Monday, 9 December 2024, 15:07

gaulislam edisi 709/tahun ke-14 (12 Syawal 1442 H/ 24 Mei 2021)

Bro en Sis rahimakumullah, akhir-akhir ini kalo diperhatikan di media sosial, kok sepertinya banyak orang yang malah mempersulit dirinya. Lho kok? Iya, hidup yang seharusnya dijalani dengan nikmat dan penuh rasa syukur, tetapi ternyata ada juga yang malah menjalaninya dengan cara mempersulit diri. Contoh nih, ada orang yang ingin dianggap bahagia, maka dia pamer deh bentuk kebahagiaan dia di medsos agar seluruh temannya (bila perlu seluruh dunia) tahu bahwa dia sedang bahagia.

Emang nggak boleh? Boleh aja sih. Mungkin sebagai bentuk tahadduts binni’mah (menyampaikan atau menceritakan kenikmatan yang didapat), jika faktanya memang demikian. Nah, emang ada yang nggak demikian? Ada, yakni cuma pencitraan doang. Faktanya dia nggak begitu. Misalnya ada orang yang menampilkan sebuah foto kendaraan keren, lalu dikasih kepsyen (caption): “Alhamdulillah, rezeki nggak kemana.”

Jika menulis begitu, orang biasanya berpikir lurus, “oh, berarti dia mendapatkan rezeki tersebut, berupa kendaraan keren.” Maka ada yang mendoakan, ada yang ikut bahagia, dan mungkin saja ada yang curiga, ada yang nggak suka, ada pula yang hasad.

Ketika dikasih komen begitu bisa jadi dia senangnya bukan maen. Nah, celakanya adalah ketika ada temannya yang pengen main ke rumahnya ingin lihat langsung kendaraan keren tersebut, yang secara fakta memang bukan punya dia, baru deh gelagapan. Mungkin nyari alasan lain. Nah, itu jelas mempersulit diri, kan? Capek, tahu nggak sih? Tapi anehnya ada aja orang yang mau menjalani hidup seperti itu.

Ada contoh lain? Hmm… kamu pernah mendapatkan orang yang minta tolong tetapi pas dikasih jalan malah muter-muter banyak alasan, yang intinya nggak mau alias menolak bantuan hanya karena dia sebenarnya nggak mau bantuan dalam bentuk yang dia nggak inginkan.

Gini jelasnya deh. Ada kasus, seseorang yang nggak punya uang. Lalu awalnya dibantu lah karena mendesak, ya. Lama-lama kok seperti ketagihan karena mudah didapatkan hanya dengan modal kirim pesan via WhatsApp yang menjelaskan bahwa dirinya sedang kesulitan finansial. Bisa jadi sekali atau dua kali dibantu oleh teman-temannya kan wajar dan biasa lah. Namun gimana kalo terus-terusan seperti nagih?

Repot juga kan, karena kadang teman-teman juga nggak selalu bisa bantu karena nggak selalu ada uang lebih. Akhirnya, diadakanlah diskusi nyari solusi. Supaya dia bisa berdaya, yakni punya penghasilan sendiri, ditawarilah sebuah pekerjaan. Ada lowongan kerja di pabrik atau di mana lah, yang penting itu pekerjaan dan halal untuk nafkah dia. Eh, selalu saja ada alasan, muter-muter nggak jelas ini dan itu. Ujungnya, lowongan kerjaan tersebut kadaluarsa. Intinya, dia nggak mau.

Lama nggak muncul di grup WhatsApp. Beberapa bulan kemudian, kambuh lagi, minta bantuan lagi. Lah, selama ini dia ngapain aja? Nah, model kayak gini, termasuk mempersulit diri. Dibantu agar bisa berdaya nggak mau, tetapi pengennya instan. Ngak perlu keluar tenaga banyak, ya ujung-ujungnya minta, bukan kerja agar berdaya. Rumit amat hidup ente, Bro.

Tukang nyinyir? Waduh, di medsos sih bejibun. Tukang komen yang hidupnya ruwet. Apa aja yang dia nggak suka atas apa yang dilakukan seseorang (biasanya kebaikan) tak luput dari pernyataan dan sumpah serapah. Misalnya aja ada individu atau lembaga yang memberikan sumbangan atau donasi untuk kaum muslimin Palestina, eh bukannya didukung malah ada orang yang nyinyir ngasih komen: “yang jauh diperhatikan, yang dekat diabaikan.”

Hadeuuh… emang lidah nggak bertulang sih, tetapi pernyataan orang tersebut asal njeplak. Perkara individu atau lembaga mau nyumbang ke mana dan berapa jumlahnya kan bukan urusan kita dan dia. Lagi pula, harusnya nyari info dulu, apalagi tuh lembaga udah terkenal di bidang sosial dan ngasih banyak donasi di dalam negeri juga, asetnya pun triliunan rupiah. Lah, yang komen nyinyir udah nyumbang apa dan ke siapa? Rumit amat hidupmu, Bro. Mempersulit diri, ketika banyak yang membantah komennya. Banyak alasan dibuat-buat, bikin capek. Iya, kan?

