
gaulislam edisi 939/tahun ke-19 (28 Rabiul Akhir 1447 H/ 20 Oktober 2025)
Zaman sekarang, yang bikin heboh bukan lagi rokoknya, tapi tamparannya. Serius. Dunia maya sempat panas gara-gara seorang siswa ditampar (walau diklarifikasi, bukan tamparan tapi ‘neplek’ alias nggak membahayakan) oleh kepala sekolah karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Netizen langsung terbagi dua kubu: kubu “setuju, biar kapok!” dan kubu “nggak boleh kekerasan pada anak!”. Lengkap dengan debat panjang di kolom komentar yang lebih berasap dari rokok si siswa itu sendiri.
Padahal, kalo mau jujur, yang bahaya itu bukan cuma tamparannya–tapi asap rokoknya. Tamparan mungkin bikin pipi merah lima menit, tapi rokok bisa bikin paru-paru gosong bertahun-tahun. Ironisnya, yang diributkan bukan soal anaknya yang merokok, tapi soal kepala sekolahnya yang menegur terlalu keras. Aneh, kan?
Masalahnya bukan sekadar soal “hak anak” atau “cara mendidik”. Ini tentang kesadaran bahwa ada aturan yang dibuat demi kebaikan bersama. Sekolah itu kawasan tanpa rokok. Udah jelas banget diatur dalam undang-undang, bukan cuma “aturan sekolah” yang bisa dinego pakai alasan “namanya juga anak-anak”. Kalo mau taat hukum, sebenarnya yang harus takut bukan kepala sekolahnya, tapi si perokoknya. Karena kalo mau dihitung beneran, pelanggar kawasan tanpa rokok bisa kena denda maksimal lima puluh juta rupiah. Lima puluh juta, Bro!
Bayangin aja, kalo duit sebanyak itu beneran ditagih, bisa lunas tuh SPP dari TK sampai kuliah, sekalian cicilan motor guru BK. Tapi sayangnya, yang lebih sering muncul adalah pembelaan berbumbu “kasihan anaknya”, bukan “kasihan paru-paru guru dan temannya yang ikut ngisep asapnya”.
Itu sebabnya, kadang lucu juga ngelihat gimana publik sekarang gampang banget baper kalo melihat tindakan disiplin, tapi adem ayem aja kalo melihat pelanggaran. Padahal, kalo yang ditegakkan cuma perasaan, bukan aturan, lama-lama bukan cuma muridnya yang keblinger, tapi sistem pendidikannya juga bisa ikut pusing.
Jangan bela yang salah
Sobat gaulislam, coba bayangin suasananya. Jam istirahat, udara sekolah harusnya seger karena banyak pepohonan, tapi tiba-tiba ada aroma menthol beracun yang melayang di udara. Para siswa lain lagi nongkrong sambil jajan cireng, eh, satu anak dengan santainya ngebul kayak lokomotif zaman kolonial. Tangannya nyelip di saku, gayanya santai, dan bibirnya manyun penuh percaya diri–seolah-olah dia bintang iklan rokok yang gagal audisi.
Tiba-tiba kepala sekolah datang. Wajahnya bukan marah, tapi lebih ke campuran capek hati dan “tolonglah Nak, jangan begini amat”. Tapi ya, karena mungkin udah sering diingatkan, akhirnya refleksnya kelewatan: tampar. Seketika suasana langsung berubah. Satu tamparan, seribu komentar.
Padahal, kalo mau diurai pakai logika sehat (dan sedikit ilmu hukum), posisi yang melanggar itu jelas: si perokok. Karena tempat belajar–yap, sekolah–itu masuk dalam tujuh kawasan wajib tanpa rokok. Itu diatur di Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Dan di Pasal 437 ayat (2), pelanggar kawasan tanpa rokok bisa kena denda maksimal Rp 50 juta! Lima puluh juta, Bro. Gede banget. Buat sebagian orang, itu setara harga motor matic baru, buat sebagian guru, itu dua tahun gaji.
