Monday, 9 December 2024, 04:23

Terorisme yang merebak secara global, berakar dari tindakan Amerika untuk menjatuhkan Uni Soviet. Anehnya, di mata pers kita terorisme tanpa negara superpower itu

Oleh: Amran Nasution*

Selama 17 jam kekuatan polisi dikerahkan menangkap gembong teroris nomor satu, Noordin Mohamad Top, yang dikabarkan bersembunyi di sebuah rumah desa di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, 7 Agustus lalu. Noordin yang asal Malaysia itu telah menjadi musuh negara nomor satu karena sebelumnya ia diberitakan merencanakan pembunuhan terhadap Presiden dengan meledakkan bom di rumah SBY di Cikeas.

Terkepung seperti itu, Noordin yang  selama ini dikabarkan amat licin dan lihai, kali ini tak mungkin lepas. Jangankan manusia, lalat pun tak mungkin lolos dari kepungan pasukan elite anti-teror Detasemen Khusus 88 Polri yang begitu ketat. Maka di layar televisi, pengepungan ini menjelma menjadi sebuah reality show.

Acara ini tentu ditunggu-tunggu pemirsa. Semua yang diinginkan untuk menjadi reality show yang menarik tersedia. Ada ketegangan (suspense), ada drama, ada desingan peluru dar….der…..dor, ada tokohnya, yaitu Noordin Top, dan tentu ada pula darah.  Semua terjadi, agaknya, berkat kerja sama yang baik antara polisi dan televisi: polisi dapat publikasi gratis, televisi dapat berita untuk mendongkrak rating – dan kemudian banjir iklan. Klop. Karenanya kian lama pengepungan dilakukan, kian bagus. Iklan kian mengalir.

Maka wartawan tak perlu lagi kritis pada polisi.  Yang penting rating melonjak, iklan masuk, pemilik modal senang. Oleh sebab itu tak ada wartawan mempertanyakan, apakah benar orang di dalam rumah adalah Noordin M.Top?  Mengapa gembong teroris yang selama ini sudah terbukti lihai, kok ngumpet di rumah desa terpencil yang gampang dikepung? Bukankah dari pengalaman selama ini Noordin selalu bersembunyi di kawasan ramai sehingga mudah melarikan diri? Mengapa pula pengepungan begitu lama? Pendek kata tak ada pertanyaan kritis dari wartawan, padahal tugas utama wartawan adalah bertanya.

Belakangan ketahuan kalau pengepungan yang begitu spektakuler salah sasaran. Tak ada Noordin M.Top di dalam rumah. Yang dikepung pasukan elite dan wartawan selama 17 jam (kata polisi) adalah Ibrohim, petugas perangkai bunga Hotel J.W.Marriott, Mega Kuningan, Jakarta. Menurut polisi, Ibrohim terlibat dalam serangan bom bunuh diri di J.W. Marriott dan Ritz Carlton, dua hotel berbau Amerika. Wajar saja kalau ‘’dikeroyok’’ polisi seperti itu. Tubuh sang perangkai bunga remuk-redam oleh peluru dan lemparan bom.

Maka sempurnalah peristiwa ini sebagai hal yang memalukan, yang disaksikan jutaan pemirsa televisi. Ratusan polisi dan pasukan elite Anti-Teror dikerahkan dengan segala peralatan canggih selama 17 jam, hanya untuk menembak mati seorang perangkai bunga. Lalu bagaimana pertanggungjawaban profesional wartawan yang dengan yakin menyebarkan  berita kepada masyarakat seolah-olah yang dikepung itu adalah gembong teroris Noordin M.Top?

Celakanya lagi, setelah ternyata yang dikepung adalah Ibrohim, wartawan pun ramai-ramai mengkreasi Ibrohim seakan teroris hebat yang kalibernya tak kalah dari Noordin M.Top. Ada yang memberitakan Ibrohim disiapkan untuk menubrukkan truk bermuatan bom ke rumah kediaman Presiden SBY di Cikeas.

