Saturday, 20 April 2024, 02:11

gaulislam edisi 219/tahun ke-5 (8 Shafar 1433 H/ 2 Januari 2012)

Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, jujur saja, saya merasa sedih dan prihatin dengan kondisi sebagian teman-teman remaja. Khususnya tentang sikap peduli. Jangankan untuk urusan yang nun jauh di sana. Kadang masalah yang ada di sebelah mata aja nggak dipikirin dan nggak jadi masalah berat buat mereka. Misalnya aja, tetangganya mau kelaparan apa kekenyangan dia nggak mau mikirin. Temannya nggak datang ke sekolah pun bukan persoalannya. Apakah sang teman yang nggak dateng ke sekolah itu karena sakit atau memang malas bukan urusannya. Cuek aja. Pikirnya, pihak sekolah ama ortunya aja yang kudu mikirin tuh anak yang bermasalah. Pikirnya, buat apa harus capek-capek mikirin. Nggak ada untungnya. Kalo diingatkan, dia ngomong sinis, “Emangnya gue pikirin?”

Sikap cuek dalam kehidupan sebagian teman-teman juga berlanjut. Kalo setiap masalah yang ampir nyolok matanya aja (karena saking dekatnya) dia cuek, kemungkinan besar masalah yang jauh darinya bakalan nggak dianggap tuh. Mungkin pikirnya, “Bodo amat, orang di luar negeri sono mo kelaparan, mo perang, mo ribut atau damai, gue nggak peduli. Yang penting gue di sini seneng. Nggak susah. Nggak bikin masalah ama orang lain. Nafsi-nafsi aja. Kalo gue suka, gue mau, gue berhak lakuin apa yang bikin ati gue hepi. Orang lain nggak boleh cerewet berkhotbah di depan gue. Emangnya gue pikirin?!” Bahaya, Bro!

Bro en Sis ‘penggila’ gaulislam, mo seneng-seneng, mo ngelakuin apa yang bikin kita hepi, boleh-boleh aja, kok. Nggak ada yang ngelarang. Tentunya asalkan itu halal dan nggak bikin kita lupa diri. Tapi, pasti ada saatnya dong kita mikirin yang lain. Bukan hanya mikirin kita sendiri. Ada waktu yang bisa kita luangkan untuk bantu mikirin orang lain. Menengok bagaimana masalah mereka. Berhenti sejenak dari kesibukan kita untuk berbagi dengan teman yang lain. Nggak cuek abis gitu, lho. Nggak baik dan tentu nggak benar sikap kayak gitu.

Sikap cuek alias nggak peduli kini seperti menjadi tren di kalangan kita. Mungkin di sekolahmu pernah menjumpai teman yang nggak peduli dengan nasib teman lainnya. Misalnya aja kamu nggak ngerti pelajaran matematika, sementara teman kamu ada yang ngerti, tapi dia nggak mau ngasih ilmunya ke kamu. Dia malah bilang, “Bodo amat! Emangnya gue pikirin! Lo usaha sendiri dong! Kalo elo nggak bisa ya itu sih DL. Derita lo!” Duh, nyebelin nggak sih orang kayak gitu? Pasti bikin gondok, kan?

Itu mungkin boleh dibilang rada-rada biasa, kadang kita nemuin juga tuh teman kita yang sewot abis gara-gara kita ingetin. Padahal nih, tujuan kita ngingetin dia tuh baik. Misalnya aja kita negur teman yang pacarannya hot banget (kalo pun pacarannya nggak hot, tetap aja yang namanya pacaran tuh dilarang dalam Islam), supaya menghentikan kebiasaan jeleknya itu. Eh, dia malah bilang, “Apa pedulimu? Urus aja diri sendiri. Jangan cerewet berdalil segala di depan gue. Terserah lo. Mo bilang apa pun, gue nggak peduli. Emangnya gue pikirin?”
Coba, dinasihatin malah sewot. Ditegur malah ngebul ubun-ubunnya saking marahnya dia. Padahal, kita nasihatin, ngingetin, atau negur itu adalah tanda sayang. Tanda cinta dan peduli kita kepadanya. Tapi, teryata air susu dibalas air tuba. Mungkin bagi mereka yang udah ngerasa benar sendiri (atau hawa nafsunya jadi panglima?), sikap cuek alias nggak peduli ini dianggap jadi pilihannya dan senjata untuk menangkis orang lain yang rewel ikut campur urusan dalam negerinya. Ah, kayaknya doi belum bisa bedain mana sikap teman yang sok ikut campur dengan sikap teman yang emang mau nolongin dia. Kayaknya perlu belajar lagi deh tuh orang. Bukan sombong or congkak nih, tapi kenyataan bahwa kalo orang nggak mau belajar ya kayak gitu. Wawasannya sempit dan nggak mau dengerin pendapat orang lain. Tul nggak seh?
Sobat gaulislam, waktu malam tahun baruan kemarin, pro kontra antara yang menolak merayakan dan mengajak merayakan sama maraknya. Meski demikian ada aja orang yang malah cuek dan nggak peduli. Dinasihatin malah ‘ngentutin’ (baca: nggak terima) sambil marah-marah dan bilang, “gue punya pendapat dan aturan sendiri. Jangan coba-coba elo ngatur hidup gue.Titik!” Widiw sombong sekali!
Ngeliat kenayatan seperti ini, kayaknya udah saatnya deh kita berpikir lebih dewasa. Berpikir lebih tenang dan bijak. Nggak keburu nafsu menghukumi ini dan itu jika itu nggak sesuai dengan pendapat kita. Jangan keburu memvonis orang yang nasihatin or ngingetin kita tuh sebagai perongrong, tukang cerewet dan kita anggap sebagai duri sehingga kudu disingkirkan dari jalan kita. Apalagi karena kita merasa paling benar, paling senior, paling pinter, paling luas wawasannya, paling banyak jenggotnya (yee apa hubungannya?), lalu kita merasa yang ngasih teguran ke kita tuh orangnya pasti salah.