Tapi entah kenapa, yang ramai diomongin bukan pasalnya, bukan juga bahayanya rokok di lingkungan pendidikan–melainkan hak si anak untuk tidak ditampar. Padahal kalo mau fair, hak untuk nggak ditampar itu seharusnya beriringan dengan kewajiban untuk nggak melanggar. Iya, kan?
Fenomena kayak gini bikin kita mikir: kok bisa ya, yang melanggar aturan malah dibela, sedangkan yang menegakkan aturan malah di-bully? Mungkin ini efek zaman serba viral, di mana yang penting bukan benar atau salah, tapi siapa yang paling menyentuh narasinya. Asal dibungkus dengan kata “kasihan”, semua bisa berubah jadi korban.
Lucunya lagi, banyak yang berargumen bahwa anak harus dididik tanpa kekerasan. Betul banget. Islam pun mengajarkan kasih sayang dalam mendidik. Tapi kasih sayang itu juga termasuk tegas ketika ada yang melanggar. Islam mengajarkan keseimbangan: lembut, tapi tegas. Nggak baperan, tapi juga nggak brutal.
Dan kalo mau jujur, di kasus ini yang lebih berbahaya dari tamparan fisik adalah tamparan asap rokok ke paru-paru orang lain. Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.” (HR Ibnu Majah, no. 2340; ad-Daraquthni, no. 4540)
Nah, rokok itu jelas merugikan dua-duanya: yang ngerokok dan yang kena asapnya. Jadi kalo ada yang bilang, “Ya biarin aja, kan dia yang ngerokok,”–itu salah besar. Karena setiap kepulan asapnya adalah potensi bahaya yang tanpa izin bikin orang lain ikut sesak napas.
Mungkin kita semua perlu sadar, disiplin bukan kekerasan. Menegakkan aturan bukan kejam. Kadang yang bikin repot itu bukan peraturannya, tapi cara kita menolak untuk diatur. Jadi, daripada bela perokok yang jelas-jelas salah, mending kita bela udara bersih di sekolah. Karena jujur aja, oksigen jauh lebih butuh dukungan daripada rokok rasa mint.
Susah disiplin
Suara bel udah bunyi. Gerbang sekolah mulai ditutup pelan-pelan. Tapi seperti adegan sinetron, di kejauhan muncul sosok siswa dengan napas ngos-ngosan, tas disampirkan miring, rambut acak-acakan, dan keringat menetes di kening. Begitu sampai di depan gerbang–bam!–pintu udah dikunci. Petugas piket cuma ngelirik sambil berkata tenang tapi nyesek, “Maaf, udah telat.”
Dan seperti biasa, drama pun dimulai. Ada yang ngotot, ada yang ngeluh, ada juga yang ngeluarin jurus pamungkas: “Pak, saya kan punya hak untuk belajar!” Eh, tunggu dulu, Bro en Sis. Kamu punya hak belajar, iya. Tapi kamu juga punya kewajiban buat datang tepat waktu. Apa iya mau belajar tapi bangunnya kayak warganet pas sahur–selalu mepet ke azan?
Fenomena siswa telat ini udah kayak film yang diputar ulang tiap pagi di sekolah-sekolah. Setiap hari ada aja pemeran barunya, tapi ceritanya tetap sama: datang telat, minta masuk, terus ngeluh kalo disuruh pulang. Padahal, sebagian sekolah sekarang punya aturan yang cukup tegas–kalo telat, ya pulang aja. Biar kapok. Biar ngerti kalo waktu itu bukan mainan. Tapi lucunya, kebijakan ini malah sering ditentang. Alasannya? Lagi-lagi, “itu melanggar hak anak untuk belajar.”
Padahal, yang ironis tuh: anak yang bela “hak belajar”-nya justru nggak menghargai waktu. Kalo benar-benar pengen belajar, mestinya dia udah siap-siap lebih awal. Bukannya baru bangun ketika grup WA kelas udah rame bilang, “Bu guru udah masuk nih, mana kalian?”
