
gaulislam edisi 925/tahun ke-18 (18 Muharram 1447 H/ 14 Juli 2025)
Kamu ngerasa heran sama dunia ini? Misalnya, orang-orang lebih panik kalo sound system rusak ketimbang iman yang retak. Atau, lebih bela truk berisi speaker jumbo ketimbang nasihat ulama yang penuh hikmah. Nah, selamat datang di dunia sound horeg–fenomena di mana dentuman bass dianggap budaya, dan fatwa ulama malah diperlakukan kayak spam WA grup keluarga.
Sound horeg disayang-sayang, dijunjung tinggi, bahkan dipanggil-panggil buat acara-acara yang katanya syukuran, padahal isinya joget-joget campur baur plus buka aurat. Tapi giliran para ulama bilang, āEh, itu haram lho, karena mengganggu, merusak, dan menjurus maksiatā–eh malah dicuekin. Dibilang ānggak asikā, ākolotā, atau ānggak ngerti budaya hiburan rakyat kecilā.
Padahal, kalo kita jujur sama hati nurani, budaya yang baik itu bikin tenang, bukan bikin tensi naik. Bikin adem, bukan bikin genteng rumah orang jadi korban. Jadi, siapa yang sebenarnya lebih peka? Ulama yang ngasih peringatan? Atau mereka yang sibuk goyang sambil pura-pura tuli?
Bayangin gini, kamu lagi rebahan manja, habis kenyang makan nasi padang ekstra rendang. Kipas muter, posisi bantal pas–semua sempurna buat tidur siang yang indah. Eh, baru juga mata mulai sayup-sayup masuk ke alam mimpi, tiba-tiba… āBRUUUUUUMMā suara musik dangdut remix 3000 watt bass ngejleb!!ā
Getaran itu bukan dari gempa bumi, Bro! Itu dari truk sound horeg yang lewat depan rumah. Genteng rumah bergetar, burung di pohon pada kabur, dan jantung tetangga sebelah hampir pindah domisili.
Inilah yang sekarang lagi rame dibahas di medsos, warung kopi, sampai forum ulama. Sound horeg, alias paduan maut antara musik keras, truk terbuka, dan jogetan campur aduk tanpa aturan. Banyak yang bilang, ini ākesenian lokalā rakyat kecil. Tapi banyak juga yang nyahut, āRakyat kecil juga butuh tidur, Bro!”
Saking hebohnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim dan puluhan pondok pesantren sampai ngeluarin fatwa haram buat penggunaan sound horeg yang kelewat batas. Bukan cuma karena suaranya kayak konser rock di dalam kulkas (eh?), tapi karena efeknya yang bikin orang marah, rusak rumah, jembatan dibongkar gara-gara truk sound horeg yang segeda gaban nggak bisa lewat, gapura diancurin demi bisa dilewati truk bermuatan puluhan speaker, dan akhirnya memang rusak moral!
Nah, tulisan ini bakal kupas tuntas semua hal tentang sound horeg. Kita bakal bahas juga dampaknya, sudut pandang Islam, dan apa sih solusinya biar hidup tetap bisa āhoreā tanpa harus āhoregā. Yuk, kita simak bareng pakai hati dan akal, bukan pakai speaker!
Jadi problem
Sobat gaulislam, dulu, waktu ada hajatan di kampung, suara musik cukup pakai speaker TOA atau sound kecil. Suaranya mungkin cempreng, tapi masih bisa ditoleransi. Sekarang? Waduh, yang ada malah suara dari sound system sebesar lemari es. Puluhan jumlahnya yang ditaruh di atas truk terbuka, dan disetel sampai volumenya bisa bikin burung walet pindah sarang (karena bangunannya bergetar dan runtuh).
Inilah yang disebut sound horeg. Kata āhoregā sendiri konon berasal dari bahasa Jawa yang artinya ābergetarā. Cocok banget, soalnya kalo si truk ini lewat, bukan cuma lantai rumah yang bergetar, tapi juga iman–apalagi pas lihat jogetan yang nggak tahu arah.
