Friday, 26 April 2024, 07:17

Oleh Amran Nasution
Direktur Institute Policy Studies

Entah kenapa koran arus utama terkesan memboikotnya. Promosi pun seadanya. Tapi film Ayat-Ayat Cinta (AAC) menjadi fenomena. Betul-betul ajaib, film itu mengalahkan Harry Potter dalam mengumpulkan jumlah penonton, sekaligus menorehkan sejarah sebagai film Indonesia terlaris.

AAC dibuat dari novel berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazi. Seba-gaimana filmnya, novel itu pun mencetak rekor tak tertandingi. Ia sudah terjual lebih 400.000 eksemplar, dan sampai sekarang masih terus dicetak ulang. Novel lainnya dari penulis yang sama, Ketika Cinta Bertasbih, mengekor sukses AAC, dicetak berulang-ulang dan sedang disi-apkan menjadi sebuah film.

Sebagai film, sesungguhnya tak ada yang istimewa pada AAC. Plotnya mirip Catatan Si Boy, film laris di tahun 1980-an, berkisah tentang anak muda yang diperebutkan para cewek. Yang membe-dakannya ‘sekaligus keistimewaannya’ AAC adalah sebuah film dengan misi dakwah.

Sebuah film yang menunjukkan bagai-mana anak muda bisa terlibat asmara tanpa menginjak-injak ajaran agamanya. Bagaimana cinta bukanlan urusan ran-jang semata, dan daya tarik wanita bukan pada sekwilda (sekitar wilayah dada) atau bupati (buka paha tinggi-tinggi). Padahal itulah selama ini yang menjadi “ideologi” umumnya novel atau film Indonesia yang berkiblat ke Hollywood. Mitos sudah ter-cipta bahwa novel atau film tanpa urusan ranjang dan buka-buka aurat takkan laku dijual.

Maka adalah tepat Habiburrahman El Shirazy dinobatkan Harian Republika sebagai salah satu Tokoh Perubahan Indonesia 2007. Ia sudah membuktikan bahwa mitos yang dibangun puluhan tahun oleh sistem kapitalisme di Indo-nesia –dan terutama mendapat kebe-basan yang sebebas-bebasnya setelah reformasi 1998– ternyata tak selalu benar. Kapitalisme Hollywood mengajar-kan apa saja halal dilakukan demi modal, diselimuti dalih kebebasan berekspresi, oleh AAC telah dikoreksi.

Meski persepsi telah sekian lama dibentuk media massa seperti koran, radio, TV, film dan sarana lain sejenis. Juga oleh wacana yang dikembangkan para pendukung kapitalisme yang punya akses dan kemampuan mendominasi wacana publik.

Dalam wacana ini lembaga per-kawinan hendak dicampakkan. Lelaki dan wanita silahkan naik ranjang bila sama menginginkannya. Pelacuran, lesbian, homoseksual dihalalkan, poligami diha-ramkan. Bukan pelacuran yang hakekat-nya memperdagangkan tubuh wanita tapi poligamilah yang merendahkan derajat wanita. Ajaran agama harus dipinggirkan karena tak toleran, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) digebuk beramai-ramai karena memfatwakan Ahmadiyah sesat, menentang pornografi dan pornoaksi.

Sebenarnya arus besar perlawanan pada sistem itu sudah berhasil terdeteksi oleh survei yang dilakukan WorldPublic Opinion.org bekerjasama dengan START Consortium dari University of Maryland (Amerika Serikat) yang dipublikasikan 23 April 2007. Survei itu menunjukkan, mayoritas responden Indonesia (53 per-sen) berpendapat wajib bagi negeri Islam menjalankan syariat Islam, dan mem-buang nilai-nilai Barat (requiring strict application of sharia law in every Islamic countries and keep western values out of Islamic countries). Mayoritas responden sependapat untuk memperluas peranan Islam di tengah masyarakat.

Jadi, bisa ditebak mereka itulah mayoritas pembaca novel atau penonton film Ayat-Ayat Cinta. Mereka itulah mayoritas rakyat kita yang tak memiliki akses ke media massa atau wacana publik. Sesungguhnya bila demokrasi berarti menuruti suara rakyat, sudah semestinya nilai-nilai Islam menjiwai seluruh un-dang-undang dan peraturan yang ada.