Masalahnya bukan cuma soal datang telat, tapi soal mentalitas “semua harus dimaklumi”. Seolah-olah kedisiplinan itu kekejaman, dan konsekuensi itu penindasan. Padahal, kedisiplinan justru bentuk kasih sayang. Coba bayangin kalo hidup tanpa aturan. Bangun sesukanya, berangkat sesukanya, ibadah sesukanya. Bahaya banget mental model begini kalo dipelihara.
Oya, Islam sejak awal udah ngajarin pentingnya waktu. Allah bersumpah dalam surah Al-‘Ashr: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian…” Itu aja udah jadi alarm keras buat kita semua–waktu bukan sekadar angka di jam tangan, tapi amanah yang kalo disia-siakan, rugi banget.
Itu sebabnya, jangan heran kalo sebagian guru tegas banget soal keterlambatan. Mereka bukan galak, tapi sayang. Karena yang mereka lawan bukan cuma rasa malas, tapi budaya menyepelekan tanggung jawab.
Jadi, sebelum teriak-teriak “saya punya hak belajar!”, coba tanya diri sendiri: “Udah saya pakai belum hak itu dengan benar?” Karena jujur aja, banyak siswa sekarang lebih cepat update story “gerbang ditutup” daripada update niat bangun lebih pagi. Kedisiplinan itu bukan musuh kebebasan, tapi jalannya. Orang yang disiplin justru lebih bebas–bebas dari rasa bersalah, bebas dari ketertinggalan, dan bebas dari drama “pulang gara-gara telat”.
Krisis adab
Sobat gaulislam, dulu, kalo guru lewat di koridor, murid-murid buru-buru berdiri dan menunduk sopan. Sekarang? Guru lewat, murid malah santai sambil nyeruput boba dan bilang, “Wih, itu guru killer lewat guys.”
Zaman berubah, katanya. Tapi sayangnya, adab juga ikut berubah–entah ke mana arahnya. Sekarang, udah banyak murid yang merasa “setara” sama guru, bahkan kadang merasa lebih hebat. Gara-gara bisa googling lebih cepat, dikira lebih pintar. Padahal, Google mungkin tahu segalanya, tapi nggak bisa ngajarin bagaimana cara bersikap.
Coba deh, lihat beberapa kejadian di sekolah atau media sosial. Ada murid yang nyolot ke guru cuma karena disuruh ngerjain tugas. Ada yang ngomel karena nilai nggak sesuai ekspektasi. Ada juga yang nyeletuk, “Bapak nggak update, sekarang materinya udah beda di TikTok.” Lucunya, yang kayak gini sering dianggap keren. “Berani bersuara!” katanya. Padahal kalo disimak baik-baik, itu bukan keberanian–itu kebablasan.
Nggak salah kok punya pendapat. Islam pun mengajarkan untuk berpikir kritis. Tapi semua ada adabnya. Dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhai keduanya, dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Bukan termasuk dari kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, dan tidak menyayangi yang lebih kecil, serta orang yang tidak memerintah pada kebaikan dan mencegah perbuatan munkar.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)
Nah, kalo sama guru aja udah nggak hormat, gimana mau dapat berkah ilmunya? Ilmu itu bukan cuma soal hafal rumus dan teori, tapi juga tentang keberkahan. Dan keberkahan itu datang dari adab. Kata ulama salaf, “Kami belajar adab selama 30 tahun, baru setelah itu kami belajar ilmu selama 20 tahun.” Artinya, akhlak itu fondasi. Ilmu tanpa adab itu kayak HP mahal tapi sinyalnya hilang–canggih sih, tapi nggak bisa dipakai buat nyambung ke siapa pun.
