
gaulislam edisi 938/tahun ke-19 (21 Rabiul Akhir 1447 H/ 13 Oktober 2025)
Sekolah itu tempat di mana anak-anak harusnya belajar membaca, berhitung, dan berbuat baik. Tapi entah kenapa, belakangan ini sekolah malah sering muncul di berita bukan karena prestasi, tapi tragedi.
Kasus terbaru datang dari Grobogan, Jawa Tengah. Seorang siswa SMP bernama Angga Bagus Perwira (12 tahun) meninggal dunia pada Sabtu (11/10/2025) setelah dianiaya teman-temannya di dalam kelasnya sendiri. Iya, di ruang kelas. Di jam pelajaran aktif. Tapi–nah ini dia–tanpa ada guru di tempat.
Miris banget. Kelas yang seharusnya tempat yang nyaman untuk beajar, justru berubah jadi gelanggang adu jotos versi bocah SMP. Lebih nyesek lagi, semua itu bukan cuma sekali. Angga sempat dikeroyok dua kali, dipaksa berkelahi, sampai akhirnya kejang dan meninggal di sekolah.
Dan kita semua tahu, ini bukan kasus pertama. Seolah setiap beberapa bulan, selalu ada berita baru: siswa dikeroyok, anak SD dipukul temannya, siswi depresi karena dibully habis-habisan. Kayak drama lama yang diulang dengan aktor baru, tapi ending-nya selalu sama: tangisan, penyesalan, dan kehilangan.
Lucunya (atau sedihnya, ya?), setiap kasus baru muncul, responnya juga selalu sama: “Pihak sekolah akan melakukan evaluasi.” Udah kayak kaset rusak. Evaluasi, evaluasi, tapi nyatanya masih ada aja yang mati di ruang kelas. Terus, sampai kapan evaluasi doang cukup buat nyelametin generasi kita?
Sebenarnya yang bikin ngeri bukan cuma karena kejadian itu terjadi di sekolah, tapi di jam pelajaran aktif. Artinya, ada sistem yang bolong. Ada tanggung jawab yang tercecer. Guru nggak ada di tempat, tapi murid-murid malah ‘kreatif’ menciptakan hiburan berujung kekerasan.
Kayaknya dunia pendidikan kita lagi sakit. Sakit parah. Beneran. Anak-anak bukan cuma kehilangan arah belajar, tapi juga kehilangan arah moral. Padahal dari SD sampai SMP mereka sering banget disuruh hafal Pancasila, tapi entah kenapa poin “Kemanusiaan yang adil dan beradab” kayak cuma jadi hafalan, bukan perbuatan.
Dulu kita malu kalo berbuat jahat di sekolah. Sekarang, malah bangga direkam dan di-upload. Dulu sekolah itu tempat kita belajar jadi manusia. Sekarang, malah ada anak kehilangan nyawa karena perlakuan teman sekelas. Sesama manusia.
Dan di titik ini, kita harus jujur bahwa sekolah bukan sekadar tempat belajar pelajaran, tapi tempat belajar jadi manusia. Sayangnya, manusia zaman sekarang sering lupa cara jadi manusia.
Kasus Angga bukan sekadar kabar duka, tapi tamparan keras buat dunia pendidikan. Karena kalo murid bisa meninggal di sekolah tanpa ada yang menghentikan, berarti ada banyak yang salah: salah dalam sistem pengawasan, salah dalam pembinaan karakter, salah dalam memandang pendidikan itu sendiri. Dan kalo kita terus diam, bisa jadi besok bukan cuma berita dari Grobogan. Bisa dari kota kita. Dari sekolah kita. Dari teman kita. Na’udzubillah.
Mengapa (selalu) terjadi?
Sobat gaulislam, kalo ditanya, “Kenapa sih bullying masih aja kejadian di sekolah?” Jawabannya nggak sesederhan dengan bilang, “Karena anaknya nakal, sih.” Nggak, Bro en Sis. Ini bukan cuma soal nakal. Ini soal sistem yang salah urus, pengawasan yang bolong, dan lingkungan yang toxic.
Pertama, kita mulai dari yang paling sering dijadikan kambing hitam: guru. Bukan mau nyalahin guru, ya, tapi jujur aja–kadang guru di sekolah lebih sering jadi admin daripada pendidik. Sibuk laporan, rapat, isi e-Rapor, bikin RPP, dan puluhan form lain yang bikin kepala mumet. Akibatnya? Kelas jadi kayak kapal tanpa kapten. Murid bebas ngomong, bebas nongkrong, bahkan bebas berantem.
