Thursday, 28 March 2024, 20:20

Menurut Human Development Reports , HDR 2002 (Laporan Pembangunan Manusia 2002) yang dikeluarkan oleh Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme, UNDP) tentang Human Development Indicators 2002, Indonesia menempati peringkat 110 dari 173 negara yang diteliti dengan Human Development Index (HDI) 0.684. Posisi Indonesia itu jauh di bawah negara anggota ASEAN, misalnya Singapura (25), Brunei Darussalam (32), Malaysia (59), Thailand (70), Vietnam (109).

Kemudian pada HDR 2003, indeks tersebut merosot menjadi 0,682. Penurunan indeks yang mencerminkan memburuknya kualitas manusia Indonesia ini juga terlihat dari menurunnya peringkat HDI, dari urutan 110 ke 112, sementara Malaysia naik ke peringkat 58 dan Vietnam masih di urutan ke 109. (Suara Pembaharuan, 23/07/2003)

Sedih nggak sih ngeliat data di atas. Dua puluh tahun yang lalu, Malaysia masih belajar banyak dalam bidang pendidikan kepada Indonesia. Kini kualitas pendidikan negerinya Siti Nurhaliza itu jauh di atas �mantan guru’-nya. Ketika negara tetangga giat menggenjot prestasi intelektual kaum terpelajarnya, negerinya Samson Betawi ini malah disibukkan dengan audisi AFI, Indonesian Idol, API, atau KDI. Keciaaan Deh Iiih…!

Anehnya, bukannya memperbaiki citra pendidikan sekolah, pemerintah seperti mendiamkan acara-acara penjaringan bakat itu. Kenapa tidak diciptakan kondisi: “Aku bangga jadi ilmuwan� misalnya yang bisa memacu kreativitas siswa untuk berprestasi di ajang yang benar, baik, dan bermanfaat. Seperti temen-temen kita di bawah ini.

Ada Mulyana, peraih medali perunggu dalam ajang Olimpiade Biologi di Brisbane, Australia. Ada Azis Adi Suyono, peraih medali emas di ajang Olimpiade Sains Nasional Bidang Fisika yang digelar di Balikpapan pada September 2003. Ada Yudistira Virgus, peraih medali emas pada Olimpiade Fisika di Pohan, Korea Selatan, Juli 2004.

Akhir tahun lalu, tim Indonesia berhasil meraih predikat juara umum dalam The First Internasional Junior Science Olympiad (IJSO) alias Olimpiade Sains Internasional setingkat SMP yang diselenggarakan di Jakarta. Bahkan baru-baru ini, tim kita juga berhasil meraih juara 1 dalam kompetisi simulasi bisnis internasional yang diselenggarakan oleh perusahaan kosmetik dunia L’oreal (L’Oreal E-Strat Challenge 2004) di kota mode dunia, Paris.

Tapi sayangnya, kesedihan Ibu Pertiwi tak mampu terhapuskan dengan prestasi para pelajarnya itu. Sebab potret pendidikan yang ada di depan mata, kian hari kian buram. Bukan karena Ibu Pertiwi lupa pake kacamata minusnya atau belum cuci muka sehabis bangun tidur. Tapi emang kenyataan berkata demikian. Hiks… hiks… hiks…!

Potret buram pendidikan kita
Kudu kita akui, kalo masalah pendidikan nasional nggak ada matinya. Belon beres satu, tumbuh seribu. Jadi numpuk dah. Dari mulai biaya sekolah, kondisi gedung sekolah, kurikulum pendidikan, atau nasib tenaga pengajarnya.

Mahalnya biaya sekolah mengakibatkan jumlah anak putus sekolah makin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam sebuah tulisan terungkap jumlah anak putus sekolah untuk usia 0-6 tahun sebanyak 19 juta (73%); 7-12 tahun sebanyak 2 juta (6%), 13-15 tahun sebanyak 7 juta (55%). (Suara Pembaharuan, 07/03/2003).

Bangunan sekolahnya juga masih banyak yang tak layak. Seperti yang terjadi di Kab. Sumedang, Jawa Barat. Hampir 60% bangunan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI) di Kab. Sumedang saat ini kondisinya rusak. Dari persentase tersebut di antaranya dari data 2002 terdapat 1.241 ruang kelas tidak bisa digunakan karena rusak berat. (Pikiran Rakyat, 25/05/2004).

