Tuesday, 23 April 2024, 21:06

logo-gi-3 gaulislam edisi 107/tahun ke-3 (21 Dzulqaidah 1430 H/9 Nopember 2009)

Yes! Kita benci korupsi. Tentu saja benci juga terhadap pelakunya. Korupsi bikin sengsara, dan itu artinya koruptor biang kerok kesengsaraan. Sikat sampai bersih! Kamu tentu gondok bin mangkel ati kalo ada teman kamu yang korupsi duit organisasi, di OSIS misalnya (apalagi rohis, wew!). Iya dong, kalo kamu mendiamkan aksi teman kamu yang udah jelas-jelas terbukti sebagai koruptor itu, berarti secara tidak langsung kamu menyetujui tindakan doi. Lebih parah kalo korupsinya berjamaah. Idih, kirain shalat aja yang berjamaah!

Bro en Sis, bagi kamu yang peduli berita ‘sensasional’ macam kasus KPK versus Polri dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, pasti ngikutin dong ya jalan ceritanya (*jalan cerita, emangnya novel?). Iya, maksudnya minimal merhatiin deh. Nah, gimana tuh pendapat kamu, kesel nggak sih kalo orang yang udah jelas-jelas terlibat korupsi dan mendikte aparat penegak hukum masih dibiarin berkeliaran bebas alias nggak ditahan dan dihukum? So, pasti gondok abis dah!

Yup, kasus terbaru dan cukup heboh karena sebagian besar rakyat Indonesia ikut mengamati ‘drama’ ini adalah “Cicak vs Buaya”. Ini ungkapan yang diberikan salah seorang oknum polri menyikapi kasus KPK versus Polri. Meski akhirnya Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri meminta media tidak memberikan label “cicak vs buaya” dalam pemberitaan tentang KPK vs Polri. Kasus ini makin menyita perhatian publik ketika bukti rekaman penyadapan informasi oleh KPK terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan tindak korupsi diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi pada 3 Nopember 2009 lalu. Nah, karena sidangnya terbuka dan disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi dan radio, tentu saja hampir semua rakyat Indonesia tahu isi rekaman pembicaraan orang-orang yang terlibat dalam kasus tersangka korupsi Anggoro Widjojo (bos PT Masaro) tersebut. Terutama yang jadi sorotan adalah pembicaraan Anggodo Widjojo—yang merupakan adik tersangka dengan sejumlah pihak dari aparat penegak hukum di kejaksaan agung dan polri demi upayanya membebaskan sang kakak dari jerat kasus korupsi. Hmm.. nekat bener tuh orang!

Bro en Sis, di buletin gaulislam ini kita nggak bakal membeberkan kasusnya dengan detil, karena kamu bisa baca di media massa. Di sini, kita hanya ingin membahas tentang korupsi dan bahayanya. Tentu saja, sudut pandang penilaian menurut hukum Islam dong ya. Bukan yang lain.

Korupsi bikin sengsara

Kalo kamu punya duit. Duit itu kamu simpan. Tiap hari nambah simpanan itu, maka tentu saja duit itu jadi banyak. Berlimpah. Tapi kalo duit itu dibelanjakan untuk keperluan kamu, tentu akan berkurang. Sedikit demi sedikit tergantung nilai belanja kamu. Itu hak kamu selama kamu membelanjakannya dari duit yang kami miliki dengan sah. Nah, urusan duit—dari mulai pencarian dan penggunaannya—akan menjadi bermasalah ketika dicari dari jalan yang nggak benar meskipun digunakan untuk perbuatan yang bener. Korupsi salah satu contohnya.

