Sunday, 28 April 2024, 03:57

Wacana pluralisme agama, yang secara sederhana menolak klaim kebenaran satu agama tertentu, biasanya dihubungkan dengan wacana kesatuan transendental agama-agama (KTAA/transcendent unity of religions) rumusan Fritchof Schuon. Wacana ini membayangkan adanya titik temu antar-agama pada level esoteris. Gagasan itu mulanya distematisasikan oleh Schuon kemudian diamini oleh para sarjana lintas agama, dan kini telah memberi nuansa baru dalam dialog antar agama.

Dalam paradigma ‘baru’ ini, masing-masing agama tidak dibolehkan mengklaim memiliki kebenaran secara mutlak karena masing-masing mempunyai metode, jalan, shariah, tarikat, bentuk untuk mencapai yang Absolut. Semua agama sama dalam esensinya dan berbeda hanya di dalam bentuknya. Esensinya sama karena semuanya didasarkan kepada sumber yang sama, Yang Absolut, dan bentuknya berbeda karena manifestasi ketika menanggapi yang Absolut.

Gagasan titik-temu antar agama merujuk kepada internal, batin, esoteris, yang berada di dalam domain transcendent, dan bukan di dalam bentuk, eksoteris (zahir). Sebagai hasilnya, semua agama memiliki kesahihan dan karenanya setiap agama memiliki metode sah untuk mencapai yang Absolut.[1]

Jadi, menurut gagasan ini, setiap agama wahyu adalah the religion dan a religion. Kedua-duanya tidak boleh dipisah secara total. Kebenaran (Truth) itu terletak di luar bentuk-bentuk, sekalipun wahyu berasal dari Kebenaran yang termanifestasikan di dalam diversifikasi bentuk, yang terbatas dan berbeda.

Pemaparan ringkas di atas menunjukkan kesatuan transcendental (transcendent unity) adalah istilah kunci dalam wacana titik-temu antar agama. Al-Attas, menolak secara kritis gagasan itu. Menurut al-Attas, makna sebenarnya dari ‘kesatuan’ itu sendiri tidaklah jelas. Apakah ‘kesatuan’ itu berarti ‘persamaan’? Jika begitu, maka jelas keliru, sebab konsep Tuhan dalam Islam jelas berbeda dengan agama-agama lain.[2] Al-Quran menyebutkan: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam” (5:72). Selain itu, al-Quran juga menyebutkan: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga.” (5: 73). Selainitu juga, al-Quran ada menyebutkan: Orang-orang Yahudi berkata Uzair itu putera Allah dan orang Nasrani berkata al-Masih itu putera Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Di’laknati Allah-lah mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling?

Jika yang di maksud dengan ‘kesatuan’ itu adalah adanya ‘ketidaksamaan’ dan ‘diversifikasi’ dalam level transcendent dan makna ‘kesatuan’ itu dimaksudkan sebagai keterkaitan antara bagian-bagian yang membentuk satu totalitas yang terpadu, maka posisi dan fungsi agama di situ adalah sebagai bagian (komponen) yang saling berkaitan dalam membentuk satu unity. Jika itu yang dimaksud dengan unity, maka dalam level eksoteris (zahir), dimana manusia memiliki keterbatasan – maka agama apa pun menjadi tidak sempurna, karena agama satu tidak dapat eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain.

Ini jelas pendapat yang salah, karena risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw mampu eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain. Justru kehadiran Islam adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan agama-agama para nabi sebelumnya yang telah berubah. Islam adalah sempurna (al-Maidah: 3). Rasullullah saw adalah nabi yang diutus Allah untuk seluruh manusia (al-Araf: 158). Jadi, Islam adalah agama yang universal, karenanya kebenaran yang ada di dalam al-Quran tidak terbatas untuk orang-orang Muslim saja.

Jika yang dimaksud dengan ‘transendent’ itu adalah kondisi ontologis absolut, yang selalu tetap ada – maka pada tingkatan ini pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain.

