Wednesday, 24 April 2024, 18:42

Ujian Akhir Nasional sudah digelar. Hasilnya pun sudah bisa dilihat. Ada tawa bahagia dari peserta (tentu bagi yang lulus dong. Kalo yang nggak lulus tertawa bahagia itu namanya abnormal). But, ada juga yang merasa kecewa, sedih dan nggak nyangka kalo sampe nggak lulus UAN. Malah lebih parah lagi ada yang udah diterima di perguruan tinggi negeri melalui sistem PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), eh, UAN-nya dinyatakan nggak lulus. Gimana tuh? Bingung kan?

Ada dari teman kita di sebuah sekolah kejuruan teknik di Bekasi yang nggak terima hasil UAN-nya jeblok lalu nekat ampir menggosongkan sekolahnya sendiri. Meski aksinya nggak sampe bener-bener ngebakar sekolahnya seperti yang dibombastiskan beritanya di media massa—karena faktanya cuma komputer, printer, dan sejumlah arsip di sebuah ruangan sekolah yang ludes dilalap api—tapi jelas kalo itu adalah reaksi yang negatif banget. Bahkan ada juga teman kita yang gelap pikirannya, hingga nekat mau bunuh diri. Aduh, kasihan banget ya?

Ya, berat memang beban mereka, apalagi yang nggak lulus hanya karena nilai satu mata pelajarannya jeblok. Seperti teman kita, Bayu Taruna, yang malah udah keterima di Universitas Brawijaya, Malang, tapi di sekolahnya, SMAN 71 Duren Sawit Jakarta Timur, Bayu dinyatakan nggak lulus UAN, karena nilai pelajaran Matematika yang berhasil diraih Bayu hanya 4,0. Meski nilai Bahasa Inggrisnya 9,2 dan Bahasa Indonesia 8,2, Bayu tetap dinyatakan nggak lulus. Duh, gimana nggak kecewa tuh?

Sobat muda muslim, kita juga empati sama kamu semua yang kebetulan gagal UAN-nya. Memang kecewa dan sedih, apalagi kalo selama sekolah kita tuh udah nunjukkin prestasi kita yang hebat dibanding teman-teman lain, eh, pas UAN nilai kita jeblok.

Mungkin wajar juga kalo kamu yang merasa kecewa kemudian unjuk rasa ngedatangin Depdiknas atau malah DPR untuk minta dukungan agar diluluskan, atau seenggaknya minta UAN diulang secepatnya, ketimbang harus nungguin setahun lagi. Sebagai reaksi sesaat, itu masih bisa dimaklumi. Karena rasa marah, kecewa, kesal dan sedih bercampur jadi satu. Nggak nyangka kalo sampe nggak lulus.

Memang sih kalo dilihat sekilas nggak bisa dibilang adil. Gimana nggak, ternyata UAN menjadi satu-satunya syarat kelulusan siswa. Nggak ada penilaian lain untuk menentukan kelulusan. Artinya, hasil UAN jadi mutlak dan nggak bisa diganggu-gugat oleh siapa pun. Sampe-sampe Mendiknas Bambang Soedibyo dengan tegas bilang kalo UAN nggak bakalan bisa diulang, bahkan beliau berkomentar, “Muridnya juga harus introspeksi. Apakah murid tersebut belajar untuk ujian nasional atau tidak. Kalau dia lulus PMDK, tapi dia tidak lulus ujian nasional, perguruan tingginya yang harus introspeksi. Apakah penilaiannya sudah benar? Kok dia bisa diterima, padahal dia tidak lulus ujian nasional. Sudah diterima di Unibraw tapi nilai matematikanya 4,� kata Soedibyo (metrotvnews.com, 20/06/2006)

Senada dan seirama dengan Mendiknas Bambang Soedibyo, Wapres Jusuf Kalla juga menolak usulan kalo UAN harus diulang. Menurutnya, “Ujian ulang tidak adil bagi siswa yang telah bekerja keras� (metrotvnews.com, 23/06/2006)

Sobat, tulisan di buletin kesayangan kamu ini sekadar memberikan wacana bahwa inilah potret dunia pendidikan kita saat ini. Inilah kualitas pendidikan �made in’ Kapitalisme. Eit, tentu kita punya alasan dong ketika berani nuduh Kapitalisme sebagai biangnya dari kasus ini. Bukti yang udah ketahuan banget adalah produk kehidupan kita saat ini. Bukan cuma gaya hidup sehari-hari yang rusak, tapi kurikulum pendidikan yang jauh dari ajaran Islam. Sumpah deh!

