Friday, 29 March 2024, 03:32

Andai semua sekolah tempat kita menimba ilmu membuat kita betah berlama-lama di sana. Sekolah yang selalu dirindukan. Bahkan kalo libur pun kita rasanya nggak betah untuk berlama-lama di rumah. Sekolah yang menggerakkan kita untuk selalu belajar dan belajar. Sekolah yang nyaman dan aman, bangunannya kokoh meski tidak mewah, fasilitasnya keren punya; ada perpustakaan yang lengkap, kebersihannya terjaga, tersedia laboratorium buat praktek mata pelajaran eksakta, plus ada ruangan khusus untuk belajar komputer, selain bangunan kelas, juga kita bisa belajar di alam terbuka. Dan yang terpenting, biayanya murah, syukur-syukur kalo sampe gratis.

Udah gitu, guru-guru kita pun ikhlas dan penuh semangat mendidik kita (tapi kesejahteraan mereka juga terpenuhi). Teman-teman yang ceria menghibur kita dan menjadi inspirasi kita untuk senantiasa berkompetisi menjadi yang terbaik. Saling menolong dan saling mendukung. Ah, asyik banget kan? Iya, menyenangkan!

Sobat muda muslim, boleh dibilang kita ini sedang mengkhayal. Ini belum sempurna lho mengkhayalnya, karena kalo mo disebutin satu per satu pasti banyak. Kira-kira segitu aja dulu deh harapan kita tentang sekolah kita. Abisnya, di sini nyaris nggak ada yang begitu. Kapan ya bisa kita nikmati? Asyik en seru kayaknya.

Potret sekolah kita emang buram banget saat ini. Nggak semuanya sih, tapi ada. Agak banyak juga. Terutama kalo kita jalan-jalan ke daerah. Kalo mo langsung lihat boleh aja. Mumpung liburan sekolah. Tengok deh sekolah teman-teman kita di daerah nun jauh di desa sana. Tapi kalo nggak sempat jalan ke daerah, lihat dari televisi juga silakan.

Saya pernah tuh lihat berita di televisi, ada sekolah dasar (SD) yang ambruk di sebuah desa. Padahal nggak ada hujan nggak ada badai. Aseli karena memang udah tua usianya. Udah keropos bangunannya (mungkin karena dulu sebagian dananya dikorupsi sehingga bahan bangunannya cuma beli yang murah meriah, atau memang karena udah lama nggak diurus). Untung (masih untung juga rupanya?) nggak makan korban jiwa karena pas runtuh siswanya lagi pada di luar kelas. Menyedihkan deh.

Sobat muda muslim, kira-kira apa yang kebayang dalam pikiran kamu tentang kondisi sekolah yang tadi saya ceritakan? Saya yakin itu tidak menyenangkan, bukan? Melihat kondisi itu, rasanya pantas kalo kita sedih, kesal, kecewa, marah, dan beragam rasa tak enak menyesaki dada kita. Abis mo gimana lagi. Kita sedih pun, belum tentu bapak-bapak pejabat kita sedih juga kan? (atau malah ada yang nggak tahu fakta itu). Di NTT aja ada proyek pembangunan rumah dinas gubernur berbandrol 13 miliar rupiah. Sementara dana untuk mengentaskan busung lapar cuma Rp 11,5 miliar. Ironi banget kan?

Ya, ironi memang. Mengapa ini bisa terjadi? Saya bingung harus menjawab apa. Cuma nih, dari pengamatan saya aja, alasan kuat mengapa ini bisa terjadi adalah karena kita berada dalam kehidupan yang dinaungi sistem kapitalisme. Kok bisa sih?

Begini sobat, kalo saya jawab bahwa kita kehilangan rasa malu. Betul juga. Tapi perlu dicari apa yang menyebabkan kita kehilangan rasa malu. Iya kan? Nanti ujungnya ada orang yang bilang bahwa dalam kondisi sekarang orang udah nggak malu-malu lagi korupsi, karena pas ngelakuin udah berjamaah. Sendiri memang malu, tapi kalo rame-rame kan jadi nggak malu. Betul kan?

Nah, kalo ditelusuri terus, ujungnya memang karena kondisi kehidupan saat ini sudah membentuk karakter manusia yang begitu rupa jeleknya. Jadi, memang ini akibat dipengaruhi dan diciptakan oleh sistem. Kalo diusut-usut, ya pas banget yang wajib ditunjuk hidung dan dijadikan tersangka utama dalah sistem kapitalisme. Iya nggak?