Fenomena ini paling sering muncul di daerah pedesaan, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Biasanya meramaikan acara-acara seperti karnaval kemerdekaan, perayaan kelulusan, dan hajatan warga. Formatnya standar: satu truk dihias, diisi puluhan speaker besar, DJ lokal, playlist lagu remix dangdut plus bass segede dosa masa lalu. Diiringi parade orang-orang yang joget sesuka hati, kadang pakai kostum cosplay, kadang kostum… ehm, minim banget. Cowok-cewek campur aduk. Joget berjamaah. Dan semuanya terjadi di jalanan kampung, dekat rumah warga, bahkan depan masjid.
Uniknya, meskipun disebut sound system, MUI Jatim dan para ulama lebih memilih menyebutnya āsound horegā karena praktiknya udah keluar dari fungsi normal sound system. Ya, sebab yang satu buat meramaikan acara, yang satu lagi malah merusak suasana.
Bahkan menurut dosen FIB Unair, Puji Karyanto, horeg ini sebenarnya lahir dari āfrustrasi budayaā warga kelas bawah. Mereka cari pelarian dari penat hidup lewat musik keras dan jogetan. Jadi semacam hiburan darurat. Tapi, makin ke sini, makin liar. Dari yang awalnya hiburan, berubah jadi ajang adu volume, ajang flexing sound system, sampai adu stamina joget.
Padahal ya, dalam Islam, suara keras itu boleh kalo konteksnya bener. Azan misalnya. Itu boleh keras. Takbir? Boleh keras. Tapi kalo musik kerasnya sampai bikin bayi nangis, lansia sakit jantung, dan rumah getar kayak dilindas dinosaurus–itu bukan lagi hiburan, tapi kebisingan yang mengganggu kemaslahatan umum.
Nah, dari sinilah masalah dimulai. Budaya horeg bukan lagi sekadar tradisi rakyat, tapi sudah menjelma jadi penyakit sosial. Pertanyaannya: apakah semua ini layak dipertahankan hanya demi āhiburan rakyatā? Atau justru harus disetop demi ketenangan dan keselamatan rakyat?
Saking ributnya sound horeg, akhirnya ulama nggak bisa tinggal diam. Kali ini yang difatwakan: penggunaan sound system. Tapi bukan sembarang sound, Bro. Ini sound horeg, yang volumenya bisa mengalahkan azan Subuh dari lima masjid sekaligus.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur bersama puluhan pondok pesantren akhirnya resmi mengeluarkan fatwa haram buat sound horeg. Keputusan ini muncul setelah kejadian viral di Malang, saat ada warga yang anaknya lagi sakit, tapi malah rumahnya dilewati truk sound horeg. Si ibu teriak protes, suaminya dorong peserta karnaval, dan… boom! pecah konflik. Ya, yang niatnya karnaval malah jadi ajang baku hantam. Pawai berubah jadi perkelahian. Epic banget, tapi minus akhlak.
Dari sinilah akhirnya dibuat Fatwa MUI Jatim No. 1/2025. Isinya? Enam poin penting yang bisa disingkat jadi satu kalimat: “Kalo bikin bising, merusak, maksiat, dan tabdzir–haram hukumnya!”
Yuk, kita kulik satu-satu isi fatwanya (pakai bahasa remaja biar relate). Pertama, teknologi audio itu oke, asal nggak nyerempet syariat. Jadi, bukan masalah sound-nya, tapi dipakai buat apa dan gimana. Kedua, ekspresi boleh, asal nggak ganggu tetangga. Nggak semua ekspresi harus diteriakin sambil joget. Ketiga, kalo suaranya kelewat batas, rusak barang, bikin maksiat, ya haram, dong! Ini termasuk kalo sound horeg dipakai sambil goyang pria-wanita buka aurat. Keempat, kalo sound-nya wajar, buat pengajian, resepsi nikah, dan steril dari maksiat, ya boleh. Intinya: santun dan syarāi. Kelima, kalo battle sound gimana? Haram mutlak. Karena mubazir, bikin ribut, dan kadang bikin orang jadi budak gengsi. Keenam, kalo udah bikin kerugian, wajib ganti rugi. Nggak bisa cuma bilang āmaaf yaā, terus kabur sambil nge-bass.
