Monday, 9 December 2024, 00:52

the-only-12-1-2-writing-rules-you-ll-ever-need.jpgDi tip sebelumnya (kalo nggak salah tip ke-4) saya udah menyinggung sedikit tentang pentingnya keakuratan sebuah data. Sebab, data yang bagus adalah penunjang yang oke dari sebuah argumentasi yang kita tuangkan dalam tulisan tersebut. Dalam menulis fiksi sekalipun adakalanya latar cerita harus sesuai dengan fakta. Jadi, jangan sampe ceritanya tentang California, tapi kulturnya Bandung. Itu namanya tulalit euy. Nah, dalam tulisan nonfiksi, data boleh dibilang sangat penting. Itu sebabnya, akurasinya kudu benar.Kalo kamu udah baca tip ke-4 dari kumpulan tip ini, insya Allah udah kebayang gimana caranya dapetin data yang akurat. Minimal ada gambaran dikit deh. Tul nggak? Nah, di sini saya akan lebih fokus untuk menekankan tentang pentingnya akurasi data dan cara menggalinya. Harapannya, tentu agar tulisan yang kita buat lebih berbobot.

Seorang filsuf dan ahli bahasa Cina, Lin Yutang, pernah ngasih komentar, “Untuk menjadi seorang penulis, Anda harus memiliki rasa ingin tahu tentang apa saja di sekeliling Anda, merasakan secara lebih mendalam dan lebih memahami tentang berbagai hal dibanding orang lain.”

Itu artinya, tulisan yang kaya dengan data dan tingkat akurasi yang tinggi, akan memberikan nilai lebih. Pembaca pun bukan saja merasa yakin dengan informasi yang didapatnya dari tulisan kita, juga berani untuk menjadikan segala data yang kita tuangkan sebagai rujukan.

Sobat muda muslim, akurasi data juga merupakan cermin bagi kredibilitas penulisnya. Itu sebabnya, informasi yang penting adalah informasi yang akurat dan jelas. Penulis dan pembaca punya keperluan yang berbeda, namun bisa bekerjasama. Iya dong, penulis nggak ada artinya tanpa pembaca, dan pembaca masuk dalam sebuah cerita denagn harapan besar bisa memahami semuanya. Tapi memang, tanggung jawab yang terbesar itu terletak pada penulis. Jika penulis mengkhianati harapan pembaca dengan membuat sejumlah kesalahan atau kekurang-tepatan, itu artinya doi merusak kerjasama yang udah terbentuk.

Ketidak-akuratan biasanya disebabkan karena kecerobohan, kemalasan, penipuan atau ketidakpedulian penulis dalam menuliskan hasil pencarian datanya. Atau jika doi reporter, maka gagal dalam menuliskan hasil reportasenya. Itu sebabnya, pengecekan ulang sebelum kamu menulis, membaca kembali dengan hati-hati dan mengeceknya kembali setelah menulis adalah benteng terbaik terhadap ketidak-akuratan.

Oke deh, sekarang bagaimana cara menguji akurasi data itu? Berikut ini adalah point-point utama dalam mencermati sebuah fakta atau detil:

  1. Jangan sekali-kali kamu menebak. Penulis harus memegang betul apa saja yang diektahui dan apa saja yang dimengerti. Jika kamu tidak benar-benar memahami, cek kembali hal itu atau tinggalkan sama sekali. Jangan pernah mengira-ngira. Kalo salah, idih, malu banget deh (backsound: kasihan deh gue..). J
  2. Angka. Saya sarankan untuk mengecek paling ngak dua kali semua angka dan jumlah. Sebuah angka seringkali tak memiliki makna, kecuali diletakkan pada konteks yang mudah dipahami pembaca. Jumlah penderita AIDS misalnya, nggak akan berarti jika tidak disertakan angka tahun sebelumnya. Jadi bisa kelihatan naik apa turun jumlahnya. Betul?

Oya, angka juga seringkali lebih bermakna jika disertai penjelasan yang menyentuh pembaca: Misalnya, ketika menuliskan jumlah anggaran pendidikan di Indonesia bisa kamu tulis juga anggaran pendidikan di negara lain. Jadi bisa membandingkan. Itu bisa menyentuh pembaca lho. Begitu pula kamu bisa menuliskan harga sebuah mobil mewah kelas Ferrari dengan membandingkan harga mobil Kijang yang dimiliki rata-rta pembaca. Wow, bikin menghentak kan? Dan itu bisa membuat pembaca tertarik. Selain mudah dicerna, juga pembaca sekaligus inget terus dengan informasi yang kamu berikan.