Ya, kalo duit kamu sendiri, hasil kerja keringat kamu sendiri dibelanjakan sesuai kehendak kamu, meskipun hal itu kadang tidak bijak karena boros, yang rugi cuma kamu sendiri dan orang-orang terdekatmu. Iya kan? Tapi kalo duit hasil korupsi, yang bakal dirugikan banyak orang. Ambil contoh kalo ketua OSIS di sekolahmu menyalahgunakan wewenangnya untuk menggunakan dana OSIS bagi kepentingan dirinya pribadi. Dia melakukan korupsi. Padahal uang itu adalah ada yang titipan dari pihak ketiga, ada uang iuran anggota, atau uang lainnya yang merupakan dana organisasi. Maka, yang dirugikan sudah pasti banyak orang. Nah, apalagi kalo yang korupsi itu di perusahaan besar, instansi pemerintah, termasuk pejabat negara dan pemimpin negara. Weleh, korupsinya bisa miliaran rupiah. Bahkan triliunan rupiah seperti dalam kasus Bank Century (yang berganti nama jadi Bank Mutiara) yang diduga melibatkan sejumlah pejabat negara dan nilainya hingga Rp 6,7 triliun. Kacau banget kan?

Kasus penyuapan pun hampir sama dengan korupsi, karena biasanya itu dilakukan untuk memperlancar urusan dengan pihak yang sedang bertransaksi. Saya pernah lho kerja jadi sales alat-alat laboratorium dan bahan kimia di sebuah perusahaan supplier. Untuk kasus yang boleh dibilang nilainya ‘cuma’ jutaan, ternyata ada celah untuk nilep uang yang nggak halal. Saya punya pengalaman pribadi, ketika nawarin sebuah produk, oknum di sebuah instansi pemerintah ini minta ‘diservis’ agar tim penjualan kami memberikan kulkas satu pintu jika produk kami ingin masuk ke instansi mereka. Weleh.. tentu saja saya ogah.

Dalam kasus serupa pernah juga saya diledekin sama bos saya bahwa kalo nunggu tanda tangan dari tukang cap order dengan cara normal bakalan lama urusannya. Dia langsung mencontohkan dengan cara mendekati petugas lalu ngomong-ngomong sebentar sambil menyerahkan duit dua rebu perak dan langsung dapat tanda tangan dan cap untuk order ke perusahaan tersebut. Waduh, saya ngahuleung alias merenung ternyata urusan begituan aja ada suapnya. Saya ngebayangin kalo setiap hari ada 200 orang yang berurusan dengan petugas itu dan membayar uang dua rebu perak, dalam sehari petugas dan rekannya bisa mendapat uang panas 400 rebu rupiah. Kalo dalam 20 hari kerja, bisa Rp 8 juta tuh! Duitnya nggak seberapa besar, tapi gede dosanya.

Pernah juga ketika saya beli sebuah produk di sebuah toko (kebetulan jumlahnya agak banyak). Petugasnya bilang, “kuitansinya mau kosong atau gimana?” Saya bingung, dan bilang ke dia, “Lho memangnya kenapa? Tulis saja sesuai harga di situ”. Seingat saya dia jawab, “Iya, banyak orang yang cuma minta kuitansi kosong, asal ada capnya dari kita terus mereka sendiri yang nulis nilai transaksi penjualan ini.” Dan, akhirnya saya menyaksikan kejadian serupa di sebuah tempat foto copy. Waktu itu, yang minta kuitansi kosong tapi ada capnya adalah seorang oknum pegawai di sebuah instansi pemerintah karena ada badge di bajunya. Waduh!

Bro, berarti praktik kayak gini udah banyak dilakukan. Nggak cuma yang nilainya triliunan rupiah, tapi yang kelas puluhan ribu perak pun marak terjadi. Bukan cuma bos-bos besar, tapi karyawan kelas teri aja suka kok. Memang nggak semua begitu, tapi sayangnya jumlahnya banyak. Inilah gambaran buruk sistem kapitalisme, Bro!

Sekarang mari kita hitung secara kasar duit yang ‘menyublim’ gara-gara korupsi. Jika dalam sebuah instansi pemerintah atau BUMN, duit yang dikorupsi rata-rata Rp 10 juta per bulan, maka jika ada 100 instansi yang melakukan hal yang sama, duit yang hilang gara-gara korupsi jumlahnya Rp 1 miliar setiap bulan. Jika ada 1000 instansi di seluruh Indonesia, maka duit negara yang dikorupsi menjadi Rp 10 miliar per bulan. Itu baru hitungan kasar lho dan jumlahnya minim. Hmm.. itulah kejahatan yang menyengsarakan orang banyak. Kok bisa? Ya, karena kebijakan pemerintah memang dibantu instansi-instansi tersebut.

