Saturday, 20 April 2024, 02:17

Brak!!! Diyan membanting pintu kamarnya dengan keras. Brug! Tas sekolahnya dilempar ke kasur. Pluk! Seekor cicak terjatuh saking kagetnya ngedenger pintu dibanting. Waaa!! Kalo ini Diyan ngejerit karena cicak itu jatuh tepat di kakinya.

Setelah berjingkrak-jingkrak nggak karuan, badannya pun ikut ambruk menyusul tasnya. Di sudut matanya terlihat aliran bening air mata. Sedih nih yee? Yaa gitu deh!

Diyan sedih bukan lantaran kejatuhan cicak. Bukan juga lantaran nggak diizinin pak RT jadi peserta lomba panjat pinang. Pelajar kelas dua SMA ini lagi ngambek ama mamanya. Soalnya mama belon ngijinin doi untuk jalan-jalan ke mal sampe sore sepulang sekolah; atau minta jatah uang sakunya dijadiin bulanan; atau ikut clubbing di malam minggu bareng temen-temennya; atau pake baju tang top ngikutin tren; atau punya temen deket cowok dan masih banyak lagi tren remaja yang pengen Diyan ikutin. Padahal Diyan udah udah tujuh belas tahun. Dan temen-temen sebayanya pada bisa ngikut tren. Kenapa Diyan nggak boleh? Makanya dari sepulang sekolah tadi, doi mogok keluar kamar. Kecuali pas lagi laper, pengen ke toilet, pas mamanya nawarin es krim, atau pas tukang somay kesenengannya lewat. Yeee…mogok kok banyak kecualinya.

Kasus model Diyan di atas kayaknya sering banget deh kita denger. Bisa jadi kita juga pernah ngalamin (ehm…ehm…jadi malu). Di usia yang menginjak remaja, kita sering ngerasa ortu belon ngasih kita kebebasan. Ortu masih nganggap kita anak kecil. Setiap jengkal keseharian kita masih diatur ama ortu. Dari mulai bangun tidur sampe tidur lagi. Sementara di luar rumah, alam kebebasan yang mulai banyak digandrungi temen-temen remaja menggoda kita untuk mencicipinya. Enak kali ya?

Kenapa pengen bebas?
Memasuki umur belasan tahun, biasanya remaja mulai merasakan perubahan yang terjadi pada dirinya. Dari mulai perubahan fisik sampe non fisik yang meliputi kelabilan emosi, perkembangan jiwa, dan pembentukan karakter. Tapi nggak pake perubahan identitas jadi Ksatria Baja Hitam atau Sailor Moon lho. Suara yang pecah, adanya jakun pada cowok, atau mulai tumbuhnya –maaf- payudara pada cewek menunjukkan adanya perubahan fisik. Tapi untuk perubahan non fisik, nggak terlalu keliatan. Kita cuma bisa nebak dari gejala yang ditunjukkan remaja dalam perilakunya. Pakar psikologi bilang, fase ini dikenal dengan proses pencarian jati diri yang dilalui remaja untuk mengetahui peranan dan kedudukannya dalam lingkungan sekaligus mengenali dirinya lebih dekat. Catet tuh!

Dalam proses pencarian jati diri ini, remaja biasanya memerlukan kemandirian yang menurut Sutari Imam Barnadib meliputi: “Perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain�. Ya, alon-alon remaja berusaha melepaskan ikatan psikis dengan orangtua. Mereka pengen dihargai sebagai orang dewasa. Pengen bisa berpikir secara merdeka; bisa mengambil keputusan sendiri; punya hak untuk menerima atau menolak masukan dari pihak lain; dan belajar bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannya.

Robert Havighurst menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, pertama emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orangtua. Kedua aspek ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orangtua.

Ketiga, aspek intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Dan terakhir, aspek sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.

Itulah sedikit tinjauan psikologis akan kebebasan yang dikehendaki remaja. Intinya sih, remaja pengen mandiri. Nggak cuma makan atau mandi sendiri, tapi juga dipercaya dalam berpikir, berbuat, dan bersikap sesuai dengan keinginannya. “Masa’ Mama nggak ngerti sih?� pikir Diyan.

