapi tetap pengen nyobain, akhirnya tergoda beneran. Udah tahu mana yang benar, mana yang salah. Tahu mana yang halal, mana yang haram. Tahu mana yang bikin dosa, mana yang bikin pahala. Tapi entah kenapa, pas lihat konten receh jempol tangan otomatis gerak sendiri. Kayak punya “refleks dosa ringan” gitu.  Udah niat mau nonton kajian 10 menit, tapi tiba-tiba kepencet video lucu yang 30 detik.  Dan entah kenapa, 30 detik itu beranak jadi 3 jam. Tahu-tahu adzan Isya udah lewat, atau malah tahu-tahu udah tua.  

Kok bisa, ya? Jadi begini. Banyak remaja, termasuk yang santri dan pelajar, udah paham banget soal hukum Islam. Udah belajar dari ustaz, udah ngerti mana yang dilarang, mana yang diperintah. Tapi begitu keluar dari kelas, langsung scrolling hal-hal yang sama sekali nggak nyambung sama pelajaran barusan.  

Kenapa bisa gitu? Karena tahu itu beda banget sama taat. Tahu itu kerjaan otak. Taat itu kerjaan hati. Otak bisa hafal dalil, tapi kalo hati nggak hidup, ilmunya cuma nyangkut di kepala, nggak turun ke tindakan.  Kata para ulama, ilmu itu baru bermanfaat kalo dia bikin kita takut sama Allah Ta’ala, bukan cuma pintar debat di kolom komentar.  

Belum lagi soal hawa nafsu. Ya, nafsu kita tuh pintar banget nyari alasan. Misalnya beralasan, “Nonton dikit doang kok, nggak dosa.” atau “Cuma lihat, nggak ikut-ikutan.”  Maah juga ada yang berdalih, “Kan biar tahu tren terbaru, biar nggak kudet.”  

Padahal, nafsu itu kayak salesman yang jago ngomong. Awalnya cuma “sekali doang”, tapi tahu-tahu langganan. Dan rasa penasaran bikin makin parah. Kita tahu sesuatu itu salah, tapi tetap pengen liat: “emang seburuk apa sih?”  

Pya, banyak dari kita ngerasa, “Aku udah sering ikut kajian, kok masih aja tergoda?” Ya, karena iman itu naik turun. Bukan kayak lampu yang sekali nyala langsung terang selamanya. Iman itu kayak otot. Kalo jarang dilatih, lemah lagi. Kalo sering dilatih, kuat lagi. Ini sekadar perumpaan aja. Tentu yang benar adalah kuat akidahnya. Taat, iman naik. Lakuin dosa, jelas iman lagi turun.  

Itu sebabnya, perlu mujahadah—perjuangan melawan hawa nafsu. Bukan berarti nggak boleh capek, tapi jangan nyerah. Kalo sekali jatuh, ya bangkit lagi. Kalo kepleset scroll konten nggak bermanfaat, ya delete, unfollow, terus perbaiki niat.    

Mestinya kita mikir lebih dalam untuk merenung. Kadang, hati kita tuh udah kasih sinyal, “Udah deh, cukup scrolling-nya.” Tapi kita pencet tombol snooze. Kayak alarm subuh yang bunyi lima kali tapi tetap nggak bangun. Padahal Allah udah kasih alarm yang lebih halus: rasa gelisah, rasa bersalah, atau rasa kosong setelah nonton sesuatu yang nggak ada faedahnya. Tapi karena udah kebiasaan, sinyal itu kita abaikan. Kalo terus dibiarkan, hati bisa tumpul. Dan hati yang tumpul itu bahaya, karena dia udah nggak sensitif lagi terhadap dosa.  

Kata Ibnul Qayyim rahimahullah, “Dosa itu meninggalkan noda hitam di hati. Bila terus dibiarkan, hati akan menjadi gelap dan sulit menerima cahaya kebenaran.”  