Ukuran-ukuran juga sebaiknya dikonversikan ke ukuran yang lazim dipakai pembaca (khususnya di negeri ini); tulis km bukan mil, tulis rupiah bukan dolar, tulis meter bukan kaki (foot), tulis kg bukan pound dsb. Paham kan? Oya, kalo kamu nggak menghitung sendiri, sebutkan dari mana angka itu dikutip, misalnya dari sumber atau dari data statistik.

  1. Nama, Tempat, dan Tanggal. Rasanya gimana kalo namamu tiba-tiba ditulis salah oleh seorang penulis dan itu dimuat di media massa? Wuih, rasanya jengkel juga kan? Saya pernah mengalami lho. Waktu itu saya pernah diwawancari sebuah harian ibukota tentang buku yang saya buat dan sang wartawan mengajak ngobrol seputar teknik menulis. Hasilnya, ternyata di harian nasional itu nama saya ditulis Olih Solihin. Padahal nama depan saya kan Oleh. Bedanya Cuma “i” dan “e” memang, tapi itu udah mengubah nama.

He..he..he… Saya pikir cuma satu, eh, ternyata setelah dibaca malah semua nama saya ditulis dengan salah. Kecewa ada juga sih, tapi apa boleh buat. Ya sudahlah, barkan saja deh. Bayangkan jika yang salah tulis adalah nama orang terkenal, mungkin yang menyalahkan bukan saja orang yang namanya salah ditulis sama sang wartawan, pembaca lain pun turut mempersoalkan, syukur-syukut nggak didemo. Jadi, hati-hati ya..

Kalo kamu ragu menuliskan nama tokoh terkenal itu, tanya sama yang bersangkutan nama yang benarnya. Kalo nggak sempat, tanya sama teman yang udah tahu, atau kalo itu tokohnya adalah tokoh dunia dan udah terkenal di masa lalu, kamu bisa ngecek di ensiklopedia.

Terus kalo kamu mau nulis tentang tanggal, lihat kalender dulu. Kalo mau nulis tentang tempat, ada baiknya kamu cek di peta. Jangan asal tulis. Kalo salah kan bisa diketawain sama semut he..he..he..

Ya, sebagai bekal, nggak ada salahnya kamu punya koleksi buku pintar misalnya, punya koleksi kamus berbagai bahasa dan berbagai bidang ilmu. Silakan juga koleksi ensiklopedia, kalender, peta kecil, boleh juga punya tabel konversi berbagai jenis ukuran.

  1. Kutipan. Pastikan suatu kutipan benar-benar seperti yang dikatakan oleh sumber. Pastikan pula catatan yang kamu buat kamu berani mempertanggungjawabkannya sampe ke meja pengadilan. Kalo nggak bisa mempertanggung-jawabkan kutipan tersebut, sebaiknya jangan kamu buat kutipan tersebut.
  2. Cerita Bohong. Sangat jarang penerbitan yang tidak memasukkan hal ini ke dalam beritanya. Keragu-raguan adalah perlindungan yang terbaik. Jika sebuah cerita atau kenyataan seolah-olah sangat aneh atau menakjubkan untuk dipercaya, jangan percaya hal itu sebelum ada pembuktiannya. Hati-hati, jangan sampe kamu menulis yang aneh-aneh, padahal itu cuma hoax alias omong kosong.
  3. Kesalahan Teknis. Sobat muda muslim, perhatian kamu kudu istimewa banget kepada tulisan yang khusus seperti ilmu pengetahun, hukum, kedokteran, teknik, keuangan dan sejenisnya. Sediakan waktu untuk menelitinya, dan kemudian ceklah kembali informasi yang kamu peroleh melalui pakar yang dapat dipercaya pada bidang tersebut. Jadi, jangan tanya soal bangunan kepada seorang dokter. Harus benar menulis istilah di bidang-bidang khusus tersebut. Jangan sampe salah, oke?
  4. Rekayasa. Sobat, jangan pernah merekayasa berita, atau memanipulasi isi, perubahan konteks, pembiasan, pemaparan yang salah, sindiran, kebencian, gosip, kavar angin dam melebih-lebihkan. Semua itu sangat tinggi ongkosnya, sementara hasilnya sangat rendah. Tapi, kalo memang faktanya benar dan semua orang juga tahu tentang hal itu, nggak ada alasan untuk tidak dituliskan. Tulis saja kalo memang faktanya begitu dan bisa dipertanggung-jawabkan. Siapa takut? Sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk menyuarakan kebenaran. Itu sebabnya, tuliskan apa adanya jika memang fajtanya demikian. Oke?

