Monday, 9 December 2024, 02:23

gaulislam edisi 727/tahun ke-14 (20 Shafar 1443 H/ 27 September 2021)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Hal yang paling sering ditemui di kalangan remaja macam kamu, adalah soal pergaulan muda-mudi. Pergaulan antara remaja putra dan remaja putri. Awalnya kenalan, menganggap sebagai teman biasa, tetapi lama-lama jadi teman spesial dan akhirnya pacaran. Dilanjut lebih intim lagi, tak jarang malah berakhir dengan penyesalan karena terpedaya bujuk rayu setan. Ujungnya, hilang kehormatan satu sama lain. Konon atas nama cinta, padahal nafsu belaka. Mengukir dosa, pula. Ngeri, Bro en Sis.

Ada yang sadar setelah berbuat nista? Banyak. Namun, sungguh prihatin dan bikin miris adalah banyak juga yang berprinsip, udah tanggung ngegas terus, ya sekalian aja terjerumus. Berkubang dosa, malah ada yang bangga menepuk dada sebagai bagian dari pencapaian dalam bertualang di kehidupan kelam. Waduh, itu prinsip setan yang dipake. Parah abis, dah.

Betul. Mereka yang merasa udah telanjur basah nih, ya sudah nyebur aja sekalian. Kalo itu urusan mandi sih sederhana, Neng. Gimana kalo itu urusan kehidupan? Apa iya kamu bakalan berani untuk terus berbuat maksiat gara-gara udah ternoda saat pacaran. Bukannya nyadar malah tambah parah. Itu nggak bener cara berpikirnya, Bro en Sis.

Lalu gimana yang benar? Ya, yang benar untuk kasus ini, segera menghentikan sebelum telanjur terjerumus. Namun, ternyata malah banyak yang bablas terus karena merasa udah telanjur. Banyak tuh, akibat pacaran terlalu hot dan akhirnya menjadi terjerumus ke lembah nista bernama maksiat. Ngegas terus, lalu terjerumus.

Jangan main api

Ok, jadi gini ceritanya. Berawal dari pacaran yang mulanya hanya malu-malu tetapi seiring berjalannya waktu malah jadi malu-maluin. Ya, malu-maluin semua orang. Gimana nggak, pacaran model hot begitu rentan bahayanya. Jangankan yang hot sampe bablas melanggar batasan pergaulan, yang adem-ayem aja tetap ada peluang bahaya kok. Bahaya gimana? Bahaya kalo pada akhirnya jadi bablas juga. Cuma bedanya, ada yang jalan cepat menuju bahaya, tapi ada juga yang jalannya lambat. Intinya sama, berada di zona bahaya meski beda jalur menujunya.

Kalo udah kejadian, yang malu siapa? Tentu saja para pelaku pacaran kalo sampe berzina. Ortu masing-masing juga malu karena ternyata anaknya udah bikin malu keluarga dengan sikapnya tersebut. So, ini bermula dari pacaran yang hot banget, lalu ternoda, dan akhirnya merasa telanjur terjerumus lalu melanjutkkannya karena sudah merasa nggak ada harapan untuk menutupi keburukan buah dari pacaran. Awalnya main api, lalu kebakar. Parahnya, bukan menghindar malah ngelanjutin bakar diri. Konyol itu namanya. Beneran!

Ada memang karakter remaja yang bila udah telanjur salah, nggak mau memperbaiki kesalahannya. Malah kabur menjauh. Bukan karena merasa yang dilakukannya benar, tetapi karena dia malu atau mungkin takut dimarahi ortunya. Ketimbang berpikir bagaimaa caranya memperbaiki kesalahan tersebut, dia malah berpikir keras bagaimana melangkah lebih jauh dan mencari pembenaran atas apa yang dilakukannya. Ini tipe anak yang sebenarnya tahu bahwa yang dilakukannya itu salah, namun tak mau disalahkan seutuhnya. Biasanya dia pandai mencari celah untuk menutupi kesalahannya, minimal ia ingin memberikan opini bahwa dia melakukan kesalahan akibat perbuatan orang lain yang menyebabkannya berbuat salah. Ini kan ngakali.

Mereka yang pacaran, malah berlindung di balik keumuman orang lain melakukan pacaran. Malah berani bilang bahwa yang dilakukannya masih mending ketimbang yang dilakukan kebanyakan orang. Jika pun ditanya, kenapa nggak memperbaiki kesalahan? Orang yang seperti ini biasanya berkelit bahwa tak ada gunanya memperbaiki, karena sudah telanjur banyak berbuat salah. Akhirnya memilih membenarkan apa yang dilakukannya karena merasa sudah telanjur jauh terjerumus. Aneh banget kan? Itu sih namanya ngikutin hawa nafsu doang.