Pada kenyataannya, RUU Pornografi dan Pornoaksi mandeg di DPR. Video porno bisa dengan bebas beredar di mana-mana. Para penyanyi dengan suara se-adanya menjadi top asal berani ber-pakaian merangsang dan terampil meng-goyang-goyangkan pantat atau dada di atas pentas maupun layar televisi. Itu kebebasan berkreasi.

Jangan coba-coba protes, kalau tak ingin mengalami nasib seperti raja dang-dut Rhoma Irama. Karena marah pada Inul yang membawakan lagu-lagu cipta-annya sembari bergoyang ngebor, Raja Dangdut itu babak-belur dikeroyok media massa.

Slogan kebebasan berekspresi, kebe-basan berbicara, hak asasi manusia, kini, selama 10 tahun reformasi, merupakan mantera yang menggantikan pembangun-an atau Pancasila, slogan zaman Orde Baru. Dengan slogan kebebasan itu, ada-lah salah tindakan polisi di Desa Lamuru, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, meng-gerebek pertunjukan organ tunggal di se-buah pesta perkawinan.

Seperti disiarkan televisi Trans 7, pada 6 Mei malam lalu, enam penyanyi wanita organ tunggal itu berpakaian minim dan merangsang, menggoyang pantatnya me-nirukan penyanyi dangdut Dewi Persik. Mereka saling menindih, menirukan ade-gan orang bersenggama. Belum cukup, salah seorang di antara penari meng-gosok-gosokkan corong pengeras suara ‘maaf — persis ke alat kelaminnya.

Di bawah panggung terbuka itu, para penonton yang terdiri dari orang tua sampai anak kecil , laki atau perempuan, menyaksikan tarian erotis itu dengan mata tak berkedip sampai polisi datang menggerebek. Acara organ tunggal seperti ini bukan cuma di Desa Lamuru. Perik-salah, ia sudah menyebar di pedesaan hampir di seluruh Indonesia. Itulah hasil kebebasan berkreasi yang diberikan reformasi. Kebebasan di atas segalanya. Karenanya sejumlah pekerja film meng-gugat ke Mahkamah Konstitusi agar Badan Sensor Film dibubarkan.

Ikutilah acara debat di televisi tentang Ahmadiyah. Slogan seperti itu berham-buran. Mana mereka peduli banyak orang Islam yang merasa ajaran agamanya yang paling prinsip telah diinjak-injak oleh Ahmadiyah. Padahal pasal penodaan agama masih eksis di dalam sistem hukum kita. Pasal 1, Undang-undang nomor 1/PNPS/1965, berbunyi: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagama-an dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Orang tak usah menjadi doktor hukum untuk memahami bahwa dengan pasal itu jelas sekali orang-orang Ahmadiyah ter-ancam pidana 5 tahun penjara. Mestinya polisi atau jaksa mengusut dan menuntut mereka karena negara ini negara hukum. Apalagi, seperti diteriakkan Advokat Adnan Buyung Nasution di tahun 1970-an: “hukum harus ditegakkan sekali pun langit akan runtuh.”

Tapi itu Adnan Buyung dulu. Seka-rang, Buyung sampai lupa dia cuma salah seorang dari sekian banyak penasehat Presiden. Seenaknya tanpa melepaskan nama lembaga itu, ia berkampanye mem-bela Ahmadiyah dengan dalih demi kebe-basan beragama.

Dalam suatu debat di SCTV, Buyung tak bisa membantah serangan Munarman dari Forum Umat Islam dan salah seorang bekas pimpinan Yayasan Lembaga Ban-tuan Hukum Indonesia (YLBHI). Bahwa dulu Munarman dilarang menyeleng-garakan pengajian di YLBHI, sekali pun itu tak mengganggu pekerjaan. Munar-man dilarang melakukan demonstrasi ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakar-ta. Buyung adalah orang nomor satu di YLBHI. Kalau begitu, konsep kebebasan yang diyakini Buyung: semua boleh, semua halal, kecuali bikin pengajian dan mengkritisi Amerika Serikat. Jelas?

Karena prilaku orang liberal itu, di Amerika, Peter Schweizer, seorang kon-servatif, tiga tahun lalu menulis buku berjudul Do as I Say (Not as I Do). Laku-kan apa yang saya katakan, bukan yang saya lakukan. Buku itu mengulas bagai-mana kaum liberal di Amerika ngomong berbusa-busa tentang kebebasan tapi tak konsisten pada tingkah laku. Schweizer mengejek perilaku itu hipokrit.

Jadi kalau Buyung bicara kebebasan, ikutilah. Jangan ikuti ketika Buyung menindas kebebasan, seperti yang diung-kapkan Munarman. Artinya, kita pun beramai-ramai menjadi munafik.

