Wednesday, 18 June 2025, 01:47
pexels-soulful-pizza-2080276-3715428

gaulislam edisi 921/tahun ke-18 (20 Zulhijjah 1446 H/ 16 Juni 2025)

Zaman sekarang, hidup remaja tuh kayak nempel terus sama hape. Makan bareng hape, belajar ditemenin hape, bahkan ke kamar mandi pun hape diajak ‘ngobrol’. Hape tuh udah kayak perpanjangan tangan. Bangun tidur bukan baca doa lalu ambil air wudhu dulu, tapi malah ngecek notifikasi. Scroll dikit, ketemu konten lucu, game play, tips glowing dalam 3 detik. Scroll lagi. Niatnya lima menit, eh tahu-tahu udah setengah jam aja lewat? Tapi, tahu nggak, dari sekian waktu yang kamu habiskan di layar itu, ada satu makhluk yang sering banget nongol dan memengaruhi pola pikir kamu tanpa kamu sadari: Influencer.

Ya, umumnya para influencer ini ngomong sok bijak, padahal isinya kosong kayak dompet akhir bulan. Nggak sadar, kita udah ngikutin gaya hidup dia, beli ini-itu, mikir “gue harus kayak dia”, padahal dia sendiri belum tentu bahagia.

Coba tanya deh, kita lagi ngefans atau kejebak? Lagi nyari panutan atau sekadar kesenangan sesaat? Banyak yang keliatannya bersinar di layar, tapi aslinya gelap di dalam. Kalo nggak hati-hati, kita bisa jadi penonton setia konten orang, tapi lupa jadi sutradara hidup kita sendiri. Medsos, udah jadi standar pergaulan baru manusia online.

Ya, media sosial tuh udah kayak dunia kedua buat banyak orang. Tempat curhat, pamer, cari info, cari hiburan, sampe cari jodoh (ups!). Dari anak-anak sampe orang dewasa, semua dituntut buat adaptasi karena perkembangan medsos kenceng banget. Dan yang paling kebawa arus? Yup, remaja.

Menurut Mayo Clinic, media sosial memiliki peran penting dalam kehidupan anak-anak dan remaja. Survei Pew Research Center tahun 2018 terhadap hampir 750 remaja berusia 13-17 tahun menunjukkan bahwa 45% di antaranya hampir selalu online, sementara 97% menggunakan platform seperti YouTube, Facebook, Instagram, atau Snapchat. (tempo.co)

Nggak cuma buat seru-seruan, tapi medsos juga buat bangun identitas digital, alias citra diri versi dunia maya. Kayak, “Aku siapa sih di mata followers?”

Para tokoh digital ini udah kayak kompas moral baru. Mereka bilang A, warganet ikut A. Mereka bilang B, langsung trending. Ada yang ngajarin produktif, sharing ilmu, dakwah, atau motivasi hidup. Tapi ada juga yang kerjaannya cuma flexing kekayaan, nyinyir, atau malah bikin konten prank nggak mendidik. Ironisnya, yang model beginian justru punya jutaan follower. Giliran yang ngajak kebaikan? Disuruh “bosen ah,” “garing,” atau “kurang vibe.”

Ya, medsos tuh udah kayak sahabat karib yang bisa jadi baik banget, tapi juga bisa toxic diam-diam. Remaja sekarang banyak yang cari jati diri lewat likes, views, dan komen. Padahal, identitas diri sejati bukan dibentuk dari filter yang bikin glowing atau postingan yang viral, tapi dari nilai hidup dan iman yang kuat.

Medsos bisa jadi ladang pahala kalo dipakai buat kebaikan. Tapi bisa juga jadi jebakan halus kalo cuma ngejar eksistensi tanpa isi. Jangan sampe kita sibuk bikin “persona” digital, tapi lupa ngurus kualitas diri yang asli.

