Thursday, 25 April 2024, 11:54

Seringkali kita memberi kesimpulan bahwa sepakbola bisa mengangkat harkat dan martabat sebuah bangsa. Meski adakalanya justru negeri kampium sepak bola malah terpuruk di bidang ekonomi. Celaka!

Brasil boleh bangga punya Ronaldo, sang fenomena. Dua golnya ke gawang Jerman yang dikawal Oliver Kahn di final Wolrd Cup 2002 berhasil mengukuhkan superioritasnya sebagai negara ‘adidaya’ dalam sepak bola. Brasil seolah ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa merekalah satu-satunya negara di planet ini yang jagoan soal menggocek bola. Buktinya, mereka berhasil memboyong Piala Dunia untuk kelima kalinya (penta campeao) ke Rio de Janeiro. Sebuah prestasi yang tentunya bikin negara lain iri dan ketar-ketir kalo berhadapan di lapangan hijau dengan tim Samba ini.

Sejak jaman Pele, Brasil emang terkenal sebagai gudang pemain berbakat. Lihat saja, puluhan pemainnya merumput di berbagai kompetisi Eropa. “Si Toloy Bocah Sakti” Ronaldo jadi tumpuan klub “biru-hitam” Intermilan. Klub tangguh dan kaya milik raja minyak Italia Massimo Moratti. Brasil juga punya Roberto Carlos, bek sayap menyerang yang lincah. Doi kayaknya udah betah banget ngendon di klub langganan juara Liga Champions, Real Madrid. Rekan senegaranya, Rivaldo yang pandai berakting di depan wasit adalah andalan klub catalan Barcelona. Klub kaya asal negeri Matador itu cukup memberikan penghidupan yang mapan buat seorang bocah bernama Rivaldo itu.

Bagimana dengan Cafu? Kapten timnas Brasil di Piala Dunia 2002 ini udah betah mencari rejeki di negerinya Benitto Mussolini. Cafu, bek tangguh yang tampangnya ‘super cuek’ ini membela klub berseragam “Kuning-Merah”, alias gialorosso AS Roma. Dan semua orang yang mengamati sepak bola tahu betul kalo seorang pemain berhasil menjadi starter alias pemain utama di klub kaya tersebut bisa menikmati kehidupan yang layak. Pemain lainnya, sebut saja Lucio, bermain di klub asal Jerman, Bayer Leverkusen, Giovanni Elber termasuk pemain andalan di klub Bayern Munchen, meski doi nggak masuk timnas Brasil di World Cup 2002 namun kepiawannya mengolah si kulit bundar cukup membuat petinggi klub kaya asal Jerman itu merasa senang memilikinya. Dan masih banyak lagi pemain berkelas asal Brasil yang melanglang buana di berbagai benua.

Selain Brasil masih ada Argentina. Sejak ortu kita muda, Argentina udah terkenal sebagai negara yang jagoan dalam urusan bola. Ya, nggak beda jauh lah dengan Brasil dalam prestasi sepak bolanya. Meski di ajang World Cup 2002 Argentina kalah bersaing dengan Inggris dan Swedia di babak penyisihan grup, tapi Argentina udah kadung terkenal dalam urusan sepak bola, dan hampir semua penggila si kulit bundar mengakuinya. Negerinya Evita Peron ini sempat memboyong dua kali piala yang diperebutkan empat tahunan itu ke Buenos Aires. Pemain-pemainnya? Jangan ditanya. Di antara kamu kayaknya udah pada ngeh banget dengan nama-nama beken macam Maradona, Gabriel Batistuta, Sebastian Veron, Ariel Ortega, Mathias Almeyda, Diego Simeone, Javier Zanetti, dan nama-nama ngetop lainnya yang merumput di Serie A Italia, La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, League Primier Inggris, dan lainnya. Dengan kelincahan dan keterampilannya mengutak-atik bola, maka nama-nama tadi udah bisa hidup layak di negeri orang.

Brasil; Tak seindah Jogo Bonito
Hampir semua orang di dunia ini nggak meragukan kepiawaian Brasil dalam sepak bola. Keanggunan jogo bonito (sepak bola indah) Brasil udah memukau jutaan penggila sepak bola di dunia. Brasil boleh bangga dengan para pemainnya yang oke dan ngetop. Bahkan nggak sedikit di antara mereka yang akhirnya menjadi orang kaya. Karena jasa merekalah Brasil terkenal sebagai negara pengekspor pemain jempolan. Namun bagaimana dengan kondisi negeri mereka? Apakah juga secerah kehidupan para pemain sepak bola mereka? Tak banyak orang tahu. Padahal, kalo rajin ngamatin, hmm.. rasanya kita kudu ngurut dada. Kenapa? Sebab, Brasil termasuk salah satu negara yang bangkrut di dunia. Kondisi sosial, ekonomi dan politiknya kusut bin semrawut. Tapi apakah orang juga peduli dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik negerinya Ronaldo ini?

