Tuesday, 2 December 2025, 16:49
900916_1200

gaulislam edisi 945/tahun ke-19 (10 Jumadil Akhir 1447 H/ 1 Desember 2025)

Bencana besar di Sumatera ini bukan cuma trending topic, tapi tragedi nyata: lebih dari 600 orang meninggal, ratusan hilang, ratusan ribu mengungsi, dan jutaan terdampak. Angkanya bikin dada sesak, apalagi kalo lihat kisah-kisah warganya: ada yang kehilangan rumah, ada yang kehilangan keluarga, bahkan ada yang harus minum air hujan karena stok air bersih tidak ada.

Tapi di balik itu semua, kita kadang hanya bisa mengeluh pelan: “Ya Allah… kok bisa separah ini?” Dan sayangnya, pertanyaan itu sering dijawab dengan jawaban template:

“Ini karena curah hujan ekstrem, ada siklon, ada fenomena meteorologi bla-bla-bla.”

Oke, itu benar. Tapi masa semua salah hujan? Apa iya yang turun dari langit yang selalu disalahin? Padahal faktanya, hujan cuma turun—yang bikin kacau adalah apa yang sebagian dari kita lakukan sebelum hujan turun.

Sambil kita ikut sedih dan berempati kepada para korban, ada baiknya kita mulai mikir: Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bencana makin sering, makin parah, dan makin bikin pusing kepala? Dan yang paling penting: solusi sebenarnya itu seperti apa? Sebab, kalo setiap tahun kita cuma bisa bilang, “Semoga tahun depan lebih baik,” tapi hutan terus digunduli, sungai terus disempitkan, dan pejabat terus sibuk foto-foto pakai rompi oranye di lokasi bencana… ya siap-siap aja tahun depan kita baca berita yang sama lagi. Tapi, jangan sampe, deh!

Tulisan ini bukan buat nyalah-nyalahin doang, tapi buat ngajak kita mikir lebih dalam: tentang alam, tentang manusia, tentang tanggung jawab, dan tentang Islam sebagai sistem hidup yang sebenarnya punya aturan lengkap banget tentang menjaga bumi.

Serius, bukan cuma larangan buang sampah sembarangan. Tapi sampai hal teknis kayak tata kelola hutan, hak masyarakat, sampai tanggung jawab penguasa dalam memastikan rakyat aman dari bencana. Mengapa harus begitu? Karena kalo bencana terus terjadi dan solusinya cuma “bagi-bagi bantuan”, itu namanya bukan solusi, tapi damage control. Dan kita butuh more than that.

Warning!

Sobat gaulislam, ketika melihat berita tentang banjir dan longsor di Sumatera, yang muncul di media biasanya cuma angka: berapa yang meninggal, berapa yang hilang, berapa ribu rumah terendam. Angka-angka itu penting, tapi dingin. Seperti nilai ujian matematika yang tidak bercerita apa-apa tentang kerasnya perjuangan belajar. Padahal di balik angka-angka itu ada realita lapangan yang lebih parah, lebih rumit, dan lebih menampar.

Banjir ini bukan banjir biasa. Ini bukan banjir tahunan yang sudah diprediksi warga, seperti kalo hujan sedikit langsung panik takut kasur basah. Ini banjir ekstrim dari hujan ekstrim akibat fenomena cuaca langka bernama Siklon Senyar. Tapi ingat, cuaca cuma pemicu. Sebab, yang membuat bencana membesar adalah sistem yang sudah lama rapuh, seperti rumah yang dari luar terlihat kokoh, tapi sekali ditepuk malah ambrol.

Apa saja pemicu banjir bandang di Sumatera ini? Mari kita bahas satu per satu. Pertama, infrastruktur yang tumbuh cepat tapi tidak tumbuh kuat. Selama bertahun-tahun, pembangunan jalan, jembatan, kavling perumahan, dan fasilitas publik berjalan kencang—tapi tidak semuanya dilakukan dengan perencanaan matang. Banyak infrastruktur dibangun tanpa memperhitungkan drainase jangka panjang, curah hujan ekstrem, atau kondisi tanah.

Itu sebabnya ketika air bah datang, bukan hanya rumah warga yang hanyut—jembatan pun ikut ‘angkat kaki’. Jalan terputus, akses logistik terhambat, dan bantuan jadi terlambat masuk. Ada beberapa jembatan yang padahal masih ‘muda’, tapi roboh seperti kerupuk yang kena kuah panas.

Kejadian ini menunjukkan bahwa pembangunan fisik yang cepat tidak selalu diiringi kualitas dan pengawasan yang kuat. Ini bukan soal menyalahkan pekerja lapangan—mereka hanya menjalankan proyek. Masalahnya ada pada sistem tender, pengawasan, dan prioritas anggaran yang sering lebih sibuk membuat proyek terlihat ‘instagramable’ dibanding memastikan kekuatan strukturnya.