Saya sempat mendapat informasi valid dari seorang aktivis LSM yang tentu saja sering berhubungan dengan departemen yang sesuai dengan fokus kegiatan LSM tersebut. Jika ada program bantuan untuk rakyat, misalnya dana yang cair itu Rp 1 miliar, maka jatah untuk dibagikan ke rakyat tak sampai jumlah tersebut. Nilai pastinya dia tidak menyebutkan, tapi yang jelas ada dana yang ‘dialirkan’ untuk birokrasi dari tingkat sampai tingkat kecamatan. Padahal, untuk tugas seperti itu mereka udah dapat gaji kok. Parah! Ini baru satu instansi lho, belum instansi lainnya.

Nih, ada data yang saya dapatkan berkaitan dengan hal ini: Dana yang selayaknya untuk keperluan masyarakat, beralih kepada individu koruptor. Selama 30 tahun terakhir, sedikitnya ada US$ 40 miliar anggaran pembangunan yang masuk ke kocek pribadi karena perilaku korupsi (Media Indonesia, 31/03/2002). Setiap tahun, lebih dari US$ 1 triliun (lebih dari Rp 8.000 triliun) habis dibayarkan sebagai uang suap dalam berbagai bentuk, terutama di negara-negara berkembang (Forum Keadilan, No. 41,26 Februari 2007)

Hapuskan korupsi!

Korupsi memang bukan persoalan mental pelakunya saja, tapi juga persoalan sistem yang buruk. Kapitalisme telah memberi celah yang cukup lebar untuk kondisi penyalahgunaan wewenang pejabat dan memberi peluang pelaku kriminal menyuap aparat penegak hukum. Suap dan korupsi adalah saudara kembar yang harus dihapuskan. Namun, berharap kepada kapitalisme untuk menyelesaikan masalah ini, sama saja bermimpi. Kita butuh institusi yang menerapkan sistem hukum yang adil, tegas, menyelamatkan, dan memberi jaminan di dunia dan akhirat. Apakah ada sistem seperti itu? Ada! Yakni, Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara dalam institusi bernama Khilafah Islamiyah. Demokrasi? Hehehe… ke laut aja deh!

Bener! Soalnya seorang calon pemimpin tingkat RW sampai lembaga tertinggi negara sudah biasa mengeluarkan duit untuk kampanye pemilihan dirinya. Jumlahnya tentu makin besar seiring dengan tingginya tingkat kepemimpinan. Kalo untuk menjadi pemimpin saja sudah berani ngeluarin duit banyak, perlu diwaspadai bahwa ada niat untuk “balik modal” saat terpilih jadi pemimpin atau pejabat. Ini sudah jadi rahasia umum. Wajar dong, kalo aparat penegak hukum bisa disuap oleh pengusaha tertentu ketika tender proyek. Sebab, sangat boleh jadi pengusaha itu udah nanam saham duluan saat membantu yang bersangkutan menjadi pejabat. Balas jasa atau balas budi namanya. Kacau bener kan?

Ada satu teladan yang patut dijadikan contoh bagi pejabat publik saat ini, yakni apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalma sebuah riwayat, al-Laits berkata, “Tatkala Umar bin Abdul Aziz berkuasa, dia mulai melakukan perbaikan dari kalangan keluarga dan familinya serta membersihkan hal-hal yang tidak beres di lingkaran mereka. Kepada istrinya Khalifah Umar mengatakan, pilihlah olehmu, engkau mengembalikan harta perhiasan ini ke Baitul Mal atau izinkan aku meninggalkanmu untuk selamanya.” (Tarikh al-Khulafa’, Imam As Suyuthi, hlm. 274)

No suap, no korupsi! Yes! Umat Islam dididik untuk tidak menyalahgunakan harta dan jabatan. Korupsi dan suap sangat akrab dan dekat dengan penguasa atau setidaknya bagi mereka yang memiliki akses kepada sumber dana karena jabatan atau pekerjaannya yang berhubunan dengan hal tersebut. Hati-hati euy!

