Thursday, 25 April 2024, 19:47

gaulislam edisi 165/tahun ke-4 (14 Muharam 1432 H/ 20 Desember 2010)

Wah, pastinya saat ini banyak masyarakat Indonesia pecinta sepakbola lagi seru-serunya bersemangat mendukung tim nasional sepakbola Indonesia. Gimana nggak, di ajang AFF Suzuki Cup 2010 ini tim nasional Indonesia berhasil lolos ke final setelah menghantam kesebelasan Filipina 1-0 di Stadion Gelora Bung Karno, 19 Desember 2010. Pertandingan leg kedua ini Indonesia yang jadi tuan rumah sedikit lebih tenang karena di pertandingan pertama sudah mengalahkan Filipina dengan skor tipis 1-0. Kedua gol yang bersarang di gawang Filipina dalam dua pertandingan itu diborong pemain hasil naturalisasi, Cristian Gonzales. Maka di final Indonesia akan berhadapan (kembali) dengan tim nasional  Malaysia yang di semifinal berhasil mempermalukan Vietnam. Mampukah Indonesia kembali menghancurkan Malaysia sebagaimana di babak penyisihan grup dengan skor telak 5-1? Kita nantikan saja di final yang akan digelar akhir bulan ini (26 Desember di Kuala Lumpur dan 29 Desember di Jakarta).

Bro en Sis, sejak tim nasional menang terus di ajang AFF Suzuki Cup 2010 ini, dukungan banyak mengalir kepada Irfan Bachdim dkk. Maka, lagu Garuda di Dadaku yang dinyanyikan band Netral sering terdengar di mana-mana: “Garuda di dadaku/ Garuda kebanggaanku/ Ku yakin hari ini pasti menang…/ Kobarkan semangatmu/ Tunjukkan keinginanmu/ Ku yakin hari ini pasti menang…” Hehehe.. ini adalah penggalan lagu bernuansa nasionalis abis yang akhir-akhir ini jadi penyemangat masyarakat pecinta sepakbola di tanah air dalam mendukung timnas sepakbolanya.

Nah, ngomongin seputar antusiasme masyarakat pecinta sepakbola, sepertinya mereka rela mendukung timnas Indonesia dengan datang langsung ke stadion. Nggak peduli harus basah-basahan karena keujanan saat antri beli tiket. Rela datang jauh-jauh dari luar kota dengan modal pas-pasan. Malah saya pernah baca di media massa ada seorang kakek asal Pasuruan, Jawa Timur yang nekat menjual belasan ayam miliknya demi modal untuk berangkat ke Senayan mendukung Firman Utina dkk. Si kakek tetap semangat datang ke Jakarta meski menurut pengakuannya ia harus “perang dingin” dulu sama istrinya atas keputusannya tersebut. Ada-ada saja. Ckckck… sampe sebegitunya ya?

Bro, menyaksikan fenomena tersebut, seorang teman waktu ngobrol dengan saya, dia bilang: “Memang sih, kalo permainan sepakbola itu bagus, maka akan menumbuhkan industri yang berputar di situ. Persoalan menang atau kalah bukan lagi ukuran utama, karena dengan disuguhkan aksi asik dari para pemain bola yang bertanding saja sudah puas, apalagi kalo menang”. Saya setuju dengan komentarnya. Alasannya, bahwa memang itulah yang terjadi di kompetisi Eropa dan Amerika Latin saat ini.

Di Inggris, sepakbola tumbuh bukan sekadar olahraga tapi industri. Penonton selalu membludak memenuhi stadion di semua pertandingan yang digelar akhir pekan. Itu artinya, gelontoran duit yang berputar di arena itu sangat menggiurkan. Selain itu, industri ‘ikutan’ lainnya seperti agen judi jadi ketiban ‘durian runtuh’. Coba deh, kalo kamu nonton BPL (Barclays Premier League) di Inggris, La Liga di Spanyol atau Serie A di Italia banyak perusahaan judi bola berani jadi sponsor klub. Namanya ditampilkan di kaos para pemain.

