Thursday, 25 April 2024, 04:12

Tanggal 2 Mei dikenal para pelajar sebagai Hari Upacara Nasional, eh Hari Pendidikan Nasional. Setiap tahun diperingati sebagai penghormatan terhadap jasa besar pahlawan pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. Sayangnya, pendidikan di negeri kita tak kunjung membaik. Jangankan kualitasnya, sarananya saja seringkali nggak memenuhi kelayakan untuk dipakai sebagai tempat belajar. Ini salah satu potret buram pendidikan Indonesia.

Potret inilah yang coba dihadirkan dalam cerita sinetron dai cilik (Sidacil) yang sempat ditayangkan di stasiun Lativi, dengan judul, â€?Sekolah Kita Mau Robohâ€?. Kecintaan Zagar dan temen-temen sekelasnya terhadap sekolahnya yang hampir rubuh, tak menyurutkan usaha mereka agar bisa tetap belajar. Bayangin aja, pernah Zagar dkk belajar di luar kelas; pake kacamata biar nggak kelilipan debu; atau pake helm demi melindungi kepala dari jatuhan langit-langit kelas.?  Tapi semuanya itu cuma bertahan sementara. Yup, mereka mau nggak mau kudu terima kenyataan kalo gedung sekolah mereka emang udah nggak layak dipake belajar. Hiks…hiks…hiks…

Kondisi ini pas sekali dengan penggalan puisi yang ditulis dan dibacakan oleh seorang abdi pendidikan, Prof. Winarno Surachmad, saat peringatan Hari Guru Nasional dan Hari Aksara Internasional di Solo, Jawa Tengah (27/11/05), “……Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam? Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kedaluwarsa? Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?…â€?.

Nggak cuma ada dalam cerita
Cerita bangunan sekolah yang rusak berat seperti dalam Sidacil di atas, bukan cuma omong kosong. Kenyataannya, puluhan ribu gedung sekolah di negeri kita udah rusak parah. Baik di kota-kota besar hingga desa terpencil yang jauh dari pusat kota. Ibaratnya, kalo ada semut yang iseng jingkrak-jingkrak di atas sekolah itu, maka dalam hitungan detik, bakal rata dengan tanah. Hihihi….emangnya kartun.

Di Jakarta Timur, 127 gedung sekolah rusak berat. Di Kota Bekasi sedikitnya terdapat 80 gedung SD Negeri yang kondisinya sudah ringkih atau lapuk. Di Sumatra Utara, jumlahnya mencapai angka 37.879 gedung sekolah. Di Jambi, tepatnya di kabupaten Muara Jambai, dari 223 SD yang ada, 76 di antaranya rusak berat. Di Kalsel terdapat 12.238 ruang kelas yang rusak, sebanyak 5.036 ruang kelas dalam kondisi rusak berat dan sebagian sudah tidak dapat dipergunakan.

Sementara di planet Pajajaran alias Jawa Barat, sebanyak 97.210 ruang kelas dari sekolah-sekolah yang ada rusak. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Jawa Barat (Disdik Jabar) tahun 2005, sebanyak 47.066 ruang kelas rusak berat dan sisanya rusak ringan. Seluruh ruang kelas sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Jabar berjumlah 191.704 dengan kerusakan berupa dinding berlubang, lantai terkelupas, dan atap bocor. Akibatnya, tidak hanya kegiatan belajar-mengajar di sekolah tersebut terganggu, tetapi keselamatan guru dan murid juga terancam (Kompas, 20/04/06). Ngeri banget kan?

Gimana bisa konsen belajar?
Sobat muda muslim, kebayang nggak sih suasana belajar kalo atap ruang kelas kita nyaris roboh dimakan usia? Kalo kejatuhan cicak sih masih mending cuma kaget doang. Nah ini, kalo kejatuhan langit-langit kelas yang udah rapuh, alamat pindah kelas ke rumah sakit tuh. Yang ada, kita malah paranoid dengan bahaya yang mengancam keselamatan jiwa. Gimana bisa konsen belajar?

Ini yang pernah terjadi pada sepuluh siswa kelas dua Madrasah Tsanawiyah al-Huda di Kampung Pamegetan, Parung Ponteng, Tasikmalaya, Jabar. Mereka luka-luka menyusul ambruknya atap bangunan saat para murid belajar bahasa Indonesia. Mereka dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya. Empat di antaranya menderita luka cukup parah di kepala. (Liputan6.com, 02/04/06).

