Wednesday, 1 May 2024, 02:06

gaulislam edisi 780/tahun ke-15 (7 Rabiul Awwal 1444 H/ 3 Oktober 2022)

Ikut berduka atas meninggalnya ratusan orang di Stadion Kanjuruhan, Malang, kandang Arema FC pada Sabtu (1/10). Berdasarkan informasi di media massa di tanah air, 125 (ada juga yag menyebutkan 127) orang meninggal dunia dan 323 lainnya luka-luka. Sekadar catatan, media luar negeri malah ada yang mewartakan jumlah korban jauh lebih besar. “At least 182 killed in stampede after soccer game in Indonesia, team says,” tulisan di judul media The Washington Post. Bisa beda, ya? Nggak tahu deh kok bisa gitu. Namun intinya, jumlah yang meninggal dunia ratusan orang. Astaghfirullah.

Kejadiannya usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya, yang berakhir dengan skor 2-3 alias Arema harus mengakui keunggulan Persebaya. Konon kabarnya, ada beberapa suporter yang masuk ke lapangan dan mendatangi para pemain serta pelatih. Namun, karena makin banyak yang masuk ke lapangan, akhirnya aparat keamanan menghalau mereka dan menyelamatkan para pemain sepak bola dari kedua belah pihak. Nah, nggak tahu deh apa yang seterusnya terjadi, hanya melihat dari potongan video yang akhirnya jadi kerusuhan, bahkan ada tembakan gas air mata ke kerumunan massa di lapangan, termasuk ke arah tribun penonton. Bikin panik.

Mengerikan sih, walau hanya baca di berita dan nonton tayangan videonya yang berseliweran di media sosial. Karuan aja biasanya emang jadi banyak komentar dan narasi serta opini. Bikin mumet kalo nggak bisa nyaringnya. Pro dan kontra jelas, ada yang dituding melakukan kesalahan dan penyebab kejadian, ada yang kudu bertanggung jawab, dan juga yang mempertanyakan ketidakprofesionalan penyelenggara dan sebagainya. Ruwet kalo kudu membaca satu persatu dari ribuan komentar. Capek juga energi kita kudu melototin satu per satu video kejadian tersebut. Intinya, ini jelas sebuah tragedi, dan jangan sampe terulang kembali.

Sobat gaulislam, saya menulis di buletin kesayangan kamu, yang ternyata ini penerbitan edisi terakhir di tahun ke-15, lho, judulnya tentang bola dan nyawa. Pekan depan insya Allah udah masuk tahun ke-16 dalam penerbitan buletin remaja ini. Alhamdulillah. Semoga bermanfaat bagi yang selama ini sudah membaca tulisan-tulsian di buletin ini.

Bola dan nyawa itu beda. Bahkan ada slogan yang diusung di pinggir lapangan, yang spanduknya dibentangkan para suporter: “Tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia”. Bagus sih. Cuma, memang dalam fakta di lapangan seringkali nyawa jadi taruhannya, dan kejadian kemarin (semoga menjadi yang terakhir), kian menunjukkan bahwa nyawa di pertandingan bola (hampir selalu) ada yang melayang. Umumnya karena bentrok antar suporter.  

Kejadian ini, yang merengut nyawa manusia dalam jumlah banyak, menjadi kejadian terburuk dalam sejarah sepak bola di dunia. Jauh sebelumnya (menurut catatan di laman bola.com), tragedi di Estadio Nacional. Ini adalah tragedi paling kelam dalam sejarah sepak bola dunia.

Terjadi pada 24 Mei 1964, dalam pertandingan Peru versus Argentina. Peristiwa ini memakan korban 328 jiwa dan 500 lainnya luka-luka.

Hampir sama dengan yang terjadi di Kanjuruhan, pitch invasion. Tapi, penyebab kerusuhan di Peru karena suporter kecewa dengan keputusan kontriversial wasit.

Fans tuan rumah menyerbu lapangan setelah kecewa dengan keputusan wasit.  Polisi lalu menembakkan gas air mata ke arah suporter dan menyebabkan kerusuhan makin parah.

Sebagian korban jiwa meninggal karena pendarahan internal, sesak napas, luka benturan.