Bermula dari Afghanistan

Terus-terang Noordin M.Top pantas menjadi buron nomor satu bila dilihat dari rekam jejaknya selama ini. Tapi ketika disebutkan bahwa ia juga akan mengebom rumah Presiden SBY, untuk balas dendam atas dieksekusinya tiga pelaku bom Bali, mulai muncul tanda tanya kalau aksi-aksi terorisme yang terjadi agaknya akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis demi kekuasaan. Coba ingat pernyataan pers Presiden SBY sebelumnya bahwa terorisme ada hubungannya dengan Pemilihan Presiden (Pilpres), terorisme akan menggagalkan pelantikan presiden terpilih, kantor KPU akan diduduki, dan sebagainya, dan sebagainya. Ternyata tak satu pun informasi yang kata presiden berasal dari intelijen  itu, yang menjadi kenyataan.

Kalau saja berbagai teror di sini diamati sedikit seksama, akan jelas bahwa peristiwa yang terjadi selalu berkaitan dengan peristiwa global. Kaum teroris di sini selalu menjadikan kepentingan Amerika Serikat, Israel, dan negara Barat sekutunya sebagai target. Dan memang kasus terorisme di dunia ini selalu ada hubungannya dengan penjajahan Afghanistan dan Irak oleh Amerika Serikat dan NATO, atau penindasan Palestina oleh Israel.

Jadi seandainya benar Presiden SBY menjadi target teror, mungkin lebih masuk akal itu disebabkan kedekatannya dengan Amerika Serikat, atau mungkin karena pernyataan SBY sendiri yang pernah menyebut Amerika Serikat sebagai negerinya kedua. Jadi adalah amat naïf, mengulas habis terorisme di sini tanpa mengaitkannya dengan Amerika Serikat – seperti yang hari-hari ini dilakukan para wartawan di sini – terutama wartawan televisi.

Pers tampaknya seakan ingin mengamputasi hubungan terorisme di Indonesia dengan Amerika Serikat atau Israel.  Seolah-olah terorisme terjadi di Indonesia karena keinginan sekelompok orang di Indonesia yang ingin menjadikan Indonesia negara Islam. Padahal berbagai penelitian menunjukkan bahwa suburnya terorisme setelah terjadi serangan oleh Amerika Serikat ke Afghanistan, 2001, dan terutama ke Irak, 2003.

Profesor Mahmood Mamdani, Direktur Studi Afrika Columbia University, di dalam bukunya yang amat terkenal Good Muslim, Bad Muslim (Three Leaves Press, Doubleday, New York, 2005) mengungkap bagaimana peran Amerika Serikat dikaitkan dengan terorisme sekarang. Itu dimulai dari terpuruknya Amerika Serikat setelah kalah dalam perang Vietnam, pada 1975. Perang itu menyebabkan sekitar 50 ribu tentara Amerika Serikat terbunuh.

Kekalahan itu menyebabkan trauma. Kongres, misalnya, mengeluarkan keputusan yang menyebabkan pemerintah kesulitan melibatkan pasukan Amerika di luar negeri. Keterpurukan itu ditambah lagi berbagai peristiwa lain.

Pada 1979, meletus revolusi Islam di Iran dipimpin Ayatullah Khomenei, menggusur Shah Iran dari singgasana kekuasaan. Shah Iran selama ini adalah teman baik dan rela menyerahkan tambang minyaknya kepada Amerika Serikat. Dalam revolusi ini, bukan saja hubungan Amerika – Iran memburuk, tapi Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran diduduki dan 50-an stafnya disandera oleh sejumlah mahasiswa Iran. Wibawa Amerika di mata internasional tambah terpuruk. Apalagi setelah operasi pasukan khusus yang dikirimkan Washington  guna membebaskan sandera gagal total dengan amat memalukan.

