Thursday, 25 April 2024, 01:34

Aku pernah sangat benci kepada para akhwat? yang sok alim, sok suci dan mengenakan jilbab. Tapi, lambat laun aku malah rindu untuk mengenakannya.

Aku tidak tahu harus memulainya dari mana untuk becerita. Yang pasti aku akan berbagi kisah menemukan jalanku yang sekarang. Aku lulus SMU tahun 2002 dan kulanjutkan ke D-1 komputer (di bawah naungan Fak. MIPA salah satu kampus negeri) karena SPMB nggak lulus. Di kos baru (sekitar 40 orang) aku kenalan ama temen-teman baru. Temen-teman kosku termasuk anak-anak yang suka have fun. Jadi nggak berapa lama aku sedikit demi sedikit ketularan pula. Satu semester aku habiskan dengan senang-senang dan punya banyak temen cowok. Maklum, waktu itu aku orang yang gampang akrab ama siapa saja. Meski begitu studi tetap jalan dan IP-ku lumayan tinggi.

Jadi provokator anti-ngaji

Di saat itulah aku nggak sengaja ketemu akhwat, sebut aja Mbak Afi, yang kebetulan udah aku kenal sepintas pas berkunjung ke kontrakan temen SMU-ku, sebut saja namanya Nani. Dia ama-sama MaBa (mahasiswa baru). Mulanya Nani bilang kalo di kontrakannya dia tertekan karena ‘dipaksa’ ikut kajian sama mbak-mbak jilbaber. Demi mendengar itu aku datang ingin tahu gimana kontrakan para jilbaber, kok berani kayak gitu. Aku sarankan untuk tidak nurut kalo diajak ngaji en pesan untuk nggak mudah percayai mereka.

Begitu pula pas Nani en sesama MaBa di sana disuruh pake jilbab. Kubilang nggak usah nurut karena saat itu bagiku pake jilbab itu aneh, adanya cuma di Arab sana. Ngapain ikut-ikutan. Lagian nggak ‘mbois’, kayak ibu hamil. Seketika temen-temen di sana mengamini ucapanku. Sejak itu aku sering ke sana demi mendukung mereka supaya nggak terpengaruh. Puncaknya pas ada pesantren? yang diadain LDK kampusku. Nani dan teman-temannya yang ‘dipaksa’ ikut melapor ke aku. Akhirnya kusarankan untuk kabur beberapa hari dan salah seorang kuajak nginep di kos salah satu temen di universitas lain. Aku ‘menyelamatkan’ teman-teman dari ajakan mbak-mbak itu.

Titik balik

Akhir semester pertama aku kesandung masalah perasaan. Entah karena aku yang gede rasa atau apa, rasa itu tumbuh bermula dari pertemanan. Walhasil pas dia tiba-tiba menghilang dan nggak mau komunikasi, keadaan ini yang bikin aku down beberapa bulan. Nggak ada semangat karena aku nggak ngerti kenapa dia pergi.

Beberapa waktu kemudian aku ketemu Mbak Afi lagi di wartel. Iseng kusapa dan godain. Dari sanalah aku diajak main ke kosnya. Di sana pula aku diajak diskusi seputar remaja, mengenai naluri dan kebutuhan jasmani dan gimana pemenuhannya. Salah satunya naluri suka lawan jenis seperti kasus yang menimpaku.

Sejak itu aku mulai terpengaruh pemikirannya terutama masalah politik, sampe dipinjami beberapa majalah yang khusus bahas politik Islam. Bahasan seputar keadaan umat Islam di negara lain yang sedang dianiaya, kewajiban dakwah, dan penegakan hukum-hukum Islam lainnya sempat bikin pusing. Aku musti nagapain? Semakin kubaca makin aku geram karena ternyata umat Islam menghadapi masalah besar. Dunia yang kukira sempit ternyata luas dan aku tampak kecil. Pusing itu aku bawa pulang sambil bawa beberapa majalah itu. Kali aja aku bisa fresh. Mbak Afi nggak tahu kalo aku pusing.

Beberapa waktu kemudian muncul keinginan untuk ngaji ama Mbak Afi. Aku ingin tahu lebih jauh tentang Islam. Anehnya aku jadi getol cari kajian di kampus. Aku selalu lihat papan pengumuman tiap kali kuliah. Jelas nggak ada karena pada UAS trus libur. Nani en friends yang dulunya sempat kucegah ikut kajian, jadi heran dengan perubahanku. Biarin aja, “Emang gue pikirin?”

Awalnya jilbab kubenci, tapi akhirnya kucintai

Aku aku sering ikutan kajiannya mbak-mbak dan kenal banyak akhwat. Tapi pas materi jilbab, jujur, aku belum terima. Aku tetap pake jins, kemeja panjang kecil, plus kudung gaul. PD aja, pikirku waktu itu. Bagiku, aku akan pake kalo udah bener-bener mantep. Bukan karena nyenengin hatinya mbak-mbak itu. Tapi kajian tetep jalan terus.

Suatu ketika, aku ingin coba pake rok yang dulu sempat ingin kupake kuliah tapi tersimpan rapi di lemari. Kukeluarkan dan kucoba pake kuliah. Awalnya grogi juga. Apalagi pas ketemu mbak kosku di jalan ngeledekin begini, “Hei, preman kok pake rok?”. Langsung aja aku ngibrit, malu diliatin orang. Maklum di kosan aku dijuluki preman karena tomboy dan suka bikin ribut. Sejak itu anak di kosku heran lihat aku bisa pake rok meski pas jalan masih kelihatan gaya cowoknya. Sampe-sampe ada yang ngajari aku jalan ala cewek.

Kelar D-1, aku ikutan SPMB. Kali ini aku dah kepincut ama akhwat di sana dan ide yang mereka bawa. Akhirnya kuputuskan memilih kampus yang sama saat aku kuliah D-1. Aku pindah kos ama gengku dari kos lama. Kos baru yang kutempati ternyata tempat ujian kami semua. Mbak kos baru orangnya sekuler dan dikatator abis, doyan dugem, pacaran, en tiap hari rajin muter house music plus jejeritan. Kadang suka marah kalo nggak sesuai keinginannya. Kita anak baru diem aja, sungkan soalnya mereka lebih tua. Aku mulai rajin ikut halaqoh. Aku juga gabung ama LDF (Lembaga Dakwah Fakultas). Makin banyak yang kutahu, makin renggang pula aku ama gengku karena sudah beda pemikiran. Mereka lebih nyaman dengan kebebasannya daripada ‘terkekang’ aturan Islam.

Di penghujung tahun saat wisuda temenku yang lain universitas, aku datang demi memberikan ucapan selamat atas wisudanya. Sebelumnya aku sudah cerita tentang aktivitasku dan rencanaku mengenakan jilbab (sampe saat itu aku masih belum pake jilbab, cuma rencana). Tapi dia menentang habis karena jilbab mengekang kebebasan wanita.

Kupikir akan dapat dukungan, tapi nggak. Di wisudanya itu, saat pertama bertemu muka yang dia tanyakan adalah jilbabku. “Mana, katanya pake?!” Deg, nggak nyangka jika itu jadi awal percakapan kami, apalagi di depan umum. Aku belum sempat ucapkan selamat, tapi dia sudah menyodokku dengan pertanyaan itu. Bagai disambar petir di siang bolong, aku kaget gelagapan kayak orang ?nggak pake baju sambil melongo.

Setelah sadar kualihkan pembicaraan, memberikan ucapan selamat. Aku terpukul dan malu. Setelah itu, tanpa basa-basi aku ijin pulang dengan perasaan terheran-heran. Malamnya aku renungkan kejadian itu dan kupikir itu mungkin teguran Allah agar aku segera pake jilbab. Sejak itu kubulatkan tekad untuk mengenakan busana muslimah lengkap (jilbab dan kerudungnya) dengan dukungan teman terdekatku yang menemani dari awal sampe hari ini untuk tetap lurus di jalanNya dan hijrah ke kos lain. Sayangnya, kontrakan Nani dkk bubar karena kontrak abis dan mereka tetep ‘jahiliyah’. Astaghfirullahal’adzim. [Seperti yang ditulis Larahati di Kota M untuk SoDa]

[Pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda, edisi Februari 2006]

16 thoughts on “Kenanganku Tentang Jilbab

  1. Subhanallah.
    Stlh aq bc,aq jd ingt pnglmn Q wkt msk sklh islam.
    Dulu aq prnh make jilbab but paz aq pndh koztan aq jd mlpkn aqdh Q.aq malu pd dri Q sndri,sma kel. N tmn2 Q.t’utama sma allah.
    Aq pngn kmbl sprt dlu tp /gaulan yg bkn aq slt untk merubag smuanya.
    Mksh y 4 artikel na.
    Dgn ini bs jd drgn 4 aq.

  2. Subhanalloh, Memang Hidayah Allah bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Kawan, semoga istiqamah dalam Berdakwah dan berjuang di jalan Allah demi kemuliaan Islam.Allahu Akbar!!

  3. Subhanallah,,,

    Ukhti,,, aku salut dgn ukhti yg mau brbg pnglmn dgn kami

    ttp istiqomah ukhti,,,,,,

    aku dukung penuh prjuanganmu lewat do’a

  4. subhanallah…

    terima kasih larahati di kota M karena tlh mbuka mata hati ini lebih besar lg.
    saat ini aq lg bpikir utk mengenakan jilbab. tp bingung jg karena blm ada y bisa mbimbing. jadi aq brusaha sbisa mungkin utk mcari info sebanyak2nya jgn sampai setelah pakai jilbab tp tnyta ga bakal lama.

    trima kasih trima kasih dan terima kasih

Comments are closed.