Sudah tentu tulisan ini tidak anti-kebebasan. Tapi kebebasan yang diprak-tekkan di sini setelah reformasi 1998, telah kebablasan. Di mana pun di dunia ini kebebasan selalu ada batasnya. Demi kebebasan, Anda tak bisa menghina Gereja Anglikan di Inggris, atau Gereja Ortodoks di Yunani. Artinya, Anda tak bisa menggunakan kebebasan untuk me-nodai agama orang lain, seperti Ahmadi-yah di Indonesia.

Karena itu Undang-Undang Dasar kita membatasi kebebasan dengan undang-undang. Ada macam-macam kepentingan yang lebih besar termasuk kepentingan keamanan negara yang menyebabkan kebebasan itu harus terbatas.

Kalau kebebasan model Buyung dan kawan-kawan diikuti maka pecandu narkotik tak boleh dipidana. Mereka hanya merusak diri sendiri tidak meng-ganggu orang lain. Kalau dengan dalih kebebasan Anda biarkan anak kecil memegang pisau, siap-siaplah dengan mobil ambulans karena tak lama lagi anak itu akan melukai dirinya sendiri. Perdana Menteri Malaysia dulu, Mahathir Mo-hammad, sering berkata, “Kalau demi kebebasan Anda berlari telanjang di jalan umum polisi akan menangkap Anda.”

Profesor Irving Kristol, salah seorang tokoh terpenting kelompok Neo-Konser-vatif (Neokon) Amerika pada 1995 menulis artikel bahwa pornografi dan kecabulan tidak untuk dipertontonkan di depan umum. Karena dalam urusan seks manusia melakukannya tidak di depan umum. Itu membedakannya dengan binatang. Maka tulisnya, “Kalau Anda peduli pada kualitas hidup di dalam demokrasi Amerika, Anda membutuhkan badan sensor.” Dalam konteks ini wajar polisi menggerebek organ tunggal di Bone itu.

Gubernur New York Eliot Spitzer mundur dari jabatannya setelah polisi federal FBI membongkar jaringan pela-curan tingkat atas, Emperor, di Washing-ton, Maret lalu. Ternyata Sang Gubernur terdaftar di Emperor sebagai klien nomor 9. Ia tampil di depan tv bersama istrinya, minta maaf kepada masyarakat, lalu mundur sebagai Gubernur.

Pada awal April lalu, polisi meng-gerebek pemukiman sekelompok orang Mormon di Eldorado, Texas, yang mela-kukan poligami. Polisi menuduh per-buatan itu melanggar hukum. Lebih 400 anak hasil perkawinan itu dipisahkan polisi dari orang tuanya.

Kalau pakai kacamata Buyung dan kawan-kawan sealiran, jelas itu pelang-garan kebebasan beragama dan HAM. Soalnya, mereka itu melakukan poligami dengan sukarela tanpa paksaan sesuai? ajaran agama yang mereka yakini. Apa beda mereka dengan Ahmadiyah? Cek ke sana, berapa banyak sudah orang Mor-mon yang mendekam di penjara Amerika karena poligami.

Di Perancis, pertengahan April lalu, Parlemen mengesahkan undang-undang yang melarang mempromosikan ano-rexia di internet, majalah, koran, atau di mana saja. Ancaman hukumannya 2 tahun penjara. Anorexia adalah gaya hidup mendambakan tubuh yang amat kurus dengan mengatur cara makan yang dianggap membahayakan kesehatan.

Gaya hidup ini diikuti banyak selebritis, diperkenalkan di Amerika Seri-kat di tahun 2000, lalu menyebar ke Eropa. Mereka memuja selebritis ceking semacam Nicole Richie dan Victoria Beckham, penyanyi grup Spice Girls dan istri pemain sepakbola terkenal Inggris, David Beckham. “Menasehati gadis-gadis bagaimana cara memilih makanan yang gampang dimuntahkan bukanlah kebe-basan berekspresi,” kata Roselyne Bachelot, Menteri Kesehatan Perancis di depan Parlemen. Lho, orang memilih makanan kenapa dipenjarakan? Bukan-kah Perancis negara paling bebas di Eropa?

Ternyata mata kita di sini yang sudah silau oleh slogan kebebasan tanpa batas yang dipromosikan Adnan Buyung dan kawan-kawan sejak reformasi 1998. Kita terjebak pada sistem demokrasi politik liberal dan ekonomi kapitalisme dalam bentuk yang ekstrem, yang menyebabkan negeri ini terpuruk.