Masih ingin bukti? Kalo misalnya kita jawab bahwa kasus pembangunan rumah dinas gubernur NTT tadi yang anggarannya kelewat wah itu karena pejabat kita nggak peka. Itu harus ditelusuri juga apa yang menyebabkan nggak peka? Ada jawaban lanjutan, yakni karena kondisi saat ini membuat kita terbiasa untuk “tertawa di atas penderitaan orang lain�. Kenapa bisa begitu? Karena sistem kehidupan saat ini mengajarkan bahwa “siapa yang kuat, dialah yang menang�. Wah, kalo gitu, berarti diciptakan oleh kondisi dong? Lha iya Bang! Kalo gitu kapitalisme kembali jadi tertuduh? Lha pasti Nyak!

Nah, setuju kan kalo yang jadi masalah tuh sistemnya? Kapitalisme itulah penyebabnya. Jadi, alasan sekunder apa pun, alasan primernya adalah kapitalisme. Begitu pun kenapa sekolah banyak yang kondisinya menyedihkan secara fisik? Karena anggarannya nggak ada. Atau kalo pun ada, sebelum nyampe ke tujuan akhir, udah banyak tangan oknum pejabat terkait yang menilepnya. Merana deh!

Salah urus
Sobat muda muslim, entah harus dari mana kita cerita soal buruknya sekolah di negeri ini. Padahal, sekolah adalah tempat kita belajar, menimba ilmu, dan harusnya bisa mendidik kita bukan hanya dari sisi akademik, tapi juga emosi kita dan kecerdasan sosial. Jadi, selayaknya sekolah menjadi tempat yang nyaman karena akan menularkan segala ilmu dan wawasan buat hidup kita.

Tapi apa jadinya kalo sekolah kemudian berubah jadi tempat yang buruk. Boro-boro bisa belajar, pikiran kita lebih nyetel untuk siap-siap melarikan diri kalo-kalo suatu ketika sekolah ini runtuh. Itu dari segi fisik lho. Belum lagi dari kondisi sosial dan juga kurikulum.Di sini juga jadi masalah dan kelihatan salah urusnya. Aduh, sampai kapan ya?

Oya, kayaknya kita malah ragu banget kalo dari kondisi sekolah yang buruk secara fisik akan ada tersedia perpustakaan lengkap buat nambah wawasan. Mungkin kalo pun ada kucuran dana, bakalan dibuat ngerehab ruangan kelas, bukan untuk sarana lainnya yang bisa menunjang wawasan. Padahal, saya yakin banget (kebetulan dulu sekolah di desa), bahwa anak desa aja bisa bersaing dengan anak di kota. Cuma, keterbatasan saranalah yang membuat temen-temen di desa kalah jauh wawasannya.

Soal kurikulum, kayaknya agak malu nih kalo kudu nyebutin bahwa ini juga salah urus. Mohon maaf lho, memang nggak gampang bikin konsep pendidikan, tapi bukan berarti kita nggak merasakan hasil sekarang yang amburadul. Saya tak menuduh seratus persen bahwa anak didik bermasalah, karena sangat boleh jadi memang konsep pendidikan yang tertuang dalam kurikulum itu sendiri yang bermasalah. Tul nggak?

Sebagai contoh, sekali lagi ini sekadar contoh. Kita sering dapetin ada anak didik yang pinter dari segi teori, tapi kedodoran dalam praktik. Dalam teori, nilai agama bisa nangkring dengan angka 9 di raport. Tapi, sholat aja ogah. Ini kan error namanya. Kita juga sering nemuan ada anak yang cerdas dan sering dapetin ranking yang bagus di sekolah, tapi ternyata secara emosi dan hubungan sosial doi nggak cerdas. Pendek kata, pinter tapi nyebelin. Berarti kan njomplang ya?

Sobat muda muslim, yang lebih parah tentunya pinter nggak, tapi bandelnya minta maaf. Wah, itu namanya musibah besar. Kalo mo ditelusuri mungkin bisa jadi salah dari anaknya. Bisa juga keteledoran dari pihak sekolah. Bahkan kalo banyak terjadi di mana-mana, nggak salah lagi, ini akibat kurikulum yang dibuat kurang bagus. Jadi memang banyak penyebabnya.

Nah, kalo harus menentukan siapa yang lebih berhak untuk disalahkan, dengan berat hati kita kudu bilang bahwa ini memang negara. Yee… nyalahin negara mulu. Emang gampang ngurus rakyat? Iya, memang susah, makanya kudu serius jangan main-main ngurus negara ini. Itu sebabnya, bikin konsep pendidikan lengkap dengan sarana penunjangnya agar kita yang sekolah bisa nyaman dan menyenangkan.