Saudara-saudara, kondisi ekonomi Brasil ternyata tak seindah taktik permainan jogo bonito-nya. Brasil morat-marit. Sebagai contoh, nilai tukar mata uang real terhadap dollar AS jatuh, dari 2,33 menjadi 2,70. Suku bunga jangka pendek perbankan tinggi, 18,45 persen. Karuan aja ini menyulitkan dunia usaha. Kenapa? Karena orang lebih seneng menabung ketimbang usaha. Akibatnya, banyak perusahaan bangkrut. Pandapatan kotor per kapita minus 0,7 dan inflasi per Mei tercatat 7,8 persen. Ujungnya, angka pengangguran pun meningkat. Tahun 1999, misalnya, angka pengangguran tercatat 7,5 persen. Andaikan angka itu tetap, atau bila melihat gelagatnya bisa diasumsikan meningkat dua kali lipat jadi 15 persen, maka jumlah pengangguran di Brasil adalah sekitar 25 juta orang. Itu yang tercatat, lho. Yang lolos dari pengamatan sangat boleh jadi lebih tinggi. Ya, kayak di negeri kita aja. Mirip banget. Cuma kalo di kita nggak ada hiburannya. Maksudnya, udahlah negara ancur, eh, sepak bolanya juga nggak sedap ditonton.

Biasanya, dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang negatif, akibat sampingannya bisa banyak banget. Angka pengangguran sudah pasti melonjak tajam. Kondisi politik jadi nggak stabil. Angka kriminalitas sangat boleh jadi kian meroket. Itulah wajah Brasil secara umum. Kasihaaan deh.

Celakanya, rakyat Brasil udah kadung percaya kalo sepak bola pun adalah berkah Tuhan. “Semua itu adalah kehendak Tuhan sehingga Brasil hebat dalamdunia sepak bola,” tutur pastor Jose BeneditoReis Filho (Kompas, 2 Juli 2002).

Argentina tak sehebat di lapangan hijau
Negara pengekspor pemain sepak bola berkelas tak selalu identik dengan kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Kalopun ada, itu juga bukan hubungan sebab-akibat. Memang betul, negara yang maju tidak selalu harus maju juga di bidang sepak bola. Begitupun sebaliknya. Tapi yang pasti, seringkali orang merasa sudah menikmati kemajuan dan menuai sukses bila kesebelasan dan para pemain negaranya berhasil mengharumkan nama bangsa lewat ajang olahraga, khususnya sepak bola. Kita malah khawatir, jangan-jangan itu hanya pelarian aja? Boleh jadi.

Argentina, meski punya pemain sehebat Gabriel Omar Batistuta dan yang lainnya, tapi negeri ini nggak bisa melepaskan diri dari keterpurukan di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Negerinya Maradona ini melambung dalam sepak bola, tapi terpuruk di bidang ekonomi. Bahkan belum lama ini, aksi protes kembali mengguncang Argentina. Lebih dari 15 ribu demonstran turun ke jalan-jalan Buenos Aires, ibukota negeri ini, Selasa (9/7). Mereka menentang kebijakan pemerintah dan Dana Moneter Internasional (IMF). Para pengangguran, kelompok serikat pekerja, mahasiswa dan aktivis pembela hak asasi manusia membaur bersama dan berkumpul untuk melancarkan aksi demonstrasi Hari Kemerdekaan di Plaza de Mayo, tak jauh dari istana presiden. (Republika, 11 Juli 2002).

Selama empat tahun, Argentina terus digoyang resesi. Pada kuartal pertama 2002, perekonomian negeri ini merosot hingga 16 persen. Pemerintahan baru tampaknya tak berdaya menerapkan kebijakan politik yang tak populer. Pemerintahan Duhalde yang telah bangkrut ini terus meminta kucuran dana pinjaman segera dari IMF. Tampaknya hingga kini usaha keras itu tak juga membuahkan hasil. Padahal, berhutang kepada IMF, sama dengan menggali kubur sendiri. Terbukti, nggak ada negara yang sembuh dari krisis ekonomi setelah IMF campur tangan. Yang terjadi justru kekacauan.

IMF menutup kran dana miliaran dolar AS untuk Argentina pada Desember lalu. Ini bersamaan dengan krisis hebat yang menghantam negeri ini. Akibat krisis pula, sempat terjadi pergantian presiden sebanyak lima kali hanya dalam kurun waktu dua minggu. Sejak itulah, Kini, hampir separuh rakyat Argentina berada di bawah garis kemiskinan. Kemarahan rakyat kian memuncak ketika diberlakukan aturan pembekuan rekening nasabah bank serta melorotnya nilai peso terhadap dolar. Belum lagi cekikan inflasi.