Angga dipukul di jam pelajaran aktif, tapi gurunya nggak ada. Itu bukan cuma “kebetulan tragis”. Itu cermin bahwa pengawasan di sekolah kita udah bocor parah. Kayak rumah yang pintunya kebuka tapi orang tuanya pergi–ya wajar kalo ada yang masuk dan bikin rusuh.
Kedua, kita lihat dari anak-anak yang bermasalah. Jujur aja, sebagian dari mereka bukan jahat sejak lahir. Mereka tumbuh tanpa arahan. Ada yang di rumahnya sering disakiti, dimarahi, atau dicuekin. Mereka belajar bahwa cara mengekspresikan diri ya cuma dua: mukul atau ngomong kasar. Ada juga yang hidup di rumah serba bebas: mau ngapain aja boleh. Ngeri. Beneran!
Anehnya, orang tua kadang lebih peduli sama nilai rapor daripada nilai akhlak. Anaknya ketahuan bohong, dibilang “Ah, namanya juga anak-anak.” Anaknya ngomel ke orang tua, dibilang “Udah biasa, generasi sekarang emang gitu.” Lah? Biasa dari mana? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam udah ngajarin kita buat menjawab lembut bahkan ke orang tua yang keras kepala.
Akhirnya, anak-anak ini tumbuh tanpa panduan akhlak. Mereka kuat di tangan, tapi lemah di hati. Tahu cara mukul, tapi nggak tahu cara memaafkan. Pintar cari masalah, tapi nggak tahu cara menyelesaikan masalah dengan cara yang beradab.
Ketiga, jangan lupa si “biang pengaruh zaman now”. Apa? Tontonan. Coba perhatiin deh, sekarang anak-anak bisa maraton konten kekerasan cuma lewat HP. Game penuh darah, film penuh adegan adu jotos, dan medsos yang ngajarin “yang kuat pasti menang”. Bahkan, ada video yang niatnya lucu, tapi isinya orang dijahilin sampai nangis. Dan semuanya dikasih caption, “Cuma bercanda kok.”
Nah, dari situ muncul generasi yang ngerasa menyakiti orang lain itu bukan dosa, tapi hiburan, yang penting rame, yang penting viral. Sungguh menyedihkan. Andai mereka belajar agama, pasti akan selamat di dunia dan di akhirat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling tanajusy (menyakiti dalam jual beli), janganlah saling benci, janganlah saling membelakangi (mendiamkan), dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Jadilah hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini–beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.’” (HR Muslim, no. 2564)
Tapi hari ini, kita justru lihat sebaliknya. Ada yang temen sendiri dijadikan korban tontonan, direkam, dijadikan konten. Kata “solidaritas” berubah jadi “komplotan”. Kata “teman” berubah jadi “target”. Dan yang paling parah, banyak di antara kita terbiasa menormalisasi kekerasan. Anak SD teriak-teriak sambil dorong-dorongan? Malah ada yang komen, “Ah, cowok. Wajar.” Anak SMP nge-bully temannya? Eh, malah dikomenin, “Namanya juga proses pendewasaan.” Padahal dari situ semua mulai–dari hal kecil yang dianggap biasa, sampai akhirnya jadi tragedi luar biasa.
Setan itu nggak langsung ngajarin manusia buat bunuh. Dia mulai dari hal-hal kecil: ngetawain temen, ngejek, dorong dikit, terus makin lama makin berani. Tapi kita kadang malah ngikutin dengan santai, sambil bilang, “Ah, cuma bercanda kok.” Padahal bercanda yang nyakitin hati itu bukan lucu, tapi dosa.
Jadi, kalo mau jujur, akar masalah bullying itu nggak berdiri di satu tempat. Dia tumbuh dari rumah yang dingin, sekolah yang cuek, dan lingkungan yang rusak. Dari anak yang haus kasih sayang tapi malah ketemu dunia yang keras. Dari sistem pendidikan yang sibuk mengejar nilai, tapi lupa menanamkan nilai-nilai.
Sampai akhirnya, lahirlah generasi yang pintar secara akademik, tapi buta secara empati. Generasi yang ngerti cara bikin “prank”, tapi nggak ngerti cara menghormati. Mereka bisa bikin caption bijak di medsos, tapi lupa jadi bijak di dunia nyata. Dan kalo semua itu dibiarkan, kasus seperti Angga bukan yang terakhir. Sebab, sebelum tangannya yang kasar, ada hatinya yang hampa. Dan kehampaan itu, cuma bisa diisi kalo pendidikan kita kembali berporos pada iman dan adab.