Menyaring, jangan nyemplung   

Oya, solusinya bukan lari dari dunia digital. Dunia ini udah jadi bagian hidup kita, dan dakwah pun bisa lewat sini. Tapi caranya adalah menyaring, bukan asal nyemplung. Pilih konten yang bikin iman naik, bukan yang bikin otak lelah dan hati beku.  Follow akun dakwah, channel ilmu, atau kreator muslim yang kreatif dan lurus. Dan yang paling penting: jangan lupa dzikir dan tilawah. Karena feed hati juga perlu di-update.  

Kalo kamu ngerasa miris lihat dunia digital yang makin ‘receh’, berarti kamu masih punya iman dan rasa peduli. Dan kabar baiknya: itu bisa jadi bahan bakar buat bergerak. Beneran. Kalo satu postinganmu bisa bikin satu orang mikir buat taubat, terus orang itu jadi orang baik, lalu ngajak orang lain lagi. Itu berarti kamu nyalain rantai kebaikan digital! 

Jadi, isi akun medsos kamu, mau di TikTok, IG, YouTube, X, Threads, atau apa pun—semua platform itu cuma medan perjuangan. Kamu bisa pilih mau jadi penonton pasif yang cuma scroll-scroll sambil bilang “kok isinya gini semua…” Atau jadi pejuang digital yang ikut nge-posting kebaikan, walau cuma satu story sehari.  

Ingat, setiap kali kamu posting yang bermanfaat, mungkin aja ada orang yang baca diam-diam, terus sadar, terus berubah. Dan kamu nggak pernah tahu bahwa bisa jadi itu amal jariyahmu yang paling besar di akhirat nanti. 

Jadi mulai sekarang, daripada cuma resah sama dunia maya yang makin “maya”, yuk jadi bagian dari solusi. Jangan biarkan cahaya Islam cuma redup di timeline, sementara yang gelap-gelap malah nyala terang. Karena kalo bukan kita yang nyalain cahaya itu, siapa lagi? Dan kalo bukan sekarang, mau nunggu viral dosa dulu baru gerak?  

Pertanyaan sederhana, tapi dalem banget kalo kamu renungkan. Karena dunia digital hari ini itu kayak malam panjang: banyak cahaya-cahaya kecil, tapi juga banyak kegelapan yang berkedok hiburan. Kita semua, apalagi remaja, hidup di zaman yang serba cepat dan serba viral. Tapi sayangnya, kecepatan itu sering ngalahin kedalaman. Banyak yang sibuk jadi terkenal, tapi lupa jadi bermanfaat. Banyak yang pengen di-notice dunia, tapi lupa dilihat Allah Ta’ala.   

Kamu mungkin ngerasa, “ah, aku cuma anak SMA biasa, bukan influencer, bukan ustaz, nggak punya banyak followers.” Tapi ingat, lilin kecil pun bisa ngusir gelap di kamar yang luas.  Allah Ta’ala nggak lihat berapa besar panggungmu, tapi seberapa ikhlas niatmu. Mungkin satu kali kamu posting kutipan ayat, dan ada yang baca pas lagi galau, terus dia dapet ketenangan.  

Mungkin kamu upload video singkat tentang sabar, dan ada yang nonton sambil nangis, terus sadar. Mungkin kamu cuma jawab komentar orang dengan lembut, dan dia ngerasa disayang Islam. Itu semua nggak kecil di sisi Allah Ta’ala. Itu cahaya yang kamu nyalakan, dan bisa terus hidup bahkan setelah kamu nggak pegang HP lagi.  

Oya, perlu diingat juga bahwa bukan seberapa sering kamu trending, tapi seberapa sering kamu menahan diri dari dosa. Jadi, yuk mulai dari diri sendiri. Bikin medsos bukan sekadar tempat eksis, tapi jadi ladang pahala. Tunjukkan kalo remaja Islam bisa keren tanpa harus keblinger, bisa gaul tanpa jadi liberal, dan bisa aktif di dunia tanpa mati di nilai-nilai akhirat. 

Jadilah cahaya di tengah ‘gelapnya’ timeline. Biar kecil, asal benar. Karena dunia nggak butuh lebih banyak yang terkenal, tapi butuh lebih banyak yang menyalakan kebenaran. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *