Sunday, 19 May 2024, 07:56

Aku anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua kakakku perempuan dan adikku laki-laki. Hidup dengan kondisi miskin dan serba kekurangan memang bukan pilihan hidup yang enak bagi kami sekeluarga. Tapi, itulah kondisi yang kami hadapi dari dulu.

Kemiskinan selalu dekat dengan kami, apalagi setelah bapak yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Bapak terserang stroke sampai akhirnya meninggal dengan tanggungan hutang cukup besar bagi kami. Itu wajar, mengingat biaya perawatan bapak ditanggung dari hutang? juga kebutuhan sehari-hari kami selama bapak sakit.

Setelah bapak pergi, cobaan seolah-olah datang silih berganti. Jangankan hutang untuk biaya perawatan bapak yang sampai kini belum terbayar (walau hampir 5 tahun berlalu), untuk bisa makan sehari-haripun rasanya menjadi barang mewah bagi kami. Hari ini makan, besok… entahlah dari mana kami bisa mendapatkannya.

Meninggalnya bapak membuat kami harus memutar otak. Berpikir keras guna bertahan hidup, melanjutkan sisa umur yang ditakdirkan Allah untuk kami sekeluarga. Ibu yang selama ini menjadi ibu rumah tangga akhirnya harus bekerja mencari nafkah dengan mencuci baju tetangga dibantu kakak keduaku dengan honor tak seberapa, sedangkan kakak pertamaku yang menjadi sandaran utama nafkah keluarga berusaha dengan mengajar TPA dan menawarkan jasa les privat.

Ancaman dari adik

Sebenarnya sudah banyak upaya yang kami tempuh, berjuang menghadapi kerasnya hidup ini.? Berjualan sayuran segar pernah menjadi pilihan kami sebagai upaya datangnya rejeki Allah. Namun akhirnya tidak kami lanjutkan karena risiko terlalu besar, sayuran cepat layu sehingga tidak laku jual.? Sempat juga berjualan jajanan anak-anak mengingat banyak anak kecil di sekitar rumah. Permen, snack, mainan anak-anak menjadi bagian dagangan kami. Kembali usaha ini gagal, jajanan lebih banyak dimakan adikku daripada terjual. Bukan untung yang kami dapat, tapi buntung. Tawaran modal dari teman baik untuk membuka usaha juga pernah kami dapatkan. Namun modal ini pun akhirnya nggak bisa dipakai untuk usaha karena terpakai untuk isi perut, mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Kondisi fisik rumah juga nggak bisa dibilang layak huni. Mungkin lebih tepat disebut gubuk yang kami huni sebagian berdindingkan batu bata, sebagian lagi anyaman bambu. Di dalam rumah kami juga tidak sepenuhnya merasa terlindungi, tikus dengan mudah keluar masuk dari dinding rumah yang sudah berlubang. Hujan turun, kilat menyambar lebih mengkhawatirkan kami sekeluarga. Mengungsi ke tetangga sebelah menjadi pilihan kami, karena khawatir rumah roboh.

Adik laki-lakiku yang seharusnya bisa menjadi tulang punggung keluarga juga tidak bisa diharapkan, bahkan menjadi ancaman bagi kami. Sewaktu kecil adikku pernah mengalami kejang hebat dan ternyata ada efeknya sampai sekarang walau sudah berumur 18 tahun. Aku nggak tahu apa yang terjadi. Kata seorang temen, ada bagian syaraf adikku yang kurang berfungsi dengan baik. Yang jelas dia agak berbeda dengan teman-teman seusianya. Saudaraku lebih suka bermain dengan anak berusia 5 tahun dibanding dengan sebayanya.

Kalau punya keinginan harus dituruti. Kalau tidak…jadi ancaman bagi kami sekeluarga. Memukul, mengancam, gedor-gedor pintu, membanting apa saja perabotan di rumah, dan sederet aksi lainnya yang akhirnya membuat kami harus memenuhi keinginannya dan nggak bisa ditunda-tunda lagi. Nggak ada yang bisa menghentikan ulahnya, termasuk ibuku, karena kami berempat semuanya perempuan. Terus terang, kami merasa jauh lebih aman ketika adikku lagi main di luar rumah daripada berada di rumah.