Lalu di tahun yang sama, Uni Soviet, musuh utama Amerika Serikat dalam Perang Dingin, menduduki Afghanistan. Amerika Serikat tak bisa berbuat apa-apa. Berbagai peristiwa itu menjadi penyebab Presiden Jimmy Carter dari Partai Demokrat dikalahkan calon Partai Republik, Ronald Reagan, dalam Pilpres waktu itu. Sebagai bekas bintang film Cowboy, Reagan dianggap lebih galak dan berani sehingga lebih tepat memimpin Amerika yang sedang terpuruk dibanding Carter yang mengutamakan perdamaian. Apalagi Reagan didampingi George H.W.Bush sebagai calon Wakil Presiden. Bush, ayah kandung George W. Bush, Presiden Amerika Serikat yang digantikan Barack Obama. Dia adalah bekas Direktur CIA.

Pilihan itu tampaknya tepat. Presiden Reagan pun melibatkan diri di Afghanistan dengan Wapres George H.W.Bush sebagai operatornya. Wartawan senior Craigh Unger dalam bukunya House of Bush, House of Saud (Scribner, 2004), mengungkapkan bahwa dalam perang antara pasukan Uni Soviet dengan pejuang Mujahidin di Afghanistan tahun 1980-an, Amerika membantu Mujahidin.

Ketika itu ditaksir sekitar 80.000 pasukan jihad dari berbagai pelosok dunia – termasuk dari Indonesia – datang ke Afghanistan untuk mengusir Uni Soviet. Di antara para pejuang itu terdapat Usamah Bin Ladin, putra konglomerat Arab Saudi, Muhammad Awad Bin Ladin, pendiri Saudi Binladin Group (SBG), perusahaan kontraktor paling terkemuka di Arab Saudi. Unger mengungkap di bukunya bahwa keluarga Wapres George H.W.Bush mengenal baik keluarga Bin Ladin, terutama dengan Salem Bin Ladin, anak tertua keluarga Bin Ladin yang menetap dan berbisnis di Houston, Texas.

Usamah bekerja sama dengan badan intelijen Amerika, CIA. Namanya cepat menjadi buah-bibir para pejuang, sebagai anak orang kaya-raya tapi bersedia berjihad melawan komunisme Uni Soviet.  Amerika dengan menggunakan para operator CIA, menurut buku itu, membantu para pejuang Mujahidin dana 3 milyar dollar.  Amerika pula yang mengirimkan rudal jinjing Stinger yang banyak digunakan Mujahidin merontokkan helikopter tempur Uni Soviet.

Perang Pakai Perwakilan

Presiden Reagan juga bekerja sama dengan Presiden Pakistan Zia Ulhaq. Bagi mereka berdua melawan Uni Soviet di Afghanistan adalah perang ideologi, yaitu melawan setan komunisme yang tak percaya Tuhan. Maka dari sekolah-sekolah agama dan pesantren di Pakistan, anak-anak muda direkrut untuk disiapkan menjadi tentara jihad melawan setan di Afghanistan. Anak-anak muda dari Indonesia, seperti Imam Samudera – sudah dieksekusi karena kasus Bom Bali – tertarik berjihad ke Afghanistan, dengan berlatih di kawasan Filipina Selatan. Dari sana Imam Samudera dan kawan-kawan diberangkatkan ke Afghanistan.

Kalau dibaca buku Craig Unger, House of Bush, House of Saud, maupun Good Muslim, Bad Muslim oleh Profesor Mahmood Mamdani, akan sangat jelas bahwa perang yang dilakukan Imam Samudra, atau Usamah Bin Ladin, untuk mengusir Uni Soviet dari Afghanistan, ternyata dimanfaatkan betul-betul oleh Presiden Reagan dan wakilnya, George H.W.Bush, untuk menghancurkan Uni Soviet sebagai musuh utama Amerika Serikat. ‘’Dalam perang ini, tak satu pun tentara Amerika yang gugur, meski perang ini sangat banyak memakan korban,’’ tulis Unger. ‘’Rakyat Amerika,’’ lanjutnya, ‘’tak mengenal Usamah Bin Ladin, kecuali segelintir yang mengikuti perang ini dengan serius. Mereka tahu bahwa Usamah dianggap hero oleh kalangan Islam militan.’’