Dalam kondisi ontologis yang absolut seperti itu, agama-agama lain memahami Tuhan sebagai rabb bukan ilah. Iblis juga memahami Tuhan sebagai rabb, bukan sebagai ilah. Jadi, mengetahui Tuhan sebagai rabb tidak berarti mengetahui-Nya sebagai ilah. Banyak orang yang hanya memahami Tuhan sebagai rabb dalam level transcendent, sebagaimana kaum musyrik Arab dahulu. Akan tetapi memahami-Nya sebagai rabb akan salah, jika tidak diikuti dengan memahami-Nya sebagai ilah, yakni tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh Nya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yg telah di utus-Nya. Jika hanya mengakui-Nya namun mengingkari cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui-Nya, maka seseorang itu akan disebut kafir karena ia tidak benar-benar berserah diri kepada-Nya. Iblis yang mempercayai Tuhan yang satu, mengakui-Nya sebagai pencipta alam semesta, masih juga di sebut kafir disebabkan pengikaran kepada perintah-Nya. Jadi, bentuk cara, jalan, sama pentingnya dengan mengakui-Nya.

Jika yang dimaksud dengan transendent itu adalah merujuk kepada kondisi psikologis pada level pengalaman (experience) dan kesadaran yang menurut pengikut konsep KTAA bisa ‘melampaui’ tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum, maka makna ‘kesatuan’ seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘agama’, tetapi hanya merupakan pengalaman keagamaan (religious experience). Maka, untuk apa agama diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia, jika dikatakan, mereka tidak pernah bisa sampai dan bersatu pada level transcendent itu? Jika memang level esoteris hanya bisa di raih oleh elit tertentu, maka gagasan KTAA seharusnya menjadi gagasan kesatuan transcendental pengalaman keagamaan. Namun, ini jelas salah, karena fungsi agama Islam bukan saja untuk ummat Islam, bahkan untuk seluruh umat manusia.

Jika kemudian yang di maksud dengan penganut KTAA dengan istilah ‘kesatuan’ itu adalah bukan bagian-bagian yang membentuk totalitas yang padu, tetapi merupakan ‘totalitas’ itu sendiri, maka ‘kesatuan’ itu bukan bermakna ‘kesamaan agama’.

Tapi, mereka sudah bicara tentang konsep Tuhan itu pada level transcendent dimana masing–masing agama dianggap sah di dalam bentuknya yang terbatas dan menyampaikan kebenaran yg sama secara terbatas pula. Pendapat ini pun tidak benar, masing-masing agama memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeda satu sama lain.

Selain hal di atas, gagasan KTAA dikembangkan lebih jauh oleh sebagian kalangan dengan berargumentasi bahwa Islam adalah ketundukan atau penyerahan diri (submission).

Surat Ali Imran 78 diterjemahkan sbb: “sesungguhnya agama di sisi Allah adalah islam” (sikap berserah diri kepada Allah). Surat Ali Imran 85 juga diterjemahkan sbb: “Barangsiapa mencari selain islam (sikap berserah diri kepada Allah) itu sebagai agama, maka sama sekali tidak akan diterima dari dia, dan di akhirat dia akan tergolong mereka yang merugi.”

Jadi, Islam hanyalah salah satu bentuk dari berbagai bentuk ketundukan atau penyerahan diri (kepada Tuhan) yang lain. Implikasinya, agama – agama lain sebelum Rasulullah saw. juga islam karena islam adalah misi dari risalah semua nabi. Schuon, Nasr dan yang lain-lain kemudian berpendapat bahwa Islam bukan saja merujuk secara spesifik kepada wahyu al-Quran, tetapi secara umum merujuk kepada agama lain seperti Yahudi, Kristen, Hindu, Zoroastria dan Budha. Jadi, sekalipun Islam adalah agama yang benar, tetapi agama-agama lain juga benar.

Dalam pandangan mereka, Allah telah mengutus para Rasul kepada berbagai kaum untuk menyebarkan sikap berserah diri kepada Tuhan. Ini dapat dijustifikasi dari berbagai ayat al-Quran: Surat al-Maidah (5:48) Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (shir’ah) dan jalan yang terang (minhaj). Surat Yunus (10:47); Tiap-tiap umat mempunyai Rasul. Lihat juga ayat-ayat lain seperti; al-Nahl (16: 36), al-Isra (17: 15), al-Qasas: (28: 59), Ibrahim (14: 4).

Penafsiran fragmentatif kalangan KTAA bertujuan untuk menjustifikasi bahwa Islam bukan saja agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. saja, tetapi juga agama-agama yang sudah ada sebelumnya.

