Saturday, 27 April 2024, 09:08

Menyampaikan kebenaran tak selalu harus terasa langsung hasilnya. Aku bahkan hampir putus asa. Tapi, akhirnya temanku bisa menjemput hidayah itu. Perubahan ternyata hanya soal waktu.

Kota Bogor, tiga tahun yang lalu. Waktu itu hari pertama aku menginjakkan kaki di Kota Hujan. Kebetulan aku diterima sebagai mahasiswa IPB, Fakultas Kehutanan. Beruntung kampus ini menyediakan asrama bagi mahasiswa barunya, dan itu program wajib bagi mahasiswa baru, sehingga aku dan orangtuaku tidak usah pusing-pusing mencari tempat kos.

Aku masih ingat pertama kali masuk asrama. Setelah menyelesaikan administrasi, ditemani orangtuaku, aku mencari nomor kamar yang akan menjadi tempat tinggalku selama setahun itu. Aku ditempatkan di kamar nomor 193 lorong 5. Kabarnya aku akan ditempatkan bareng dengan dua teman baruku, Lia dan Lena namanya. Sambil berjalan menuju kamar aku bertanya-tanya dalam hati, “Wajah teman sekamarku seperti apa? Baik nggak sih? Agamanya apa?” Pokoknya berbagai pertanyaan yang hadir di otakku yang buat aku jadi pusing sendiri.

Di depan pintu kamar, kudengar ada suara orang. Sepertinya sudah ada yang mendahuluiku. Siapa ya? Apakah itu teman sekamarku? Aku kemudian mengucapkan salam dan masuk ke dalam kamar. Agak canggung aku memperkenalkan diri. Oh ternyata dia adalah teman sekamarku namanya Lena, dia nggak sendirian, tapi diantar sama ibu dan pamannya.

Alhamdulillah dia berkerudung, berarti menandakan agamanya Islam. Syukurlah, batinku. Setelah beberapa jam ngobrol, kita jadi semakin dekat. Tapi sayangnya, dia nggak bisa bermalam di asrama. Yah, ga apa-apa, toh aku sudah berjanji akan kuat menghadapi apapun yang terjadi. Terpaksa malam itu aku harus tidur sendiri.

Beberapa minggu berlalu, akhirnya lengkap sudah penghuni kamar 193 dengan namanya yang triple L (Lesi, Lia dan Lena). Alhamdulillah, semuanya beragama Islam, walaupun Lia tidak pake kerudung. Kami pun semakin akrab dan aku pun mulai mengenal karakter mereka. Lia yang anaknya agak gaul, cuek dengan penampilan dan pakaian jeans serta T-shirt agak ketatnya kalo keluar dan suka musik kerasnya Linkin Park. Lena yang cenderung tertutup, agak manja dan senang dandan. Sedangkan aku, dengan latar belakang pemahaman Islam yang sedikit baru bisa menunaikan kewajiban seorang muslimah yaitu berjilbab dan berkerudung.

Aneh memang jika dibayangkan ketiga orang yang punya ‘keunikan’ masing-masing bisa disatukan dalam satu kamar. Tetapi kita tidak mempersoalkan masalah itu. Walau pun ada beberapa hal yang kami tidak sependapat, apalagi kalo berbicara masalah syariat Islam. Kupikir memang agak susah, apalagi selama ini mereka belum pernah mendengar seperti itu. Kebetulan aku sudah mulai mengkaji Islam lewat mbak yang berasal dari daerah yang sama denganku. Kupikir ini tantangan bagiku, dakwah ke orang yang terdekat denganku, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dulu.

Hampir melupakan teman

Beberapa bulan berlalu, tak terasa sudah hampir setengah tahun. Aku yang semakin asyik dengan kegiatanku sendiri, semakin jarang bersama-sama dengan kedua orang temanku itu. Aku jadi agak jauh, dan itu membuat mereka malah tidak bisa menerima ide yang kubawa, karena selama ini aku memang jarang ngobrol panjang lebar dengan mereka.