Industri lainnya juga ikut berputar ketika sepakbola sudah jadi tambang uang: percetakan, media massa, transportasi, penginapan, pakaian, merchandise, restoran, perusahaan barang dan jasa yang memanfaatkan para pemain untuk model iklannya dan semua yang terikat-kait mendukung industri utama sepakbola. Semua menyatu dalam kebersamaan mencari untung. Nah, Indonesia sudah mulai berbenah. ISL (Indonesia Super League) telah menumbuhkan harapan para penggila sepakbola di tanah air. Jangan heran pula jika lahir bintang-bintang baru hasil dari kompetisi tersebut. Sebagian yang beruntung bakalan dipanggil memperkuat tim nasional melawan laga-laga resmi atas nama negara.

Inilah fenomena yang ada saat ini, Bro. Dimana masyarakat kita sudah mulai melirik kembali sepakbola sebagai hiburan dan sekaligus harapan menjadikan kebanggaan atas nama bangsa dalam kancah sepakbola. Sehingga bisa disejajarkan dengan negara lain yang sudah lebih dahulu maju. Tapi, benarkah kemenangan di ajang sepakbola bisa mengangkat harga diri bangsa? Jangan-jangan itu hanya hembusan angin surga dari para kapitalis agar masyarakat kita tetap mencintai sepakbola dan menjadikannya sebagai hiburan. Sementara bagi para kapitalis sepakbola adalah tambang uang. Bisa jadi kan? Bukan tak mungkin, lho.

Indonesia negeri muslim terbesar, Gan!

Bro en Sis, kira-kira kamu ngerti nggak dengan subjudul yang ditulis ini? Yup, sesuai judul edisi kali ini, maka gaulislam ingin menangkap momen yang ada saat ini dengan Islam. Judulnya pun, kita tulis “ISLAM di Dadaku, Islam Kebanggaanku”. Benar, jika banyak kaum muslimin pecinta sepakbola timnas Indonesia saat ini rame-rame meneriakkan “Garuda di Dadaku”, maka sebagai seorang muslim sejati, kita hanya menjadikan Islam sebagai pedoman hidup kita. Jadi, nggak salah dong kalo kamu berani berteriak: “Islam di Dadaku”; “Aku bangga menjadikan Islam sebagai pedoman hidupku”; “Saat ini, Islam pasti menang”; “Kuyakin, Islam pasti berjaya!” dan lain sebagainya. Keren bukan?

Indonesia adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, Gan. Duh, kayaknya agak malu-maluin deh kalo sampe jumlah yang banyak itu kini kualitas kepribadian Islamnya amat kedodoran. Ketimbang bangga dengan Islam dan menjadikannya jalan hidup, malah bangga dengan timnas sepakbola, malah rela mengeluarkan duitnya untuk nonton pertandingan, malah asik mencari hiburan dan kebanggaan semu lainnya. Nggak banget deh.

Oya, saya juga suka sepakbola. Tapi saya berusaha agar menikmatinya sekadarnya saja. Itu pun menontonnya melalui layar televisi dan jika memang sedang sepi aktivitas saja. Sekadar hiburan lah. Tak lebih tak kurang. Hehehe.. ini bukan nyombong lho. Tapi kita, kaum muslimin, sebaiknya sudah paham hal-hal mana saja yang menjadi prioritas amalan kita. Yang wajib tentu saja harus didahulukan, terus di bawahnya ada amalan yang sunnah, di bawahnya lagi baru amalan yang mubah. Itu pun mau diambil silakan, nggak diambil juga nggak apa-apa kok. Namanya aja mubah.