Sadar nggak, kita ini kayak lagi main game online. Bedanya, musuhnya nggak selalu kelihatan. Kadang bentuknya FOMO, insecure, atau pencitraan. Kalo kita nggak hati-hati, kita bisa kalah di level kehidupan nyata cuma gara-gara terlalu fokus di level online.

Jadi sebelum scroll kamu makin ngawur, yuk sadar sebelum kesasar. Sebelum “like” jadi candu, dan “idola” jadi berhala hati yang menggeser eksistensi Allah Ta’ala.

Pengaruh influencer

Kita hidup di zaman ketika like lebih dihargai daripada akhlak, ketika algoritma lebih dipercaya daripada hikmah, dan saat influencer bisa jadi panutan, walau isi kontennya jauh dari tuntunan. Banyak yang viral, tapi nggak semua bernilai. Banyak yang terkenal, tapi nggak semua membawa amal. Dan banyak yang keliatannya bersinar, padahal di sisi Allah Ta’ala bisa jadi malah kelam tak bercahaya.

Sobat gaulislam, pernah nggak sih, scroll IG atau TikTok, terus mikir gini, “Duh, enak banget ya hidup dia. Cakep, kaya, bisa healing ke Bali tiap minggu, skincare-nya seharga motor.” Sementara kita? Lagi mikirin pulsa habis dan tugas belum kelar.

Nggak sedikit remaja mulai ngerasa kurang. Kurang keren. Kurang cakep. Kurang tajir. Kurang semuanya. Karena standar yang mereka lihat adalah standar dunia maya, bukan standar nyata. Ini kayak ngebandingin diri kamu yang baru bangun tidur, dengan orang yang udah full make-up, lighting sempurna, plus caption motivasi. Kalah lah!

Ya begitulah, Bro en Sis. Influencer itu jago banget bikin hidup mereka keliatan ‘sempurna’. Tapi kita lupa satu hal, yakni yang kita liat itu cuma ‘cuplikan highlight’, bukan full movie-nya. Kita cuma disuguhi adegan yang udah diedit, disaring, bahkan dipoles filter 11 tingkat. Kalo yang jelek-jelek? Disembunyiin. Dan yang bikin relate? Dibikin skenario biar dramatis.

Oya, remaja yang follow influencer umumnya karena mereka cari sosok yang relatable dan inspiratif. Cewek-cewek biasanya ngefans sama influencer yang bahas beauty, fashion, dan body positivity. Nah, kalo para cowok biasanya lebih suka yang bahas gaming, olahraga, gaya hidup, apalagi yang keliatan cuan-able. Wuih, gercep banget!

Tapi nggak semua influencer baik. Ada juga yang ngejual konten negatif seperti glorifikasi kekerasan, cari sensasi, atau hidup hura-hura tapi dibungkus motivasi. Akibatnya? Banyak remaja ngerasa insecure, minder, bahkan jadi perfeksionis yang nggak sehat karena kebanyakan liat hidup ‘sempurna’ yang sebenernya sangat boleh jadi itu cuma editan.

Jadi, kalo kamu ngerasa makin sering bandingin diri sama influencer, bisa jadi kamu lagi ketipu sama highlight palsu. Mereka upload hidup yang kelihatan bahagia, glowing, kaya, dan sukses. Tapi yang nggak mereka tunjukin itu bagian nangis di kasur, nunggak cicilan, atau drama internal yang nggak clickbaitable.

Dan parahnya, kita nelen semuanya mentah-mentah kayak makan mie instan tanpa mikir kolesterol. Akhirnya banyak yang berubah jadi makhluk insecure, ngerasa hidupnya gagal karena nggak bisa kayak si A atau si B. Padahal, standar mereka itu bukan standar surgawi, tapi standar algoritma medsos.

Mestinya, kita hidup bukan buat jadi versi murah dari orang lain, tapi buat jadi versi terbaik diri sendiri sesuai peran yang Allah kasih. Influencer boleh kita lihat (terutama yang ngajak kepada kebaikan), tapi jangan semua kita tiru. Hati-hati, jangan sampai yang kamu tiru malah ngajak kamu jalan ke arah yang salah, jalan yang nunjukin sukses, tapi nyasar jauh dari hidayah.

Dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR Abu Dawud)

So, mau jadi tim follower influencer, atau follower Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sebab, nggak semua influencer zaman now yang nyebarin hal positif. Banyak juga yang bikin standar hidup jadi nggak realistis. Mereka bikin seolah-olah kamu baru keren kalo punya barang tertentu atau gaya hidup kayak mereka. Padahal yang ditampilin cuma bagian hidup yang “glow-up”, sementara realitanya? Disensor. Strategi mereka umumnya bikin konten yang kelihatan jujur dan personal, tapi sebenernya udah dipoles habis-habisan buat keliatan ‘deket’ dan relatable. Akibatnya, remaja jadi gampang kepancing, ngerasa hidupnya kurang, dan makin haus validasi online.

Ini nggak cuma soal gaya hidup, tapi juga soal cara mikir. Lama-lama kita kayak dikode buat percaya bahwa, “Kalo mau bahagia, kamu harus punya ini, gaya kayak gini, hidup kayak dia.” Padahal, itu semua ilusi. Kita kayak lagi dikasih kaca bengkok: makin dilihat, makin bikin ngerasa jelek.

Padahal, setiap orang punya rezeki, jalan, dan skenario hidup masing-masing. Kamu nggak perlu jadi versi KW dari siapa pun. Kamu cukup jadi versi terbaik dari diri kamu yang udah Allah Ta’ala ‘rancang’ dengan sangat spesial.

Jadi, kalo ada influencer yang bikin kamu ngerasa gagal jadi manusia, coba unfollow dulu, terus alihkan dengan ikuti al-Quran. Biar kamu sadar, standar bahagia itu bukan viral dan estetik, tapi dekat dengan Allah Ta’ala dan penuh makna, sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran. Coba baca, ya.

Punya filter

Sobat gaulislam, nggak salah sih nge-follow influencer. Tapi jangan sampai kamu keikut arus, padahal kamu nggak tahu airnya ngalir ke mana. Nah, biar kamu tetap waras, berpijak, dan nggak hanyut sama konten “sempurna tapi palsu”, ini beberapa langkah yang bisa kamu coba.

Pertama, kudu punya alasan kenapa kamu follow dia. Sebelum pencet tombol follow, coba jeda dulu. Tanyain ke diri sendiri, “Apa aku follow karena manfaat, atau cuma biar bisa stalking dan banding-bandingin hidup?”

Kalo jawabannya bikin hati jadi sempit, waktu banyak kebuang, dan iman malah luntur, tinggalin aja. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya’.” (HR at-Tirmidzi)

So, follow yang bikin tambah iman, bukan yang bikin makin galau tiap scroll.

Kedua, butuh saringan. Ya, kamu butuh filter or saringan batin, bukan cuma filter wajah. Apa aja filternya? 1) tanya pada diri sendiri, “Apakah konten ini bikin aku lebih dekat kepada Allah Ta’ala?”; 2) “Apakah ini bikin aku makin bersyukur atau malah iri terus?”; 3) “Apakah ini inspiratif atau cuma konsumtif?”

Nah, kalo nggak lolos filter, skip aja. Hati kamu terlalu berharga buat dipenuhin racun digital.

Ketiga, ganti dari scroll ke tilawah al-Quran. Serius, waktu yang kamu pake buat scroll 1 jam bisa kamu tuker sama tilawah 1 juz. Waktu scrolling bikin pikiran capek dan hati kosong. Tapi al-Quran? Bikin hati adem, hidup lebih terarah, dan feed kamu jadi lebih meaningful.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca Kitabullah, dan saling mengajarkan satu dan lainnya, melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikelilingi para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR Muslim)

Kalo kamu udah biasa nunggu konten baru dari idola kamu, kenapa nggak coba mulai nunggu momen baca al-Quran setiap hari agar makin dekat dengan Allah Ta’ala?

