Thursday, 25 April 2024, 10:35

Sejak kecil, aku nggak pernah merasa dekat dengan orangtua, terutama ayahku. Aku nggak pernah tahu kesibukan beliau apa saja selain tentunya menjadi seorang perwira menengah di Angkatan Darat. Aku lebih sering bergaul dengan anak-anak sebayaku di luar rumah ketimbang membetahkan diri untuk diam di dalam rumah.

Saat aku duduk di bangku SD, tepatnya di kelas 4 sebuah SD di bilangan Jakarta Pusat, orangtuaku mendadak sering bertengkar. Aku nggak paham. Pikirku saat itu, “Ah, kebiasaan orang dewasa”. Pertengkaran itu terus berlanjut, bahkan membesar. Hingga aku kelas 6 SD, aku nggak peduli. Sampai di satu? saat, setelah aku dan ayah jalan-jalan ke Taman Puring (satu kawasan belanja di Jakarta Selatan-red.), ayah mengajakku mampir ke sebuah rumah yang ?aku nggak tahu pemiliknya. Setelah kami masuk, barulah aku tahu siapa pemiliknya. Ayah memperkenalkannya sebagai Tante Mira. Masa bodoh aku saat itu.

Waktu terus berlalu, sementara kecekcokan antara kedua orangtuaku tak ada habisnya. Sedikit-sedikit, aku mulai ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. setelah mengorek informasi dari ibu, kakak-kakak, dan keluarga lainnya, aku baru tahu kalau ayah punya istri simpanan. Ya, Tante Mira! Tak bisa lagi terlukiskan kegeramanku saat itu. Ingin rasanya mendatangi rumah si Tante centil itu dan menghajarnya habis-habisan. Tapi sayang, waktu yang berlalu telah menenggelamkan ingatan itu, jauh ke dasar otakku.

Aku cuma ingat, saat aku main-main dengan kawan SMP (saat itu aku kelas 3 SMP), aku melihat ayah, seorang wanita dan seorang anak perempuan kecil sedang makan di sebuah restoran fastfood di Kelapa Gading. Aku tahan dalam-dalam amarah itu, hingga saat kami berkumpul di rumah, tak terbayang lagi apa yang terjadi saat itu. Kudatangi ayah dengan nada tinggi, menanyakan siapa wanita yang kulihat bersamanya tadi siang, juga anak perempuan kecilnya. Ayah mengelak. Bahkan ayah menciumku dengan sendalnya. Mulai saat itulah aku makin jauh dengan rumah. Hari-hari kuhabiskan di jalanan daerah Pocol-Pasar Senen-Tanah Tinggi, Jakarta Pusat bersama kawan-kawan jalananku.

Hingga saat itu, aku hanya berpikir kalau ayahku itu hobi selingkuh. Tapi ternyata anggapanku salah. Saat aku duduk di kursi SMA, ibu membocorkan rahasia kalau ayah memang hobi mengkoleksi wanita. Bahkan kata ibu, ibu sendiri nggak tahu persis berapa jumlah resmi istri-istrinya, dan berapa jumlah “selir”nya. Aku nggak begitu percaya hingga aku kroscek ke beberapa orang lainnya, barulah aku percaya. Bahkan kalau aku hitung, “istri-istri” ayahku sekitar 9 orang.

Besar di jalan

Sejak kecil, perangaiku memang keras. Itulah yang menjadi bekalku untuk hidup di jalan. Sebenarnya aku nggak all out jadi anak jalanan sampai aku lulus kuliah. Aku masih butuh uang. Jadi, aku masih baik-baikan sama ortu. Sebenarnya aku sekolah pun hanya formalitas saja. Aku sering bolos, mabuk di kelas, berkelahi dengan sesama siswa bakan dengan guru. Termasuk kejahatan-kejahatan cetek yang “biasa” dikerjakan anak sekolah sekarang. Dan jujur saja, aku lebih suka menyogok guru-guruku untuk naik kelas ketimbang harus belajar. But after school, aku hampir nggak pernah pulang ke rumah! Hidup di jalan, menikmati gelap, redup, dan cerahnya dunia dan larut di dalamnya.

Hidup di jalan pun nggak membuat aku jadi lebih baik. Jalanan justru membawaku beberapa kali menginap di tahanan polisi. Bahkan dua kali masuk ke LP Cipinang dengan berbagai macam kasus yang berbeda. Dari mulai narkoba, premanisme, hingga pembunuhan.

