Friday, 4 October 2024, 21:47

By: Imatuzzahra

Dari jauh terdengar merdu. Asma Allah mengalun sendu. Sejuk. Indah terasa dapat menginjakkan kakiku di kota ini. Ya, kota sedingin salju yang telah kutinggali enam bulan yang lalu.

Malam mulai merayap. Tapi aku bingung harus menginap di mana. Mataku nanar melihat angkot bersiliweran. Wartel. Ya itulah mungkin solusi.

Kupencet-pencet tombol pesawat itu. Nyambung.

Tut….tut….tut….

“Assalamua’alaikum”, sapaku pada seorang wanita di seberang sana.

“Wa’alaikum salam, nyari siapa Mbak?”, tanya wanita itu.

“Nawang Sari-nya ada?”, jawabku dengan balik bertanya.

“Oh…Mbak Nawang udah pindah”, jawabnya pendek.

Deg. Aku menginap di mana. Kosanku di M. Panjaitan sudah buyar 3 bulan yang lalu. Gusar. Akhirnya kuberanikan diri untuk  mengorek informasi.

“Pindah kemana Mbak?”, tanyaku gugup.

“Nggak tahu ya, ini ada nomor teleponnya kalo mau”, tawarnya.

Pyar. Legalah hatiku. Harapan ada di depan mata, walau hanya numpang tidur saja.

“Berapa Mbak?”, tanyaku semangat.

“412913”, jawabnya  pendek.

“Makasih Mbak, wassalamu’alaikum”, kututup telepon.

Gamang kupencet nomor telepon itu. Aku tak siap bertemu dengan teman-teman lamaku dengan kegagalan ini. Tapi, seandainya akhwat boleh tidur di masjid. Ah, sebel.

412913. Tanganku menombol pesawat dan langsung tersambung.

“Nawang-nya ada ?”, tanyaku gugup.

“Ya, saya”, jawabnya pendek.

“Mbak, ini Laila”, kataku memberi tahu.

“Laila! Heh…dek, kamu di mana?”, tanyanya antusias.

“Jemput ane di gerbang FE, tak tunggu ya cerita ntar”, jawabku dan cepat kututup telepon.

Gerbang FE. Aku harus berjalan sekitar 10 menit lagi. Sepi. Fakultas Teknik begitu menyeramkan. Tapi sudahlah Allah bersamaku. Kukuatkan niat dan tekadku. Kakiku pun melangkah dengan tenangnya.

ooOoo

Lima belas menit tepat. Seorang akhwat berkerudung hitam dengan sepeda motornya menghampiriku.

“Assalamu’alaikum ukhti, gimana kabar anti?”, tanyanya dengan memelukku erat. Damai dalam rengkuhannya. Indahnya ukhuwah. Tak terasa air bening menghiasi kelopak mataku. Sejenak saling berpandangan menyemai kasih kerinduan. Dahi saling beradu. Tangan saling menepuk bahu. Berbahagia karena masih diberikan keistimewaan keistiqamahan yang sama.

“Mbak Nawang mana?”, tanyaku lugu pada seorang akhwat itu yang rupanya Mbak Diana.

“Mbak Nawang kan nggak bisa naik motor”, jawabnya sambil nyewel pipiku.

Oh iya ya, bego banget sih aku ini. Motor pun melaju dengan cepat. Dasar Mbak Diana mau menyaingiku. Sesampai di gang kecil di sebuah jalan Kumis Kucing, motor berbelok. Deg. Berhenti. Ramai rumah itu.

“Ada apa, dan siapa itu?”, tanyaku heran melihat ada dua sosok ikhwan di rumah itu tanpa ada selambu hijab.

“Oh….afwan. dia Mas Yudi dan Mas Nur, kita kan baru pindahan. Di sini ada lima akhwat. Rumahnya banyak yang rusak jadi hijabnya belum dipasang. Kami minta bantuan mereka. Rencana mau dijadikan base camp“, cerita Mba Diana sebelum masuk rumah, seperti tau apa yang ada dalam pikiranku.

Aku hanya diam. Tenggorokan tercekat. Tak menyangka semua berkumpul di sini. Pengurus LSM itu. Ah, subahanallah, mereka tetap kompak seperti dulu. “Selamat berjuang saudaraku”, doaku dalam hati.

Tapi, aku malu. Permaiananku dengan ikhwan itu harus berhenti di sini. Ya 1-1 sekarang. Mereka akhirnya tahu sosokku yang sebenarnya. Walau selama ini mereka hanya mendengar suara penuturan materi jurnalistikku dari balik hijab. Yah toh akhirnya ketauan juga.

Ragu kumasuk rumah itu. Dua ikhwan menatapku dan akhirnya tunduk di atas makanannya. Kulari masuk kamar tanpa menggubris mereka. Lemas.