Nah, itu tentang akurasi data, satu hal yang perlu dipetimbangkan lagi adalah penulisan EYD, alias Ejaan Yang Disempurnakan. Hampir sama dengan data, EYD juga kudu ditulis sesuai kesepakatan bersama yang memang sudah dibuatkan aturannya. Hanya saja, dalam kondisi tertetu, kita kadang kudu ‘melanggar’ EYD. Misalnya ketika kita menulis untuk sasaran remaja. Maklum, teman remaja agak sulit menerima sebuah tulisan dengan bahasa yang kaku banget. Maka, saya sendiri terus terang suka ‘melanggar’ EYD tapi dalam batas yang masih wajar, artinya hanya pada penulisan istilah dan ungkapan yang gaul aja. Itu sebabanya, kadang saya tulis dengan cetak miring. Nah, itu pun fungsinya hanya sebatas sebagai ‘jembatan’ agar pembaca remaja memahami maksud dari yang sedang ditulis. Dan alhamdulillah, telah saya buktikan keberhasilannya dengan membuat gaya bahasa seperti di Buletin Studia, Majalah Permata, dan juga dalam buku-buku untuk remaja yang saya tulis. Teman-teman remaja relatif lebih mudah memahami sebuah pembahasan (meski itu tema yang berat), karena disampaikan dengan gaya bahasa yang meremaja. Juga, coba tengok majalah dan tabloid untuk remaja pada umumnya, pasti deh media itu menggunakan bahasa yang gaul.

Nah, maksud saya kudu ‘taat’ EYD adalah dalam masalah teknis selain kata-kata atau istilah bahasa. Misalnya tentang membedakan penulisan kata kerja dengan kata untuk menjelaskan keterangan tempat, tentang penulisan huruf kapital, penulisan gelar, aturan penulisan tanda baca berupa koma, titik, titik koma, dan yang lain sebagainya. Oke deh, ada baiknya kamu taati EYD sebagai berikut: (ini sekadar contoh praktis, lengkapnya bisa kamu baca sendiri di buku Pedoman EYD. Oke?)

Tentang pemakaian huruf besar. Huruf besar (kapital) dipakai sebagai: (1) huruf pertama pada awal kalimat; Kamu tahu?, Silakan duduk! (2) sebagai huruf pertama dalam petikan langsung; Mereka bertanya, Kapan kita berjihad? (3) sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan istilah religius;  Dialah Allah Yang Maha Pengampun (Yang Maha Pengampun = kata ganti Tuhan), agama yang diridhoi Allah adalah Islam, Allah akan menolong hamba-Nya (Nya sebagai kata ganti Tuhan). Catatan: untuk penulisan kata ganti Allah yang mengikuti kata Maha berupa kata dasar penulisannya dirangkai, kecuali pada Maha Esa (kata maha dan esa dipisah). Tapi untuk Mahaadil, Mahalembut, Mahakuasa, dll. (kata maha dan adil dirangkai). Untuk keterangan yang mengikuti kata Maha bukan berupa kata
dasar, maka penulisannya dipisah; Maha Pengasih, Maha penyayang, Maha Pengampun.
Penulisan huruf kapital juga untuk (4) sebagai huruf pertama dalam penulisan gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti dengan nama orang;  Khalifah Umar bin Khaththab, Imam Syafi'i. (5) sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat; Para pengunjuk rasa mendatangi rumah Presiden Megawati. Catatan: huruf kapital tidak dipakai untuk penulisan jabatan dan  pangkat yang tidak diikuti dengan nama orang atau nama tempat; Tidak layak bagi seorang presiden... (6) sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang; Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. (7) sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa; bahasa Arab, orang Jawa, dll. (8) sebagai huruf pertama penulisan nama tahun, bulan, hari, hari raya.; bulan Agustus, hari Jumat, dll. Catatan: jika sebagai nama waktu, tidak dipakai huruf besar; berapa minggu?, berapa bulan? dll. (9) sebagai huruf pertama penulisan peristiwa sejarah; Perang Badar, Perang Dunia, Bandung Lautan Api. Catatan: huruf kapital tidak muncul pada: Perlombaan senjata membawa resiko pecahnya perang dunia, dll.