Pendapat yang menerjemahkan Islam sebagai sikap berserah diri kepada Allah saja adalah tidak tepat karena Islam adalah nama agama. Islam membetulkan sikap berserah diri kepada Allah yang telah diselewengkan. Ia menolak pendapat bahwa Uzair dan Isa sebagai anak-anak Tuhan. Ia membetulkan bagaimana bersikap berserah diri kepada Allah. Ia juga membawa bentuk baru, yang tanpanya, keislaman seseorang akan di tolak. Justru, melalui bentuk tersebut, sikap berserah diri seseorang itu dapat di uji. Jadi, Islam bukan ‘religion of the heart’ saja. Ia menyatukan (tawhid) antara iman dan amal, hati dan perbuatan, esoteris dan eksoteris. Eksoteris sama pentingnya dengan esoteris. Ia adalah nama agama yang baru yang dibawa oleh Rasul terakhir. Penyimpangan – penyimpangan dari kebenaran ajaran terdahulu disebutkan dalam surat al-Baqarah 2: 42, 75-6, 146-47, 150, 159-60, Ali Imran 3: 78 dan al-A’raf 7: 157. Jadi, Islam datang untuk meluruskan penyimpangan yang telah terjadi dengan membawa bentuk baru yang sempurna.

Sekalipun nabi Musa dan Isa alaihima al-salam mengajarkan sikap berserah diri kepada Allah, ini tidak berarti agama Yahudi dan Kristen yang sudah terinstitusikan adalah agama yang berserah diri kepada Allah. Jadi, tidak tepat jika memaknai ‘islam,’ dengan sikap berserah diri agama Yahudi dan Kristen atau agama –agama lain. Nabi Ibrahim as. di sebut al-Quran sebagai seorang yang berserah diri (muslim), tetapi dengan sikapnya yang berserah diri kepada Alllah dia tidak di sebut sebagai Yahudi atau Kristen. Surat Ali Imran 67 menyebutkan: Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri  (muslim) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.

Selain itu, kata muslim yang mempunyai akar yang sam dengan islam yaitu s-l-m, tidak selalunya merujuk kepada penyerahan diri kepada Allah. Kata tersebut juga bisa digunakan untuk merujuk kepada penyerahan diri kepada manusia. Surat al-Naml ayat 31 menunjukkan: “Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. Begitu juga ayat 38 dalam surat yang sama menyebutkan: Dia (Sulaiman) berkata: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”

Jadi, islam tidak tepat untuk diterjemahkan sebagai sikap berserah diri, karena kata tersebut bisa digunakan di dalam al-Quran untuk juga berserah diri kepada manusia.

Jadi, sekalipun Islam berakar dari kata s-l-m, namun kata Islam sudah bukan lagi sekedar bersikap serah diri. Ia sudah menjadi nama tertentu. Ia sudah menjadi sikap pasrah diri yang benar, dengan mengikuti shariah yang ditetapkan Rasulullah saw. Selain itu, sebelum risalah Muhammad saw, agama –agama lain tidak di sebut muslim, tapi Yahudi dan Kristen. Nabi Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Kristen tapi seorang Muslim yang lurus (hanifan musliman).

Yahudi dan Kristen di sebut ahli kitab atau juga kafir karena menentang kebenaran yang di bawa Rasulullah saw. Menyebutkan mereka sebagai ahli kitab atau kafir menunjukkan ekslusifitas Islam. Jadi, jika inklusifitas Islam terdapat pada pengakuan kepada para rasul yang di utus sebelum Rasulullah saw, maka eklusifitas Islam terdapat pada pembetulan kepada risalah kenabian yang diselewengkan sekaligus disempurnakan dengan shariah yang harus diikuti, seperti mengakui syahadah, shalat, zakat, puasa dan mengakui keesaan Allah, para malaikat, rasul, kitab, hari akhirat dan ketentuan Tuhan. Jadi, Islam adalah ekslusif dan inklusif. Rasulullah saw. mengakui wujudnya misi para rasul sebelumnya, dan seandainya mereka hidup pada zaman Rasullullah saw., kata ibn Arabi, mereka juga akan mengikutinya.  Jadi, orang-orang Yahudi, Nasrani atau siapa saja perlu mengakui kebenaran yang dibawa Rasulullah saw. karena ini adalah bagian daripada sikap berserah diri kepada Allah. Sebaliknya, sikap yang menentang (kafir) terhadap ajaran Rasullullah saw. menunjukkan sikap tidak berserah diri kepada Allah. Orang Yahudi dan Kristen perlu mempercayai eksistensi Rasulullah saw karena nama Rasulullah saw sudahpun disebutkan dalam risalah kenabian terdahulu.

Al-Quran menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah: 62).