Betapa tidak? Indonesia termasuk dalam daftar 60 negara gagal (failed states) tahun 2007 yang dibuat Majalah Foreign Policy bekerja sama dengan badan think-tank Amerika, the Fund for Peace. Indonesia yang di tahun 1990-an digolongkan salah satu calon macan Asia bersama Singapore, Malaysia, dan Korea Selatan, sekarang sejajar dengan negara gagal Somalia, Irak, Afghanistan, Zim-babwe, Ethiopia, atau Haiti. Di negeri itu tentu termasuk Indonesia Pemerintah Pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonominya merosot.

Dalam indeks pembangunan manusia (Human Development Index) yang dibuat badan PBB, UNDP, Indonesia menduduki peringkat 107 dari 177 negara. Kita jauh di bawah Singapore, Arab Saudi, Malaysia, atau Thailand. Malah Indonesia berada di bawah Filipina, Vietnam, Palestina atau Srilangka. Padahal Srilangka itu negeri rusuh karena pemberontakan Macan Tamil dan Palestina, tahu sendirilah keadaan negeri yang dijajah Israel itu. Apalagi yang bisa dibanggakan dari negeri seperti ini?

Banyak aktivis perempuan di sini mengejek-ejek wanita Arab Saudi kema-na-mana pakai jilbab, menyetir mobil saja dilarang. Padahal menurut Human Development Index, sekitar 60 persen wanita negeri itu tamat S1, setara dengan kaum wanita Amerika Serikat. Jangan bandingkan dengan wanita kita. Itu seperti langit dengan bumi.

Inilah negeri dengan nyaris separuh penduduknya (49 persen lebih) hidup di bawah 2 dollar/hari (Rp 18.000). Tak aneh ketika kini harga bahan pangan melonjak banyak penduduk makan nasi aking atau terpaksa sakit kurang gizi lalu mati kelaparan. Antrian panjang untuk minyak tanah, beras murah, minyak goreng, bukan pemandangan yang asing. Tapi di sini pula kekayaan konglome-ratnya bisa melompat empat kali lipat dalam setahun, seakan memiliki lampu Aladin.

Di mana pun sistem laissez-faire kapitalisme telah terbukti hanya meman-jakan orang kaya, memelaratkan orang miskin, termasuk di Amerika Serikat. Belakangan, tak sedikit buku ditulis di sana meratapi atau mencaci-maki sistem kapitalisme karena menyebabkan orang kaya Amerika terus tambah kaya, sedang kelompok menengah dan miskin stagnan atau malah tambah miskin. Meningkat-nya produktivitas, pertumbuhan eko-nomi, yang dibangga-banggakan selama ini, ternyata hanya representasi dari orang-orang kaya.

Teori trickle-down effect yang men-janjikan harta orang kaya akan menetes kepada orang miskin, ternyata hanya mitos untuk menina-bobokkan orang miskin. Sesuatu yang tak pernah terjadi. Itu jadi bahan perdebatan hangat setelah sekarang Amerika dilanda krisis ekonomi yang hebat.

Harga minyak dunia melejit 120 dollar/barel, Pemerintah kita pun kebi-ngungan dan bersiap menaikkah harga. Soalnya, produksi minyak hanya 900.000 barel/hari, sementara kebutuhan 1,3 juta barel. Dulu setiap harga minyak dunia naik, Pemerintah bergembira-ria sebab mendapat rezeki bonanza minyak. Waktu itu, produksi minyak Indonesia 1,6 juta barel/hari, pemakaian dalam negeri cuma 900.000 barel. Banyak sisa bisa diekspor guna menuai dollar.

Sudah habiskah minyak dari bumi kita? Tidak, kata DR Kurtubi, ahli perminyakan itu. Yang terjadi, Undang-Undang Migas kita tak menarik bagi investor melakukan eksplorasi. Pertami-na tak mampu mengambil peran karena sistem ekonomi kapitalisme yang kita anut, menyebabkan perusahaan minyak Pemerintah yang dulu perkasa itu, kini sudah dilumpuhkan.

Mau tahu kehebatan pemerintahan setelah reformasi? Menjual BUMN. Sambil mengeluh bahwa berbagai masa-lah yang mereka hadapi adalah warisan Orde Baru, mereka pun melego BUMN-BUMN peninggalan Orde Baru. Sarang korupsilah, tak efisienlah, dan berbagai dalih lain dijadikan alasan. Padahal yang sesungguhnya penjualan itu karena disuruh Bank Dunia dan IMF, operator kapitalisme global.