Untuk kita renungkan
Sobat muda muslim, pendidikan boleh dibilang termasuk yang penting. Bahkan di Jepang setelah Hiroshima dan Nagasaki dihujani bom atom oleh Amrik di Perang Dunia II, merasa khawatir kalo yang banyak korban adalah guru. Itu sebabnya, prioritas mereka adalah menggenjot sektor pendidikan agar banyak rakyat Jepang yang terpelajar dan cerdas. Sekarang, kita tahu sendiri deh kalo Jepang menjadi yang terkuat secara ekonomi dan juga teknologi di kawasan Asia. Sementara negeri ini, kita yakin kamu juga tahu sendiri. Pokoknya beda nasib deh.

Mendambakan sekolah yang menyenangkan memang impian semua orang. Menyenangkan dalam pengertian metode pengajarannya, kurikulumnya, sarananya, dan segala hal yang membuat kita itu betah berlama-lama di sekolah untuk belajar. Sangat mungkin banyak teman yang lebih suka nongkrong di mal atau gim stasion adalah karena nggak menyenangkan belajar di sekolah. Bisa karena anaknya, bisa pula karena di sekolah memang udah nggak ada yang bisa dianggap menyenangkan. Sulit menelusurinya memang. Tapi yang jelas, pola pendidikan kita yang bisa jadi kurang bagus. Buktinya, hasil UN (Ujian Nasional) aja banyak siswa SMU yang nggak lulus. Malah ada di sebuah kabupaten di Aceh persentasi kelulusannya 0% (alias satu siswa pun nggak ada yang lulus). Kasihan banget!

Mohon maaf saya juga belum tentu bisa mengatur dan mengurus soal pendidikan. Tapi paling nggak ingin menawarkan wacana. Semoga saja bisa dipikirkan lebih lanjut oleh pihak yang berwenang dalam masalah ini.

Begini, kita kan selalu terbentur soal dana ya untuk mengurus kebijakan di sektor apa pun, khususnya sektor pelayanan publik, seperti sekolah misalnya. Negara kewalahan ngatur arus dana yang masuk dan keluar. Terlalu banyak pemborosan dan menguntungkan segelintir kalangan aja. Memang rakyat juga kudu dididik untuk bijak menggunakan hartanya. Cuma negara lebih punya tanggung jawab besar.

Saya sering mikir secara sederhana. Uang yang beredar tiap minggu dari judi togel saja bisa miliaran rupiah lho. Coba deh kita menghitung (meski agak kasar), betapa besarnya dana yang terkumpul di arena judi togel. Anggap saja dari 200-an juta rakyat Indonesia yang nyandu judi togel sebanyak 25 juta orang (sekitar 10-an persen). Tiap minggu â€?nyumbang’ minimal 5000 perak. Udah berapa tuh dana yang terkumpul? Yup, Rp 125 miliar! Anggap saja yang beruntung menang judi togel 50 persen. Berarti dana yang?  masuk ke kantong para bandar sekitar 62,5 miliar perak (per minggu lho). Wah, coba kalo dipake untuk benahin pendidikan. Berapa sekolah yang bisa dibangun dengan sarana yang layak, berapa sekolah yang bisa menyediakan perpustakaan keren, negara juga nggak perlu capek-capek menyubsidi dari minyak dan sebagainya.

Ini baru dari judi togel, belum lagi dari peredaran narkoba, miras, dan pelacuran. Nah, daripada dana itu ngucur ke tempat-tempat yang menguntungkan segelintir kalangan (udah gitu maksiat pula), kan mendingan digalakkan “shadaqah� nasional untuk membiayai sektor pelayanan publik, pendidikan misalnya.

Itu semua memang bergantung sikap kita, mau apa nggak melakukan kegiatan beramal dan bermanfaat buat semua. Tapi jujur saja saya ragu kalo masih berada dalam naungan kapitalisme. Jangankan untuk kepentingan pendidikan dan sarana publik lainnya, eh untuk pengelolaan ibadah haji aja masih juga ditilep duitnya. Kapitalisme memang rusak, kita semua telah jadi korbannya.

Jadi sobat, kalo ingin sekolah kita menyenangkan (termasuk sektor lainnya), memang harus mengubah sistem yang ada saat ini dengan Islam yang telah teruji kehandalannya (tentang pendidikan di masa kejayaan Islam bisa tengok arsip tulisan STUDIA di: www.dudung.net. Klik deh. Sori nggak bisa ditulis di sini karena keterbatasan halaman).

Ya,?  syaratnya memang kudu diterapkan Islam sebagai ideologi negara. Kalo masih seperti sekarang, kita tetap akan jadi korban. Yuk, mulai sekarang kampanyekan Islam sebagai ideologi negara. Setuju kan? Oke deh. Dari sekarang ya. Biar mantap. Ajak juga yang lainnya. Makasih. [fahmarosyada]

(Buletin STUDIA – Edisi 252/Tahun ke-6/11 Juli 2005)