Kurikulum pendidikan nasional tak mampu mengatasi sekitar 2,5 juta lulusan SMA yang terpaksa menganggur akibat tidak memiliki keterampilan untuk bekerja atau berwirausaha. Jumlah pengangguran tersebut bertambah pula dari lulusan perguruan tinggi yang setiap tahun?  terjadi peningkatan sekitar 250 ribu orang sarjana, 120 ribu lulusan diploma III dan 60 ribu lulusan diploma I dan II. (Pikiran Rakyat, 28/06/2004)

Belum lagi dengan nasib para pahlawan tanpa tanda jasa dan tanpa kesejahteraan yang terlukis dalam lagu �Oemar Bakri’-nya Iwan Fals. Udah mah gaji kecil bin pas-pasan, eh, disunat pula setiap bulan. Tekor dah!

Ada apa dengan pendidikan nasional?
Kalo kita cermati, nampaknya salah dua faktor yang ikut melestarikan krisis pendidikan di negeri kita adalah minimnya anggaran dan kurikulum pendidikan yang materialis-sekuleris.

Alokasi dana APBN yang dianggarkan untuk pendidikan begitu setia ngetem di bawah angka 10 persen. Untuk tahun 2005 aja, secara keseluruhan, Depdiknas memperoleh alokasi dana sebesar Rp 21,585 triliun, yang terdiri dari rupiah murni sebesar Rp 20,689 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 895 miliar yang dialokasikan ke dalam 20 program pembangunan pendidikan. (Media Indonesia, 23 Maret 2005).

Eit, jangan tersepona dulu ngeliat angka triliunan rupiah itu. Sebab kalo kita itung-itung dari total APBN 2005 yang jumlahnya Rp 377 triliun, anggaran pendidikan nasional cuma dapet sekitar 5,7 %. Belon yang ditilep ama oknum pejabatnya. Abis dah!

Minimnya anggaran pendidikan berakibat pada kurangnya pemeliharaan gedung sekolah, terlalaikannya kesejahteraan tenaga pendidik, atau terabaikannya pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung.

Padahal, kalo kita bandingkan dengan negara-negara tetangga kita, mereka cukup royal dalam mengalokasikan dananya demi peningkatan kualitas pendidikan. Kepala Perwakilan The United Nations Children’s Fund (Badan PBB untuk masalah anak) di Indonesia, Steven Alen mengatakan, anggaran pendidikan Indonesia merupakan yang terendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Cina, Malaysia, Filipina dan Singapura mengeluarkan dana lebih dari tiga kali anggaran Indonesia. (Tempo interaktif.com, 23/12/2003).

Kurikulum pendidikan nasional kental sekali dengan sistem pendidikan kolonial yang materialis van sekuleris. Dibilang materialis lantaran hasil pendidikan cuma diukur dari gelar yang berhasil diraih atau selembar ijazah untuk bekal nyari kerja biar bisa balikin modal ke ortu yang udah biayain sekolah (idih, emangnya dagang kudu balik modal segala?).

Kondisi di atas makin diperunyam dengan prinsip bebas nilai agama alias sekuleris dalam mendidik siswa. Kalo pun ada pelajaran agama dalam kurikulum pendidikan umum, itupun cuma numpang lewat aja alias formalitas. Kegiatan belajar mengajarnya banyak dipake cuma buat transfer pulsa, eh ilmu. Steril dari upaya pembentukan (transform) watak dan karakter anak didik untuk menjadi generasi pelajar berkualitas. Hmm.. kalo pun pinter tapi tak berakhlak. Gawat juga kan?? 

Tanggung jawab siapa nih?
Kalo nanya urusan tanggung jawab, pastinya yang berbuatlah yang kudu tanggung jawab. Dalam krisis pendidikan, tentu pemerintah dong yang paling besar tanggung jawabnya. Malah mereka berani disumpah untuk jalanin isi UUD’45 yang salah satu pasalnya berbunyi, “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak�. Betul?

Tapi kayaknya, kita kudu menelan kenyataan pahit kalo ternyata pemerintah belum serius beresin masalah pendidikan. Dulu, pemerintah gencar kampanyekan wajib belajar 9 tahun (hingga SMP). Tapi lucunya pemerintah malah menghentikan subsidi pendidikan. Waktu masih disubsidi aja banyak yang nggak mampu membiayai sekolah. Apalagi subsidi dicabut, sama aja dengan aksi pembodohan massal tuh urusannya.