Maka bagi Amerika Serikat, inilah yang disebut perang by proxy, perang dengan perwakilan, yang ternyata berhasil mengalahkan dan mengusir Uni Soviet dari Afghanistan. Kekalahan itu, menurut Patrick Buchanan, kolomnis dan intelektual konservatif yang pernah mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat, menyebabkan Uni Soviet sebagai negara super-power akhirnya bubar dan terpecah-pecah. Buchanan berpendapat, banyak negara besar ambruk dimulai dengan kekalahan perang (Patrick J. Buchanan dalam Day of Reckoning, Thomas Dunne Books, 2008). Dengan bubarnya Uni Soviet, Amerika Serikat muncul sebagai super-power dunia satu-satunya.

Bila Buchanan benar, maka sesungguhnya keruntuhan Uni Soviet disebabkan kegigihan kaum Mujahidin, termasuk Usama Bin Ladin. Bukan karena kehebatan sistem kapitalisme Barat yang selama ini digembar-gemborkan berhasil mengalahkan sistem komunisme. Tapi yang memetik keuntungan adalah Amerika Serikat, walau tak seorang pun tentaranya turut bertempur di Afghanistan. Buat Amerika, apa yang terjadi di Afghanistan merupakan paradoks dari Perang Vietnam. Di Vietnam tentara Amerika terlibat langsung dengan korban yang tak sedikit, tapi perang itu tak bisa mereka menangkan.

Bagi kelompok Usamah Bin Ladin, kemenangan di Afghanistan, bukan saja menaikkan semangat dan kepercayaan diri, tapi memberi pengalaman penting tentang taktik dan strategi bertempur dengan bergerilya, kemahiran menggunakan senjata, membuat dan meledakkan bom, dan berbagai hal lain. Maka berbagai pembuatan bom untuk teror di Indonesia sekarang, misalnya, berasal dari pengalaman di Afghanistan.

Pola rekrutmen para pejuang jihad global ketika menghadapi Uni Soviet, kini menginspirasi para pejuang di Iraq atau Afghanistan yang berdatangan dari seluruh dunia. Bedanya: kini para pejuang global di Iraq atau Afghanistan adalah musuh – dan digelari teroris –, bukan teman Amerika Serikat seperti pejuang Afghanistan dulu. Walau mungkin saja orangnya masih sama.

Sebagai contoh, Gulbuddin Hekmatyar, salah satu pemimpin Mujahidin itu. Dulu dia dianggap Amerika sebagai pejuang kemerdekaan Afghanistan. Kini Gulbuddin dituduh  teroris, karena dia bergabung dengan Taliban melawan pasukan Amerika dan NATO. Begitu pula Usamah Bin Ladin. Dulu dia teman dekat CIA melawan pasukan Uni Soviet, karenanya dia pejuang. Kini dia adalah teroris nomor satu dunia yang paling diburu Amerika Serikat dan kawan-kawannya, karena dia musuh Amerika Serikat. Pemimpin puncak Al-Qaeda itu dianggap bertanggung-jawab merubuhkan Menara Kembar WTC New York. Kesimpulannya: teman Amerika Serikat adalah pejuang dan semua musuh Amerika Serikat adalah teroris, sekalipun mereka berjuang untuk memerdekakan negerinya, seperti yang sekarang terjadi di Iraq atau Afghanistan.

Tapi karena Amerika adalah super-power, maka dia adalah kebenaran. Semua tindakannya benar, semua lawannya salah. Membunuh, menyiksa tahanan, atau berdagang Narkoba adalah salah, kecuali itu dilakukan Amerika Serikat. Akibat serbuan pasukan Amerika ke Iraq, hampir 1 juta penduduk Irak terbunuh, tapi mantan Presiden Bush yang memerintahkan penyerbuan sampai sekarang tak pernah diadili.

Perang Vietnam 1964 – 1975, menyebabkan 4 juta penduduk Vietnam dan Indochina terbunuh. Jutaan lainnya luka-luka. Belum dihitung kerugian material dan moril. Amerika melakukan produksi dan perdagangan Narkoba di Laos dan sekitarnya dengan melibatkan badan intelijen CIA dan badan bantuan pemerintah Amerika Serikat, USAID. Mereka bekerjasama dengan raja-raja opium di daerah itu yang kemudian terkenal sebagai kawasan Segi Tiga Emas, produsen Narkoba terbesar di dunia pada masanya.

Amerika kemudian melakukan hal sama di Afghanistan, di tahun 1980-an. Melalui perdagangan Narkoba, CIA mempersenjatai dan membiayai pasukan Mujahidin di Afghanistan untuk melawan tentara pendudukan Uni Soviet (lihat Craig Unger dalam House of Bush, House of Saud, Scribner 2004). Sekarang Afghanistan merupakan penghasil opium terbesar dunia.

Kekejaman Amerika juga terjadi di berbagai negara Amerika Latin seperti Panama, Haiti, Guatemala, dan Cile. Tak aneh kalau selain di kawan Timur Tengah, Amerika paling dibenci di Amerika Latin.

Setelah terjadi serangan teror terhadap Menara Kembar WTC di New York dan Pentagon, 11 September 2001, Presiden Bush menuntut Pemerintah Afghanistan pimpinan Mullah Omar menyerahkan Usamah Bin Ladin yang katanya bersembunyi di Afghanistan. Mereka menuduh Mullah Omar melindungi Usamah, orang yang bertanggung jawab atas serangan teror itu.  Ketika Mullah Omar menolak, pesawat-pesawat tempur Amerika segera mengebom Afghanistan. Perang yang tak seimbang itu dimulai.

Sampai kini sudah 7 tahun operasi militer dilakukan Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya. Sekitar 50.000 pasukan dikerahkan, 33.000 di antaranya dari Amerika. Kini di bawah Presiden Obama, Amerika malah berusaha menambah lagi pasukannya.

Seth Jones analis dari Rand Corporation yang telah beberapa tahun membuat studi tentang Taliban, mengatakan wajar kemampuan Taliban meningkat setelah 7 tahun terlatih bertempur menghadapi pasukan Amerika Serikat dan NATO.

Menurut Jones, pimpinan puncak Taliban seperti Mullah Omar, Siraj Haqqani, dan Gulbuddin Hekmatyar, masih aktif dan belum berhasil ditangkap. Begitu pula Usamah Bin Ladin, pemimpin tertinggi Al-Qaeda, musuh nomor satu Amerika.

Profesor Bryan Glyn William, ahli sejarah Islam dari University of Massachusetts, Dartmouth, berpendapat sejak pertengahan 2007, Al-Qaeda di Iraq (AQI) melemah. Bersamaan dengan itu Al-Qaeda di Afghanistan menguat.

Menurut Profesor itu, sejak 2007 website jihad di seluruh dunia, dari Chechnya, Turki, sampai Timur Tengah, mulai memuat advertensi menyerukan lions of Islam (para singa Islam) di seluruh dunia untuk berjuang di Afghanistan. Baik juga bila seruan itu sampai ke Indonesia sehingga lions of Islam di sini berangkat dan berperang ke Afghanistan atau Irak, menghadapi langsung tentara Amerika dan sekutunya. Itu mungkin lebih baik daripada mengebom kepentingan dan bau Amerika di sini, tapi dampaknya sangat merugikan bangsa sendiri.

Yang ingin disimpulkan: akar semua terorisme sekarang ini adalah Amerika Serikat dan sekutunya. Indonesia dan banyak negara lain hanya korban. Jadi adalah aneh kalau kita mau membahas dan memberantas terorisme tanpa membicarakan – atau malah menyembunyikan — keterlibatan Amerika Serikat. Tapi itulah yang terjadi sekarang. [AS/www.hidayatullah.com]

Penulis adalah Direktur Institute For Policy Studies (IPS) dan kolumis www.hidayatullah.com