Friday, 26 April 2024, 11:50

Seorang ibu di Jakarta menulis surat pembaca tentang anak balitanya. Beliau menuturkan, tiba-tiba anaknya gagap dan tidak lagi berbicara normal seperti biasa, ibu tersebut amat terkejut. Setelah diselidiki ternyata si anak mengikuti cara bicara Yoyo dalam sinetron “Si Yoyo� yang ditontonnya lewat layar kaca. (Kompas, 20/06/04)

Hmm…rupanya “Si Yoyo� udah mulai makan korban neh. Kok bisa ya? Gimana nggak, kini hampir tiap hari kita disuguhin sinetron kaumnya Yoyo. Ada si Cecep, Lono dalam “Si Kembar�, atau Titi Kamal dalam “Chanda�. Semuanya berkisah tentang orang yang mengalami keterbelakangan mental. Terutama si Cecep dan Yoyo. Yang lainnya, agak-agak idiot. Perilaku mereka pasti jadi tontonan menarik buat anak-anak. Apalagi masa kanak-kanak dike-nal sebagai masa copy-paste alias plagiator ulung. Boleh jadi entar ada anak yang minta gaya rambut antena biar mirip Cecep. Walah!

Kita pasti nggak asing ama “Si Cecepâ€?. Tokoh idiot ini pertama kali sukses diperankan Anjasmara dalam sinetron komedi “Wah… Cantiknya!â€?. Sosoknya yang jujur, lugu, polos, malah terkesan lolot (dibaca dari kanan ke kiri) bin lemot menjadi bahan tertawaan yang renyah serenyah kentang goreng piatos.

Berikutnya hadir “Si Yoyo� yang diperan-kan Teuku Ryan. Pemuda yang menderita men-talish retardict (keterbelakangan mental) dan sangat dekat dengan dunia anak-anak. Meski idiot, ternyata Yoyo yang sering dimarahin ba-paknya, lebih bijak jalanin hidup dibandingin Cecep yang selalu cengengesan binti ketawa-ketiwi. Tapi tetep bikin enek.

Nggak cukup dengan orang idiot, kaum banci juga makin banyak diangkat ke layar kaca. Sosoknya menjadi menu wajib dalam setiap sinetron. Biar penonton pada ngakak ngeliat kedipan nakal matanya, aksi tangannya yang kriting, atau gaya bicaranya yang cuentil abiz. Figur mereka diwakili oleh �Somad’ dalam “Cintaku Di Rumah Susun� atau yang terbaru, dalam “Gara-gara Inul� berwujud Sutan Ayu Khairudin alias Sutan Bences yang diperankan Derry Drajat. Parahnya, sosok ini juga hadir di dunia lelembut. Seperti dalam “Tuyul Milenium� dan “Si Manis Jembatan Ancol�. (idih…. Jijay deh eike ngeliatnya!)

Untuk urusan untung-rugi, mata pengelola televisi emang jeli. Nggak nyesel mereka menayangkan produk lokal sejenis Forest Gump. Buktinya, Anjas bin Cecep sam-pai dua kali menggondol predikat “â€?Aktor Ter-baikâ€? di ajang Panasonic Award dan juga SCTV Award. Padahal kita tahu sendiri, peran orang idiot atau banci dalam sinetron banyak dikeluh-kan masyarakat seperti penuturan seorang ibu di atas. Tapi kenapa ya para pengelola tv tetep melestarikan peran itu?…(pura-pura mikir ngikutin gaya patung The thinker karya Auguste Rodin). Huhuy!

Apapun demi rating
Sobat muda muslim, kalo lagi ngomongin tayangan televisi, sistem rating nggak boleh ketinggalan. Soalnya, doi udah kadung sohiban banget ama pengelola tv dan rumah pro-duksi. Makanya kalo nggak ikut di-bahas, doi bisa ngambek dan keluyuran ke mana-mana. Akibatnya, para pengelola tv dan rumah produksi dibikin pusing buat ngejar-ngejar rating. Nah lho? Emang siapa sih rating itu? Belagu banget. Apa doi semacam cabang pohon? Itu mah ranting atuh Non! Hihihi (garing ye?)

Seorang pengamat komunikasi, Bang Garin Nugroho menjelaskan, rating adalah suatu sistem yang mengukur daya kepopuleran program televisi dalam perspektif segmen pasar dan demografi serta analisisnya terhadap waktu dan ruang tayang televisi guna memahami daya jangkau suatu produk sponsor kepada khalayak. (Kompas, 09/06/04).