Kalo salah, jangan makin parah

Oya, bisa jadi merasa telanjur terjerumus adalah sebagai bentuk protes. Tetapi orang seperti ini lupa, bahwa ketika salah arah namun tetap melawan itu akan terasa makin menyakitkan. Pacaran dan terus pacaran adalah salah jalan. Baik karena merasa nyaman atau karena telanjur terjerumus. Kalo kamu tetap merasa kudu terus jalan meski salah arah, saya yakin ada yang salah dengan cara berpikirmu. Ibarat kita lagi di perjalanan, pastinya ada marka jalan atau rambu-rambu lalu-lintas. Udah tahu ada tanda dilarang parkir, eh kita tetap aja bandel memarkir kendaraan di situ dengan alasan sudah telanjur.

Bisa juga ketika di dalam perjalanan jauh kita membutuhkan peta digital yang dilengkapi GPS di smartphone kamu. Meski peta tersebut tak sepenuhnya detil, karena mungkin update-nya telat, tetapi sudah cukup menjadi panduan untuk menuntun perjalanan kita sesuai tujuan. Saya pernah lho, bareng teman pergi ke Pantai Sawarna melalui jalur Pelabuhan Ratu. Padahal, belum pernah lewat rute itu sebelumnya. Namun, karena berbekal tawakal dan juga panduan peta digital di smartphone yang dilengkapi GPS, alhamdulillah sampe juga ke tempat tujuan. Kalo nggak yakin dengan data yang ditampilan di peta digital, biasanya saya dan kawan menanyakan kepada penduduk setempat di daerah yang dilalui. Beberapa kali dalam perjalanan pulang dari Sawarna menuju Bogor saya dan kawan saya salah arah. Terpaksa menanyakan jalan yang benar dan harus rela berbalik arah atau mengarahkan kendaraan sesuai petunjuk yang benar.

Nah, sekarang bayangin deh sama kamu. Kalo dalam sebuah perjalanan kita ternyata menemukan jalan yang salah, bukan berarti terus dijalani karena merasa telanjur terjerumus. Waduh, kalo tetap ngotot sesuai maunya hawa nafsu, bisa tambah parah. Nyampe kagak ke tempat tujuan, tersesat makin jauh dan habis bahan bakar sudah pasti. Itu namanya konyol gara-gara merasa sudah salah jalan, sekalian aja terjerumus. Gawat! Itu namanya nggak mikir bener.

Hehehe.. saya galak ya dengan nulis begitu? Tergantung sudut pandang, Bro en Sis. Kalo saya menganggap bahwa ada kalanya kita justru berteriak untuk menyelamatkan orang yang salah jalan, ketimbang berkata lirih. Beda kondisinya. Misalnya nih, lebih pas mana untuk menyelamatkan orang yang lagi meleng karena matanya nunduk terus ke gadget-nya, sementara dia hampir masuk jurang: apakah diteriaki agar berhenti atau dibilangin secara lirih? Padahal satu-satunya cara pada kondisi itu adalah dengan lisan. Silakan kamu pikirkan sendiri. Tak selamanya lisan atau tulisan bernada galak itu menyakitkan sepenuhnya. Itu artinya pula, tak selamanya orang yang mengulurkan tangannya berniat tulus untuk menolongmu. Bisa jadi malah ngajak makin jauh ke jurang terdalam kenistaanmu.

Ok, balik lagi ke topik pacaran. Ya, begitu pula dengan pacaran. Sudah tahu bikin kamu rugi karena memang pacaran itu bagian dari salah jalan dalam aturan kehidupan. Tetapi kamu tetap ngotot pengen terus pacaran. Itu namanya kalo rugi berkali-kali wajar dong. Sebab sudah tahu salah jalan, malah bablas aja dengan alasan sudah telanjur terjerumus. Jangan memperpanjang sesuatu yang kamu sendiri sudah tahu dampak akhirnya. Karena kamu akan semakin banyak mengorbankan dan menyakiti. Waspada, Bro en Sis!

Cukup sekali, jangan diulangi

Sobat gaulislam, lupa dan khilaf itu hal yang paling sering kita alami. Namun, orang yang berpikir adalah orang yang belajar dari kesalahan. Jangan sampai diulang atau malah nafsu pengen nerusin kesalahan. Cukup sekali saja, jangan doyan nikmatin maksiat.