Ketika kebebasan menjadi kebablasan
Sobat, setiap orangtua pasti ngerti kalo suatu saat nanti, mereka kudu rela melepaskan anaknya hidup mandiri. Dan emang bagusnya, proses itu diawali oleh orangtua ketika sang anak menginjak usia remaja. Namun, pergaulan remaja modern yang kental dengan nuansa kebebasan bikin sebagian orangtua keberatan untuk memenuhi keinginan anaknya.

Ya, gimana nggak, gencarnya arus budaya Barat yang membidik remaja membuat tuntutan kebebasan remaja bergeser menjadi liar tak terkendali. Pola hidup sekuler yang dipraktekkan masyarakat Barat jelas-jelas bertolak belakang dengan kehidupan kita selaku muslim. Parahnya, gaya hidup sekuler itu makin populer di mata remaja dan sering kali menjadi acuan dalam perjalanannya mencari identitas diri. Bahaya kan?

Beberapa akibat kebebasan yang kebablasan hasil jiplakan remaja terhadap budaya barat adalah:

Pertama, free thinker alias bebas berpikir. Remaja ngerasa punya hak untuk berpikir tanpa dibatasi oleh norma-norma agama. Terutama dalam upaya mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi atau cara untuk meraih keinginannya. Nggak ada yang ngontrol saat benaknya ngasih jalan pintas untuk beresin masalahnya. Bisa bunuh diri, nge-drugs, atau nyekek botol minuman keras. Bisa juga jadi pelaku kriminal atau cewek �bispak’ pas lagi nggak punya doku.

Nggak ada juga yang ngasih pengarahan di benaknya saat kebutuhan nalurinya minta dipenuhi. Demi popularitas dan limpahan harta, harga diri dan kehormatan rela dipertaruhkan di kontes kecantikan. Ketika pornoaksi bin pornografi yang mudah ditemui menggedor hasratnya, apa aja bakal dijabanin asalkan terpuaskan. Urusan dosa atau penjara, itu mah belakangan. Ih, ngeri banget deh jadinya.

Kedua, permissif alias bebas berbuat. Mau ngapain aja di mana aja jadi prinsip remaja dalam berbuat. Pokoknya serba ada, eh serba boleh. Mulai dari cara berbusana, berdandan, berbicara, bergaul, atau berperilaku. Bangga jika daya tarik seksualnya disapu setiap mata lawan jenis yang jelalatan. Antimalu jadi pusat perhatian orang lantaran dandanannya yang urakan, norak, dan kekurangan bahan. Dan nggak punya rem buat ngendalian tutur katanya. Ceplas-ceplos bin asal bunyi. Dan semuanya dilakukan tanpa risih dengan mengantongi label kebebasan berekspresi. So what gitu lho! (Yako banget neh!)

Ketiga, free Sex alias pergaulan bebas. Saat ini, pergaulan bebas antar lawan jenis yang banyak digandrungi remaja sangat mudah terkontaminasi unsur cinta dan seks. Apalagi ditambah dengan kampanye teselubung antijomblo yang diopinikan media via sinetron remaja. Setiap remaja ngerasa kudu punya gacoan biar eksis dalam pergaulan. Nggak sebatas punya gacoan, pergaulan bebas pun sangat membuka peluang bagi remaja untuk aktif melakukan aktivitas seksual. Pemicunya, bisa karena nonton vcd porno yang dijual bebas atau melototin tayangan erotis di televisi. Kurangnya kontrol dari orangtua, sekolah, atau masyarakat bikin mereka enjoy berpetualang menikmati kepuasan sesaat. Gaswat dongs?