Moga-moga otak kamu nggak blue screen alias error ya baca penjelasan Bang Garin di atas. Singkatnya, sistem rating adalah ukuran untuk menilai popularitas suatu acara televisi di mata pemirsa. Baik itu sinetron, infotaint-ment, kuis, berita, dll. Kenaikan atau penurunan rating acara itu yang selalu dipelototin tanpa kedip oleh pengelola tv, rumah produksi, dan pemasang iklan. Tingginya rating suatu acara, bakal mengundang banyak sponsor iklan. Pemasukan dari iklan ini yang jadi ladang uang bagi para pengelola tv. Sehingga mereka bisa bernyanyi…kelingking…jari manis…jari tengah…telunjuk…(lagu kebangsaanya para teller bank hehehe)

Buntutnya, pengelola televisi menuntut rumah produksi untuk bikin acara tv yang layak tayang. Syaratnya cuma satu: banyak diminati dan?  memiliki rating tinggi (idih, nggak nyelipin unsur pendidikan sama sekali). Multivision Plus dan konco-konconya pun berlomba-lomba melakukan investigasi di lapangan. Nyari penampakan yang unik sekaligus menggelitik di lingkungan pemirsa tv. Dengan dalih merespon keinginan pemirsa, mereka pun menyulap kaum banci dan orang idiot menjadi bintang. Dan temen-temennya Cecep, Yoyo, atau Somad dan Sutan Bences pun jadi korban yang kian populer sebagai bahan tertawaan. Duh kaciaaan….

Sobat muda muslim, rupanya gara-gara ngejar rating para pelaku tv suka sekenanya bikin acara. Persis seperti yang dikhawatirkan Bang Garin. Nggak peduli lagi ama kualitas acara yang disiarkan. Biar miskin unsur pendidikan, yang penting…rating man… ratiiing! Ciloko!

Bahaya di balik acara televisi
Saat ini kotak ajaib bernama televisi sudah kita anggap sebagai anggota keluarga. Hampir setiap tetangga kita punya televisi. John Budd, Kepala Seksi Advokasi & Mobilisasi Sosial Unicef, mengatakan, televisi telah menjangkau sekitar 90 % rumah tangga di Asia, termasuk Indo-nesia (Kompas, 20/06/04). Biar kata rumahnya tipe RS7 alias Rumah sangat sederhana, sempit, sesak, sunyi, senyap, sekali (ini rumah apa kuburan?), selalu ada tempat buat kotak ajaib ini.

Nggak rugi emang punya tv yang petama kali ditemukan oleh Viadimir Kozma Zworykin asal Rusia pada tahun 1923 ini (emang siapa sih yang ngilangin?). Dari alat elektronik ini kita bisa dapetin hiburan, informasi, wawasan, sampe keuntungan materi lewat telekuis. Nggak heran dong kalo Emaknya Oneng suka sewot kalo tv-nya raib dari atas raknya. Sayangnya, �anggota keluarga’ ini bisa jadi musuh dalam selimut lho. Persis kayak hewan tumbila alias bangsat. Ah yang bener?!

Tenang…tenang…nggak usah pake nyolot gitu. Sebenarnya bukan tv-nya yang jadi musuh, tapi acara-acaranya yang makin amburadul. Dari berita kriminal yang belepotan darah, informasi seputar seks yang diumbar, hingga penampakan makhluk gaib, semua deh ada di situ. Termasuk sinetron komedi tentang orang idiot dan banci. Ini bahaya banget buat perkembangan jiwa anak. Apalagi berdasarkan penelitian YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) seperti dikemukakan B Guntarto, sekarang ini umummya anak sudah mengha-biskan waktunya di depan televisi selama 35 jam seminggu atau sekitar lima jam sehari (idem). Idealnya, anak menonton televisi tak lebih dari dua jam per hari.Walah!

Welldone sobat, masih ada lagi yang kudu kita cermati dari televisi. Yaitu pengkondisian untuk membenarkan sesuatu yang salah atau nggak wajar. Dalam ilmu komunikasi, kesalahan bisa menjadi maklum jika diopinikan terus-menerus sebagai sesuatu yang benar dan wajar. Dan televisilah ujung tombak untuk pengopinian itu. Seperti kasus tokoh idiot atau bences dalam sinetron.

Masyarakat jadi terbiasa dengan kehadiran orang yang mengalami keterbela-kangan mental. Terbiasa dalam arti memo-sisikan orang idiot itu sebagai bahan terta-waan, olokan, dan tontonan hiburan.?  Karena bentuk penerimaan seperti itulah yang sampe kepada mereka melalui sinetron si Cecep atau si Yoyo. Waduh!