“Mbak gimana kabarnya?”, tanya Mas Yudi di ruang tengah. Aku terdiam. Aku ragu menjawabnya. Entah apa yang terjadi di luar sana. Aku cuek bebek. Yang jelas Mbak Diana dan Mbak Nawang menyuruhku untuk menemui mereka.

“Ini Laila Mas, yang selama  ini ditanyain terus tuh, kayak apa orangnya. Ya ini orangnya. Si bungsu yang dewasa, si kecil yang kelihatan tua.”, cerocos Mbak Nawang ngeledek diriku.

Aku tersipu. Sempat ge-er karena nggak tahunya aku dalam pikiran mereka. Tapi sudahlah. Astaghfirullah wa naudzubillah, bikin penyakit ati aja.

ooOoo

Hari berganti. Kedatanganku membawa semangat baru. Dakwah mulai digencarkan untuk mewujudkan program LSM yang selama ini hanya sekadar konseptual.

“Ning, kapan ?”, Tanya mas Yudi tiba-tiba dengan panggilan khasnya untukku.

“Apa?!” aku balik bertanya.

Mas Yudi hanya tersenyum. Kubiarkan saja dia dengan kesibukannya. Tanganku semakin cekatan mengoperasikan komputer di depanku. Ya aku lagi membuat website untuk LSM-ku.

“Ning….”, panggilnya pelan.

“Apa sih Bang, kalo nanya cepet nanya, kok bikin orang penasaran aja”, tanyaku sedikit ketus. Bukannya bantuin malah ganggu aja.

“Itu….kapan nikahnya?”, tanyanya ragu.

Gubrags! Dari mana dia tahu aku lagi proses. Aku terdiam. Malu. Kubiarkan dia dengan pertanyannya. Adil. Biar dia juga penasaran juga. Dasar akhwat bandel.

Tanganku asyik dengan tombol-tombol keyboard di depanku.

Kulirik dia. Diapun tertunduk diam.

“Aku pulang dulu, assalamu’alaikum”, Mas Yudi nyelonong saja.

Upss! Marah. “Yah…wa’alaikum salam”, jawabku heran.

ooOoo

Satu  bulan sudah kumengerjakan website. Sempurna. Besok sudah siap di-upload.

“Yes! Selesai! Bagus nggak?”, ceplosku pada Mbak Nawang dan Mbak Diana.

“Lihat dong. Sip sip sip”, puji Mbak Nawang.

Aku tesrenyum puas. Ada sesuatu yang berharga yang bisa kuberikan untuk LSM dan dawah ini.

“Laila…jadi pulang ?”, tanya Mbak Diana tiba-tiba.

“Emang kenapa?”, aku balik bertanya, heran.

“Bukan aku yang tanya, tapi Mas Yudi”, jawabnya agak ketus.

“Mas Yudi?!”, jawabku kaget.

“Ngapain dia tanya-tanya dan ngapain tanyanya ke anti, bukan ke ane, ih lucu, pertanyaannya pesen lagi. Jangan ngarang ya, dosa lo…bikin penyakin ati”, timpalku pada Mba Diana.

“Ih…emang benar dia yang nanya kok. Tadi suruh nanyain. Pagi-pagi udah telepon., emang anti pulang jam berapa?” lanjut Mbak Diana.

“Nggak tau, jam 1 kali”, jawabku santai, ya masih asyik dengan website-ku.

“Lai…..sebenarnya ada hubungan apasih di antara kalian?”, Tanya Mba Nawang tiba-tiba.

Deg. Hubungan? Hubungan apaan sih? Aku bingung apa maksud mereka.

“Eh….kalian jangan suudzon dong, aku ama Mas Yudi nggak ada apa-apa. Lagian kalian tahu ane udah punya calon. Dan ingat, kalian lihat sendiri kan sikap aku ane ama Mas Yudi. Lawong setiap hari kalian menemaniku, liat ane dan Mas Yudi di depan mata…. Ih Dasar!”, jelasku agak kesal.

“Iya sih Lai, ane tahu itu. Tapi….ya kayaknya ada yang ganjil dan gak beres”, protes Mbak Diana.

“Sudahlah Mbak, ane juga sudah ngasih lampu kuning kok ama dia, agar tak menyalahgunakan kepercayaan persaudaraan ini atas dia”, tandasku pada mereka.

ooOoo

Malam mulai merayap. Tubuhku terasa capek akibat terguncang di atas kereta.

“Mbak telepon”, suara keponakanku memanggil.

“Mas Yudi”, keponakanku memberi tahu.

Deg. Apalagi maunya. Inlok lagi. Jam sembilan. Wah malam-malam.