Bro, Rasulullah saw. udah ngasih aturan tentang larangan menyuap, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. telah menegaskan: “Allah melaknat penyuap dan penerima suap di dalam kekuasaan.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Dalam hadis yang lain, “Orang yang memberi suap dan menerima suap maka mereka keduanya berada pada api neraka pada hari kiamat kelak.” (HR Bukhari Muslim)

Mengenai “hadiah” seseorang kepada pejabat negara, Rasulullah saw, menamakannya dengan istilah “ghulul” atau “shut”, yakni harta haram. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Hadiah yang diterima para penguasa adalah ghulul (harta haram).” (HR Ahmad dan al-Baihaqi)

Lebih jelas tentang perkara suap ini, Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Tidak patut (laki-laki) yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan dengan sesuatu yang diwakilkan Allah kepada kami, lalu laki-laki itu berkata, ini (harta) untuk kalian dan ini (harta yang) dihadiahkan kepadaku. Tidakkah dia (lebih baik) duduk di rumah bapak dan ibunya, lalu kami melihat apakah mereka akan menghadiahkan kepadanya atau tidak.” (Kitab Negara Islam, Tinjauan Faktual Upaya Rasulullah saw. Membangun Daulah Islamiyah hingga Masa Keruntuhannya hlm. 182)

Ada kisah menarik lainnya berkaitan dengan suap. Seorang sahabat bernama Abdullah bin Rawahah ra. ketika hendak mengambil kharaj atas tanah Yahudi Khaibar yang telah ditaklukkan, dan kaum yahudi berkeinginan agar meringankan kharaj yang diambil negara dengan memberikan harta perhiasan dari wanita mereka kepada sahabat Abdullah bin Rawahah ra. Namun beliau berkata: “Hai orang-orang Yahudi! Sesungguhnya kalian melakukan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah. Tidaklah yang demikian ini melainkan mengantarkan aku untuk bertindak tegas terhadap kalian. Adapun suap yang kalian sodorkan, sesungguhnya itu adalah haram dan sungguh kami tidak akan memakannya!” Yahudi pun berkata: “Pantas saja, dengan (sikap seorang mukmin) ini langit dan bumi ditegakkan”

Wei.. keren banget! Nah, lalu apa hukuman bagi koruptor? Di buku Sistem Sanksi dalam Islam, karya Abdurrahman al-Maliki (hlm. 299, kebetulan saya ikut jadi editornya), tertulis: “Setiap orang yang mengkhianati harta yang diamanahkan kepadanya, seperti halnya ia berkedudukan sebagai pemegang wasiat bagi anak yatim, pengelola wakaf, atau sebagai wakil, atau sebagai pegawai atau yang lainnya, maka pelakunya akan dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai 5 tahun. Hal ini termasuk korupsi harta.”

Namun, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa pelaku korupsi adalah dihukum potong tangan karena dianggap mencuri. Jika harta yang dicurinya bernilai lebih dari ¼ dinar (1 dinar emas setara dengan 4,25 gram emas). Rasulullah saw. juga pernah menetapkan bahwa tangan pencuri tidak boleh dipotong kalau hasil curiannya kurang dari ¼ dinar. (HR Bukhari (12/89), Muslim (1684), Malik (2/832), At-Tirmidzi (1445) dan Abu Daud (4383) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha-.)

Bro en Sis, buat para koruptor kelas kakap, sempat juga berkembang ide bahwa mereka harus dihukum mati. Well. Apapun perbedaan pendapatnya, yang jelas, korupsi memang harus dihapus dan pelakunya kudu dihukum. Dalam Islam, udah ada aturannya kok dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Ada yang mengatakan dipotong tangannya, ada juga yang berpendapat cukup dijilid (dicambuk) dan dipenjara selama 5 tahun. So, kalo mau sikat koruptor, harus dengan cara syariat Islam, supaya pelaku dan calon pelaku korupsi kapok dan mikir-mikir! [solihin: osolihin@gaulislam.com | http://osolihin.com]