Faktanya justru mereka yang protes dan nyinyir terhadap penggalangan dana untuk Palestina adalah mereka yang diam saat banyak musibah di Indonesia. Sebaliknya, mereka yang akhir-akhir ini semangat menggalang dana untuk Palestina, justru adalah yang paling semangat pula turun tangan membantu saat ada musibah di Indonesia. Coba dicek, bener kan?

Dosa bikin hidup jadi sengsara

Sobat gaulislam, bener banget. Dosa itu bikin kita sengsara. Dunia dan akhirat, pula. Kok bisa? Ya, dosa itu adalah bagian dari kesulitan yang bakal menggelayuti pelakunya. Dosa itu bikin jiwa gelisah.

Dari al-Hasan bin ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200)

Dalam lafazh lain disebutkan, “Kebaikan selalu mendatangkan ketenangan, sedangkan kejelekan selalu mendatangkan kegelisahan.” (HR al-Hakim 2/51 dalam Mustadroknya)

Dalam hadits lainnya, dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (HR Muslim no. 2553)

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan (dikutip dari laman rumaysho.com), “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.” (dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf an-Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392, 16/111)

So, dosa itu bikin sengsara dan menggelisahkan jiwa. Itu sebabnya, jangan sengaja berbuat dosa. Repot dan rumit nanti. Hidup nggak tenang karena diselimuti gelisah jiwa. Jangan sampe deh.

Belum lagi kalo ngomongin hari perhitungan. Yaumil hisab. Duh, mestinya sih ketar-ketir ya, karena akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang kita lakukan.

Imam al-Muzani rahimahullah berkata, “Setelah hancur, manusia dibangkitkan. Dan pada hari kiamat, manusia dikumpulkan di hadapan Rabb-Nya. Di masa penampakan amal manusia dihisab. Dengan dihadirkannya timbangan-timbangan dan ditebarkannya lembaran-lembaran (catatan amal). Allah menghitung dengan teliti, sedangkan manusia melupakannya. Hal itu terjadi pada hari yang kadarnya di dunia adalah 50 ribu tahun. Kalaulah seandainya bukan Allah sebagai hakimnya niscaya tidak akan bisa, akan tetapi Allahlah yang menetapkan hukum di antara mereka secara adil. Sehingga lama waktunya (bagi orang beriman) adalah sekadar masa istirahat siang di dunia, dan Allah Yang Paling Cepat Perhitungan Hisabnya. Sebagaimana Allah memulai menciptakan mereka, ada yang sengsara atau bahagia, pada hari itu mereka dikembalikan. Sebagian masuk surga, sebagian masuk neraka.”

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS Yasin [36]: 65)

So, yang suka upload konten bernuansa pornografi, penghinaan, atau caci maki, hoax, dan sejenisnya, kudu waspada karena kelak di yaumil hisab (hari perhitungan) akan diminta pertanggungjawabannya. Ngeri Bro en Sis. Jangan coba-coba. Sekali coba bikin sengsara, bahkan bisa binasa. Itu namanya mempersulit diri. Waspadalah!

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”.” (QS al-Kahfi [18]: 49)

Nikmati, syukuri, berbagi

Sobat gaulislam, jangan mempersulit diri. Nggak usah iri dengan kebahagiaan yang didapat orang lain. Jangan panas hati, apalagi hasad. Rumit dan repot. Ibaratnya, “dia yang dingin, kenapa elo yang panas?”

Betul. Daripada julid ama orang, lebih baik nikmati alphard adanya, eh, apa adanya. Syukuri karunia yang Allah Ta’ala berikan walau menurut kita sedikit. Mulailah berbagi dengan sesama. Saling bantu meski tak banyak. Fokus perbaikan hati, jangan sampai ditumbuhi penyakit hati: iri, hasad, tak puas, pelit, bakhil, sering mengeluh dan sejenisnya yang bikin rumit hidup, mempersulit diri.

Yuk, praktikkan “nikmati, syukuri, berbagi” mulai dari yang kita bisa dan paling dekat. Nikmati dan syukuri apa yang sudah kita dapat. Jangan mempersulit diri karena ingin dianggap keren hidupnya dan menyangka bahwa kemewahan hidup adalah segalanya, padahal faktanya nggak. Hanya karena ingin mengenyangkan anggapan orang lain terhadap dirinya, lalu berbohong. Apa untungnya, coba? Bikin sulit sudah pasti.

 Jika sudah menikmati dan mensyukuri apa yang sudah kita punya, insya Allah mempraktikkan berbagi jadi mudah. Ada orang lain yang membutuhkan, berikanlah bantuan sebisa kita. Semampu kita, yang penting ikhlas. Jangan nyinyir kepada orang yang sudah bisa berbagi kepada sesama. Kalo kita belum bisa seperti dia dan malu memberikan apresiasi, udah diam aja, itu lebih baik dan selamat bagi kita. Jangan mempersulit diri dengan komentar nyinyir yang menuai caci maki banyak orang. Rumit.

Ok deh Bro en Sis. Semoga tulisan singkat ini bisa memberikan manfaat. Bisa menjadi inspirasi agar kita tetap selamat dalam kehidupan di dunia dan juga di akhirat kelak. Nikmati, syukuri, berbagi. Jangan mempersulit diri. [O. Solihin | IG @osolihin]