“”Assalamu’alaikum”, sapaku pada seseorang di seberang sana.

“Wa’alaikum salam. Ini Yudi, Ning!”, jawabnya memberi tahu.

“Ya…apa Bang?” tanyaku dingin.

“Lagi ngapain?” dia balik  tanya.

“Mau tidur. Capek. Emang ada apa? Udah malam nih. Nggak etis. Kena jam malam lo ntar. Ta bilangkan ke atas tau rasa lo ya”, jawabku mengancam.

“Eh….kalo boleh saranin kamu cepat nikah”, celetuknya tiba-tiba.

“Nikah? Emang kenapa?”, tanyaku heran.

“Ya. Sebelum timbul korban baru”, jawabnya  datar.

“Korban? Korban apaan? Emangnya kambing kurban yang harus dikorbankan. Sudahlah Bang, aku udah bilang aku berbuat seperti itu kepada semua orang. Tanyakan ama Mas Nur, sikapku ama dia sama seperti kepada Abang. Atau mungkin tanya pada ikhwan lain yang kenal aku. Insya Allah sama. Toh kalo masih ada perasaan itu, ya wallahuallam. Yang jelas aku selalu menjaga ukhuwahku dengan ikhwan agar tak ternodai dengan penyakit hati. Sudahlah sudah malam. Nggak baik tuh ikhwan nelepon akhwat malam-malam”, tuturku menjelaskan. Memberikan warning.

“Afwan ya….”, pintanya pendek.

“Ya nggak ada yang perlu dimaafkan. Mungkin kita harus saling intropeksi diri ajalah. syukron atas sarannya. Wassalamu’alaikum,” telepon kututup.

Diam. Aku diam seribu bahasa di dekat telepon. Baru kumerasakan sebuah kebenaran dari perkataan Mbak Nawang dan Mbak Diana. Pilu. Untuk yang  kesekian kalinya aku seperti ini. Siapa lagi yang akan sakit hati. Kenapa prosesku harus tersendat seperti ini. Ya, keluarga ikhwan minta waktu dan aku harus menunggu. Sabar adalah ujianku.

Malam terus merayap. Akupun terbuai oleh mimpi di atas kasurku yang baru. Baru dibelikan oleh ibuku.

Tit…tit…Tit..tit..Tit…tit..suara ponsel membangunkan tidurku. Kulirik jam dinding. Jam tiga pagi. Pasti teman-teman memberi kode untuk qiyamullail nih. Kuberanjak dari tempat tidur. Kusiram wajahku dengan air suci. Segar. Syetan-syetan yang menempel di pelupuk mata pun berterbangan kepanasan.

Rukuk, sujud telah kutunaikan. Doa pengampunan kulantunkan. Sajadah panjang sebagai saksi. Aku benar-benar merasa menjadi hamba malam ini. Tiada daya dan kekuatan kecuali Engkau ya Rabbi. Hamba hanya manusia yang harus siap menerima ketetapan yang ada. Tapi, satu yang kuminta Ya Allah, kumpulkan aku bersama orang-orang yang bertakwa dan bersama RasulMu tercinta serta ampuni semua dosaku di dunia ini, Ya Allah.

Rembulan tersembul dari balik kaca atap  rumahku. Pendar kuning menghiasi mega nan merona. Indah.

Kuraih ponselku. Kubaca SMS yang tadi kubiarkan saja. “Nomor baru”, desisku.

[Di blik tirai mmbungkus, Ptih bersih rpawan mnawan, Detakan lngkah sunyi, similar pilar jilbab putih. Mmancar keimanan suci. Berkas ptih mmancar, mnmbah bersih kesucian diri, tertera wajahmenyinari, senyum simpul mewarnai, dg sejuta hrapan, walau lautan luas, gunung2 tinggi menghalangi, kuterpaku seribu bhasa. Mg bidadari tetap bersemi. Merekah menambat impian hati-abangmu.]

“Astaghfirullah….sederet SMS panjang. Mas Yudi. Apa yang terjadi pada dirimu Bang. Kenapa kau tulis puisi ini. Selama ini kau tak pernah berukir kata seromantis ini. Kau yang kukenal adalah sosok ikhwan yang anti akan hal-hal seperti ini. Tapi…Sudahkah kau berubah dan aku tak tahu bagaimana dirimu saat ini. Tapi Bang aku tak akan ber-suudzon padamu. Moga kau baik-baik saja”, gumamku dalam hati sambil berdoa.

ooOoo

Di base camp aku masih mengotak atik website-ku. Nanti sore akan di-upload. Setelah beberapa jam Mas Yudi datang di BaseCamp. Sendirian. “Di mana Mbak Diana”, tanyaku dalam hati.

Aku hanya terdiam berlagak tak peduli atas kedatangannya. Ya, kalo memang nggak perlu kenapa harus ditanggepi.