Padahal nih Bro en Sis, siapa tahu kan namanya nasihat tuh bisa datang dari siapa aja? Nasihat itu kadang bisa datang dari anak kecil atau orang yang kita anggap status sosialnya rendah ketimbang kita. Nggak usah malu kalo ditegur, jangan pernah sewot kalo ada yang ngingetin kita. Karena yakinlah, insya Allah apa yang dilakukannya adalah demi kebaikan kita bersama. Kalo emang kita nggak suka dengan caranya menegur atau mengingatkan kita, lebih baik diam sejenak. Jangan langsung reaktif dengan cara menyerangnya. Resapi dulu omongannya, baru kita berpikir dan menyiapkan kata-kata argumentasi. Kalo memang perkataannya benar, ya kita terima aja. Nggak usah malu. Terus nih, yang terpenting kita nggak usah reaktif dan malah bilang, “Gue nggak peduli! Titik.”

Emang siapa kita?
Siapa sih kita? Pertanyaan ini biasa dan mungkin sederhana sekali, tapi cukup susah dijawab. Kalo kita udah bisa jujur kepada diri kita sendiri, yakin deh bahwa kita juga bisa jujur kepada orang lain dan mau memahami cara pandang orang lain. Mengenali diri kita itu penting. Supaya kita nggak lupa diri. Supaya kita bisa memposisikan diri kita di hadapan orang lain.

Sobat gaulislam rahimakumullah, yang jelas dan sudah pasti nih, kita adalah manusia. Manusia adalah makhluk Allah Swt. yang punya kelemahan dan keterbatasan. Jika kita merasa masih manusia dan orang lain yang berhubungan dengan kita juga manusia, maka kita bisa berkomunikasi dengan bahasa kita sebagai manusia secara umum.

Mungkin kita mulai belajar mengenai diri kita dari tubuh kita. Mata kita. Ya, kita punya mata. Sepasang benda ini mirip lensa kamera dan diletakkan di kepala. Sehingga mirip lampu yang bisa menerangi jalan kita dengan leluasa dan maksimal. Bayangkan jika mata diletakkan di organ kerja kita seperti tangan dan kaki, bisa-bisa rusak tuh pas kita kerja. Mungkin yang punya ide ‘gila’ berpikir, “Ah, kalo seandainya mata ada di telunjuk jari tangan kita kayaknya enak nih, kalo ngintip di pemandian nggak usah capek-capek nyari tangga, tinggal acungkan aja telunjuk kayak periskop kapal selam.” Hmm… sepintas emang menyenangkan. Tapi, dia lupa, gimana kalo akhirnya tuh telunjuk dipake ngupil? Atau misalnya harus dipake nyocol sambal? Bisa belepotan kotoran dan kepedihan karena nyungsep di kubangan sambel.

Selain mata yang merupakan indera untuk melihat, di kepala kita ditempatkan pula indera yang lain: telinga (indera pendengar), hidung (indera pencium), lidah (indera perasa, untuk mengecap rasa). Semua itu diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang indah, pas dan enak dipandang mata.
Nah, indera berikutnya yakni kulit—yang tidak saja ada di kepala, tapi di seluruh bagian tubuh luar kita adalah indera peraba. Kita bisa meraba apa pun yang kita pegang atau sentuh. Kulit tangan kita bisa merasakan benda kasar dan halus, atau kulit tubuh kita bisa merasakan hawa dingin, panas, dan juga gesekan lain yang menyentuh kulit. Selain panca indera itu, kita juga memiliki perasaan. Meski tak terlihat, tapi bisa dirasakan. Kita bisa sayang, bisa benci, cinta, merasa semangat, peduli, kecewa, kesal, dan banyak perasaan lainnya.
Kalo dari sisi indera aja kita udah kenal diri kita, maka yakin kita akan merawatnya. Kita akan menggunakannya sesuai kebutuhan kita. Kita menjaganya dengan kecintaan yang penuh. Itu sebabnya, jika kita udah mengenal diri kita secara fisik, apalagi kalo dengan perasaan, maka kita bisa menyadari bahwa orang lain pun memiliki potensi yang sama dengan kita. Karena sama-sama manusia. Betul?
Itu sebabnya, kalo kita udah mengenal diri kita, besar kemungkinan kita mau berbagi dengan orang lain. Kita mau bekerjasama dengan orang lain, saling percaya, saling peduli, saling menghargai, saling menyenangkan, saling menolong, saling memberi semangat dan lain sebagainya. Jadi, kalo masih ada yang pengen nafsi-nafsi alias egois, kayaknya doi belum kenal, apalagi paham dengan dirinya sendiri.

Kenapa kita harus bekerjasama dengan orang lain? Mengapa harus saling mengingatkan? Karena kita menyadari seyakin-yakinnya dan seratus persen bahwa kita punya keterbatasan. Orang lain juga sama. Mata kita mungkin terbatas hanya bisa melihat yang dekat saja, sementara teman kita bisa melihat lebih jauh. Jika kita bekerjasama, maka kita akan bisa berbagi.

Mungkin penglihatan dia terbatas karena indera penglihatannya terganggu, tapi kita punya. Maka ketika bekerjasama kita dan teman kita bisa saling bantu. Termasuk kita bisa bekerjasama dan saling mengingatkan dalam kebenaran. Karena sangat boleh jadi kan kalo kita tuh punya kelemahan dan bisa lalai dalam berbagai hal. Tapi teman kita yang tahu dan kebetulan punya kelebihan dalam wawasan bisa mengajak kita menjadi baik. Tentu itu karena sikap sayang, cinta, dan pedulinya kepada kita.

Maksud dia juga adalah menolong kita. Ya, sekadar mengingatkan kita. Dan itu bukan berarti doi udah benar en suci. Sangat boleh jadi dia (dan  kita) juga masih perlu belajar banyak. Ya, kita sama-sama aja jalan ke arah kebaikan. Kata Kahlil Gibran, “Engkau buta, sedangkan aku bisu tuli. Jadi mari berpegangan agar mengerti” Tul nggak?
Tuh, berawal dari mengenali diri kita sendiri, yakni mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Kemudian kita melihat orang lain yang juga manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Sama seperti kita. Lalu kenapa nggak saling mendukung en menolong aja kalo kebetulan apa yang kita miliki tidak dimiliki teman kita? Maka, jika kita bekerjasama dan saling mengingatkan demi kebenaran dan kebaikan adalah perbuatan yang sangat terpuji. Itu sebabnya, kalo kita ditegur dan diingatkan sama teman yang lain jangan sewot, tapi seharunya bersyukur. Nggak perlu sinis bilang: “Emangnya gue pikirin! Terserah gue mau berbuat apa aja. Jangan cerewet!”

Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, kita harus mampu mengenali diri sendiri sebagai manusia, kemudian melihat orang lain juga sebagai manusia, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya, baik itu secara fisik; mental; pengetahuan; termasuk dalam soal kehidupan; sosial, ekonomi, pendidikan dsb. Setelah kita melihat ke dalam diri kita dan dengan jujur mengakui apa yang kita miliki, kita bisa meminta bantuan kepada orang lain jika memang udah nggak bisa ditangani sendiri. Dan, jika kita dimintai bantuan oleh teman kita dan kebetulan kita punya, kenapa pula ogah ngasih bantuan? Seharusnya tanpa diminta kalo kita tahu dan mampu, kita bisa langsung ngulurin bantuan. Itu bentuk kerjasama yang baik. Bukan cuek. Apalagi kalo menutup mata dan bilang dengan jurus andalannya: “Gue nggak peduli! Titik.” Waduh!

Kita semua memang membutuhkan bimbingan dari siapa pun. Agar kita tidak liar dan menjadi orang-orang yang egois, cuek, sombong dan nggak mau menghargai pendapat orang lain. Kita harus nyadar bahwa kita ini manusia. Makluk lemah dan tentunya memerlukan dukungan dari orang lain. Kita bisa saling mengingatkan, saling menguatkan, saling menasihati, saling memberi masukan dan jangan segan untuk menyampaikan kritik. Toh, itu dilakukan sebagai bentuk tangungjawab dan rasa peduli kita. Kita bisa saling bergandengan tangan untuk meraih kebahagiaan bersama.

So, nggak jamannya untuk cuek dan egois. Kita bisa bekerjasama dan saling mengingatkan satu sama lain. Bukankah Allah Swt. sudah menyampaikan kepada kita dalam firmanNya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Ashr [103]: 1-3)

Bro en Sis, semoga nggak ada lagi prinsip “Gue nggak peduli! Titik.” atau “Emang gue pikirin?! Derita elo itu sih!” yang menguasai pikiran dan jiwa kita. Prinsip itu udah basi dan nggak laku sejak diluncurkannya bagi orang-orang yang sadar etika dan akhlak. Sebaliknya pupuklah sikap empati kita yang dilandasi keikhlasan dan keimanan kepada Allah Swt. semata. Bisa ya! [solihin | Twitter: @osolihin]

3 thoughts on ““Gue Nggak Peduli! Titik.”

  1. iya, setuju banget ama postingan ini.
    emang kepribadian bangsa Indonesia juga udah mengarah ke arah2 buat gak peduli… gak peduli pemerintahan, rakyatnya juga. emang harus ada kesadaran lebih nih.

Comments are closed.