Keempat, jadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai influencer utama. Ya, teladan paling sempurna tuh bukan yang punya jutaan followers semata, tapi yang ngajak kita ke jalan surga, yakni Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Gaya hidup beliau bukan cuma relatable, tapi juga penuh kasih sayang, tanggung jawab, dan membawa kebaikan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21)

Jadi kalo kamu lagi galau mikirin hidup nggak se-perfect konten orang lain, inget bahwa hidup Nabi juga penuh ujian, tapi tetap keren di mata Allah Ta’ala.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Influencer itu manusia biasa. Mereka bisa salah, bisa khilaf, bisa juga cuma cari cuan. Jangan jadikan mereka tolok ukur hidup. Apalagi sampe rela kehilangan jati diri cuma biar bisa “kayak dia.”

Kamu nggak dilahirkan untuk jadi peniru hal-hal yang buruk. Kamu dilahirkan untuk menjadi lebih baik, pinter memilah, bijak memilih, dan berani jadi versi terbaik dari diri kamu, sesuai jalan yang Allah Ta’ala ridhai.

Hidup ini bukan lomba jadi siapa yang paling estetik, paling update, atau paling banyak follower. Tapi siapa yang paling bertakwa, paling taat, paling bermanfaat, dan paling istiqamah dalam jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13)

Kamu bisa ngefans, bisa ngikutin tren, bisa punya panutan. Tapi pastiin panutan itu nambah iman, bukan ngikis iman. Pilih konten yang bisa bikin kamu makin kenal diri, makin dekat sama Allah Ta’ala, bukan makin kehilangan jati diri. Sebab, suatu saat, ketika dunia ini padam, influencer dan followers udah nggak penting lagi.

Upgrade filter iman, bukan cuma filter kamera. Mulailah dari menyaring konten yang kamu konsumsi. Follow akun-akun yang ngasih value, yang ngingetin kamu untuk dekat sama Allah Ta’ala, yang ngajarin kamu bersyukur dan berkembang. Oya, jangan cuma jadi follower, tapi jadilah pemilah. Sebelum telan mentah-mentah semua yang dilihat, pertibangkan dulu, “Ini manfaat nggak buat aku?” “Allah Ta’ala suka nggak kalo aku nonton ini?”

Waktumu mestinya lebih banyak untuk ibadah, bukan malah untuk hiburan. Gunakan media sosial buat hal-hal baik. Kamu bisa jadi influencer juga, lho! Jadi inspirasi buat teman-temanmu. Upload yang membangun, bukan membingungkan. Share yang menyejukkan, bukan yang memanas-manasi. Ingat, dunia ini panggung ujian, bukan panggung sandiwara–walau banyak orang juga memerankan itu saat ini, salah satunya influencer yang Cuma pencitraan doang. Jangan terjebak sama hidup yang dipoles terus buat kelihatan sempurna. Hidup nyata itu tentang perjuangan, bukan cuma pencitraan.

Itu sebabnya, media sosial bisa jadi berkah, bisa juga jadi bencana. Tergantung kamu pakainya buat apa. Kalo kamu follow influencer yang ngajak pada kebaikan, kamu bisa ikut dapet pahala. Tapi kalo kamu ikuti mereka yang ngajak ke hal-hal sia-sia atau dosa, ya kamu sendiri yang rugi. Dia? Udah jelas lebih rugi.

Jadi, yuk kita cek ulang siapa yang kita ikuti. Jangan cuma karena mereka viral, terus kita anggap vital. Jangan sampai kita cuma ikut tren, tapi lupa tujuan hidup. Karena hidup ini bukan soal terlihat baik di mata netizen, tapi yang itu harus menjadi yang terbaik di hadapan Allah Ta’ala. Jadi, sadar deh, sebelum kesasar. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *