Tuesday, 16 April 2024, 17:33

gaulislam edisi 320/tahun ke-7 (6 Safar 1435 H/ 9 Desember 2013)

 

Alhamdulillah, ketemuan lagi ya bareng buletin gaulislam. Buletin kesayangan kamu semua. Tentu saja, meski hanya bertemu via tulisan dan di dunia maya pula, tetapi tidak mengurangi nilai pertemuan ini. Insya Allah tetap bermanfaat karena ilmu yang terus didapat. Wawasan kamu bertambah luas, sehingga menjadi pemahaman yang bermanfaat. Ragamu tetap sehat dan keimananmu semoga kian meningkat. Walhasil, kamu jadi pribadi muslim yang memikat karena kian taat. Taat kepada siapa? Pastinya taat kepada Allah Ta’ala.

Bro en Sih rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sejak akhir November 2013 kemarin sebetulnya kita disuguhi berita yang tak begitu istimewa untuk ukuran kehidupan jaman sekarang yang menghamba kepada kebebasan berperilaku. Yup, pastinya kamu ngeh dengan berita seorang penyair (sebagian kalangan menyebutnya sastrawan) yang berpaham liberal yang dituding telah memperkosa seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Tetapi belakangan pelakunya, yang tak lain adalah Sitok Srengenge alias Sitok Sunarto mengakui telah melakukan hubungan seks dengan mahasiswi tersebut. Dia berdalih bukan pemerkosaan, tetapi suka sama suka—cuma menurut pengakuannya, dia hanya khilaf. Well, ini memang buah kebebasan yang dianutnya.

Mengapa berita jadi heboh? Dalam jurnalistik, berlaku pameo “name make news” alias nama membuat berita. Saya, kamu, dan masih banyak orang sudah tahu bahwa kasus seks bebas bukanlah hal yang asing di negeri kita ini. Banyak orang yang lemah iman sudah sering melakukannya. Hanya saja, karena Sitok Srengenge termasuk orang yang terkenal, maka berita tersebut jadi heboh. Bahkan di Majalah Detik edisi 106 (9-15 Desember 2013) jadi judul utama: “Skandal Sitok Srengenge” (lengkap dengan wajah penyair liberal tersebut yang menghiasi cover majalah). Namanya cukup terkenal di jagat penulisan sastra, khususnya puisi. Maka, seketika berita buruknya itu jadi santapan media massa. Siapa menuai angin, ia akan menuai badai. Sitok Srengenge adalah satu contoh penyair liberal yang akhirnya mencontohkan (atau terpeleset?) kebusukan ide liberalisme yang dianutnya. Selain dia, ribuan bahkan mungkin jutaan manusia lainnya sudah menjadi korban kebebasan semu bernama liberalisme. Waspadalah!

Sobat gaulislam, mungkin kamu bertanya-tanya: “mengapa judul gaulislam edisi 320 ini mengubur liberalisme?” Baik. Saya harus bertanggung jawab untuk menjawabnya. Begini, Bro en Sis. Liberalisme itu memang paham yang berbahaya. Secara sederhana saya jelaskan bahwa paham ini hendak mendobrak aturan agama. Para penganutnya, termasuk di dalamnya para pengemban paham liberalisme ini, ingin memutuskan ikatan agama dalam semua apsek kehidupannya. Mereka tak mau diikat oleh aturan agama yang dianggapnya mengekang kebebasan berpikir dan berperilaku. Gawat bener! (backsound: jadi harus dikubur).

 

Sejarah liberalisme

Bro en Sis rahimakumullah, saya mau sedikit mengulas tema ini secara serius ya. Kalo ada kata yang agak sulit dicerna saya berharap kamu nggak tambah bingung. Telen aja dulu, nanti kalo masih bingung boleh tanya ke orang terdekat yang kamu yakini benar cara pandangnya. Boleh juga kirim email atau SMS ke gaulislam ya (alamatnya ada kok di buletin gaulislam edisi cetak).

Sobat muda muslim, kebetulan saya punya buku Orientalis dan Diabolisme Pemikiran karya Dr Syamsuddin Arif. Dalam buku ini ditulis (di halaman 76, juga di halaman 78-79) bahwa dilihat dari asal-usulnya, istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad 18 M, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, baik merdeka semenjak lahir ataupun merdeka sesudah dibebaskan dari yang semula berstatus ‘budak’.