Tragedi berikutnya, terjadi di Ghana pada 5 Mei 2001 dalam pertandingan Hearts of Oak vs Asante Kotoko.

Menurut laporan BBC, saksi mata menyalahkan polisi karena memicu penyerbuan fatal dengan menembakkan gas air mata dalam upaya untuk memadamkan kekerasan pada pertandingan tersebut.

Pertandingan tersisa sekitar lima menit ketika para penggemar Kotoko, yang timnya kalah 1-2, mulai merobek kursi dari satu tribune dan melemparkannya ke lapangan.

Polisi menggunakan gas air mata dalam upaya untuk mengendalikan massa, tetapi ini menciptakan kepanikan massal dan menyebabkan penyerbuan. Korban mencapai 126 orang.

Kalo mau diubek-ubek datanya silakan aja. Banyak kok di situs berita. Ini sebagian fakta saja. Sekadar menunjukkan data.

Fanatisme buta?

Sobat gaulislam, masih ingat dengan Haringga Sirla, warga Cengkareng Timur, Jakarta, yang nyawanya melayang beberapa jam sebelum laga El Classico (Persib vs Persija) dimulai? Hari itu, Ahad (23/9/2018).

Haringga, anggota Jakmania, kena sweeping oknum Bobotoh. Meski dia sempat lari dan minta tolong, tak satu pun manusia di sekitarnya iba dan tergerak untuk menolongnya, minimal dengan mencegah para pelaku. Alhasil, pemuda berusia 23 tahun itu tewas dikeroyok menggunakan beragam benda. Sampe-sampe Presiden Jokowi waktu itu geleng-geleng kepala, “Fanatisme yang kebablasan,” cetusnya.

Kematian Haringga menambah panjang daftar suporter yang tewas dalam persepakbolaan tanah air. Menurut catatan, 54 suporter meregang nyawa gara-gara rivalitas sepak bola sejak 1995. Tujuh di antaranya akibat “konflik” suporter Persija-Persib sejak 2012, termasuk Haringga. (laman historia.id)

Di luar negeri juga sama sih. Kayaknya kamu belum lahir pas Tragedi Heysel, ya? Itu tahun 1985. Kalo saya di tahun itu masih kelas 5 SD (aduh, ketahuan deh usianya sekarang).

Di masa lalu, klub-klub Inggris dan suporter mereka pernah jadi momok bagi persepakbolaan Eropa. Titik balik terjadi ketika Tragedi Heysel, 29 Mei 1985, dalam laga final Piala Champions antara Liverpool vs Juventus. Kala itu, dinding stadion roboh setelah tribun suporter Juventus ditekan oleh suporter Liverpool, akibatnya 39 orang tewas dalam insiden tersebut.

Kejadian itu mengusik Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher. Sang “Wanita Besi” mendorong FA (induk sepak bola Inggris) bertindak tegas. Hasilnya, klub-klub Inggris diperintahkan untuk mundur dari semua kompetisi Eropa.

“Kita harus membersihkan permainan (sepak bola) ini dari hooliganisme di negeri kita sendiri, dan setelah itu mungkin kita baru bisa membolehkan sepak bola kita bermain di luar negeri lagi,” kata Thatcher, dikutip Jim White dalam A Matter of Life and Death.

Arogansi kekuasaan?

Bingung sebenarnya. Namun, mau gimana lagi nyebutnya. Ini juga sekadar bertanya. Apa betul penanganan pengamanan di stadion harus dengan kekerasan dan menembakkan gas air mata ke penonton di bagian tribun? Seolah-olah sedang menunjukkan arogansi kekuasaan sebagai aparat keamanan.

Perlu diperbaiki semuanya. Suporter harus diedukasi agar jangan anarkis, jangan fanatisme buta membela klub idamannya. Biasa aja. Wajar. Sportif. Kalah atau menang dalam pertandingan itu hal biasa. Jangan pula kebanggaan kepada klub sepak bola lalu memusuhi suporter klub lain. Nggak ada gunanya. Rugi, apalagi jika ada di antara suporter berbeda klub itu adalah sesama saudara seiman. Rugi jika harus bermusuhan.