Yang lebih lucu lagi, pemerintah malah berlepas tangan dengan memberlakukan otonomi pendidikan untuk menanggulangi minimnya anggaran pendidikan. Akibatnya, biaya pendidikan makin melambung tinggi. Jauh meninggalkan keluarga para pelajar atau calon pelajar yang tengah berjuang menahan himpitan ekonomi yang makin berat.

Amboi!,…udah mah rakyat senen-kemis bertahan hidup akibat kenaikan BBM, eh rakyat juga yang ketiban sial kudu ngurusin pendidikan yang jadi kewajiban pemerintah. Apes banget jadi rakyat negara kapitalis. Benar, kapitalisme telah membuat kita semua sengsara!

Belajar dari sistem pendidikan Islam
Puyeng juga ya mikirin masalah pendidikan? Ya, makanya jangan cuma dipikirin tapi kudu dicari solusinya. Wah, tambah puyeng dong? Tenang, kan ada puyer bintang toedjoeh, eh maksudnya emang puyeng kalo kita belum punya ilmunya. Tapi kalo kita menengok pada sistem pendidikan Islam, yakin deh, bintang toedjoeh aja kalah manjurnya. Hehehe…

Dari zamannya unta ngigit besi sampe kuda punya roda, Islam sangat menghargai pendidikan. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Catet sobat!

Saking besarnya penghargaan pemerintahan Islam terhadap pendidikan, terutama kepada tenaga pengajar, Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji pada tiga orang yang mengajar anak-anak di kota Madinah, masing-masing sebesar 15 dinar per bulan (1 dinar = 4,25 gr emas). Kalo kurs 1 gr emas seharga Rp. 90.000, berarti gaji guru setingkat TK sebesar 90.000 x 4,25 x 15 = 5.737.500 rupiah per bulan!

Negara juga bertanggung jawab terhadap pengadaan sarana pendidikan. Dari mulai kitab-kitab, perpustakaan, laboratorium, planetarium, gedung sekolah, universitas, masjid, majelis taklim, sampe toko buku. Dalam kitab Mu’jamul Udaba, karangan Yakut, disebutkan di salah satu pojok kota Khurasan (bagian timur Iran), terdapat sepuluh perpustakaan yang teratur rapi dan memiliki 12.000 kitab. Di antaranya, yang paling terkenal adalah “Khizanatul al-Ahkam ats-Tsani�, yang memiliki koleksi 400.000 kitab.

Gimana dengan biaya pendidikannya? Jangan khawatir, karena dalam Islam dikenal sistem pendidikan bebas biaya. Contoh praktisnya adalah Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntashir di kota Baghdad. Pada sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar. Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara.

Kurikulum pendidikan Islam yang berbasis syariah telah melahirkan banyak ilmuwan, di antaranya pakar pendidikan; al-Ghazali, pakar kedokteran; Ibnu Sina, atau al-Khawarizmi yang menemukan angka nol. Kurikulum yang nggak sekadar transfer of knowledge tapi juga pembentukan watak dan karakter sebagai muslim yang steril dari pemahaman sekuler.

Sobat, sekarang kita udah punya ilmu untuk ngobatin krisis pendidikan. Tinggal satu lagi yang kudu kita pahami dan jangan sampe kelupaan. Jika ingin membentuk manusia yang beriman, berilmu dan beramal baik, maka satu-satunya jalan adalah menerapkan Islam sebagai ideologi negara. Negara yang akan mengatur seluruh aspek kehidupan dengan benar, termasuk pendidikan. Itu sebabnya, nyok bareng-bareng kampanyekan penerapan syariat Islam sebagai ideologi negara. Itu artinya pula, mulai sekarang kita campakkan kapitalisme, dan benamkan sosialisme-komunisme.

Oya, sebelum berjuang, bekali dulu dengan ilmu Islam. Biar kagak salah jalan. Yuk, tekadkan dalam diri kita untuk mengkaji Islam dengan serius dan penuh semangat, terus kita dakwahkan ke temen-temen, dan berbarengan dengan itu, kita kampanyekan Islam sebagai ideologi negara. Berangkaat! [hafidz]

(Buletin STUDIA – Edisi 242/Tahun ke-6/2 Mei 2005)