Para sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis 1789—kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas—apapun namanya—adalah bertentangan dengan hak azasi, kebebasan dan harga diri manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Perancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Dalam catatan Dr Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang kebablasan tersebut pada akhirnya menganjarkan tiga hal: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thingking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama. Lebih detilnya, silakan cek di buku tersebut yang diterbitkan Gema Insani.

Dalam literatur yang lain, sengaja saya ‘obral’ informasinya di sini supaya kamu ngeh ya. Nah, salah satunya adalah menurut Dr Adian Husaini. Apa pendapat beliau? Yup, munculnya liberalisme yang seperti itu di Barat tidak terlepas dari tiga faktor. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang behubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut ‘zaman kegelapan’ (the dark ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ‘zaman pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi.

Kedua, problem teks Bible. Masyarakat Kristen Barat menghadapi problem otentisitas teks dengan kitabnya. Perjanjian Lama (Hebrew Bible) sampai saat ini tidak diketahui siapa penulisnya. Padahal tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan bahwa Moses penulisnya. Sementara itu di dalam teksnya terdapat banyak kontradiksi. Demikian halnya dengan Perjanjian Baru (The New Testament). Ada dua problem terkait dengan keberadaannya, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang orisinal saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak kurang dari sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek (Yunani), yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Ketiga, problem teologi Kristen. Sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakkan adalah, Tuhan menjadi sesuatu yang problem. Menjelaskan bahwa Tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendekiawan seperti Dr. C. Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Ia lalu sampai pada kesimpulan bahwa Yesus memang misterius. (Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 28-51.)

Sebagai kesimpulan dari sejarah singkat liberalisme, saya kutipkan pendapatnya Dr Hamid Fahmy Zarkasyi. Menurut beliau, dari latar belakang seperti itu maka tidak heran jika kemudian masyarakat Barat cenderung beragama tanpa berkeyakinan. Dalam artian, mereka beragama Kristen tapi mereka kemudian tidak sepenuhnya meyakini doktrin-doktrin Kristen. Mereka meragukan eksistensi Tuhan yang bisa mengetahui segala sesuatu, doktrin Trinitas, dan Bible sebagai wahyu Tuhan. Akibatnya mereka menerima secara mutlak pemisahan Gereja dan Negara, dan mempercayai penuh doktrin kebebasan dan toleransi agama. Kebebasan yang juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama dan toleransi yang sampai meyakini kebenaran agama lain atau pluralisme agama. (Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonilias. Ponorogo: CIOS-ISID, 2007, hlm. 33-35.)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Semoga kamu nggak spaneng ya baca istilah-istilah yang saya tulis di atas. Saya sih insya Allah ngerti. Cuma problem saya adalah bagaimana menyederhanakan istilah itu supaya kamu ngerti. Hehehe.. ngeles. Tetapi insya Allah bisa dipahami kan? Ya, seharusnya bisa paham karena faktanya udah sejelas siang hari. Kita sebenarnya patut prihatin karena liberalisme juga pada akhirnya melanda kaum muslimin. Banyak kaum muslimin yang nggak percaya dengan ajaran agamanya. Tak sedikit yang jauh dari ulama, tetapi dekat dengan para penjahat pemikiran dan berteman dengan mereka yang berperilaku liar, dengan alasan kebebasan berlabel hak asasi manusia. Waspadalah!

 

Bahaya HAM

Setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari HAM (Hak Asasi Manusia) sedunia. Dideklarasikan sejak 10 Desember 1948, dan mulai diperingati setiap tahun pada 1950. Namun sampai sekarang, prakteknya jauh panggang dari api. Lihat sajalah, bagaimana ribuan kaum muslimin di Rohingya masih menderita oleh kekejaman etnis Budha dan dibiarkan oleh rezim pemerintah Myanmar. Di Suriah, kaum muslimin sudah hampir 3 tahun ini dizalimi pemimpinnya sendiri. Di Palestina, malah sejak 1948 hingga sekarang tanahnya dirampas dan negerinya dijajah oleh Israel. Rakyat Irak, Afghanistan, Somalia dan di negeri-negeri muslim lainnya menderita. Pertanyaannya, di manakah orang-orang yang menyuarakan HAM? Bungkam! Seharusnya fakta itu menjadikan kita paham bahwa jika korbannya kaum muslimin, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) diam seribu bahasa. Payah!