Selanjutnya, penulisan huruf kapital pada (10) sebagai huruf pertama penulisan nama geografi yang diikuti dengan unsur nama; Indonesia termasuk kawasan Asia Tenggara, Mereka mendaki Gunung Gede, berlayar di Danau Toba dll. Catatan: huruf kapital tidak muncul pada penulisan istilah geografi yang tidak diikuti dengan unsur nama; Mereka sudah mengarungi sungai, lautan, dan samudera. Juga tidak muncul pada penulisan istilah geografi yang dipakai menjadi nama jenis; garam inggris, gula jawa, bawang bombay, dll. (11) sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti "dan"; Republik Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Departemen Pertambangan dan Energi, dll. Catatan: huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama resmi negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi; menjadi sebuah republik, menurut undang-undang yang berlaku, dll. (12) sebagai huruf awal semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada awal kalimat.; Bacalah majalah Bahasa dan Sastra, Budi adalah agen majalah Permata, dll. (14) huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat dan sapaan; Dr. (doktor), S.E. (sarjana ekonomi), Prof. (Profesor), Tn. (tuan). dll. (15) sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, dan sebagainya yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan: Kapan Bapak pulang? tanya Ahmad; Surat Saudara sudah saya terima; Silakan duduk, Dik! kata Ucok, dll. Catatan: huruf kapital tidak muncul pada kata penunjuk hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan dan penyapaan; kita harus menghormati bapak dan ibu kita; Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga, dll. (16) sebagai huruf pertama kata ganti Anda: Sudahkah Anda shalat?

Penulisan untuk tanda baca. Kamu perlu ngeh juga lho. Tanda baca itu di antaranya adalah:

Penggunaan Tanda Koma (,). (1) dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian dan pembilangan: Saya menjual kambing, sapi, dan kerbau. (2) untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahuli dengan kata seperti “tetapi” atau “melainkan”: Saya ingin ngaji, tetapi malas. (3) untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya: Karena sibuk, ia lupa akan janjinya. Catatan: tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dengan induk kalimat jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya: Dia lupa akan janjinya karena sibuk. (4) dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat, termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, dan akan tetapi: Oleh karena itu, kita wajib berdakwah.

Tanda koma juga dipakai untuk, (5) untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata lain yang terdapat di dalam kalimat: Wah, hebat sekali! (6) untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat: Kata paman, “Saya gembira sekali.” (7) untuk memisahkan (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, (iv) dan nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan: Surat ini harus dikirimkan kepada Dekan Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. (8) dipakai untuk memisahkan nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakan dari singkatan nama diri, keluarga atau marga: Ahmad Mahmud, S.E. (9) untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi: Ustadz saya, Pak Ali, pandai sekali. (10) dipakai di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat, untuk menghindari terjadinya salah baca.: Atas bantuan Fatimah, Sarah mengucapkan terima kasih. (11) tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.: “Kapan Anda berangkat?” tanya Budi.

Penggunaan Tanda Titik (.), (…), (….) dalam kalimat. (1) dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan: Aku seorang pengemban dakwah. (2) dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu: Pukul 10.45.45 (3) dipakai Untuk memisahkan bilangan ribuan dan kelipatannya, apabila angka tersebut menunjukkan jumlah: Badai Tornado itu merenggut korban tewas 10.000 orang. Catatan: tetapi tidak dipakai jika angka tersebut tidak menunjukkan jumlah: saya lahir pada tahun 1974. (4) tanda titik (.) tidak dipakai dalam penulisan kalimat judul yang merupakan kepala karangan, ilustrasi, berita, tabel, dan sebagainya. Juga tidak dipakai di belakang penulisan alamat dan tanggal pada surat: Jangan Jadi Bebek; Bogor, 15 Mei 2003 (5) titik tiga (…): untuk jeda dalam kalimat: “Aku ingin kamu… diam!”. Catatan : setelah titik tiga terdapat spasi. (6) titik empat (….) : untuk kalimat yang tidak selesai, titik keempat diasumsikan sebagai titik penutup: “Jangan-jangan… .” Tono menerka.