“Assalamu’alaikum”, sapanya sambil duduk di kursi tamu.

“Wa’alaikum salam”, jawabku pendek.

“Udah selesai Ning?”, tanyanya memastikan.

“Udah tinggal menyempurnakan aja. Ada sedikit yang masih salah. Ashar Insya Allah selesai”, jawabku pasti. Kami terdiam. Tak ada pembicaan selama beberapa menit. Ya di base camp hanya ada kami berdua.

“Ning, aku boleh nanya sesuatu nggak?”, tanyanya pelan.

“Tanya aja kalo bisa jawab, ya aku jawab. Kalo tak bisa ya, afwan ane nggak bisa menjawabnya”, jawabku datar.

“Jujur ya”, dia memastikan. Aku mengangguk.

“Kalo boleh tahu prosesmu sampe di mana? Dan bagaimana statusmu sekarang?”, tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam. Tenggorokanku tercekat. Pilu. Kenapa pertanyaan itu harus keluar. Ya..jujur aku selalu sedih bila ditanya tentang prosesku. Kuhanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Diam dan diam yang kulakukan. Aku tak kuasa untuk menjawabnya. Akupun tertunduk.

Mas Yudi juga terdiam. Ia menunggu jawabanku. Kucoba untuk menggerakkan jariku, menyempurnakan website-ku. Lemas. Tak ada daya untuk bekerja.

Kembali kutarik nafas dalam. Akhirnya kujawab pertanyaannya.

“Prosesku sampe pada khitbah dan sekarang masa ta’aruf. Status ane akhwat pinangan”, hanya itu yang kujawab. Pendek tapi sudah bisa mewakili semua pertanyaan yang dia lontarkan pada diriku.

“Jadi nggak ada ikhwan lain yang bisa mengkhitbahmu”, tanyanya melas.

Aku mendesah. Kutolehkan wajahku untuk memadang seseorang yang duduk agak jauh dariku. Dia hanya tertunduk dengan mainan kertas di tangannya. Ingin kupastikan kenapa ia bertanya seperti itu. Dia hanya tertunduk dan semakin dalam. Masih sempat kulihat dia menggigit bibirnya dan akhirnya kulemparkan pandanganku ke luar jendela.

“Ya…aku tak boleh menerima lagi ikhwan lain karena aku telah mengatakan ya, akad khitbah telah diucapkan dan kami harus saling menjaga keutuhan proses ini”, jawabku menjelaskan.

“Tapi kenapa tidak cepat dilakukan?’, tanyanya memburu.

“Ya Abang sudah tahu ceritanya. Keluarga ikhwan minta waktu dan aku memang harus menunggu karena telah menjadi keputusanku. Ya, aku harus menanggung resiko ini Bang”, suaraku tercekat.

“Seandainya ada ikhwan yang mau mempercepat itu apakah calon suamimu akan mengizinkan?” tanyanya menyelidik.

Deg. Tak menyangka dia akan ngomong seperti itu.

“Bang, proses kami telah berjalan lama. Kuharap Abang tahu perasaan kami berdua. So, afwan semua sudah jelas. Ibarat bunga aku telah bertangkai. Dan tak ahsan bila aku memilih tangkai karena tangkai telah ditetapkan oleh Allah dan itulah yang terbaik untukku”, tuturku menegaskan.

“Ya sudahlah. Moga kau bahagia. Moga dimudahkan dan disegerakan proses pernikahanmu. Satu yang kuminta. Semoga aku tidak futur atas kejadian ini, doakan aku tetap istiqamah. Walaupun mawar telah bertangkai kau tetap saudara sejati dan adik yang terbaik dalam hidupku ini. Maafkan aku. Mungkin aku harus menenangkan diri dulu”.

Mentari sore meredup tertutup awan di atas sana. Gelap. Rupanya hujan akan turun seiring kegundahan. Seiring air bening ini. Moga ukhuwah tetap bersih suci. Mengiringi langkah dawah ini.[]

Untuk saudara seperjuanganku di Malang: Cepet nikah, ya Bang!

Imatuzzahra adalah nama pena dari Nur Karimah. Lahir di Blitar 24 Mei 1985.

[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda, edisi Januari 2006]

3 thoughts on “Mawar Telah Bertangkai

  1. berhuznuzhanlah slalu pada Allah,,karena Dia maha Tahu mana yang terbaij buat hambaNya.
    Smoga kita termasuk orang yang yang sabar dalam menerima takdir Allah

  2. asslm..mbak,mengahrukan ya ceritanya..moga pembaca yang lain nya..bisa mendalami sarat makna dari cerpen mbak..sukses selalu ya mbak.. by syifa NAD

Comments are closed.