Hilang adab
Sobat gaulislam, ada satu hal yang sering bikin sebagian besar ortu salah paham soal pendidikan. Mereka mikirnya, kalo anaknya pinter, nilainya bagus, rankingnya tinggi–berarti sukses. Padahal, kalo akhlaknya rusak, ranking segede apa pun cuma angka kosong. Lihat aja realitanya sekarang. Sekolah sibuk banget ngejar nilai akademik, tapi jarang banget ngomongin soal adab. Anak disuruh hafal rumus, tapi nggak diajarin gimana cara menghargai orang.
Oya, nggak ada salahnya kok anak pinter matematika, asal jangan minus dalam akhlak. Masalahnya, banyak sekolah sekarang yang menjadikan nilai akademik sebagai tolok ukur segalanya. Anak yang nilainya 90 dipuji, anak yang nilainya 60 dimarahi. Padahal bisa jadi, yang nilainya 90 suka ngebully, yang nilainya 60 justru yang paling sopan dan jujur. Tapi dunia pendidikan kita kayaknya lupa sama timbangan itu. Malah yang dikejar cuma ranking dunia, bukan ridha Allah Ta’ala. Ya, yang dicetak cuma otak cerdas, bukan hati bersih. Bahaya.
Di sisi lain, minimnya teladan juga bikin adab anak makin tenggelam. Guru mungkin ngajarin, “Jangan berkata kasar,” tapi di luar kelas, anak lihat orang dewasa maki-maki di medsos. Anak disuruh “jadi pribadi baik”, tapi tiap hari lihat influencer yang sukses karena drama, bukan karena karya. Anak disuruh “ngerti agama”, tapi yang viral justru yang ngelucu sambil ngolok-ngolok.
Gimana mereka mau ngerti adab, kalo yang mereka lihat tiap hari adalah dunia yang kehilangan rasa malu? Padahal adab itu bukan sekadar teori. Adab itu keteladanan. Dan keteladanan nggak bisa diajar cuma lewat buku–tapi lewat perilaku nyata. Kita perlu merasa heran. Kenapa ada anak-anak yang pintar teknologi, tapi gagal mengendalikan emosi. Ada yang jago debat, tapi nggak tahu cara beradab. Malah ada yang fasih ngomong soal hak asasi, tapi gampang banget nginjak harga diri orang lain. Ngeri dan ironi.
Masalah ini nggak bisa disembuhin cuma dengan seminar “Pendidikan Karakter” atau lomba “Siswa Teladan”. Sebab, adab bukan hasil lomba, tapi hasil pembinaan hati dan iman. Selama sistem pendidikannya masih terpisah dari nilai-nilai Islam, selama agama cuma jadi pelengkap kurikulum, selama sekolah lebih bangga sama nilai akademik daripada akhlak, maka kasus-kasus kayak Angga akan terus berulang.
Sampai akhirnya kita sadar bahwa yang rusak bukan cuma anak-anaknya, tapi akar moral dalam sistem pendidikan itu sendiri. Dan akar itu cuma bisa diperbaiki kalo kita berani kembali ke sistem yang menanamkan iman sebagai pondasi. Oya, perlu kamu catat bahwa ilmu tanpa adab itu bencana. Dan hasilnya bisa kita lihat sendiri: kelas berubah jadi tempat kekerasan, teman berubah jadi korban, dan sekolah berubah jadi tempat kehilangan.
Solusi Islam
Sobat gaulislam, setelah tragedi kayak gini, biasanya dunia pendidikan langsung rame. Kepala sekolah dipanggil, guru dimintai keterangan, pelaku dikeluarkan, korban dimakamkan, terus berita viral, netizen marah, lalu… hilang begitu aja. Tunggu beberapa bulan, muncul lagi kasus serupa. Kayak nonton sinetron yang nggak pernah tamat. Duh, apa iya harus terus berulang begini? Sebab, masalahnya bukan karena kita kurang marah. Kita udah cukup marah, tapi belum cukup sadar. Kita nyalahin orang, tapi lupa sistemnya yang salah arah.
Coba deh, dari semua tragedi bullying yang terjadi, ada nggak solusi yang benar-benar menyentuh akar Kebanyakan cuma reaktif: hukum pelaku, copot kepala sekolah, adakan pelatihan guru. Itu perlu, tapi belum cukup. Sebab selama akar pendidikannya masih kering dari nilai Islam, kasus kekerasan bakal tumbuh lagi kayak rumput liar.
Islam nggak pernah ngasih solusi setengah-setengah. Sistem Islam itu kayak body armor–nggak cuma nutup bagian depan, tapi melindungi seluruh tubuh kehidupan manusia. Termasuk dunia pendidikan. Dalam pandangan Islam, pendidikan itu bukan cuma transfer ilmu, tapi pembentukan kepribadian Islami (syakhsiyyah Islamiyyah). Tujuannya bukan sekadar biar anak bisa lulus ujian, tapi biar dia tahu untuk apa dia hidup. Biar dia sadar, ada Allah yang selalu mengawasi, bahkan saat guru nggak ada di kelas.
