Friday, 29 March 2024, 11:57

gaulislam edisi 786/tahun ke-16 (19 Rabiul Akhir 1444 H/ 14 November 2022)

Waktu saya masih kos saat sekolah di jenjang SMK, teman saya adalah orang pertama yang bisa saya ajak ngobrol, bahkan bisa jadi teman curhat. Memang yang sampai akrab tidak banyak. Namun bukan berarti saya tidak pernah ngobrol dengan teman selain yang sudah akrab. Tetap aja bersosialisasi. Minimal tanya kabar atau hal lain seputar pelajaran atau kejadian di sekolah dan di kos-kosan. Kalo teman ada yang sakit, setidaknya teman satu kos dan kita saling tahu. Mestinya nggak mungkin nggak tahu, termasuk sakit apa yang dideritanya. Sebab, sering ngumpul, ngobrol, dan berbagi banyak hal.

Itu sebabnya, kalo ada yang nggak tahu kondisi teman satu kos atau teman satu asrama di pondok, itu namanya kebangetan. Beneran. Berarti itu egois banget. Padahal, dia ada di situ, melihat temannya, tetapi nggak peduli. Jangan juga memanfaatkan teman alias hanya mau berteman karena ada keuntungan yang kita dapatkan darinya. Misalnya, teman kita banyak duit, gampang ngasih uang atau hal lain yang menyenangkan kita. Lalu ketika teman tak lagi punya uang, kita tinggalkan. Seperti kata Samuel Butler, “Persahabatan itu seperti uang, lebih mudah dicari daripada dipertahankan”. Wah, nggak gitu aturan mainnya.

Dulu, awal tahun 90-an saat saya masih sekolah di SMK, banyak teman saya yang ngefans banget dengan Bon Jovi, atau setidaknya ada yang pernah merasa ngefans dengan Bon Jovi. Salah satu lagunya adalah Never Say Goodbye. Dengan totalitas suara yang bagus dalam menyanyikan lagu ini, Jon Bon Jovi berhasil menyihir ribuan penggemarnya.

Saya nggak akan kebablasan cerita soal lagu ini dan juga grup musik rock yang mendapat tempat di hati kaum muda di masanya itu, tapi saya hanya ingin mengingatkan kepada teman-teman bahwa jangan pernah mengatakan kalimat perpisahan ini kepada teman-teman kita. Kita berteman bukan untuk sehari atau dua hari. Tapi kita akan berteman—bila mampu—selama hayat masih dikandung badan.

Sobat gaulislam, memang kita juga harus realistis. Bahwa tak selamanya kita bisa hidup bersama terus dengan teman-teman kita. Adakalanya, dengan semakin luasnya pergaulan kita, maka kian banyak pula teman-teman kita yang baru. Tapi bila memungkinkan, jangan sampe wajah teman lama kita tergeser dengan wajah teman kita yang baru dari direktori di hati kita.

Jadi kalo pun harus berpisah karena alasan keadaan yang tak mungkin disatukan, misalnya karena pindah kota, pindah sekolah, atau pindah pekerjaan, minimal kita mengenangnya di hati kita. Kita buatkan direktori khusus di hati kita yang sewaktu-waktu bisa nostalgia untuk mengenang kebersamaan itu. Pokoknya, bisa KLBK alias Kenangan Lama Bangkit Kembali. Minimal memberi pesan: bahwa kita pernah makan dan minum bersama, dan pernah berbagi suka-duka dengan teman kita.

Apalagi zaman sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kita bisa ngumpul kembali di grup WhatsApp atau Telegram. Saya sendiri ada di WA grup SD, SMP, dan SMK. Meski penampilan teman kita banyak yang berubah, tetapi nama dan peristiwa semasa sekolah tetap terkenang walau tidak semuanya, kecuali yang berkesan banget. Maklum, udah puluhan tahun ada yang nggak pernah ketemu juga. Mungkin kalo di jalan ketemu bisa jadi nggak inget kalo itu teman kita.

Saya juga punya banyak teman lama. Saya menyebut mereka teman lama, karena saya nggak tega kalo harus menyebut mantan teman. Rasanya terlalu kejam gitu, lho. Hampir bisa dipastikan nggak pernah ketemu lagi, dan bahkan saya sendiri kehilangan informasi tentang keberadaan teman-teman saya itu. Moga saja, kalo mereka ada yang berkunjung ke blog dan akun media sosial saya, akan bisa juga mengingat saya, karena insya Allah saya masih tetap mengenang kebersamaan dengan mereka. Walau harus diakui, banyak yang sudah lupa wajahnya dan bahkan namanya. Tapi, insya Allah saya tidak akan melupakan kenangan-kenangan bersamanya.