Kurikulum yang sekularistik
Bro, nggak heran dong kalo Kapitalisme mengadopsi sekularistik. Wong sekularisme adalah akidahnya Kapitalisme kok. Sebuah sistem pasti akan melahirkan produk sesuai dengan asas yang menjadi landasan ideologinya. So, nggak usah heran kalo kurikulum pendidikan saat ini yang merupakan bagian dari produk sistem pun akhirnya sesuai kepentingan sistem itu sendiri. Jadinya? Ya ikut-ikutan sekuler dong!

Nah, kenapa bisa disebut sekuler? Perlu kita ingetin lagi nih bahwa sekuler itu adalah memisahkan antara agama dan kehidupan. Artinya aturan agama nggak boleh dan bahkan terlarang untuk ikutan ngatur kehidupan dunia. Udah ada jatahnya masing-masing. Nggak boleh saling ikut campur dan saling intervensi. Buktinya, kita bisa nemuin ada orang yang memiliki nama islami, tapi kelakuannya jauh dari ajaran Islam. Berasal dari keluarga Muslim, tapi kehidupannya bertentangan dan bahkan menentang Islam. Ini buah sekularisme, Bro.

Oya, jangan kaget, sekularisme juga ikut menghancurkan pemeluk agama selain Islam, lho. Nggak percaya? Hmm… di negeri-negeri Barat, kini pemeluk agama Nasrani kian nggak taat pada ajarannya karena digerus sekularisme. Di Amsterdam, sebagai misal, 200 tahun lalu, 99 persen penduduknya beragama Kristen. Sekarang, hanya tersisa sekitar 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Sebagian besar mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Waduh!

Di Prancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali. Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.�

Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu. (Adian Husaini dalam tulisannya di Republika, 27 Juli 2004)

Nah, di negeri kita juga sama. Mungkin kalo di KTP sih pas di kolom agama tercantum Islam. Tapi, berapa persen sih yang taat menjalankan agamanya? Seenggaknya kalo pelaksanaan shalat aja yang jadi ukurannya, berapa persen sih yang rajin shalat? Memang sih harus ada survey. Tapi yang pasti, kalo ngelihat gelagatnya, masyarakat kita juga udah sekuler, lho. Lihat aja produknya saat ini. Siapa sih yang jadi �bintang utama’ acara Buser, Sergap, Patroli, TKP dan sejenisnya?

Yap, mereka yang jadi bintang utama itu tangannya diborgol dan mengenakan baju bertuliskan “tahanan�. Banyak di antara mereka yang namanya tuh islami, jelas orang Islam. Tapi, ya kelakuannya udah jauh dari ajaran Islam. Eh, saya nulis gini bukan sok suci lho, tapi sekadar renungan aja ternyata banyak dari kita yang udah jadi sekuler. Benar-benar tragedi, Brur!

Itu sebabnya, jangan heran juga kalo kurikulum pendidikan nasional pun muatannya sekuler, mengejar aspek materi alias materislitik belaka. Alat ukur kesuksesan hanya dinilai dari keberhasilan secara materi. Tengok deh, sekolah bukan semata tempat mencari ilmu, tapi sudah disulap untuk ditargetkan mencari pekerjaan bahkan lebih parah lagi sekadar tempat sosialisasi dan menerapkan gaya hidup seperti yang kerap ditampilkan di banyak tayangan sinetron remaja saat ini. Menyedihkan banget.

Kurikulum pendidikan yang sekularistik itu juga nyata banget dari adanya pembagian sekolah umum dan sekolah agama. Pemisahan ini jelas merupakan bagian dari upaya sekularisme di bidang ilmu pengetahuan. Sebab, yang hebat tuh kalo menghasilkan pelajar yang handal di bidang keterampilan ilmu-ilmu umum, tapi juga beriman dan bertakwa. Ini baru hebat. Sebagai contoh, salah seorang imam mazhab yang terkenal, yakni Imam Abu Hanifah, selain master di bidang ilmu fikih dan tsaqafah Islam, tapi beliau juga pakar di bidang ilmu kimia. Wuih, keren banget kan?

Karena udah dibiasakan dipisah-pisahkan aturan agama dan aturan negara, maka akibatnya dalam kehidupan sehari-hari pun nampak jelas perilaku sekuler itu. Ngakunya muslimah, tapi keluar rumah nggak pake kerudung dan jilbab. Ngakunya muslim, tapi makan dan minum yang haram. Ah, menyedihkan banget deh. Itu baru soal pakaian dan minuman lho, belum pelaksanaan syariat yang lainnya. Jadi, kita tuh sering �malpraktek’ dalam berIslam alias melaksanakan ajaran Islam nggak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt. dan RasulNya.

Kenakalan negara dan masyarakat
Jangan selalu menyalahkan remaja dan menyebutnya: kenakalan remaja. Why? Sebab remaja lebih tepat sebagai korban. Karena yang lebih bertanggung jawab adalah masyarakat dan negaranya. Negara dan masyarakat telah berbuat nakal karena telah terbukti menerapkan aturan yang menyesatkan dan membuat sengsara kebanyakan orang. Yap, negara dan masyarakat menerapkan Kapitalisme-Sekularisme. Ini sebetulnya biang keroknya.