Fatwa ini bukan sekadar formalitas. Bahkan Kiai Muhibbul Aman Aly dari Ponpes Besuk bilang, āKami haramkan bukan cuma karena bisingnya, tapi karena sudah melekat dengan kemungkaran: goyangan, aurat terbuka, minuman keras, dan kerusakan moral.ā
MUI Pusat dan PP Muhammadiyah langsung kasih dukungan penuh. Pak Anwar Abbas dari Muhammadiyah bilang, āKalo udah ganggu kenyamanan, rusak fasilitas, dan bahaya buat kesehatan, ya harus ada aturan.ā Bahkan ada warga yang rumahnya sampai retak gara-gara bass terlalu mengguncang dunia (dan langit-langit rumah).
Kata Ketua MUI Bidang Dakwah, KH Cholil Nafis, āKalo nggak mengganggu, itu udah bukan sound horeg. Namanya sound system biasa.ā Jadi, ganggu itu udah jadi ciri khas. Kayak kamu makan mie instan tanpa micin–ya itu bukan mie instan. Singkatnya, fatwa ini muncul bukan karena ulama benci mutlak terhadap musik, tapi karena dampaknya udah kelewatan. Nggak cuma di dunia nyata, bahkan di akhirat nanti, bisa jadi kamu harus ganti semua genteng tetangga–pakai amal shalihmu sendiri!
Dan jangan lupa, suara keras yang merusak itu bukan cuma soal volume, tapi juga soal nilai: apa yang dibawa oleh suara itu? Hikmah atau huru-hara? Dzikir atau joget ikhtilat? Ngeri, ah!
Coba tanya ke WHOābukan Warkop Health Organization, tapi yang beneran. Mereka bilang, batas aman kuping manusia nerima suara itu sekitar 85 desibel selama maksimal 8 jam. Nah, sound horeg? Bisa tembus 135 desibel. Itu bukan suara, tapi gempaaaa… akhlak!
Nggak heran kalo banyak orang mulai ngeluh karena tembok rumahny retak, genting jatuh, jantung deg-degan, telinga berdengung serasa budek. Yuk, kita rinci satu-satu dampak negatifnya, biar makin jelas kenapa fatwa haram itu bukan lebay.
Sekadar kamu tahu, bahwa volume super tinggi bisa merusak gendang telinga secara permanen, menyebabkan gangguan jantung (apalagi buat lansia), bikin bayi susah tidur (yang artinya: orang tuanya juga begadang mode on), dan mengganggu kesehatan mental warga sekitar.
Hiburan atau bikin rusuh?
Sobat gaulislam, sound horeg bukan cuma urusan āmusik rameā. Ini udah level konflik horizontal. Beberapa bukti seperti di Kediri, ada nenek yang cuma bisa elus dada sambil nahan tangis karena rumahnya dihajar dentuman DJ sore-sore. Di Tuban, warga disuruh bayar Rp600 ribu per rumah buat nyewa 12 unit horeg buat karnaval. Nggak ikutan joget, tapi wajib iuran dan dapet bisingnya. Di Pati, ada emak-emak yang nyaris digebukin cuma karena protes soal suara terlalu keras. Kita tanya lagi: ini budaya atau beban masyarakat?
Parahnya lagi, bukan cuma volume-nya, tapi ābonusā yang ikutt kayak joget campur laki-perempuan; aurat diumbar kemana-mana, ada minuman keras, kadang acara keagamaan disusupi musik dan joget mengundang syahwat. Duh, gimana kalo anak-anak kecil nonton langsung. Belajar apa? Joget? Bukannya shalawat.
KH Muhib dan ulama lain bilang, āHoreg bukan sekadar musik, tapi jadi simbol syiāar fussaq (kefasikan).ā Artinya, itu udah identik dengan maksiat berjamaah. Padahal, Islam itu cinta keindahan. Musik pun bisa jadi sarana dakwah–asal pas takarannya. Tapi horeg ini udah kayak mie instan kebanyakan micin. Bukan nikmat, malah bikin mual.