Sahabat Rasulullah

Sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jumlahnya ribuan. Bahkan salah seorang ustaz saya pernah menginformasikan bahwa jumlah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekitar 28 ribu orang. MasyaAllah, banyak sekali ya? Para ulama mendefinisikan bahwa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mereka yang hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sempat bertemu muka, dan yang terpenting pernah ikut berperang bersama beliau.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tumbuh dalam kebersamaan yang indah. Penuh cinta dan kasih sayang. Bahkan itu semua ‘dilukiskan’ oleh Allah Ta’ala dalam al-Quran dengan sangat jelas: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS al-Fath [48]: 29)

Sobat gaulislam, punya sahabat banyak, tentunya bikin kita seneng, ya? Karena kita bisa saling menolong dan bisa saling menasihati. Kalo mau mencontoh ‘drama’ kehidupan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, rasanya pantas juga kalo menjadi teladan kita dalam memperlakukan sahabat-sahabat kita.

Suatu ketika Zaid bin Datsinah bersama lima sahabat lainya diutus Rasulullah menemani sekelompok kecil kabilah untuk mengajarkan Islam ke kabilah yang bertetangga dengan Bani Hudzail tersebut. Waktu itu, negara Islam sudah berdiri. Kejadiannya usai Perang Uhud.

Sayangnya, enam utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dikhianati. Tiga di antaranya syahid. Tiga lagi menjadi tawanan dan dijadikan budak untuk dijual (termasuk Zaid bin Datsinah). Waktu itu, Zaid hendak dibeli oleh Shafwan bin Umayyah, untuk kemudian dibunuh sebagai balasan atas kematian ayahnya, Umayyah bin Khalaf, yang tewas di tangan kaum Muslimin saat Perang Badar. Bales dendam nih ceritanya.

Zaid ditanya oleh Abu Sufyan: “Hai Zaid, aku telah mengadukanmu kepada Allah. Sekarang, apakah engkau senang Muhammad berada di tangan kami menggantikan tempatmu, lalu engkau memenggal lehernya dan engkau kembali kepada keluargamu?”

“Demi Allah!” jawab Zaid lantang, “Aku tidak rela Muhammad menempati suatu tempat yang akan dihantam jerat yang menyiksanya, sementara aku duduk-duduk dengan keluargaku.”

Abu Sufyan terkesan banget tuh dengan kata-kata Zaid. Bibirnya menyunggingkan senyuman sinis sambil bilang, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang mencintai sahabatnya seperti kecintaan sahabat-sahabat Muhammad,” kata Abu Sufyan geram di tengah kekagumannya. Kemudian, Zaid pun dibunuh. MasyaAllah, ini memang bukan cinta biasa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam emang layak dijadiin teladan, Bro en Sis. Dalam kesehariannya, Rasululullah sangat menghormati para sahabatnya. Ambil contoh, suatu hari Abdullah al-Banjaliy tidak kebagian tempat duduk saat menghadiri majlis Rasulullah. Mengetahui hal itu, Rasulullah lalu mencopot gamisnya dan mempersilakan sahabatnya itu untuk duduk. Tapi Abdullah al-Banjaliy tidak mendudukinya, malah mencium baju Rasulullah dengan air mata yang berlinang, “Ya Rasulullah, semoga Allah memuliakanmu, sebagaimana Anda telah memuliakanku,” komentar Abdullah.

Memang sulit menemukan tandingan pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seperti itu. Kita jadi terharu, seandainya kita hidup di masa Rasulullah. Ya, seandainya. Tentu kita bisa menyaksikan bagaimana keseharian hidup Rasulullah yang mulia itu melalui Sirah dan sejarah. Saking cintanya kepada Rasulullah, malah ada sahabat yang mencari-cari akal untuk sekadar mencium tubuh Rasulullah. Sahabat tersebut adalah Sawwad bin Ghazyah.

Kejadiannya begini. Saat Rasulullah sedang meluruskan barisan pada perang Badar. Anehnya Sawwad malah maju ke depan. Karuan saja Rasulullah memukul perut Sawwad  dengan anak panah, “Lurus dalam barisan, hai Sawwad”, pinta Rasul.