Waktu aku pertama kali dijebloskan ke penjara Cipinang, ayah masih mau menolongku. Satu kali bahkan ia merelakan kesempatannya untuk naik pangkat demi mengeluarkanku. Tapi sayang, untung tak bisa didapat, malang tak bisa dicegah. Aku kembali ke jalan, dan “berpakaian” seperti sebelumnya. Saat itulah orangtuaku mulai acuh denganku. Dan aku pun sama dengan orangtuaku, aku mulai membenci mereka, terutama ayah. Bahkan satu perkataan ayah yang paling membuatku kesal saat itu, “Gue udah ngelahirin lo, gue juga udah masukin lo sekolah ama pengajian biar lo pinter, sekarang gue tinggal nunggu kapan lo nikah dan kapan lo mati. Kalo lo masuk penjara lagi, itu sih masa bodo!” kesal rasanya saat itu, bahkan hampir saja kutebas leher ayah dengan sebilah clurit. Untung saja ada ibu yang melerai.

Sampai akhirnya aku mendekam dua tahun 8 bulan di Cipinang akibat membunuh seorang preman, ayah nggak pernah menjengukku. Inilah salahsatunya yang membuatku akhirnya nggak peduli pada ayah. Selepas dari LP pun aku nggak langsung menginjakkan kaki ke rumah. Aku ke jalan, terus di jalan, bahkan cari makan di jalan. Kerja apa saja. Dari ngamen, tukang parkir, sampai pernah juga jadi kuli harian percetakan.

Menyingkir dari Jakarta

Dua tahun selepas dari LP, aku mulai bosan tinggal di Ibukota. Aku pun pindah ke sebuah daerah di pinggiran Jakarta (masuk wilayah Kabupaten Bogor, sih). Aku di sana bekerja pada sebuah perusahaan konstruksi pabrik. Biasa, jadi kuli lagi! Tapi aku cuek saja. Nggak peduli kalau aku seorang sarjana teknik sipil. Di tempat baru ini, hobi burukku kayak mabuk, judi, tetap nggak hilang. Hingga satu ketika, aku kehabisan uang. Kondisiku pun super parah. Sakaw abis, ketagihan judi, pokoknya ancur, deh!

Saat itu aku kepikir nyari uang (lagi-lagi) dengan cara yang tidak baik. Aku berniat merampok sebuah toko milik pak haji, tetangga dan bapak kosku sendiri. Pikiranku sudah sangat kacau waktu itu. Dengan nekat, aku pun melancarkan aksiku bertiga bareng kawan-kawan error-ku. Saat itulah Allah menolongku. Saat aksiku berlangsung, kami kepergok polisi dan nggak bisa kabur. Sekali lagi, aku masuk tahanan polisi. Tapi Allah Mahapengasih dan Mahapenyayang. Saat itu, Pak haji, yang jadi korban, nggak mau memperluas masalah. Dia mengerti keadaanku waktu itu, dan memilih menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.

Peristiwa itu, dan kebaikan hati Pak haji telah membukakan hatiku dan jadi titik tolak perubahan dalam hidupku. Aku pun mulai bertekad untuk tidak mengulangi segala kebejatanku dan aku pun tak akan sudi jika anak-anakku kelak meniru kelakuan bejat bapak dan kakeknya. Pak haji bukan cuma memafkanku. Setelah kejadian itu, beliau justru mempercayakan sebuah usahanya untuk kukelola, dan memberikan tempat tinggal gratis buatku.

Sobat, masa laluku biarlah berlalu. Kini, aku hanya ingin memperbaiki hidupku dengan Islam yang k?ffah dan menjadi muslim yang sebenarnya. Aku sekarang mulai lagi berkenalan dengan Islam dengan mengaji. Kuharap, cukup aku saja yang merasakan kelamnya masa lalu itu. [seperti yang diceritakan supri pada munir]

[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda, edisi Juni 2005]

1 thought on “Antara Aku, Ayah, dan Masa Laluku…

  1. saya sangat bangga terhadap anda yang mau untuk taubat,dan lebih bangga lagi terhadap pertolongan Allah yang maha kuasa,yang memberikan pertolongannya dengan jalan yang sungguh tidak kita sangka.
    Subhanallah..!
    Semoga anda tetap dalam perlindungan dan bimbingan Allah

Comments are closed.