Nah, nonton sepakbola melalui layar televisi adalah mubah alias boleh-boleh saja. But, kalo sengaja dateng ke stadion, maka hukum yang menyertainya akan jadi banyak. Kita jadi terkena larangan bercampur-baur dengan lawan jenis, belum lagi kita kesulitan mengontrol orang di sana, siapa tahu ada yang bawa miras, ada yang niatnya mau berantem dan sebagainya. Jadi perlu kehati-hatian di sini. Apalagi, jika kemudian kita lebih mementingkan yang mubah, tapi shalat yang wajib malah diabaikan. Maklumlah, kalo jadwal pertandingan bola jam 19.00 misalnya, maka penonton sudah harus dimasukkan ke stadion dari sejak ashar, atau malah dhuhur. Kalo yang masih mau shalat, bisa jadi menyempatkan diri untuk shalat. Tapi, gimana yang nggak? Emang sih, dosa ditanggung masing-masing. Namun, kalo kita membiarkan itu terjadi di depan kita, dan kita tahu, maka sama saja kita mendiamkan kemunkaran. Jadi, waspadalah!

Boys and gals, Indonesia adalah negeri muslim terbesar. Jadi, seharusnya kaum musliminnya menunjukkan identitas keislaman dengan benar dan baik. Memang sih, kalo mau nunjukkin identitas keislaman itu nggak perlu jadi besar dulu, yang penting niat dan caranya benar. Namun apa boleh buat, sebagai mayoritas kita juga punya tanggung jawab moral. Artinya, justru karena besar, maka akan mudah dilihat oleh yang lain. Mungkin akan dijadikan rujukan. Maka, sudah saatnya energi kita diberikan kepada Islam. Itu sebabnya waktu, tenaga, pikiran, perasaan, dana, jiwa dan apapun yang bisa kita berikan untuk kemaslahatan umat Islam dan kejayaan Islam, mulai kita tunjukkan. Buktikan kepedulian kita kepada Islam.

Malu dong, masa’ kalo nonton sepakbola pengennya datang ke stadion, rame-rame menikmati aksi para pemain idola, rela ngeluarin duit, rela meluangkan waktu, sepertinya nggak rugi meskipun badan capek dan pegel. Semua itu merasa akan terbayar lunas saat menyaksikan pertandingan yang membela atas nama bangsa. Tetapi, pada faktanya, banyak di antara kita yang malas datang ke tempat pengajian, kalo pun diajak teman, pengennya duduk di bagian paling belakang, sebagian lagi bilang nggak ada waktu, dan alasan lainnya yang intinya nggak mau nunjukkin kepedulian kepada Islam. Duh, sedih banget kan menyaksikan umat Islam seperti ini. Lebih cinta dunia ketimbang mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat kelak.

Bro en Sis, jangan sampe deh kita adalah generasi yang digambarkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya (yang artinya): “Akan datang di suatu masa, dimana kalian dikerumuni dari berbagai arah bagaikan segerombolan orang-orang rakus yang berkerumun berebut di sekitar hidangan.” Di antara para sahabat ada yang bertanya keheran-heranan, “Apakah karena di waktu itu kita berjumlah sedikit, ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Bukan, bahkan jumlah kalian pada waktu itu banyak. Akan tetapi kalian laksana buih yang terapung-apung. Pada waktu itu rasa takut di hati musuh-musuh kalian telah dicabut oleh Allah dan dalam jiwa kalian tertanam penyakit al wahnu.” “Apa itu al wahnu?” tanya sahabat. Jawab Rasulullah, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Ahmad)

Cinta dunia? Benar. Saat ini orang lebih menginginkan hal yang duniawi ketimbang ukhrawi (akhirat). Demi kebahagiaan di dunia, banyak orang lupa syariat. Maka, korupsi, misalnya, jadi jalan pintas untuk meraih kenikmatan dunia. Dunia yang gemerlap seringkali menyilaukan. Itu sebabnya jabatan, harta, kenikmatan syahwat dan yang mengitarinya akan diburu meskipun harus melanggar syariat. Kebanggaan-kebanggaan yang diagungkan bukan lagi kehidupan akhirat, bukan lagi bangga sebagai muslim yang taat syariat, bukan lagi kebanggaan sebagai muslim yang mencintai Islam sepenuh hati. Tapi, kebanggaan itu sudah beralih kepada kebanggaan semu: atas nama harga diri bangsa, atas nama nasionalisme, atas nama sepakbola, atas nama hedonisme dan selera rendah lainnya. Maaf lho. Ini bukan nuduh, tapi kenyataannya memang demikian. Semoga kita semua, generasi muslim yang cinta Islam dan taat syariatnya tetap istiqomah dalam menunjukkan identitas keislaman kita. Apalagi, kita adalah warga dari negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Betul?