Sayangnya, banyak dari kita yang lebih sibuk ngejar nilai daripada ngejaga perilaku. Kita pengen dapet nilai 100 di kertas ujian, tapi gagal dapet nilai sopan santun di mata guru. Padahal, nilai adab itu nilainya tanpa batas. Dan mungkin, krisis adab ini juga cerminan dari rumah. Kadang anak nggak diajarin menghormati yang lebih tua, atau diajarin tapi nggak diteladankan. Di rumah ngomel ke orang tua udah biasa, jadi ngomel ke guru pun dianggap wajar. Lama-lama, batas hormat dan kurang ajar jadi kabur kayak sinyal 4G di pelosok.
Dalam Islam, menghormati guru itu bagian dari menghormati ilmu. Imam Syafi’i aja, waktu belajar sama gurunya, yakni Imam Malik, nggak pernah membalik halaman kitab di depannya dengan cepat karena takut kertasnya bunyi terlalu keras dan mengganggu. Itu tingkat adab yang luar biasa. Sementara sekarang, ada murid yang kalo gurunya ngomong, malah sibuk ngobrol atau bercanda dengan temannya.
Kalo kita pengen jadi generasi cerdas, keren, dan beriman, ya mulai dari adab. Karena adab itu pondasi semua hal. Nggak bakal ada ilmu yang menembus hati kalo sikap kita menolak untuk rendah hati.
Jadi, sebelum sibuk nuntut guru biar “lebih memahami murid zaman now,” coba kita juga introspeksi: udahkah kita beradab kayak murid zaman Nabi–yang duduk sopan, mendengarkan, dan menghargai ilmu? Atau jangan-jangan, kita cuma sibuk ngatur volume speaker, tapi lupa ngatur volume sopan santun?
Solusi dari Islam
Sobat gaulislam, udah cukup lama dunia pendidikan kita sibuk ngebenerin kurikulum, tapi lupa ngebenerin akhlak. Ganti nama sistem, ubah metode, revisi silabus, tapi yang paling penting malah ketinggalan: adab. Padahal, kalo kita mau jujur, masalah utama sekolah bukan cuma “muridnya kurang pintar”, tapi “muridnya kurang sadar”.
Lihat aja, sekarang banyak yang semangat belajar biar bisa naik kelas, tapi jarang yang belajar biar naik derajat di sisi Allah Ta’ala. Banyak yang ngejar nilai, tapi lupa ngejar barokah. Banyak yang hafal teori, tapi nggak ngerti cara menghormati. Ini bukan cuma masalah murid, tapi juga cermin buat seluruh sistem pendidikan kita.
Kadang kita masih mikir, sekolah umum ya urusannya pelajaran dunia, sekolah agama ya pelajaran akhirat. Lah, emang dunia sama akhirat bisa dipisah kayak playlist Spotify? Nggak bisa, Bro en Sis. Islam tuh nggak ngajarin dikotomi begitu. Semua ilmu itu dari Allah Ta’ala. Semua sekolah harusnya ngajarin adab, bukan cuma yang berlabel agama.
Jangan sampai muncul anggapan, “Ah, wajar lah nakal, kan sekolah umum,” atau “Kok anak pesantren begitu sih?” Padahal dua-duanya harus baik. Mau pakai seragam abu-abu atau baju koko, mau hafal rumus fisika atau ayat al-Quran–semuanya punya tanggung jawab yang sama, yakni jadi manusia yang beradab.