Aparat keamanan juga mestinya bertindak lebih sabar dan tenang. Sebab, memang itu tugasnya. Jangan brutal (sebagaimana di video yang udah banyak beredar di media sosial) dengan menendang beberapa penonton. Ada info kalo penggunaan gas air mata di pengamanan pertandingan sepak bola menyalahi aturan FIFA. Kalo benar begini, kok gimana ceritanya bisa lolos masuk ke dalam stadion dan ditembakkan?

Selain itu, pihak penyelenggara juga wajib bertanggung jawab. Pertandingan antara tim dengan suporter yang masing-masing militan memang akan mengeruk untung banyak dari penjualan tiket karena pendukungnya pasti datang ke stadion untuk menyaksikan langsung klub idolanya berlaga. Namun, kudu memperhatikan dampaknya. Termasuk kesiapan tempat dan pengamanan. Intinya, semua yang terlibat dalam event itu memang harus bertanggung jawab dan memikirkan solusinya. Hukum ditegakkan bagi yang melanggar, dan jangan ada tragedi serupa yang berulang di lain waktu. Jangan juga ada arogansi kekuasaan dalam penanganan kasus seperti itu.

Sekadar renungan

Bagi kita, kaum muslimin, pembelaan tertinggi kita adalah untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin atas landasan keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sementara para suporter fanatik klub sepakbola, lebih mengarah kepada loyalitas semu dan konyol. Padahal, menurut Syaikh Sayyid Quthb rahimahullah, kita mati karena membela negara yang nggak ada urusan dengan iman saja bisa dikatakan mati bukan di jalan Allah Ta’ala, apalagi sekadar urusan sepak bola.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tidaklah termasuk golongan kami barang siapa yang menyeru kepada ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barang siapa yang berperang atas dasar ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barang siapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah (fanatisme kelompok).” (HR Abu Dawud)

Syaikh Safiyurrahman al-Mubarakfuri dalam kitab al-Ahzab as-Siyasiyyah fil Islam mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda (yang artinya), “Barang siapa berjuang di bawah bendera kefanatikan, bermusuhan karena kesukuan dan menyeru kepada kesukuan, serta tolong menolong atas dasar kesukuan maka bila dia terbunuh dan mati, matinya seperti jahiliyah.” (HR Muslim)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, jika “judulnya” sama-sama mendukung sesuatu dengan totalitas dan nggak dibayar, alangkah lebih eloknya bila kita membela Islam. Menjadi suporter sepakbola itu nggak dibayar, sukarela dan bahkan mengeluarkan banyak duit, tenaga dan pikiran. Iya, kan? Membela Islam juga sama, tidak dibayar. Tenaga, pikiran, dan harta kita rela dikeluarkan. Tetapi yang berbeda adalah nilainya dan rasa perjuangannya. Jika para suporternya menjadikan sepak bola sebagai muara emosi dan jalan hidupnya, maka sebagai pejuang Islam kita jadikan Islam sebagai muara emosi dan jalan perjuangan. Para suporter sepakbola mungkin saja akan mati “fi sabili bola”, tapi pejuang Islam insya Allah mati “fi sabilillah”. Itulah bedanya.

Semoga kita tetap menjadikan Islam sebagai jalan hidup kita. Bukan yang lain. Islam sebagai ideologi kita. Cukuplah sepak bola sebagai hiburan, itupun jangan berlebihan dan sekadar ditonton pertandingannya di televisi saja. Kalo mau main dengan kawan-kawan, mainlah seperlunya saja bukan sebagai profesi atau maniak. Sebab, yang layak dijadikan jalan hidup hanyalah Islam. Sekali lagi: ISLAM. Tetap semangat!

Namun demikian, kita tetap menaruh empati dan turut berduka atas meninggalnya ratusan orang di Tragedi Kanjuruhan ini. Maafkan kami juga, barangkali selama ini seruan dakwah Islam belum bisa sampe ke telinga saudara-saudara kami di sana. Jadi belum bisa mengingatkan hal-hal baik dalam kehidupan. Semoga pula ini menjadi momen titik balik kesadaran kita semua tentang Islam. Hidup dan mati untuk Islam. Jangan sampe “fanatisme terhadap sepak bola, berakhir hilang nyawa”. Jangan pula atas nama pengamanan, lalu melakukan tindakan brutal dan bahkan pembunuhan. [O. Solihin | IG @osolihin]