Pemakaian Tanda (;) dalam kalimat. Titik koma (;) dipakai kalau suara sudah lembut, seolah-olah yang diceritakan telah habis, tetapi kalimat itu belum selesai, maka dipakailah titik koma. Lama suara diperhentikan di belakang titik koma, antara lama berhenti pada titik dan koma. Di antaranya: (1) dipakai untuk memisahkan bagian-bagian yang sejenis dan setara: Malam makin larut; kamu belum selesai juga. (2) dipakai untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam suatu kalimat majemuk sebagai pengganti kata penghubung: Ayah mengurus tanaman di kebun; ibu sibuk bekerja di dapur; adik asyik dengan mainannya; saya sendiri sedang mengerjakan PR.

Penggunaan tanda titik dua (:) dalam kalimat. (1) dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap bila diikuti rangkaian atau pemerian: Yang kita perlukan sekarang adalah barang-barang berikut: kursi, meja, dan lemari. Catatan: tidak dipakai kalau rangkaian atau pemerian itu merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan: Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari. (2) dipakai sesudah kata ungkapan atau yang memerlukan pemerian: Ketua: Mahmud; Tempat seminar: Ruang 34. (3) dipakai dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan: Ayah: “Bawa tas ayah, Nak!”

Pemakaian tanda hubung (-) dan pemenggalan kata. (1) untuk menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh perhantian baris: cara-cara; mi-salnya (sambungannya di baris berikutnya). (2) untuk merangkaikan se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, ke- dengan angka, angka dengan -an, singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan nama jabatan rangkap: se-Indonesia; usia 20-an, dsb. (4) untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing: di-tackle, di-reply, dsb.

Oya, kamu juga perlu waspada dengan penulisan unsur serapan seperti: aerobe ditulis aerob. Autotrophe ditulis Autotrof; paragraph ditulis paragraf. Construction ditulis konstruksi. Saccharin ditulis sakarin. Effective ditulis Efektif, dsb. Perhatikan pula penulisan Efektivitas, BUKAN Efektifitas. Produktivitas, BUKAN produktifitas. Selengkapnya, kamu bisa koleksi deh pedoman khusus tentang unsur serapan ini. Di buku Pedoman EYD juga ada, tapi ada baiknya terus meng-update wawasaanmu. Oke?

Penulisan kata kerja dan kata keterangan tempat. Untuk yang satu ini, padahal sering digunakan dalam kalimat, masih banyak yang suka ketuker-tuker. Penulisan “dipukul” itu disambung karena kata kerja. Jangan sampe kamu nulis “di pukul”. Itu keliru. Penulis “di” dipisah dengan kata pengikutnya adalah untuk menyatakan keterangan tempat: di Bandung.

Nah, ini sekadar contoh kecil aja. Dan biasanya inilah yang sering kamu jumpai dalam menulis. Oke deh, nggak ada kata terlambat untuk belajar. Ayo, kamu bisa! [O. Solihin]

6 thoughts on “Akurasi Data dan EYD? Perlu Dong!

  1. assalamualaikum….

    thank’s bgt atas sarannya
    aku emang lagi suka nulis. entah apaan deh yang penting bermanfaat

    nah, aku jadi nambah pengetahuan deh!

    terutama pengetahuan untuk nulis karangan yang lebih berbobot.

    emang siy, pernah dijelasin guru tapi ngga ngerti… aku tuh lebih ngerti ama kamu!

    makasih, yaaa!!!!!!!!

  2. sekilas aku baca kalau ka2′ sangt menekankan seeseorang harus benar2 berhati-hati dalam menyampaikan sebuah pendapat atau argument.
    memang sangatlah alamiah hal tersebut tapi banyak dari kalangan sekitar kita cenderunng setengah-setengah memahami sebuah makna makanya kerancuan sebuah kutipan2 cenderung terjadi dalam lingkungan kita.
    thanks atas tulisanya. ^_^

Comments are closed.