Reformasi pendidikan dalam pandangan Islam bukan cuma soal memperbarui kurikulum, tapi juga memperbaiki niat dan kultur. Kita butuh sistem yang bukan hanya mencetak murid yang pintar ngomong, tapi juga pintar menghargai. Bukan cuma jago hafalan, tapi juga jago menahan diri. Karena kalo sistem pendidikan cuma melahirkan orang-orang yang pintar tapi sombong, yang tahu tapi nggak takut Allah–ya hasilnya bukan generasi cerdas, tapi generasi keras kepala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kesalehan akhlak.” (HR al-Baihaqi)
Nah, itu misi utama pendidikan versi Islam. Bukan sekadar mencetak manusia yang cerdas logika, tapi juga lembut hatinya. Seneng banget kalo di setiap sekolah ada reformasi beradab. Guru jadi teladan, murid jadi hormat, dan semua sadar kalo belajar itu bukan cuma buat dapet kerja, tapi buat jadi hamba Allah Ta’ala yang lebih baik. Ujian bukan lagi momok, tapi momen muhasabah. Sekolah bukan tempat cari nilai, tapi tempat belajar jadi manusia.
Kalo itu bisa terwujud, nggak akan ada lagi berita siswa ngerokok di sekolah, ngelawan guru, atau telat tapi ngerasa korban. Karena semua sadar bahwa aturan bukan belenggu, tapi bentuk kasih sayang. Disiplin bukan kekerasan, tapi cara mendidik supaya nggak hancur.
Reformasi pendidikan Islami bukan berarti semua sekolah harus jadi pesantren, tapi setiap sekolah harus punya ruh keislaman–yang ngajarin ilmu dan adab bersamaan. Karena ilmu tanpa adab itu kayak lampu tanpa cahaya: kelihatan canggih, tapi nggak bisa menerangi siapa pun.
Muhasabah
Sobat gaulislam, kadang yang niatnya menegur, malah dituduh kasar. Yang melanggar aturan, malah dipeluk pembelaan. Dunia kebalik, kayak sandal di depan masjid–hilang satu, yang tinggal malah beda ukuran. Eh, kok ke sini nyambungnya?
Tapi dari semua hiruk-pikuk soal rokok, keterlambatan, dan adab di sekolah, kita seharusnya belajar satu hal penting: aturan itu dibuat bukan untuk menyiksa, tapi untuk menjaga. Menjaga agar kita tetap di jalur yang benar. Menjaga supaya generasi ini nggak tumbuh liar (apalagi sampe barbar) kayak rumput di trotoar–tumbuh sih, tapi ganggu jalan orang.
Ada di antara kita yang terlalu alergi sama kata “tegas”, padahal justru ketegasan itulah bentuk cinta paling nyata. Orang tua marah bukan karena benci, tapi karena sayang. Guru menegur bukan karena nggak suka, tapi karena pengen muridnya jadi manusia yang beres. Dan aturan Allah Ta’ala pun dibuat bukan untuk membatasi, tapi untuk melindungi.
Kalo nggak mau kena tamparan dari kepala sekolah karena melanggar aturan, siap-siap aja kena tamparan dari realitas hidup. Dunia nyata jauh lebih keras dari tangan siapa pun. Di sekolah, paling banter ditampar disiplin. Dalam kehidupan, bisa ditampar kegagalan, penyesalan, bahkan dosa yang nggak sempat disesali.
Jadi sebelum hidup yang “menampar” kita, mending belajar dari teguran kecil hari ini. Jangan baperan kalo diingatkan, tapi juga jangan cuek kalo ditegur. Karena sesungguhnya, tamparan yang paling menyakitkan bukan di pipi, tapi di hati–ketika kita sadar udah terlalu lama abai sama kebenaran.
Ingat, Islam itu nggak cuma ngajarin cara salat dan puasa, tapi juga cara menghormati, menaati, dan memperbaiki diri. Kalo setiap siswa belajar dengan adab, setiap guru mengajar dengan kasih, dan setiap orang tua mendidik dengan doa–maka sekolah nggak cuma jadi tempat belajar, tapi juga ladang pahala.
Pada akhirnya, disiplin bukan kekerasan, tapi bentuk cinta dan kasih sayang. Dunia nggak butuh generasi yang takut ditegur, tapi yang siap dibentuk jadi lebih baik. Karena begitu nasihat ditolak, adab pun pelan-pelan ikut pergi dari hati, dan bukan tak mungkin jadi barbar. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]