Oya, beberapa seniman lokal bilang, āIni bukan lagi seni. Ini bising.ā Kenapa? Karena seni itu harmoni. Sementara sound horeg adalah serbuan suara yang nggak tahu kapan harus berhenti. Ibarat masak sayur asem, tapi semua bumbunya dimasukin 3 kilo. Bukan enak, malah olab alias bikin muntah. Ya, sound horeg itu bukan cuma dentuman bass, tapi dentuman masalah. Dari kepala sampai hati, dari atap rumah sampai dasar akhlak, semua kena getarannya.
Meski udah ada fatwa haram dan keluhan warga di mana-mana, nyatanya masih banyak juga yang membela sound horeg. Bahkan ada yang bilang, āKalo sound horeg diharamin, ya tempat karaoke juga harus ditutup dong!ā atau āNamanya juga hiburan rakyat kecil, masa dilarang?ā
Eits, sabar dulu, kita kupas satu per satu. Pakai logika, bukan pakai subwoofer. āKami cuma cari hiburan, kok dilarang?ā Bener sih, semua orang butuh hiburan. Hidup udah berat, harga cabai naik, bensin mahal, mantan balikan sama pacar barunya (eh, kok ke sini?). Ya, hiburan itu penting buat jaga kewarasan. Tapi hiburan yang sehat tuh kayak minum teh anget pas hujan, adem di hati. Bukan kayak minum kopi tiga liter yang bikin jantung goyang dan telinga gemetar (hiperbolis banget perumpamaannya, ya?)
Ada juga yang bilang, āTenang aja, kalo genteng pecah, panitia ganti kok.ā Loh, masalahnya bukan cuma genteng, Mas. Yang pecah bukan cuma atap rumah, tapi ketenteraman warga, telinga tetangga, dan batas norma dan akhlak. Lagipula, kalo kita jalan sambil lempar batu ke jendela rumah orang, terus bilang, āSantai, saya ganti kacanyaā, apakah itu tetap dibolehkan? Nggak, kan? Ganti rugi bukan izin untuk berbuat seenaknya.
Ada juga yang komen, āKalo horeg haram, karaoke juga haram dong!ā Ini argumen klasik, āKalo mau adil, larang semua hiburan sekalian!ā Tapi tunggu, siapa bilang Islam milih-milih? Semua yang mengandung unsur mafsadat (kerusakan) pasti dilarang, entah itu karaoke, DJ liar, atau even pengajian yang dicampur goyangan remix. Fatwa haram untuk sound horeg bukan berarti yang lain auto halal. Tapi yang jelas-jelas bikin kerusakan nyata dan berjamaah, ya harus disikapi tegas duluan.
Ibarat kalo temen kamu nyontek, terus kamu ikutan nyontek sambil bilang, āKan dia juga!ā. Ya tetap aja dosanya masing-masing. Nggak ada sistem diskon dosa karena barengan.
Oya, ada pula yang bilang, āIni budaya rakyat kecil!ā Budaya? Bisa iya, bisa juga dalih. Kalo budaya itu merusak dan nggak bawa manfaat, apa harus terus dipelihara? Dulu perbudakan juga budaya. Tapi Islam menghapusnya. Dulu khamr dianggap hal biasa. Tapi Islam datang buat nyetop. Sekarang, kalo ada budaya yang isinya joget liar, musik tak terkontrol, campur baur sambil buka aurat, mabuk-mabukan, dan getaran yang bikin rumah retak–ya itu bukan budaya luhur, tapi budaya nyusahin orang lain.
Lalu kudu ngapain?
Sobat gaulislam, kita udah bahas panjang lebar soal fatwa, dampak, dan perdebatan seputar sound horeg. Tapi di titik ini, mari kita ngobrol soal solusi. Karena ngeluh doang nggak akan bikin volume turun. Kita perlu langkah nyata. Bukan cuma mute, tapi juga move on.
Oya, kalo mau nyari hiburan, kan nggak harus sound horeg. Yup, ini penting. Kadang kita terlalu fokus pada satu jenis hiburan, sampai lupa kalo opsi lain masih banyak. Mau rame? Boleh. Mau goyang? Bisa (tapi di dalam kamar ya, jangan di panggung bebas atau malah live streaming TikTok). Terus, kenapa nggak cari cara yang lebih elegan dan islami? Misalnya, festival budaya dengan rebana atau hadrah, jalan sehat bareng warga, lomba kreatif yang positif semisal desain grafis sesuai tuntunan syariat Islam dan punya value dakwah, parade kostum tema sejarah Islam, bahkan lomba pidato kreatif (serius, ini bisa seru loh). Intinya, hiburan bisa tetap asik tanpa harus menyakiti tetangga dan merusak property.