Islam identitas kita

Allah sudah memuji kita, bahwa kita adalah ummat yang terbaik yang diturunkan kepada manusia. Firman Allah Swt.:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imron [3]: 110)

Nah, itu identitas seorang muslim, yakni salah satunya melakukan amar ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan, yakni Islam). Dan tentu saja wajib dilengkapi dengan nahi munkar (mencegah kemunkaran).

Bro en Sis, berkaitan dengan pentingnya identitas diri kita, Rasulullah saw. juga bersabda:

Rasulullah saw. bersabda: “Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Baginda bersabda: Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR Bukhari Muslim)

Waduh ngeri juga ya? Lha iya, bagi seorang muslim terlarang baginya mengikuti budaya atau gaya hidup kaum lain. Bisa berbahaya. Bahkan seharusnya bangga menjadi seorang muslim yang memiliki identitas islami. So, kalo bangganya dengan nasionalisme, bangga karena timnas sepakbola mainnya jago dan bisa ngalahin negara lain, atau kebanggaan semu lainnya, maka saatnya kamu kudu interospeksi diri. Ukur yuk kekuatan kita dalam mencintai dan terikat-kait dengan syariat Islam. Seberapa kuat sih kita taat syariat? Atau malah sebaliknya, kita kuat dalam mencontek gaya hidup kaum lain selain Islam? Naudzubillahi min dzalik!

Yuk, kita tunjukkan identitas islami yang hakiki, yakni benar dalam pikiran dan perasaannya. Pikir dan rasa kita hanya dibalut dengan ajaran Islam. Supaya bisa memiliki kepribadian Islam yang benar dan baik, giatlah mencari ilmu Islam dan mengamalkannya. Selain itu tentu saja kita hanya bangga dengan Islam dan syariatnya. Itu sebabnya, bukan garuda di dadaku, tapi yang pantas dan layak bagi seorang muslim adalah: ISLAM di Dadaku! Islam kebanggaanku! Sudah saatnya Islam meraih kemenangan! Siap kan? Yuk, tunjukkan bareng-bareng kepedulian kita kepada Islam! [solihin: osolihin@gaulislam.com]

2 thoughts on “ISLAM di Dadaku, Islam Kebanggaanku

  1. Assalamu’alaikum.
    Bener banget Akh. saya juga heran dengan fenomena ini. Apakah semua ini pertanda akan semakin dekat datangnya akhir jaman? Na’udzu Billah..

    Terkadang aku sadar, terkadang juga kumat. hehhe..

    Tapi, Alhamdulillah.. Allah memberikan petunjuk, yakni dengan menemukannya situs ini. hehehe. aku jadi bisa tambah wawasa nih.

    kembali lagi ke Bola.
    So, gimana sikap kita dengan fenomena ini??

    ‘alaikumussalam wr wb
    Terima kasih atas apresiasinya.
    Ya, menyikapi fenomena ini biasa-biasa saja lah. Tak usah ikut larut dalam euforia.Cuma sekadar hiburan. Sepakbola saat ini bukan lagi sebagai olahraga, tapi sudah jadi hiburan, industri dan politik. 🙂

    redaksi gaulislam

  2. Asllm. Betul banget neh Islam di dadaku Islam kebnagganku kayaknya memang harus di galakan biar semangat jiwa berkorban untuk dakwah lebih fuul….tapi sebetulnya kita tiggal milih aja mau JIHAD FISBILLILAH apa JIHAD FISABILBOLA seperti yg pernah di tulis oeh penulis…He..he…. 🙂

    Punten ijin Share ya InsyAlloh penulisnya kita cantumkan ko…..

Comments are closed.