Di Kecamatan Cibiuk, Garut, Jawa Barat, sekitar 149 murid Sekolah Dasar Negeri Lingkung Pasir 01, terpaksa diungsikan ke SDN Lingkung Pasir 03 menyusul rusaknya bangunan sekolah. Akibatnya, para siswa belajar dengan berdesak-desakan. Bayangin aja, satu kelas kini menampung 65 orang. Padahal, idealnya satu kelas hanya menampung 20 siswa. Ironisnya, bangunan SDN Lingkung Pasir 03 yang menampung 309 siswa dari dua sekolah ini juga dalam kondisi memprihatinkan. Gimana bisa konsen belajar?

Selain bangunan sekolah yang sudah rapuh, permasalahan minimnya sarana penunjang belajar siswa ikut ambil bagian dalam potret buram pendidikan di negeri kita. Sekitar 20 persen atau setara denga 195 dari total 975 Sekolah Dasar di Kabupaten Tangerang tidak mempunyai meja dan kursi. Akibatnya, para siswa belajar me-ngampar alias lesehan. Sementara ratusan siswa SDN Garung, Kecamatan Kibin, Serang, Banten, belajar sambil berdesakan dan berdiri. Sebab, kursi dan meja yang tersedia hanya cukup untuk separuh siswa yang berjumlah 258 orang. Murid yang belajar sambil berdiri sering sakit pinggang, kaki, dan kepala. Selain itu, mereka juga kesulitan berkonsentrasi karena ruangan pengap serta bising. Tuh kan, gimana bisa konsen belajar?

Minim anggarannya atau cacat sistemnya?
Sobat muda muslim, bukan satu-dua kali para kepsek yang gedung sekolahnya udah mau ambruk, atapnya rapuh, dinding kelasnya berlubang, list kaca jendelanya dimakan rayap, atau kekurangan meja dan kursi untuk belajar, mengadukan permasalahannya ke pemerintah pusat terkait. Dengan penuh kesabaran, para pahlawan tanpa tanda jasa itu menggantungkan masa depan pendidikan anak-anak didiknya di tangan pemerintah. Tapi apa jawaban pemerintah?

Beragam. Dari sekadar janji hingga realisasi. Tapi dari semua jawaban itu, hasilnya cuma satu, potret pendidikan di negeri kita masih tetap buram. Setiap tahun jumlah bangunan sekolah yang terancam ambruk dimakan usia kian bertambah. Tanyaken apa?

Kalo pemerintah di desak, keluar deh jawaban klasik, anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pendidikan minim. Lihat saja, di Jawa Barat, yang terdapat 35.190 sekolah rusak ringan dan 37.621 sekolah rusak berat dibutuhkan dana Rp 1,1 triliun hanya untuk perbaikan ruang kelas. Tidak termasuk kelengkapan sarana/prasarana penunjang pendidikan. Padahal, dana yang dikucurkan untuk dunia pendidikan hanya 12% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau sekitar Rp 485 miliar (Pikiran Rakyat, 02/12/05). Minim banget kan?

Pemerintah sendiri melalui Mendiknas Bambang Sudibyo mengungkapkan, pemerintah pusat hanya menyediakan dana Rp 4,1 triliun untuk perbaikan sekolah yang rusak di seluruh Indonesia. (Pikiran Rakyat, 21/04/06). Kecil sekali Pak? Untuk beresin ruang kelas yang di Jawa Barat aja udah abis seperempatnya. Ya, karena pemerintah pusat cuma bisa ngasih setengahnya dari total dana yang dibutuhkan. Itu artinya, setengahnya lagi bakal ditanggung oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Nah lho, gimana urusannya tuh?

Kalo itung-itungannya kayak gini, alamat bakal rakyat lagi yang kena getahnya nanggung perbaikan gedung sekolah. Otomatis biaya pendidikan makin membengkak. Nasib…nasib. Udah mah sekolah kayak kandang ayam, buku pelajarannya kadaluarsa, bangku dan kursi tinggal rongsokan, tenaga pengajar seadanya, eh masih kudu betulin sendiri kandang eh, sekolah tercinta. Rupanya anggaran pendidikan dari negara ibarat sepotong roti yang kudu dinikmati oleh puluhan mulut yang ternganga lebar menahan lapar. Jangankan kenyang, bisa nyicipin aja udah untung banget tuh!