Sebagai keluarga miskin kami merasa terkucil dari lingkungan masyarakat maupun keluarga besar. Aku pikir… mungkin ini efek hidup di zaman kapitalis. Ada uang kami disayang, nggak ada uang kami dibuang. Kami merasa hidup terpisah dari hingar bingarnya kehidupan kota. Terseok-seok, tertatih-tatih menghadapi hidup yang berat diantara sekumpulan manusia yang bisa tersenyum sambil menikmati berbagai makanan ala resto, jjs ke mall dan kenikmatan hidup lainnya. Keluarga besar juga tidak bisa kami harapkan bantuannya. Mereka seolah buta, tuli, terhadap penderitaan kami.? Nggak ada uluran tangan yang bisa kami harapkan dari keluarga besar.? Bahkan mereka selalu berusaha menekan kami agar segera melunasi hutang-hutang untuk biaya berobat? almarhum bapak. Sempat terpikir olehku Seandainya aku meninggal dalam kecelakaan, mengkin aku bisa membantu meringankan beban keluarga dari uang jasa raharja” Yah… itu pikiran konyol digaris batas kesabaranku menghadapi hidup yang berat.

Aku sakit

Penderitaan ini terasa tiada akhir. Sakit yang kualami seakan melengkapi beban penderitaan yang harus kami tanggung sendiri. Aku lupa sejak kapan rasa sakit ini singgah didiriku. Kata dokter, aku sakit kelenjar getah bening dan entah apa lagi yang aku juga tidak tahu. Tapi yang jelas aku sering merasa pusing berat. Obat-obatan yang biasa dijual di warung tak sanggup mengusir? rasa pusing ini.

Aku nggak tahu lagi bagaimana harus mengobatinya. Untuk berobat terlalu muluk bagiku. Jangankan berobat, mencukupi kebutuhan makan saja bagaikanpuasa senin kamis”. Aku nggak tahu, penyakit apa yang bercokol dalam tubuhku ini. Aku ngerasa nggak bisa bekerja karena sering capek. Badanku cepat lelah, lemas, terasa mau pingsan.

Tapi, aku masih bersyukur punya keluarga yang baik. Karena sakitku ini, untuk pekerjaan di rumah diselesaikan kakak dan ibuku. Aku tidak perlu mencuci baju, setrika dan masak, semua sudah dikerjakan kakak dan ibu. Merekalah yang membuatku masih bisa bertahan, tertatih-tatih menghadapi hidup yang berat.

Lantunan doa tiada pernah pupus kami sekeluarga panjatkan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Ya Allah kami bersyukur, walaupun kami miskin tapi kami tidak miskin iman. Itu sumber kekuatan kami. Alhamdulillah, kami sekeluarga termasuk pengemban dakwah Islam. Mengaji, mendakwahkan Islam kepada masyarakat adalah pekerjaan berat namun terpuji. Tapi kami yakin, kalau kami menolong agama Allah, Allah lah yang akan menolong dan melindungi kami.

Semoga kami bisa bertahan dengan menjadikan dalwah Islam sebagai bagian dari kehidupan kami. Semoga Engkau jadikan kami orang-orang mulia yang selalu mengagungkan asma-Mu, selalu taat kepada perintah-Mu dan jauh dari keputusasaan. [seperti yang dituturkan Rifa kepada Sobat Muda]

[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda, edisi Mei 2005]

2 thoughts on “Kemiskinan Selalu Membelitku

  1. sungguh mengharukan.. aku pikir akulah orang yang paling menderita di dunia ini… tapi ternyata masih banyak orang yang lebih dari pada aku… 2 hal yang harus selalu ada dalam diri kita yaitu kesadaran dan kesabaran. semoga Allah selalu melindungi kita semua. amiennn

  2. Ingatlah,, bahwasannya ALLAH tidak pernah mentakdirkan keburukan kepada hamba-Nya.. yang terjadi adalah yang terbaik.. harus disyukuri apapun yang terjadi.. jangan jadikan kesenangan dunia sebagai tujuan hidup..
    Semangat ya saudariku… Semoga ALLAH memudahkan segala urusanmu..
    AMiin,, ^__^

Comments are closed.