Setiap orang bisa berbuat salah, asal jangan sengaja berbuat salah. Ini menandakan bahwa kita masih manusia. Masih bisa salah. Namun, bukan berarti kemudian telanjur basah ketika berbuat salah, sehingga terus menerus berbuat salah. Itu sih namanya doyan. Sebagai muslim yang benar dan baik, kita memang berusaha untuk senantiasa berbuat baik. Semampu kita untuk berada di jalur yang benar.

Itu sebabnya, ketika kita khilaf dan melakukan maksiat, segera bertaubat. Nggak pake lama. Jangan ditunda-tunda. Minimal istighfar dan langkah berikutnya berupaya untuk tak mengulangi dan bahkan akan berusaha menjauhi dan menghindarinya. Menyesal banget. Bila bisa, memang cukup sekali berbuat maksiat. Sebab, meski ada pintu taubat, bukan berarti kamu menganggap enteng perbuatan maksiat dengan alasan nanti akan bertaubat setelah maksiat. Ih, gimana kalo keburu mati sebelum bisa bertaubat? Jangan gegabah ya, sobat!

Kalo dikhianati sama pacar aja pengennya cukup sekali, tapi mengapa untuk masa depanmu di akhirat malah sering berbuat maksiat? Kok sering? Ya iyalah, kalo kamu pengen balik lagi ke mantan kamu lalu pacaran lagi, apa itu nggak ngulang maksiat? Atau, kalo kamu ogah balik lagi ke mantan kamu tetapi kamu punya niat pengen manas-manasin mantan kamu dengan cara cari pacar baru, itu juga termasuk ngulang maksiat. Sama saja.

So, di sini kamu kudu berpikir mendalam dan jernih. Nggak gerasak-gerusuk pengen nurutin hawa nafsumu belaka. Harus ada remnya yang bernama takwa. Ketakwaan yang benar dan baik itu lahir dari akidah atau keimanan yang mantap. Ketakwaan atas dasar keimanan atau akidah yang kokoh juga akan melahirkan taat kepada Allah, tawakal kepada Allah, cinta kepada Allah, dan ridha kepada Allah.

Tuh, kalo bener-bener takwa maka kamu akan memiliki ketaatan kepada Allah Ta’ala. Tawakal kepada Allah Ta’ala akan menjadi prinsip hidup kamu. Cinta dan ridha pun senantiasa menyesuaikan dengan aturan yang Allah Ta’ala tetapkan. Itu artinya, kamu seharusnya nggak bakalan berbuat maksiat berulang kali kalo kamu takwa sama Allah Ta’ala. Beneran, lho. Lagian, orang yang bertakwa bukan berarti tak pernah berbuat salah. Tetap aja sebagai manusia bisa berbuat salah. Hanya saja, orang yang yang masih memiliki ketakwaan, ia akan mudah untuk segera bertaubat dan meninggalkan kesalahannya.

Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Lebih keren lagi nih, kalo udah taat, tawakal, cinta dan ridha kepada Allah, akan menuntun kamu untuk ihsan dalam beramal. Amal terbaik akan senantiasa diupayakan. Kalo udah begitu, maka bukan tak mungkin kamu jadi orang yang istiqamah di jalan kebaikan dan dalam kebenaran Islam. Itu poin lebihnya, Bro en Sis. Ujungnya, ya mengharap keridhaan Allah untuk mendapatkan surga-Nya kelak dalam amal shalih yang kita semai sambil berharap rahmat dan ampunan dari Allah. Oya, kudu dicatat juga bahwa bagaimana mungkin kita dapetin rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala kalo kita nggak pernah beramal baik? Silakan direnungkan.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah (surga) yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushshilat [41]: 30)

Saya rasa kamu pengen banget masuk surga, kan? Saya juga pengen kalo soal itu. Namun, ibarat kamu pengen masuk sekolah favorit, tentu syarat dan ketentuan berlaku, dong. Nggak semua orang bisa masuk ke sekolah tersebut. Perlu disaring. Tuh, untuk urusan dunia saja ada syarat dan ketentuannya, apalagi urusan akhirat. So, perbaiki diri agar mudah dapetin ‘tiket’ ke surga. Jangan merasa karena udah telanjur, ya sekalian aja nyebur. Nggak gitu, dong.

Jadi, mulai sekarang, kalo kamu masih pacaran, segera putusin aja pacarmu sebelum ajalmu lebih dulu menjemput. Kamu wajib menyesal atas dosa yang udah dilakukan. Jangan mengulangi lagi. Jauhi semua potensi yang bakal bikin kamu balik lagi untuk ngelakuin hal nista tersebut. Banyak istighfar, banyak berdoa, dan perbanyak amal shalih. Bismillah. [O. Solihin | IG @osolihin]