Kedua, sungai yang semakin dangkal dan menyempit. Dalam banyak video warga, terlihat sungai yang airnya meluap seperti sedang marah besar. Tapi coba kita tengok penyebabnya. Sungai-sungai itu sudah sejak lama mengalami sedimentasi berat—penumpukan lumpur akibat erosi tanah di hulu yang kehilangan pepohonan. Jadi volume air yang bisa ditampung makin sedikit. Belum lagi tebing sungai ‘digerogoti’ oleh bangunan liar atau dibiarkan menyempit oleh aktivitas ekonomi. Akhirnya, begitu debit air meningkat, sungai tidak punya pilihan selain muntah ke pemukiman.

Bayangkan kamu punya botol yang lubangnya disempitkan. Isi air sedikit oke, tapi sedikit saja lebih banyak langsung tumpah. Itulah kondisi sungai yang dipaksa menampung debit besar tanpa ruang.

Ketiga, hutan Gunung Lonsong dan sekitarnya menyusut drastis. Salah satu faktor kunci bencana kali ini adalah kerusakan hutan di kawasan Gunung Lonsong. Hutan itu bukan cuma tempat selfie atau ngadem. Fungsinya vital: menyerap air, menahan tanah, menstabilkan lereng, dan memainkan peran besar dalam mencegah longsor.

Ketika tutupan hutan hilang—diganti dengan kebun besar, pertanian, atau pembukaan lahan—tanah jadi rapuh. Air hujan tidak diserap dengan baik. Lereng kehilangan penjaga. Hasilnya: banjir bandang, longsor, dan lumpur tebal yang mengubur rumah.

Data lapangan menunjukkan: Puluhan titik longsor terjadi bersamaan. Luapan lumpur sangat tebal, hingga ada rumah yang tertimbun sampai atap. Material kayu dan batang pohon terbawa arus, menjadi bukti bisu bahwa hutan di atas sudah bolong. Ini memperkuat pesan bahwa bencana besar selalu dimulai dari kerusakan yang diabaikan selama bertahun-tahun.

Keempat, tambang dan perkebunan sawit. Ini jejak yang sulit dibantah. Kita tidak akan menggeneralisasi bahwa semua tambang dan kebun sawit jahat. Tidak. Tetapi fakta di lapangan memperlihatkan pola yang terlalu mirip untuk dianggap kebetulan.

Di banyak lokasi banjir besar di Sumatera: ada bekas galian tambang yang dibiarkan menganga, ada areal hutan yang hilang untuk perluasan kebun, ada jalan tambang yang memotong jalur air alami, ada bukit yang digunduli tanpa reklamasi ulang.

Itu artinya, ketika musim hujan tiba: tanah jadi licin, air mengalir tanpa tertahan, lumpur turun bebas dari bukit-bukit gundul. “Alam balas dendam” adalah frasa yang sering muncul. Tapi sebenarnya bukan alam yang balas dendam—kita sendiri yang melanggar hukum dasarnya, lalu terkena efek baliknya.

Kelima, kesiapsiagaan yang tidak siap. Dalam teori penanggulangan bencana, ada tiga kata kunci: mitigasi, kesiapsiagaan, dan respon. Sayangnya, banyak daerah baru bergerak di poin ketiga: setelah bencana sudah terjadi.

Warga sekitar sungai dan lereng bukit mengaku mereka tidak pernah mendapat peringatan dini yang jelas. Padahal hujan deras sudah berlangsung berjam-jam. Banyak yang baru berlari ketika air sudah masuk rumah. Ada yang baru sadar bahaya ketika mendengar suara gemuruh dari hulu.

Bahkan beberapa tempat pengungsian tidak memiliki: sanitasi layak, suplai logistik teratur, akses kesehatan memadai. Itu sebabnya ada ibu-ibu yang harus mengasuh anak di tengah lumpur, ada lansia yang menggigil kedinginan, ada bayi yang kekurangan susu. Ini bukan sekadar ‘kurang siap’—ini sistem yang perlu dibenahi serius.

Keenam, bantuan terhambat tersebab jalan putus dan jembatan hilang. Banjir besar di Sumatera seperti membuat puluhan desa menjadi pulau-pulau terpisah. Jalan banyak yang hilang, amblas, tertutup lumpur tebal, atau putus sama sekali. Jembatan pun banyak runtuh.

Akibatnya? Bantuan nasi bungkus datang terlambat, obat-obatan tidak sampai tepat waktu, evakuasi jenazah terhambat, anak-anak dan lansia yang sakit harus menunggu berjam-jam. Ada relawan yang akhirnya berjalan kaki berkilometer-kilometer sambil memikul logistik di pundak karena kendaraan tidak bisa lewat. Ada yang harus memakai perahu rakitan dari galon air atau papan kayu.