Tapi Sawwad protes, “Ya, Rasulullah, Anda menyakitiku, padahal Allah telah mengutusmu dengan membawa kebenaran dan keadilan,” ucapnya. Meski perbuatan Sawwad itu diprotes oleh para sahabat yang lain, namun Rasul memilih membuka bajunya dan mempersilakan Sawwad untuk membalas dengan perbuatan serupa. Tapi apa yang dilakukan Sawwad?  Sahabat yang satu ini malah memeluk dan mencium tubuh Rasulullah sambil berlinang air mata. Hal itu dilakukan Sawwad karena ingin dalam kesempatan terakhirnya menyentuh kulit Nabi dan memohon syafaatnya di hari kiamat. Lalu Nabi pun mendoakannya

Sobat gaulislam, mencintai sahabat-sahabat kita, teman-teman kita rasanya pantas kita lakukan. Karena apa? Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu mencintai sahabat-sahabatnya. Insya Allah, kita juga bisa memuliakan sahabat-sahabat kita. Jadi, nggak baik ngucapin selamat tinggal buat sahabat kita, buat teman-teman kita. Kalo mau berpisah karena alasan pindah tempat, kita bisa bilang: “Selamat berjuang, esok atau lusa, jika Dia berkehendak kita akan kembali bersatu. Semoga sukses!”

Oke deh, kita boleh berpisah, tapi tolong “never say goodbye” kepada teman dan sahabat kita. Tetep semangat!

Ketika kamu berteman

Ada beberapa tips bergaul yang benar dan baik dengan teman-temanmu. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, terbuka. Salah satu cara untuk bisa mendekatkan perasaan kita dengan sahabat-sahabat kita, adalah dengan keterbukaan. Kalo sudah terbuka, maka kita akan saling percaya dan merasa enjoy saja mengeluarkan semua unek-unek di hati. Mengalir saja apa adanya. Insya Allah dengan keterbukaan ini, kita akan bisa memahami kebiasaan dan gaya masing-masing.

Kedua, totalitas. Memang agak sulit pada mulanya. Tapi dengan totalitas mencintai sahabat kita atau teman kita, kita akan merasa lebih mudah untuk menumbuhkan sikap berkorban. Emang sih, sahabat kita juga kudu begitu. Tapi kalo dimulai sama kita, insya Allah dia juga akan menumbuhkan sikap yang sama. Mana ada sih orang yang nggak mau dicintai. Betul?

Ketiga, singkirkan perbedaan. Perbedaan di antara kita, jangan membuat kita membedakan diri. Kita bisa bergaul dengan kalangan mana pun, baik miskin maupun kaya, pintar-bodoh. Kalo itu sahabat kita, berusalah untuk menghormati dan bahkan memuliakannya. Toh kita bersahabat karena dasar ikatan akidah kita. Bukan atas dasar kesukuan atau pertimbangan lain.

Keempat, jadilah pendengar yang baik. Sikap terbuka saja belum cukup kalo kita belum mampu menjadi pendengar yang baik buat sahabat dan teman kita. Maka, belajarlah untuk menjadi pendengar yang baik. Teman kita bisa lebih rileks hanya karena kita mendengarkan keluh-kesahnya. Seringkali tanpa kita memberi solusi pun, ia sudah cukup lega dan merasa dihargai. Cobalah!

So, meski di zaman now banyak remaja yang ikatan persahabatannya nggak kuat di antara mereka, tetapi setidaknya masing-masing dari kita bisa mulai menunjukkan itikad baik dalam menjaga ikatan ukhuwah islamiyah. Jangan tinggalkan teman kita. Apalagi itu teman baik.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah memberi wasiat panjang kepada muridnya, al-Hafizh Yunus bin Abdil A’la rahimahullah. Di antara isinya adalah sebagai berikut, “Wahai Yunus, apabila engkau memiliki sahabat, genggamlah dia erat-erat. Sebab, mencari sahabat itu sulit. Namun, berpisah dengannya itu mudah.”

Maksud beliau adalah, bersemangatlah untuk mencari sahabat yang dapat membantumu untuk taat kepada Allah. (dalam Hilyatul Auliya, jilid 9, hlm. 121).

Yuk, jadilah teman dan sahabat yang baik bagi teman dan sahabat kita. Teman yang bisa mengantar ke surga bersama-sama. Jadi, jangan pernah tinggalkan teman baik. [O. Solihin | IG @osolihin]