Pendapat ini salah karena Islam adalah nama yang diberikan Allah swt. Ia bukan saja bentuk tetapi essensi itu sendiri. Mereka juga membagi konsep syahadah kepada dua level realitas: yaitu Absolut dan relatif. Shahadah pertama adalah absolut dan yang ke kedua adalah relatif. Muhammad saw. adalah Rasul (perantara, manifestasi, simbol) relatif terhadap Absolut. (Fritchof Schuon, Understanding Islam (Great Britain: George Allen & Unwin 1963). Pembagian kepada dua level realitas ini di klaim dapat ditemukan dalam konsep wahdat al-wujud yang dipelopori oleh Ibn Arabi dan kemudian diformulasikan oleh pengikut-pengikutnya.

Apakah betul Ibn Arabi meyakini gagasan KTAA sebagaimana yang di klaim oleh para pembela KTAA? William Chittick, seorang tokoh internasional tentang Ibn Arabi menegaskan bahwa Ibn Arabi membela gagasan KTAA. Chittick menyatakan bahwa dalam pandangan Ibn Arabi, kedatangan Islam tidak menghapuskan agama-agama wahyu sebelumnya. Agama-agama lain tetap sah ketika Islam muncul. Chittick kemudian menulis pendapat Ibn Arabi mengenai hal ini sbb:

Semua agama wahyu (shara’i) adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama wahyu Muhammad seperti cahaya matahari di antara cahaya-cahaya bintang-bintang. Ketika matahari muncul, cahaya-cahaya bintang-bintang tersembunyi, dan cahaya-cahaya mereka terserap di dalam cahaya matahari. Tersembunyinya mereka seperti terjadinya abrogasi agama-agama wahyu yang lain melalui agama wahyu Muhammad. Bagaimanapun juga, sebenarnya mereka ada, sebagaimana adanya cahaya bintang-bintang yang teraktualisasikan. Ini menerangkan mengapa kita diharuskan di dalam inklusifitas agama untuk beriman kepada kebenaran dari semua rasul dan semua agama wahyu. Abrogasi tidak membuat salah (batil)-itu adalah pendapat orang yang tidak tahu.[3]

Terjemahan Chittick tidak tepat karena menerjemahkan halaman yang di kutip dari Futuhat secara fragmentatif. Terjemahan yang lebih komprehensif dari Futuhat sebagai berikut:

Semua hukum agama (shara’i) adalah cahaya, dan di antara cahaya-cahaya ini, hukum Muhammad saw. seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang; jika matahari tampak, cahaya-cahaya bintang tersembunyi dan cahaya-cahaya mereka terserap ke dalam cahaya matahari: tersembunyinya cahaya-cahaya mereka menyerupai hukum-hukum agama, yang telah terhapus (nusikha) oleh hukum-nya saw. sekalipun  mereka sebenarnya ada, sebagaimana adanya cahaya-cahaya bintang. Inilah sebabnya mengapa kita diharuskan oleh hukum universal kita untuk mengimani semua rasul dan mempercayai bahwa semua hukum mereka adalah benar, dan tidak menjadi salah disebabkan terhapus, itu adalah imajinasi orang yang tidak tahu. Jadi, semua jalan kembali untuk melihat jalan Rasulullah saw; jika para rasul hidup pada zamannya Muhammad saw, mereka akan mengikutinya sebagaimana hukum-hukum mereka telah mengikuti hukumnya  karena dia telah diberikan Logos yang Komprehensif (Jawami’ al-Kalim), dan diberikan (ayat al-Quran): “Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang tak terkalahkan” (Al-Fath 48:3), ‘yang tak terkalahkan’(al-Aziz juga berarti jarang, yang sangat dikasihi, yang berharga, yang tidak dapat di raih) adalah dia yang di cari tetapi tidak dapat di raih. Ketika risalah para rasul mencari untuk mencapainya, dia membuktikan mustahil bagi mereka untuk meraih karena dia [karena disukai di atas mereka karena] di utus untuk seluruh dunia (bi bi’thatihi al-‘ammah) dan di beri  Logos yang Komprehensif (Jawami’ al-Kalim), dan posisi tertinggi memiliki tempat yang terpuji (al-maqam al-mahmud) di akhirat, dan Allah telah menjadikan umatnya ummat terbaik yang pernah di bawa untuk manusia (Ali-Imran 3: 110). Ummat setiap rasul sepadan dengan maqam rasul mereka, jadi sadari ini. (Ibn Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah. Beirut: Dar al-Ihya al-Turath al-Arabiyy).