Nah, kalo memang mau pakai sound system, pastikan volume-nya disesuaikan, jangan bikin berisik dan tetangga yang lagi sakit gigi bangkit lalu mencak-mencak, jangan di gang sempit atau permukiman padat, pindahin ke lapangan terbuka, ada batasan jam, jangan sampai jam 2 pagi masih goyang dangdut kebablasan. Logikanya sederhana, sih. Kalo kamu nyetel musik keras di kamar kamu sendiri aja bisa bikin emak ngamuk tengah malam, apalagi di jalan kampung?
Terus, soal campur baur dan buka aurat, Islam punya standar yang jelas, salah satunya: āJangan mendekati zina.ā Artinya jangan buka pintunya. Termasuk dengan ikhtilat, joget rame-rame, dan musik yang melemahkan iman. Yuk, mulai biasakan acara yang tertib syarāi, seperti pemisahan area pria dan wanita, kegiatan yang tetap menjaga pandangan, arahkan energi ke aksi positif dan edukatif.
Oya, kita nggak bisa harap semua orang langsung paham. Harus ada proses edukasi. Itu sebabnya, bikin deh konten kreatif tentang bahaya sound horeg, undang tokoh agama yang bisa bicara dengan gaya anak muda, adain forum warga seperti diskusi santai sambil ngopi, tapi bahas serius. Ingat, kalo kita cuma marah-marah, yang ada malah ditolak mentah-mentah. Tapi kalo kita ajak ngobrol dengan asik, mereka bisa lebih terbuka. Insya Allah.
Selain itu, regulasi dari pemerintah dan support dari rakyat terdidik juga diperlukan. Saran dari para sosiolog udah jelas, yakni pemda perlu bikin aturan soal batas volume sound di acara umum, jenis peralatan yang boleh digunakan, lokasi acara yang diizinkan untuk penggunaan sound. Rakyat wajib mendukung kebijakan tersebut. Jangan nunggu tragedi dulu baru sadar. Kalo bisa dicegah, kenapa harus nunggu korban?
Jadi, bukan berarti Islam anti hiburan. Tapi Islam ngajarin kita untuk jaga iman, jaga adab, jaga akhlak, dan jaga ketenangan orang lain. Hiburan boleh, asal hati tetap lembut. Sound boleh āhoreā, asal iman nggak āhoregā.
Kadang kita lupa, hidup ini bukan cuma soal rame-ramean di bumi, tapi juga soal bagaimana kita bikin āsuaraā di langit. Ada yang guncangin jalanan pakai speaker, tapi nggak pernah guncangin langit dengan doa. Ada yang joget tiap sore, tapi nggak pernah rukuk atau sujud tiap malam.
Sound horeg mungkin bikin orang heboh, tapi pertanyaannya: apa Allah Ta’ala ikut ridha? Allah Ta’ala udah kasih kita kemampuan untuk merasa senang. Tapi Allah juga ngasih akal dan iman buat ngerem kesenangan yang kebablasan. Sebab, nggak semua yang seru itu baik. Nggak semua yang bikin ketawa itu berkah.
Yuk, jadi remaja yang guncang langit dengan kebaikan. Kita punya pilihan apakah mau jadi generasi yang suaranya didengar di langit (lewat doa, dzikir, amal shalih) atau jadi generasi yang cuma nyaring di bumi, tapi nihil di akhirat? Ngaku deh, lebih keren mana antara yang bilang, āWoy, itu yang lewat sound horeg-nya keras banget yaa!ā dengan yang bilang, āMasyaAllah, dia anak muda tapi rajin tahajud dan suka ngingetin teman-temannya.ā
Oya, sadar nggak, kadang kita terlalu fokus guncang dunia pakai suara, padahal yang perlu diguncang dulu itu hati kita. Agar mau sadar dan tahu diri. [O. Solihin | Join Channel WhatsApp]