Kalo prinsip ini yang dipegang, anak nggak perlu CCTV buat tahu mana benar dan salah. Dia akan merasa malu kalo berbuat dosa, bukan cuma takut ketahuan. Sebab, Allah Ta’ala berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Mujadalah [58]: 7)
Artinya, Islam ngajarin kesadaran moral dari dalam hati, bukan cuma dari pengawasan luar. Tapi untuk mewujudkan itu, semua pihak harus jalan bareng. Guru, orang tua, masyarakat, dan negara. Sebab, akhlak anak bukan produk satu pihak, tapi hasil kolaborasi semua lingkungan yang mengitarinya.
Guru dalam Islam bukan cuma pengajar, tapi murabbi–pembina jiwa. Tugasnya bukan cuma bikin siswa paham urusan ilmu dunia, tapi membangun rasa takut kepada Allah Ta’ala dan cinta pada kebaikan. Sekolah juga harus jadi tempat yang aman dan inspiratif, bukan tempat yang penuh tekanan dan kompetisi kosong. Kalo perlu, suasananya dibuat kayak madrasah zaman dulu–ilmu dan adab jalan bareng.
Begitu pun dengan peran orang tua. Rumah itu madrasah pertama, dan orang tua adalah guru pertama. Sayangnya, banyak rumah sekarang kehilangan fungsinya. Orang tua sibuk kerja, sibuk scroll TikTok, sibuk ngurus hal lain, tapi lupa ngurus hati anak. Padahal, anak bukan cuma butuh uang jajan, tapi butuh arah hidup. Butuh dipeluk, bukan cuma disuruh. Butuh dituntun, bukan cuma ditonton. Islam ngajarin orang tua buat hadir dan mendidik anak dengan kasih sayang, bukan kemarahan.
Bagaimana dengan negara dengan sistem pendidikanya? Nah, ini bagian paling krusial. Kalo sistem pendidikan yang dipakai sekarang masih sekuler–alias memisahkan agama dari kehidupan–ya jangan kaget kalo hasilnya juga kacau. Sebab, gimana bisa anak paham tanggung jawab dan akhlak kalo nilai Islam cuma dianggap ekstra kurikuler?
Sistem Islam (Khilafah Islamiyah) justru menempatkan pendidikan iman dan akhlak sebagai fondasi utama. Tujuannya jelas, yakni mencetak manusia yang taat pada Allah Ta’ala dan bermanfaat bagi sesama. Ilmu diajarkan bukan buat sekadar cari kerja, tapi buat menjalankan amanah sebagai hamba dan khalifah di bumi. Keren banget kalo semua pelajar punya mindset kayak gitu–nggak bakal ada yang tega mukulin temannya cuma demi gengsi atau hiburan.
Intinya, solusi Islam itu nggak parsial, tapi total. Dia nyembuhin luka dari akar, bukan cuma nutup luka pakai plester kebijakan. Sebab Islam bukan cuma ngajarin apa yang benar, tapi juga cara membentuk manusia agar mau melakukan yang benar.
Jadi, sekarang tinggal kita mau pilih yang mana: apakah mau terus tambal sistem rusak yang udah terbukti gagal? Atau berani kembali ke sistem hidup yang dulu pernah melahirkan generasi hebat–dari Abu Bakar ash-Shiddiq sampai Muhammad Al Fatih–yang bukan cuma cerdas, tapi juga beradab dan beriman?
Kita sering bilang pengen generasi emas, tapi emas nggak lahir dari sistem yang berkarat. Kalo mau hasilnya beda, arahnya juga harus beda. Akhirnya, kasus seperti Angga bukan cuma tentang satu nyawa yang hilang, tapi tentang banyak jiwa yang belum diselamatkan. Kita bisa terus saling menyalahkan, atau mulai berubah dan berbenah. Sebab dunia pendidikan kita jelas sedang tidak baik-baik saja–dan cuma Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara yang bisa menyembuhkannya dengan sempurna.
Itu sebabnya, kalo kita benar-benar peduli, jangan cuma perbaiki aturan, tapi ubah arah. Bukan sekadar perbaiki sistem, tapi kembalikan semuanya ke jalan Islam. Itulah satu-satunya cara biar sekolah kembali jadi tempat belajar–bukan tempat kehilangan. Cukup, kasus Angga yang tewas di ruang kelas di tangan teman-temannya sendiri, adalah tragedi terakhir. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]