Argentina menghadapi utang sebesar 141 miliar dolar dan pemerintah terus berusaha untuk mengatasi devaluasi yang tajam terhadap mata uang peso –merosot 70 persen terhadap nilai dolar AS.

38 juta orang Argentina hidup di bawah garis kemiskinan. Hanya tahun lalu hampir empat juta orang memperbesarkan kelompok itu. Kebanyakan mereka berasal dari lapisan menengah. Pada 10 tahun terakhir jumlah penganggur naik dari tujuh persen menjadi hampir 20 persen di seluruh negara dan hingga 24 persen di ibu kota. Selain itu, 15 persen orang Argentina yang tidak memiliki pekerjaan. Sebanyak 50 anak mati kelaparan setiap hari. Lebih dari 50.000 orang hidup di taman-taman Kota Buenos Aires dan mencari makan di tempat sampah.

Parahnya lagi, utang Pemerintah Argentina melonjak tajam, dari 27 persen hasil kotor nasional (1993) menjadi lebih 50 persen tahun 2001. Utang luar negeri naik dari 62 milyar dollar AS (1990) menjadi 142 milyar dollar AS tahun 2001. Jumlah itu termasuk 34 milyar dollar AS pinjaman luar negeri dan 95 milyar surat obligasi internasional. Kebanyakan pinjaman baru itu dipakai untuk “melayani” utang lama, yaitu membayar uang sewa (10 milyar dollar AS lebih setahun) dan membayar kembali utang lama. Demi tujuan ini pemerintah sudah makan 20 juta dollar AS hasil swastanisasi perusahaan negara. Uang itu hilang tanpa jejak.

Turki; tak seheboh ‘kejutannya’
Rakyat Turki boleh bangga dengan keberhasilan Hakan Sukur dan kawan-kawan yang membawa Turki meraih juara ke-3 di Piala Dunia 2002. Jutaan warga Istambul turun ke jalanan untuk merayakan kesuksesan tersebut. Maklum, baru pertama dalam sejarah sepakbola Turki, tim nasionalnya bisa menembus tiga besar dunia. Bahkan Hakan Sukur berhasil mencetak gol tercepat ke gawang Korsel (detik ke-11). Itu rekor tersendiri selama Piala Dunia digelar sejak 1930.

Namun, apakah kondisi negeri yang pernah menjadi pusat pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah) ini juga sukses melepaskan diri dari krisis ekonomi yang membelitnya? Rupanya kejutan yang dibuat rada berbeda dengan aksi Ilhan Mansiz yang memukau. Ekonomi Turki morat-marit.

Tingkat inflasi Brazil, rata-rata selama tahun 1997-2001 adalah 121.79 persen. Bahkan, nilai mata uang Turki, lira, pada pertengahan Juli 2002 jatuh drastis. Tercatat, nilai tukar lira terhadap dollar AS sebesar 1,7 juta lira per 1 dollar AS. Luar biasa. Itu sebabnya pantas bila Turki terbelit masalah ekonomi yang parah. Negeri yang berpenduduk sekitar 66, 5 juta jiwa ini merupakan korban susulan dari kebijakan IMF. Angka pengangguran pun meningkat, Akibatnya kondisi politik semakin tercabik-cabik. Krisis yang tak kunjung usai ini memaksa pemerintah Turki bongkar pasang kabinet. Dengan harapan bisa memperbaiki keadaan. Tapi nyatanya, rakyat Turki kian sengsara. Itu artinya, kehebatan prestasi sepak bola Turki tidaklah bisa menolong kondisi ekonomi negaranya.

Ironi
Kian jelas, bahwa olahraga, khususnya sepak bola, jangan dianggap sebagai sebuah kemajuan dan kebangkitan suatu negara. Itu salah besar. Sangat boleh jadi itu merupakan penyakit negara berkembang kali ye, soalnya nggak ada yang bisa dibanggakan. Bahkan penghargaan terhadap atlit olahraga sangat spesial. Mereka dieluk-elukan bak pahlawan menang perang. Padahal, kondisi sosial dan ekonomi amburadul, politik awut-awutan. Ya, itu hanya kesuksesan semu.

Sobat pembaca, ironi memang. Berjaya dalam sepak bola, ternyata terpuruk dalam ekonomi. Menyedihkan. Sayangnya, masih banyak orang menganggap bahwa prestasi sepak bola identik dengan harga diri sebuah bangsa. Benarkah? Jangan-jangan, itu hanya pelarian saja dari buruknya kondisi negaranya. Siapa tahu? Wallahu’alam.

[O. Sholihin, dari berbagai sumber]