Sementara itu, sebagian berita malah berminat menyorot “warga panik ambil barang dari mobil bantuan”—padahal konteksnya lapar, gelap, basah, dan tidak ada kepastian kapan logistik datang lagi.

Ketujuh, ini soal ironi. Ya, yang hilang bukan hanya rumah dan nyawa, tapi masa depan bagi yang selamat dari bencana. Di salah satu video, terlihat anak SMA sedang menyelamatkan tumpukan buku catatan dan seragam sekolah yang penuh lumpur. Ada anak kecil yang memegang satu-satunya mainan yang tersisa. Ada bapak-bapak yang berdiri menatap fondasi rumahnya yang sudah hilang.

Bencana bukan cuma kehilangan tempat tinggal. Itu kehilangan: memori masa kecil, tabungan bertahun-tahun, rencana sekolah, usaha kecil yang baru dirintis, dan rasa aman. Selain itu, untuk banyak keluarga, memulai hidup dari nol itu nyata—bukan motivasi di seminar, tapi kenyataan pahit.

Harus bagaimana?

Oke, sekarang fase paling penting: solusi. Biasanya kalo sudah ngomongin bencana, ada dua reaksi yang sering muncul:

“Ya udah lah, mau gimana lagi… namanya juga musibah.”

“Ini karena kita kurang jaga lingkungan! Yuk mulai dari diri sendiri!”

Keduanya bisa dipahami, tapi… nggak cukup.

Kok gitu? Iya, karena jujur aja, kalo masalahnya sistemik, solusinya juga harus sistemik. Bukan cuma sekadar buang sampah pada tempatnya—itu penting, tapi itu level individu. Padahal yang rusak sekarang itu level hulu sampai hilir, dari kebijakan sampai pengawasan.

Dan di sinilah Islam hadir bukan sekadar sebagai agama ritual, tapi sebagai cara hidup yang punya sistem lengkap—termasuk untuk urusan alam, hutan, sungai, izin tambang, dan pengelolaan bencana.

Itu sebabnya, mari kita bahas solusi Islam, tapi dengan bahasa yang gampang dicerna remaja.

Pertama, Islam mengharuskan negara menjaga lingkungan. Bukan sekadar mbauan. Dalam Islam, alam itu amanah yang harus dijaga. Tapi bukan hanya warga yang diminta sadar lingkungan, tapi pemimpin wajib: melindungi hutan, mengawasi izin, menghukum siapa saja yang merusak, memastikan sungai aman, mengatur tata ruang dengan benar.

Ini bukan anjuran, tapi kewajiban penguasa. Kalo dalam bahasa remaja: “Negara itu kayak ketua kelas. Kalo kelas rusuh, nggak bisa nyalahin murid doang. Ketua kelas harus turun tangan beresin.”

Begitu juga negara dalam Islam: kalo hutan rusak, sungai dangkal, tambang yang ngawur dalam eksplorasinya, maka pemimpin yang bertanggung jawab memperbaiki.

Kedua, hutan itu milik umum, tapi negara bertanggung jawab mengelolanya. Artinya, nggak boleh dijual ke korporasi semaunya dan semuanya. Ini poin penting banget. Dalam Islam, hutan, air, sungai, padang rumput, dan sumber daya besar lainnya adalah milik umum. Artinya: nggak boleh dikuasai segelintir orang, nggak boleh dijual ke investor, nggak boleh hanya menguntungkan satu kelompok, dan negara wajib mengelolanya untuk kepentingan rakyat, bukan pasar.

Kok begitu? Ya, karena kalo milik publik dikasih ke swasta besar, ya akhirnya jadi begini: hutan gundul, sungai menyempit, tambang ditinggal nganga, alih fungsi hutan, rakyat jadi korban. Nah, dalam hal ini, Islam tegas. Sumber daya besar itu adalah hak rakyat, bukan komoditas bisnis.

Ketiga, Islam menetapkan aturan ketat izin lahan. Nggak bisa lagi asal teken, asal cair. Bahaya. Sebab, di Indonesia hari ini, izin lahan bisa sangat mudah keluar. Kadang cepatnya sampai bikin curiga: ini izin atau flash sale?

Tapi dalam Islam, izin membuka hutan atau menggali tambang: harus sangat ketat, mempertimbangkan dampak jangka panjang, wajib ada pengawasan langsung negara, dan kalo merusak maka izinnya dicabut plus pelakunya dihukum.

Islam nggak main-main dalam urusan kerusakan lingkungan. Kerusakan alam itu jarimah (kejahatan) yang bisa diberi sanksi tegas. Nah, kalo pakai bahasa remaja. Nggak ada istilah yang penting cuan, Bro. Aturan aturan, batasan, dan sanksinya bagi yang melanggar.