Tragisnya, ketika sekarang Pemerin-tah lagi mengobral 37 BUMN, di dunia internasional BUMN lagi perkasa. BUMN dari Timur Tengah, Norwegia, China dan Singapore sibuk memborong saham peru-sahaan besar Amerika yang lagi sem-poyongan diterpa krisis. Sekarang, BUMN itu mengontrol investasi senilai 2,5 triliun dollar. Menurut studi dari Morgan Stanley, dalam sepuluh tahun ke depan investasi mereka akan membengkak 17,5 triliun dollar. Ketika itu, mereka akan menjadi pemain penting dalam kancah ekonomi dunia (lihat artikel Steven R.Weisman, The New York Times, 20 Oktober 2007). Betul-betul tragis.

Bulog yang dulu berperan penting menjaga stabilitas pangan telah diman-dulkan. Maka Pemerintah tak lagi peduli produksi pangan mencukupi atau tidak. Kalau beras kurang, lakukan impor. Maka beras, jagung, kedelai, daging, buah-buahan, bahkan garam, semua diimpor. Begitulah ajaran kapitalisme.

Sekarang harga pangan dunia melon-jak hampir dua kali lipat. Pasokan pangan tak mencukupi, sehingga negeri-negeri miskin, menurut PBB, terancam kela-paran sekaligus kerusuhan. Galibnya memang tak ada negeri yang aman kalau rakyatnya kelaparan. Karenanya banyak negara produsen beras sibuk menimbun stok, demi perut rakyat sendiri.

Editorial koran The New York Times, 10 April 2008, mendaftar Indonesia seba-gai salah satu negara yang terancam kerusuhan karena kelangkaan pangan. Huru-hara telah meletus di Mesir, Kame-run, Haiti, Pakistan, Bangladesh, Yaman, Senegal, Meksiko, dan terakhir? Somalia. Tak sedikit korban jiwa telah jatuh. Di Haiti, perdana menteri sudah dilengser-kan untuk meredam kemarahan rakyat yang lapar. Bagaimana Indonesia? Kita lihatlah dua-tiga bulan mendatang, ketika musim paceklik tiba. [red/www.suara-islam.com]

4 thoughts on “Negeri Liberal Menunggu Musim Paceklik

  1. sebenarnya saya sudah bosan dan mungkin muak membaca wacana ambruk nya indonesia,…bobrok nya bangsa ini, betapa menyedihkannya negara yang kita cintai ini,…

    kita dijajah olh bangsa sendiri, olh penguasa yang korup, legislatif yg sontoloyo, oleh kepemimpinan sby yg sangat lemah, karena ingin menyenangkan semua pihak, alias PENAKUT terhadap masalah real.

    kalau anda berani, kalau kita berani, kalau seluruh rakyat menyadari dan mau melakukan perubahan,…MARILAH KITA lakukan gerakan perubahan mulai dari diri kita sendiri,…

    jangan hiraukan dulu para penguasa bejat itu,…para rezim tiran penghina rakyat,…mari kita peduli dengan tindakan nyata terhadap lingkungan sekitar kita,..kita rebut hati rakyat dngan tindakan nyata

    REVOLUSI,….mengapa tidak ?

  2. in my opinion, what we have to do now is action. An action that gives us a glory. By doing this, we’ll either win, or die as the true men.

    Because…
    We’ll never be asked, “Why were you beaten?” but “What have you done?”

    DO THIS ACTION RIGHT AWAY THEN!

  3. Hemmmm….gemes juga membaca “kebobrokan” di negeri kita, nah sekarang kira-kira apa solusi yang terbaik untuk mengatasi atau minimal-meminimalisir dampak dari semua itu…………? pasti ada yang dapat di mulai dan dimulai dari hal-hal kecil…?

  4. negara ini gak sehancur apa yg anda tuduhkan. cm hancur banget. hukum alam yg brlaku saat ini. yang kuat akan brtahan, dan yg lemah akan mati. tp sperti apa yg dikatakan wapres ucup kelik bahwa angka kemiskinan kita menurun!! menurun kepada anak cucunya. para kritikus tak lebih dr pengumpul artikel untuk mmbuat teori konspirasi tanpa aksi. sejak dulu komentator sepakbola selalu lebih pintar daripada pemain bolanya.

Comments are closed.