Mau bukti? Kalo memang benar negara dan masyarakat ingin memajukan pendidikan di negeri ini, maka sudah seharusnya memberikan dukungan bagi pendidikan anak-anak bangsanya. Nggak kayak sekarang, bangunan sekolahnya aja banyak yang nggak layak untuk ditempati. Bahkan gaji guru yang mengabdi di desa-desa jauh lebih kecil kalo nggak mau dikatakan tekor sehingga harus membagi perhatian mendidik dengan mencari nafkah tambahan biar dapur tetep ngebul.

Sobat, dari dua faktor ini aja, udah bisa ditebak gimana bisa menghasilkan kualitas pelajar yang oke dan handal. Tempat belajar nggak nyaman, dan gurunya setengah hati mendidiknya. Belum lagi soal kurikulum, ditambah lagi dengan biaya yang mahal (artinya nggak semua orang bisa menyekolahkan anaknya), udah gitu masih ada juga beban biaya untuk beli buku pelajaran yang tiap semester berganti dan lain sebagainya. Orangtua kita yang nggak mampu pasti ngebul tuh ubun-ubunnya mikirin soal ini.

Belum lagi kalo bicara soal gaya hidup. Sudahlah di sekolah nggak mendapatkan pelajaran yang memadai, di lingkungan sekitar justru pelajar dibombardir dengan suguhan yang menjauhkan dari tradisi yang berkaitan dengan keilmuan. Tengok deh acara televisi macam KDI, AFI, Indonesian Idol, API, ABG, dan sejenisnya. Marak dan gemerlapan menyedot perhatian dan menciptakan mimpi untuk menjadi bintang tenar dan tajir dalam sekejap.

Bersamaan dengan itu tradisi keilmuan nyaris nggak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Mereka yang berjaya di bidang iptek seringkali dianggap biasa, ketimbang remaja yang menang kontes KDI atau AFI. Menyedihkan banget. Wajar dong, kalo banyak juga yang kemudian malas belajar karena udah dikondisikan dengan tren gaya hidup serba instan, fermisif, bahkan hedonis.

Sobat, tentu saja kondisi akibat kenakalan negara dan masyarakat ini udah merugikan semuanya, bukan cuma kita-kita yang jadi korban. Tapi semua mendapatkan akibatnya. Bayangin deh, kalo banyak anak yang nggak berilmu, kira-kira 10 tahun ke depan kayak apa bangsa ini? Kalo banyak dari kita lebih memilih gaya hidup glamour ketimbang tradisi keilmuan dan keimanan, mau jadi apa kita 10 tahun ke depan?

So, negara memang harus bertanggung jawab soal ini. Masyarakat juga (sekolah, pengusaha media massa, para ulama, dan tokoh masyarakat lainnya) harus peduli dan cinta sama generasi muda. Jangan korbankan masa depan generasi ini dengan model pendidikan (termasuk tentunya kehidupan secara umum dan luas) yang sekuler.

Sobat, insya Allah kejadian model begini hanya bisa diselesaikan dengan Islam. Karena Islam memang solusi bagi segala problem kehidupan di dunia. Percayalah. Asal, satu syaratnya: Islam diterapkan sebagai ideologi negara. Kalo nggak? Mimpi kali ye!

Khusus dalam bidang pendidikan nih, menurut Islam, sekolah diposisikan sebagai sarana pertama untuk mengenalkan Allah Swt., akidah Islam, dan sistem hukum Islam, serta mendidik siswa agar paham dan mengerti praktik sistem hukum Islam. Sebab, Islam bukan sekadar ajaran ritual, melainkan sistem hidup yang bersifat ideologis dan politis. Setelah itu, barulah sekolah ditempatkan sebagai wahana untuk menuntut ilmu, sains, dan teknologi untuk memperoleh manfaat dari hasil-hasil temuan dan produk akal manusia berupa industri dan sains.

Dengan demikian, tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan tentu saja pandai menghiasi kehidupannya dengan amal shaleh. Lha, kalo sekarang? Duh, Kapitalisme udah menggerus kepribadian kita: akhlak yang rusak, termasuk kualitas penguasaan ilmu pengetahuannya yang kurang bagus. Jadi, kalo masih banyak pelajar yang nggak lulus UAN, tentu kesalahan bukan cuma pada pelajar tersebut, tapi ideologi yang mengatur kehidupan ini yang wajib disalahkan. Itu sebabnya, mending “talak tiga� aja terhadap Kapitalisme, dan ganti dengan Islam. [solihin]

(Buletin STUDIA – Edisi 300/Tahun ke-7/3 Juli 2006)