Keempat, mitigasi bencana itu kewajiban penguasa, bukan beban warga. Dalam Islam, negara wajib: memetakan daerah rawan banjir/longsor, membangun penghalang alam (hutan lindung, terasering, sabuk hijau), memperdalam sungai, memperkuat jembatan, memberi edukasi, menyediakan early warning system, dan menyiapkan logistik cadangan sebelum bencana terjadi. Jadi bukan nunggu bencana dulu, baru semua bingung dan sibuk bikin konferensi pers. Jadi, kalo menurut sudut pandang Islam, sistemnya harus mendesain negara untuk proaktif, bukan reaktif.

Kelima, dalam Islam, anggaran bencana itu diprioritaskan. Bukan dipotong untuk hal-hal unfaedah macam urusan perjalanan pejabat yang nggak ada hubungannya dengan pekerjaannya. Atau hamburkan duit nggak jelas peruntukannya.

Negara dalam sistem Islam punya sumber pendapatan yang stabil untuk: pembangunan, infrastruktur, kesiapsiagaan bencana. Dananya bukan dari utang luar negeri, bukan dari investor yang minta konsesi, tapi dari: fa’i, kharaj, jizyah, pengelolaan milik umum, zakat untuk mustahik, pengelolaan sumber daya alam secara langsung oleh negara.

Itu sebabnya negara bisa berdiri tegak tanpa harus mencabut aturan demi investor. Jadi, lingkungan bisa dilindungi dengan serius karena negara nggak bergantung pada sponsor (baca: oligarki).

Keenam, Islam mencegah kerusakan sebelum terjadi. Ini kunci utama. Ayat yang sering banget dikutip, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi.” (QS al-A’raf [7]: 56)

Termasuk surah ar-Ruum ayat 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ini bukan sekadar slogan. Ini prinsip besar: segala kebijakan negara harus memastikan tidak menyebabkan kerusakan jangka pendek maupun panjang. Artinya: membuka hutan tanpa pertimbangan itu dilarang banget, membiarkan sungai dipersempit pasti akan dilarang, membangun tanpa analisis risiko bakalan dilarang juga, membiarkan tambang tanpa reklamasi tentu aja dilarang, merusak air dan tanah pasti dilarang.

Jadi, kebijakan publik dalam Islam itu harus punya dua karakter: menjaga keberlanjutan bumi, dan menjamin keselamatan manusia. Catet.

Ketujuh, Islam melahirkan budaya tanggung jawab. Ya, sistem Islam itu bukan cuma ngurus struktur negara. Ia juga membentuk watak masyarakat yang cinta kebersihan, menjaga amanah, dan peduli lingkungan.

Sobat gaulislam, Islam mengajarkan: jangan buang sampah sembarangan, jangan menebang pohon tanpa sebab, jangan mengotori sungai, jangan menyakiti makhluk hidup, jangan merusak bumi. Budaya ini bukan sekadar kampanye, tapi jadi cara hidup. Masyarakat terbiasa menjaga lingkungan bukan karena takut denda, tapi karena cinta pada alam sebagai ciptaan Allah.

Kedelapan, Islam mengikat pemimpin secara akhirat. Nah, ini faktor yang sering dilupakan. Dalam sistem Islam, pemimpin sadar bahwa: setiap izin, setiap pohon yang ditebang, setiap kebijakan yang salah, setiap rakyat yang terdampak, semuanya akan Allah mintai pertanggungjawaban. Kalo salah? Ya disiksa.

Itu sebabnya, pemimpin dalam Islam takut untuk teledor. Why? Karena salah satu doa yang paling ditakuti (mestinya) adalah doa dari Rasulllah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR Muslim)

Dan “menzalimi rakyat dengan membiarkan bencana yang seharusnya bisa dicegah” itu juga bentuk kezaliman.

Akhirul keyboard. Kalo remaja Indonesia hari ini diajak mikir: “Apa solusi banjir dan kerusakan lingkungan?” Rata-rata jawabannya: edukasi, sadar lingkungan, tanam pohon, kurangi plastik, kampanye.

Semua itu bagus, tapi belum cukup. Islam datang bukan cuma dengan ajakan,
tapi dengan sistem lengkap yang membuat alam terjaga karena negara berfungsi sebagai penjaga utama.

Kalo kita ingin banjir ekstrem tidak terus berulang, maka kita butuh solusi yang bukan tambalan, tapi mengembalikan cara kelola bumi sesuai aturan Allah. Karena pada akhirnya: jika manusia patuh, bumi ikut tenang. Jika sistem adil, alam ikut stabil. Kalo aturan Allah ditegakkan, bencana bisa dicegah sejak akarnya. Semoga bisa memberikan kontribusi, walau hanya melalui tulisan ringkas ini. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *