Tuesday, 16 April 2024, 23:57

Andai saja semua agama itu sama, maka tak ada yang namanya perbedaan. Andai saja semua agama itu benar, tak perlu ada yang ngotot ingin benar sendiri. Andai saja semua agama itu menyembah Tuhan yang sama, nggak perlu ada pertumpahan darah atas nama agama. Andai saja semua agama itu menuju ke jalan yang sama, tak perlu ada kitab suci yang berbeda. Tapi fakta dan sejatinya memang berbeda kok. Justru pertanyaan saya: kenapa harus dipaksakan untuk disamakan?

Sayangnya, sekarang banyak usaha-usaha yang menjurus ke arah sana dengan alasan perdamaian dunia. Karena menurut para penggagasnya, seluruh agama akarnya satu, yakni dari sang pencipta, sehingga mereka berdalil: “Kenapa harus berbeda? Berbeda itu bikin konflik dan itu sangat berbahaya!�

Tapi yang jelas, kalo kita mau berpikir lebih dalam lagi (gali sumur kali!), kita justru akan menemukan bahwa masing-masing agama memang beda. Beda banget. Bahkan bukan hanya beda, tapi juga bertentangan, dan bahkan saling menentang satu sama lain.

Itu sebabnya, tentu nggak bisa mendefinisikan atau membuat pernyataan yang cuma berdasarkan logika dan hawa nafsu kita. Tapi kebenaran adalah muncul dari yang membuat kebenaran itu sendiri, yakni pencipta kita, Allah Swt. Karena kalo kebenaran diserahkan kepada masing-masing manusia, maka yang muncul bukan kebenaran, tapi pembenaran. Udah gitu miskin makna dan kaya dengan salah persepsi.

Sobat muda muslim, ngomongin soal agama kata sebagian kalangan dianggap sensitif. Saking sensanifnya, eh, sensitifnya maka kita nggak boleh ngomongin agama secara vulgar di tempat umum. Misalnya, kamu nanya sama teman kamu di sekolah dalam forum umum: “Agama kamu apa?� Wuih, kayaknya kita dianggap arogan atau sok, atau dicap sebagai orang yang melontarkan pertanyaaan dengan nada sentimen atau tendensius serta SARA dan macam-macam pikiran lainnya.

Kenapa? Karena kita terbiasa menabukan hal tersebut. Dianggap bahwa agama adalah urusan masing-masing individu. Nggak boleh ada individu lain yang mempertanyakan dan mempersoalkan status agama seseorang. Alasannya, kita menjunjung kebersamaan. Jadi jangan heran pula kalo kemudian muncul istilah toleransi, anak bangsa, dialog lintas agama dan iman, dan lain sejenisnya untuk mengkampanyekan tentang pentingnya persamaan. Padahal jelas sangat berbeda jauh. Wong dasarnya juga beda kok. Jadi apa yang mau disamakan? Betul ndak? Semoga kamu bisa memahaminya.

Dalam tulisan di sampul depan buku Psikologi Agama karya Kang Jalal, panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat, dituliskan bahwa agama adalah kenyataan terdekat dan misteri terjauh. Begitu dekat: ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari—di rumah, kantor, media, pasar, di mana saja. Begitu misterius: ia menampakkan wajah-wajah yang sering tampak berlawanan—memotivasi kekerasan tanpa belas atau pengabdian tanpa batas; mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan superstisi (ketakhayulan); menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani paling personal; memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.(Mizan, 2003)

Nah, karena itulah barangkali ada orang yang merasa bingung dengan agama, mulai menghindarinya dan mengajarkan atheisme. Maka, nggak usah heran kalo Darwin, Marx, Freud membunuh Tuhan dan Nietzsche turun dari bukit, menyanyikan lagu Zarathusta: Gott is gestorben (alias Tuhan sudah mati) (Psikologi Agama, hlm. 64)

Sobat muda muslim, karena saat ini banyak kaum kaum muslimin yang mulai kendor ikatannya dengan ajaran Islam, ada pula yang bahkan sudah melawan setiap ajaran yang ada dalam Islam, juga banyak yang berupaya menyamakan Islam dengan agama yang lain, maka saya merasa perlu untuk menjelaskan (semoga saja mencerahkan), tentang masalah ini. Saya ingin menegaskan bahwa Islam emang beda dengan agama yang lain. Jadi, nggak bisa pula keyakinan kita digeser-geser dan dipindah-pindah ke tempat lain (digeser-geser? Emangnya pot bunga?)

Islam emang beda!
Kalo kamu berani mengatakan ini, syukur deh. Kenapa? Karena masih punya harga diri dan sekaligus percaya diri. Harga diri itu mahal, jarang ada yang rela kalo harga dirinya diinjak-injak (kecuali yang nekat dan gelap mata dengan menjual dirinya sendiri dalam kenistaan). Kebanyakan orang kalo bicara harga diri semangat dan antusias. Harga diri harus dipelihara karena urusan hidup dan mati.

Percaya diri berarti kita percaya dengan apa yang kita perbuat. Orang yang berani melakukan suatu perbuatan dan kegiatan, sudah pasti bertanggung jawab. Itu sebabnya, dengan memiliki rasa percaya diri bisa dipastikan orang tersebut udah punya alasan dan tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.

Yup, Islam memang beda. Beda banget dengan agama lain. Nggak bisa disamakan. Nggak bisa disatukan. Karena ibarat air dengan minyak, maka Islam nggak bisa dicampur dengan ajaran agama lain. Akan saling menolak dalam hal prinsip. Akan saling bertentangan dalam masalah akidah. Tidak ada gaya elektrostatis alais gaya tarik-menarik dalam urusan syariat antara Islam dan agama lain.

Sekarang coba kita bandingkan mulai dari yang sangat prinsip: yang disembah. Kita, kaum muslimin, cuma menyembah Allah Swt. bukan yang lain. Sementara agama lain, Nasrani misalnya, mereka punya konsep trinitas. Ajaran lain juga sama, menyekutukan Allah. Jelas beda kan? Firman Allah Swt.:

?ˆ???‡???ˆ?? ?§?„?„?‘???‡?? ?????? ?§?„?³?‘???…???ˆ???§???? ?ˆ???????? ?§?„?£?’???±?’?¶?? ?????¹?’?„???…?? ?³???±?‘???ƒ???…?’ ?ˆ???¬???‡?’?±???ƒ???…?’ ?ˆ???????¹?’?„???…?? ?…???§ ?????ƒ?’?³???¨???ˆ?†??
Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan. (QS al-An’aam [6]: 3)

Sementara dalam ayat lain, Allah Swt, pencipta kita semua menegaskan dalam firmanNya:

?§?„?’?­???…?’?¯?? ?„???„?‘???‡?? ?§?„?‘???°???? ?®???„???‚?? ?§?„?³?‘???…???ˆ???§???? ?ˆ???§?„?£?’???±?’?¶?? ?ˆ???¬???¹???„?? ?§?„?¸?‘???„???…???§???? ?ˆ???§?„?†?‘???ˆ?±?? ?«???…?‘?? ?§?„?‘???°?????†?? ?ƒ???????±???ˆ?§ ?¨???±???¨?‘???‡???…?’ ?????¹?’?¯???„???ˆ?†??
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka. (QS al-An’aam [6]: 1)

Dalam pernyataan lebih jelas dan tegas, Allah Swt menyebutkan (yang artinya): “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam�, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu� Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.� (QS al-Maaidah [5]: 72)

Nah, kalo dari akarnya aja udah beda, maka batang, ranting, daun, bunga dan buahnya jelas berbeda dong. Tul nggak? Lagian kita belum pernah tuh denger ada pohon mangga berbuah durian (mungkin Om Broery aja yang pernah mendendangkan lagu yang ada liriknya “buah semangka berdaun sirih�!)

Maka sangat wajar dan adil jika Allah Swt. aja mengajarkan bahwa keyakinan kita berbeda dengan keyakinan agama lain. Itu sebabnya, jangan bingung pula kalo syariatnya juga beda. Maka, apa hak kita menyatakan bahwa semua agama sama? Sehingga kita merasa kudu terlibat dan melibatkan diri dalam ibadah agama mereka. Bahkan hal itu dianggap wajar.

Bener lho, saking nggak ngertinya, ada sebagian dari kita yang latah ikutan perayaan natal bersama, misalnya. Malah dengan semangat dan gagah berani biar dianggap toleran menyambut dan menyampaikan ucapan selamat kepada mereka. Ah, itu namanya sudah salah menempatkan toleransi dong. Karena dalam urusan keimanan dan ibadah ini nggak berlaku istilah toleransi. Sebaliknya, kita kudu keukeuh memegang prinsip. Allah Swt udah wanti-wanti soal ini dalam al-Quran (yang artinya): “Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.� (QS al-Kaafiruun [109]: 1-6)

Islam akan menang!
Bukan sulap bukan sihir bukan pula guna-guna en santet, kalo Islam bakalan memenangkan semua ideologi dan agama yang ada di dunia ini. Allah bahkan sudah menjanjikan kemenangan itu dan menjaminnya tetap menang. Nih, pernyataan Allah Swt itu (yang artinya): “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.� (QS ash-Shaff [61]: 9)

Cuma masalahnya, kita udah siap nggak sebagai pemeluknya untuk berjuang membela Islam? Inilah yang kudu ditanyakan ke diri kita masing-masing. Ada baiknya memang kita introspeksi diri; udah sejauh mana sih kita cinta sama Islam, seberapa pantas masih menyandang gelar muslim, masih ragu nggak dengan ajaran Islam ini, masih suka malas nggak melaksanakan berbagai kewajibannya, masih kalah dengan hawa nafsu atau justru kita udah mampu mengendalikannya dan tunduk kepada syariat, masih kagum dengan potret bening kemaksiatan atau justru bersedia untuk ridho diatur dan pasrah kepada Allah Swt.?

Rasa-saranya ini emang yang sering kita lupakan. Kita lebih trengginas mengejar mimpi, sementara kenyataan yang ada dalam hidup kita dilepaskan. Kita bangga dengan westernisasi, dan malu bila masih berstatus muslim. Maka kita berlomba memamerkan aurat, padahal agama mengajarkan untuk menutupnya rapat-rapat. Kerudung dan jilbab dianggap kuno (kalo pun tetep dipake, tapi kudu ngikutin tren yang ada), sementara remaja muslimah banyak yang sregep mengenakan busana yang irit bahan (kali aja bermimpi bisa jadi kembarannya Jeniffer Aniston, Britney Spears, Mandy Moore, Shakira wa akwatuha)

Sobat muda muslim, kalo emang kita siap memenangkan Islam (dan menjaga kemenangannya), kita kudu setulus hati mencintainya. Karena cinta, adalah ketulusan. Kalo sudah sangat tulus mencintai, maka pengorbanan pun bukan sesuatu yang ditakutkan, malah dicari. Pemuda yang punya semangat seperti ini, nggak bakalan goyah menerima iming-iming ide murah dan murahan yang ditawarkan lingkungannya. Ia akan tetep berpegang teguh dengan prinsip hidupnya dan bangga menjadi seorang muslim.

Oke deh, mulai sekarang, kita benahi lagi cara pandang kita tentang iman dan Islam kita. Kita sanggup kok. Jangan sampe kita mengaku muslim, tapi sholat cuma sekali pas jadi mayat (eh, itu mah bukan sholat, tapi disholatkan!). Nah, mumpung belum disholatkan, mumpung belum pensiun dari dunia fana ini, kita kobarkan lagi semangat sebagai seorang muslim. Kita kokohkan iman kita, tingkatkan ilmu kita, dan baguskan amal kita. Kita ridho kepada Allah dan agar Allah pun ridho kepada kita.

Nah, mulai sekarang, yuk sama-sama kita kaji Islam, pahami, dan amalkan. Syukur-syukur kamu masih punya semangat untuk memperjuangkannya. Kita bisa barengan bahu-membahu dalam mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Biar semua kenal dan tahu. Ya, karena Islam emang beda dengan agama lain dan kita nggak usah nekat menyamakannya. Oke? Tetep semangat! [solihin]

(Buletin Studia – Edisi 223/Tahun ke-5/20 Desember 2004)

1 thought on “Agamaku, Agamamu…

Comments are closed.