Nah sobat, coba aja bayangin. Gimana nggak keder ortu dengan akibat kebebasan remaja yang kebablasan seperti dipaparkan di atas. Niat ortu ngasih kebebasan biar mandiri, bisa-bisa nyasar malah anak remajanya kehilangan harga diri. Makanya kita pantas ber-husnudzan ama ortu. Kalo pengen dipercaya ortu, jalin komunikasi dan tunjukkin dong kalo kita udah dewasa dan siap belajar mandiri. Nggak perlu pake ngambek. Malu kan ama seragam SMA-nya? Hehehe…

Dewasa di usia remaja
Sobat, kemandirian bagi remaja memang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan jiwanya. Tapi kita kudu mikir seribu kali kalo remaja dibiarkan menafsirkan sendiri kebebasan yang dikehendakinya. Jiwanya yang labil sangat mudah terwarnai oleh lingkungan sekitar. Gelora jiwa mudanya paling gampang terpincut ama budaya Barat yang steril dari aturan Islam. Makanya kudu ada perhatian agar generasi muda Islam nggak salah langkah dalam menapaki jalan panjang mencari jati diri.

Kita sebagai remaja muslim wajib nyadar kalo kebebasan dalam berpikir dan berperilaku nggak pernah diajarin dalam Islam. Islam ngajarin adanya kehidupan akhirat yang akan memintai pertanggungjawaban setiap amal perbuatan kita di dunia. Otomatis ini nyambung dengan tabungan pahala dan dosa yang kita kumpulkan sepanjang hidup di dunia. Tiket surga bakal kita peroleh kalo pahala kita surplus. Sebaliknya, kita bakal diceburkan ke dalam neraka seandainya dosa kita yang surplus. Dan pahala itu baru kita dapetin kalo Allah ridha dengan perbuatan kita. Itu berarti keterikatan dengan aturan Islam seharusnya jadi standar perbuatan dalam keseharian kita. Kalo udah gini, masa’ iya kita mau melepaskan diri dari aturan Allah demi sebuah kebebasan? Allah Swt. berfirman:

?£???????­???ƒ?’?…?? ?§?„?’?¬???§?‡???„?????‘???©?? ?????¨?’?????ˆ?†?? ?ˆ???…???†?’ ?£???­?’?³???†?? ?…???†?? ?§?„?„?‡?? ?­???ƒ?’?…?‹?§ ?„???‚???ˆ?’?…?? ?????ˆ?‚???†???ˆ?†??
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50)

Sebagai pengingat, kita bisa renungkan firman Allah Swt.:

?ƒ???„?‘?? ?†?????’?³?? ?¨???…???§ ?ƒ???³???¨?????’ ?±???‡?????†???©?Œ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, (QS al-Mudatsir [74]: 38)

Usia remaja mengharuskan kita belajar untuk bertanggung jawab. Masa depan di dunia dan akhirat ada di tangan kita. Bukan dalam genggaman orangtua atau uluran tangan dari seorang teman. Proses pembelajaran itu bisa kita awali dengan mengkaji Islam dengan giat. Agar keimanan kita terhadap hubungan kehidupan dunia dan akhirat terpatri dengan kuat. Selain itu, aturan Islam yang komplit juga menawarkan solusi untuk setiap permasalahan hidup yang kita temui. Pemahaman Islam kayak gini yang akan membiasakan kita untuk berpikir panjang sebelum berbuat. Hawa nafsu dan godaan setan mampu kita tundukkan. Sehingga setiap langkah yang kita ambil bisa memberikan kebaikan. Inilah cerminan dari kedewasaan kita dalam bersikap dan berbuat. Mau dong? Pasti!

Kebebasan berekspresi bagi remaja tidak seharusnya dapet dukungan penuh dari orangtua dan pihak sekolah. Khawatir kebablasan dan menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan. Ortu dan pihak sekolah akan lebih berperan jika bersedia memfasilitasi dan mengizinkan adanya pengajian yang menjembatani remaja dalam melalui masa transisinya dengan positif. Dan kekhawatiran akan pengaruh buruk lingkungan akan sedikit terkurangi. Sebab ketika remaja jauh dari pantauan orangtua dan pengawasan pihak sekolah, akidah Islam akan menjaganya. Bukankah ini yang kita kehendaki? Mari kita sama-sama dukung pengajian remaja. Yuk? [Hafidz]

(Buletin STUDIA – Edisi 257/Tahun ke-6/15 Agustus 2005)

2 thoughts on “Usia Remaja Kudu Bebas?

Comments are closed.