Kuakui, itu kesalahan besar. Aku jadi nggak maksimal. Aku merasa bersalah tidak mampu mengajak mereka untuk merasakan apa yang kurasakan saat ini, karena ketika kuajak untuk ikut kegiatan keislaman mereka selalu menolak. Akhirnya, kupikir tidak ada gunanya lagi mengajak mereka atau menyampaikan tentang Islam ke mereka. Toh, nggak ada hasilnya. Aku sudah putus asa, nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku berharap Lena yang pake kerudung bisa kuajak mengkaji Islam, ternyata gagal. Berharap pada Lia yang karakternya “kayak gitu”, aku rasa tidak mungkin! Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menceritakan tentang khilafah atau wajibnya seorang perempuan menutup aurat dengan jilbab dan kerudung.

Ada sesuatu yang terjadi dengan teman sekamarku Lena. Akhir-akhir ini dia mulai jarang masuk kuliah, katanya sih ada urusan keluarga. Tapi kok keluarganya nelpon ke ponselku menanyakannya. Sebab kata orang tuanya, ponselnya nggak bisa dihubungi. Aku jadi bertambah bingung, ke mana anak itu. Konsentrasi belajarku jadi agak terganggu dengan masalah ini. ketika Lena datang, Aku mencoba menanyakan masalahnya, tapi karena sifatnya yang tertutup, aku gagal. Aku hanya sempat menasihati dia, bahwa kita harus sungguh-sungguh kuliah, karena ini adalah amanah orangtua kita. Tak banyak orang yang bisa kuliah, kita termasuk orang yang beruntung. Sedih hatiku, ketika akhirnya Lena harus keluar dari IPB. Malam itu ia datang bersama pamannya, membawa semua barangnya. Tak satupun yang tersisa, Aku dan Lia ikut membantu dengan hati yang sedikit kecewa. Namun, lama kelamaan kami sudah mulai melupakan kejadian itu seiring banyaknya tugas-tugas kuliah.

Hidayah buat Lia

Ketika kami dapat kuliah PAI (Pengantar Agama Islam), ada yang namanya mentoring. Ketika mentoring, semua mahasiswi muslimah harus pake kerudung. Lia yang memang nggak biasa pake kerudung menggerutu, sebab dia tuh kalo pake kerudung lama banget dan susah rapinya. Katanya padaku gerah dan kalau makan susah buka mulutnya. Aku hanya tersenyum saat itu dan bilang padanya memang gitu kalau baru pertama, tapi kalau udah biasa nggak kok.

Saat keluar dari asrama pun tiba. Lia yang jurusan kimia itu harus pindah ke kampus IPB yang ada di Baranangsiang, di pusat kota. Cukup jauh dari tempat kos dan kuliahku. Akhirnya kami tidak pernah ketemu, SMS pun jarang.

Sampai suatu ketika aku terkejut mendapat sebuah pesan singkat. Oh, ternyata SMS dari Lia. Aku senang sekali katanya mau datang ke kosku. Lama kutunggu akhirnya datang juga, aku benar-benar kaget dan tak bisa berkata apa-apa ketika melihat Lia dengan kerudung lebar dan baju potongannya. Nyaris sempurna lirihku dalam hati. Lia sudah berubah! Walaupun kutahu ia berbeda kelompok dakwah denganku, tapi kuyakin tujuan perjuangan kita sama.

Lebih mengagetkanku ketika dia minta ditemenin untuk nyari kaset nasyid. Padahal dulu… Ah, Lia aku bangga padamu. Seperti halnya musim, kamu bisa berubah. Tentu, berubah menjadi lebih baik. Kau mampu menjemput hidayah itu. Semoga perubahan ini tidak sesaat. Aku jadi ingat sahabat Nabi, Umar bin Khaththab, yang dengan cahaya Islam membuat ia menjadi sosok pembela Rasul yang ditakuti kaum kafir. Aku jadi semakin yakin, bahwa Islam adalah fitrah. Dengan hidayah Allah, penjahat sekalipun bisa berubah menjadi baik. Semoga engkau tetap istiqamah ukhti. [seperti yang dituturkan Lesi kepada SoDa]


[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda, edisi Agustus 2006]

1 thought on “Seperti Musim, Kita Bisa Berubah

Comments are closed.