Sementara untuk kaum bences alias banci, masyarakat pun mulai mentoleransi keberadaan mereka. Ini yang bikin kita sedih, resah, gundah, dan gelisah. Kok bisa-bisanya orang dibiarin dalam �ketidakwajarannya’. Soalnya, dari sejak jamannya Nabi Adam dan Siti Hawa, Allah menciptakan manusia cuma dua jenis aja. Nggak lebih. Lelaki-perempuan, pria-wanita, pemu-da-pemudi, atau remaja-remaji. Itu berarti nggak ada status ketiga dengan sebutan banci, bences, bencong, waria, atau wadam. Kalo pun ada, itu udah melenceng dari kodratnya. Dosa! (lengkapnya soal Waria, lihat Studia edisi 093/15 April 2002. Klik deh www.dudung.net)

Dari Ibnu Abbas r.a. ber-kata: Rasulullah saw. melaknat orang laki-laki yang berlagak perempuan, dan orang perem-puan yang berlagak meniru laki-laki. (HR Bukhari)

Nah sobat, keadaan yang salah jadi bener dan yang nggak wajar kudu dimak-lumi, udah lazim dalam masyarakat kapitalis. Kenapa? Karena opini itu dibuat oleh para kapitalis biar bisa jadi tambang fulus melalui media massa. Sembari menyebarkan paham untuk proses pengalihan perasaan dan pemikiran dari yang islami menjadi tidak islami. Bahaya banget kan? Ati-ati deh!

Solusi praktis dan sistematis
Sobat muda muslim, protes terhadap ta-yangan televisi yang cuma ngejar rating udah sering dilontarkan. Tapi kagak ngaruh. Kayak kasus sinetron �Bunglon’ yang diprotes banyak pihak tapi tetep ditayangin. Pengelola tv seolah cuek aja dengan kritikan dari penonton. Kalo rating acaranya tinggi, the show must go on. Ibarat pepatah, anjing mengonggong, Pak Bolot tetep berlalu. Gubrak!

Udah waktunya kita cari jalan keluar dari kemelut ini. Menurut analisis Detektif Conan dan Kindaichi (cieee.. lagaknya tuh!), yang terli-bat dalam masalah acara tv ini nggak cuma pengelola tv, rumah produksi, atau rating yang tinggi. Tapi juga melibatkan pemerintah sebagai instansi negara tertinggi. Makanya ada dua jalan keluar yang bisa kita tempuh.

Pertama, secara praktis kita kudu meminta pemerintah untuk memproduksi atau memilih tayangan cerdas berkualitas. Penuh unsur pendidikan tanpa harus kehilangan sentuhan hiburan. Film dokumenter Harun Yahya atau?  sinetron Keluarga Cemara bisa menjadi salah satu contoh. Catet, Bro!

Syukur-syukur kalo diputar tayangan cerdas yang islami yang menumbuh-kan semangat berjuang meng-ingat mayoritas penduduk negeri ini muslim. Seperti film ar-Risalah (The Message) garapan Mustafa Akkad yang mengisahkan perja-lanan hidup Nabi Muhammad saw.; Children of Heaven yang bercerita ten-tang adik-kakak yang pake sepatu gantian biar bisa sekolah; atau pengajaran tata cara berwudhu, shalat, dan doa sehari-hari.

Ditambah kisah-kisah perjuangan para pahlawan Islam yang kini makin banyak dibuat dalam bentuk VCD seperti Khulafa ar-Rasyidin atau The Lion of Desert. Malah ada yang kartun juga lho seperti Hancurnya Pasukan Gajah, Nabi Ibrahim dan Namrudz, atau Petualangan Si Salman. Bagusnya lagi kalo disiarin pada jam-jam pas anak-anak betah di depan TV. Kalo be-gini kan asyik. Generasi muda muslim jadi nggak asing ama agamanya sendiri. Yo’i gak pren?

Yang kedua, dan ini yang terpenting yang akan mengokohkan solusi pertama. Negara kudu berani menolak kapitalisme, mengubur sekulerisme, dan menerapkan aturan Islam. Dengan aturan Islam negara akan melarang beredarnya tayangan berbau syirik, mengum-bar seks, eksploitasi idiot dan banci, atau gambaran gaya hidup sekuler orang-orang Barat. Tayangan cerdas berkualitas seperti yang diharapkan, akan menemani hari-hari kita di ruang keluarga. Hmm… indahnya. Karena itu nggak bosen-bosennya kita ngajak semuanya untuk aktif dalam dakwah. Terapkan syariah, tegakkan khilafah. Biar kita semua dapet ber-kah. Yuk ah, jangan tunggu hari esok! [hafidz]

(Buletin Studia – Edisi 206/Tahun ke-5/2 Agustus 2004)