Pada akhirnya, kita wajib nyadar kalo minimnya anggaran pendidikan diakibatkan negara kita terjebak dalam kehidupan sekular dan cengkeraman kapitalis penjajah. Setiap tahunnya cekikan utang luar negeri telah merampok APBN yang pas-pasan. Swastanisasi terhadap kekayaan alam di Papua atau Blok Cepu bikin kantong negara cekak secekak-cekaknya.

Inilah realitas buruk yang kita hadapi dalam kehidupan Sekularisme-Kapitalisme. Sayangnya, sistem kehidupan Sekulerisme-Kapitalisme ini masih aja dipertahankan. Padahal mah, kalo udah ketauan cacat, langsung aja pecat. Bukannya makin terpikat. Betul ndak?

Pendidikan dalam Pemerintahan Islam
Perhatian negara terhadap sektor pendidikan adalah harga mati dalam pemerintahan Islam. Sebab Rasulullah saw. telah bersabda: “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah� (HR Ibnu Adi dan Baihaqi)

Makanya negara pun wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan agar pelaksanaan pendidikan rakyat bisa berjalan sempurna. Nggak boleh ada tawar menawar lagi untuk menjaga kenyamanan belajar di sekolah, kelengkapan sarana dan prasarana penunjang pendidikan, kesejahteraan bagi para tenaga pengajar, hingga pendidikan bebas biaya. Sebagaimana kaedah syara menegaskan: “Tidak sempurnanya suatu kewajiban karena tidak adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib (pula)�

Dengan landasan inilah, Khalifah al-Muntashir pernah mendirikan Madrasah al-Mustansiriah pada abad ke 12 sebagai satu-satunya sekolah Islam yang terbesar di masa itu di kota Bagdad, dan khusus ditujukan bagi pendidikan yang bebas biaya. Di sekolah ini, setiap siswa menerima bea siswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas).

Di samping itu setiap hari kehidupan para siswa di jamin. Makanannya berupa roti dan daging tanpa dipungut biaya sepeser pun. Terdapat pula perpustakaan yang lengkap yang dipenuhi kitab-kitab tentang berbagai macam ilmu pengetahuan. Tak ketinggalan di dalamnya disediakan kertas dan tinta gratis untuk dimanfaatkan para peneliti dan penyalin naskah. Dalam sekolah itu pun disediakan pula sarana pemandian-pemandian dan rumah sakit dengan dokter-dokter yang siap merawat kesehatan pelajar.

Soal kesejahteraan guru, Syekh Najmuddin al-Khubusyani adalah salah seorang yang diangkat Sultan Salahuddin untuk mengajar di sekolah as-Shalahiyah. Sultan memberinya 40 dinar setiap bulan sebagai gaji mengajar dan 10 dinar sebagai gaji mengawasi wakaf-wakaf sekolah, juga 60 ritl Mesir roti setiap hari dan dua kantong besar air setiap hari. Wuih, keren banget ya?

Sobat muda muslim, itulah contoh model pendidikan dalam kekhilafahan Islam. Mungkin kedengarannya kayak di negeri dongeng ya? Hmm.. itu karena kita udah terbiasa menyaksikan kerusakan seperti sekarang ini. Oya, bukan pula sebagai romantisme sejarah dengan menyampaikan contoh tadi, tapi ini sekadar ngasih gambaran, bahwa beginilah cara Islam mensejahterakan rakyatnya. Insya Allah, Islam bisa memberikan yang terbaik buat umat manusia.

Untuk masalah pendidikan, Islam sangat memuliakan orang yang mau menuntut ilmu dan yang mengajarkan ilmu. Jasa besar mereka layak dihargai negara dengan jaminan kehidupan dunianya. Sehingga dari sinilah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam seperti al-Khawarizmi, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Sina, atau Imam empat Madzhab yang memberikan kontribusi besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Bahkan berkahnya dirasakan juga oleh kalangan nonMuslim. Oke nggak seh?

Kini, saatnya kita menyadari kalo pemerintahan yang sekuler dan gaya hidup kapitalislah yang telah merenggut masa depan pendidikan tunas-tunas bangsa. Kagak pake dilama-lamain, nih sistem Sekularisme-Kapitalisme kudu segera dibuang dan menggantinya dengan Islam. Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara. Insya Allah, potret buram pendidikan di negeri kita dan negeri lainnya berangsur-angsur membaik sebagaimana masa kejayaan Islam dulu. So, potret buram? Wassalam aja deh! [Hafidz]

(Buletin STUDIA – Edisi 293/Tahun ke-7/15 Mei 2006)