Di Indonesia juga sama kok. Cuma bedanya bukan kekerasan fisik, tetapi penghancurkan lewat pemikiran dan budaya. Paham liberalisme digembar-gemborkan dalam bentuk kebebasan berpikir dan kebebasan berperilaku. Akibatnya, banyak orang yang terpengaruh ide ini menjadi liar. Maka, lihatlah seks bebas meningkat. Gaul bebas dalam bentuk pacaran juga dibiarkan saja. Peredaran narkoba terus meningkat karena pemerintah tak pernah serius menghukum pengedarnya. HIV/AIDS terus menggerayangi banyak manusia sebagai akibat dari salah gaul (baca: seks bebas). Orang-orang yang mengaku muslim tapi liberal berkeliaran mencari mangsa. Mengerikan dan menyeramkan. Tetapi itulah yang terjadi, kawan!

Sobat gaulislam, nggak usah tertipu dengan tawaran HAM yang dipasarkan Barat. Karena sejatinya cuma ngejerumusin manusia ke jalan yang rusak dan sesat. HAM versi demokrasi bukan menyelamatkan manusia, tapi menyengsarakan manusia. Bukti nyata udah bejibun yang bisa kamu lihat dan rasakan. Ngeri!

Islam, sebenarnya udah menjaga kehormatan manusia dengan memberikan beberapa jaminan yang sesuai fitrah manusia dan berdasarkan tuntunan dari Allah Swt., pencipta manusia. Beberapa poin yang dijamin oleh Islam dalam kehidupan ini adalah: jelasnya keturunan, perlindungan terhadap akal manusia, kehormatan, nyawa, harta, rasa nyaman beragama, juga tentang rasa aman, dan pembelaan terhadap negara. (selengkapnya silakan baca Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, karya Muhammad Husain Abdullah, hlm. 81-84)

Lha, kalo sekarang dalam sistem demokrasi, atas nama HAM orang bebas beragama dan berkeyakinan, apa hal itu bisa menyelamatkan manusia? Nggak banget!

Islam memang nggak memaksa manusia untuk memeluk ajaran Islam. Allah Swt. udah ngejelasin dalam firmanNya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS al-Baqarah [2]: 256)

Ini artinya, Negara Islam, atau kaum Muslimin nggak boleh memaksa orang lain untuk masuk agama Islam. Misalnya ngancem: “Kalo kamu nggak mau masuk Islam, saya dan kawan-kawan akan gelitikin kamu selama tujuh hari tujuh malam nonstop!” Waduh, Afgan mode on. Nggak. Islam nggak ngajarin seperti itu.

Tapi nih, kalo udah masuk Islam ya harus terikat dengan aturan Islam, tuh. Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 208)

Dalam  menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah Swt. telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi sistem keyakinan Islam (‘akidah) dan syariat Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I/247)

Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang baru masuk Islam. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw. agar diberi ijin merayakan hari Sabat, hari raya umat Yahudi. Tapi, permintaan ini dijawab oleh ayat di atas.

Nah, termasuk dalam kebebasan berpendapat kita nggak bisa bebas sesukanya ngomong atau nulis. Misalnya mengharamkan poligami, bolehnya wanita menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki, wanita tidak perlu mengenakan jilbab kalo keluar rumah karena itu budaya Arab, nggak wajib sholat dan puasa dsb. Lha, ini jelas ngada-ngada. Sekarang gini aja, apa boleh lirik lagu Garuda Pancasila diganti liriknya dengan lagu Gundul-Gundul Pacul? Nggak kan? Apalagi al-Quran. Masa’ kalamullah (ucapan Allah Swt.) mau diganti dengan ucapan kita. Salah, lagi. Bah, macam mana pula ini?

Dalam demokrasi, seks bebas marak, aborsi menjamur, tayangan pornografi berjubel, umbar aurat jadi pemandangan sehari-hari, korupsi jadi tradisi. Semua atas nama kebebasan, atas nama HAM. Musibah besar, Bro en Sis!

Padahal, Islam mengatur kehidupan manusia dengan benar. Islam nggak ngekang manusia tapi juga nggak membebaskan sebebas-bebasnya sebagaimana dalam sistem demokrasi. Maka, jangan percaya HAM versi demokrasi ye. Percayalah hanya kepada ajaran Islam. Pasti selamat dunia-akhirat. So, mulai sekarang, kita siapkan diri kita untuk memahami ajaran Islam dan mengamalkannya, untuk kemudian bersama-sama mengubur paham liberalisme agar tak meracuni pemikiran kaum muslimin. Siap? Harus! [solihin | Twitter @osolihin]