Terjemahan yang lebih komprehensif di atas menunjukkan bahwa Chittick tidak memasukkan pernyataan ibn Arabi secara utuh, padahal Ibn Arabi sendiri mengatakan; “hukum-hukum mereka telah mengikuti hukumnya.” Ini menunjukkan bukan saja hukum-hukum para rasul sebelum Muhammad saw. terabrogasi, tetapi juga secara implisit bisa dikatakan bahwa hukum-hukum tersebut terkandung di dalam wahyu baru yang di bawa oleh Muhammad saw.

Tulisan ringkas di atas menunjukkan bahwa titik temu dalam level esoteris yang dikembangkan oleh Rene Guenon, Schuon dkk tidak tepat. Mungkin setelah mempelajari universalitas ajaran Islam, mereka kemudian menganggap bahwa bukan hanya Islam tapi semua agama mempunyai ajaran yang ‘bersatu dalam level transendent’. Pemikiran ini tidak dapat di terima dalam pandangan Islam, namun mungkin boleh di terima oleh agama-agama lain. Islam adalah penyempurna agama-agama yang sudah ada sebelumnya.

Justifikasi S. H. Nasr yang membela Schuon karena berbagai ayat al-Quran menunjukkan bahwa tiap –tiap umat mempunyai rasul, aturan dan jalan sebagaimana di dalam al-Maidah (5: 48), Yunus (10: 47), Al-Nahl (16: 36), al-Isra: (17:15), al-Qasas: (28:59), dan Ibrahim: (14:4) tidak tepat karena ayat-ayat di atas tidak menunjukkan bahwa setelah kedatangan Rasulullah saw. ajaran agama-agama sebelumnya masih berlaku lagi karena banyak ayat al-Quran yang lain menyebutkan bahwa terdapat distorsi (tahrif) dalam ajaran mereka, seperti: al-Baqarah 2: 42, 75-6, 146-47, 150, 159-60, 174, ali Imran 3: 78, dan al-‘Araf 7: 157.

Selain itu, terdapat perbedaan antara risalah para rasul sebelum Muhammad saw. dengan Rasulullah s.a.w karena beliau adalah penutup dan penyempurna dari risalah sebelumnya dan karenanya Islam itu diturunkan untuk seluruh manusia.[insists]


[1] Fritchof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, Wheaton: The Philosophical Publishing House, 1984, pertama kali diterbitkan tahun 1957).

[2] Prolegomena to the Metaphysics of Islam (1995)

[3] (William Chittick, Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity. New York: The State University of New York Press, 1994).

2 thoughts on “Menjernihkan Ide ‘Kesatuan Agama’

  1. Salam damai,

    Saya setuju bhw kebebasan beragama & saling menghormati pilihan masing2 adalah dasar bagi kedamaian di antara umat beragama yg pluralis ini.

    Namun dgn menyatakan bhw semua agama itu sama saja, itu tidak tepat. Sebagian besar agama mungkin punya kesamaan, yaitu mengajarkan utk berbuat kebaikan kpd sesama, tapi secara fundamental semua agama itu berbeda-beda.

    Misalnya Tuhan yg disembah, konsep tentang penciptaan, dosa, keselamatan, neraka, surga, dll semua beda-beda. Bahkan tdk sedikit yg ajarannya saling bertentangan satu sama lain.

    Biasanya dikatakan bhw semua agama sama krn toleransi antar umat beragama atau semangat pluralisme, padahal sesungguhnya kita tetap bisa hidup rukun & saling menghormati pilihan masing2 org tanpa menyangkali akan adanya perbedaan yg mendasar tsb koq. Contohnya: semangat Bhineka Tunggal Ika.

    Semua agama mengklaim ajarannya sbg kebenaran, tapi mengapa ajarannya berbeda-beda? Kebenaran yg sejati itu spt emas, bisa diuji.

    Silahkan simak artikel “Prinsip Emas” utk menguji kebenaran di link berikut ini: http://www.kristenemasmurni.com/?page_id=76

    Semoga bermanfaat.

  2. Assalamualaikum warahmatullah

    Saya yakin dan percaya dan memahami penjelasan diatas. Moga-moga banyak lagi orang-orang seperti penulis wujud supaya KETERPADUAN mereka yang BERILMU seperti penulis menjadi LEBIH mantap penyebaran.nya. Saya dukung lillahi ta’ala

    Wasallam

Comments are closed.