Saturday, 14 December 2024, 00:39

gaulislam edisi 465/tahun ke-9 (17 Dzulhijjah 1437 H/ 19 September 2016)

 

Su’uzhan adalah suatu sifat atau karakter yang senantiasa curiga atau berpendapat negatif kepada suatu masalah atau kondisi. Kalo kamu punya persoalan dan itu membuat kamu menderita, kamu mikirnya yang buruk dan kadang menyalahkan pihak lain. Wah, nggak asik banget kalo kamu sampe kayak gitu. Padahal, belum tentu apa yang kamu tuduhkan itu benar. Lha wong namanya juga berburuk sangka. Harusnya kan introspeksi, siapa tahu emang diri kita yang salah. Nggak usah nyari kambing hitam segala. Ok?

Tapi, ya emang selalu ada orang yang kayak gitu. Buruk sangka jadi kebiasaan dalam menilai orang lain. Kamu mungkin pernah ngalami dicurigai oleh teman kamu, atau kamu sendiri yang malah mencurigai temanmu. Curiga sih boleh aja, asal jangan buruk sangkamu mengalahkan kecurigaan yang awalnya dibolehkan. Itu sebabnya emang kudu ati-ati sebelum melakukan tuduhan kepada orang lain. Jangan sampe kamu dicap tukang fitnah dan selalu berburuk sangka.

Sobat gaulislam, kalo kamu kebetulan diberikan cobaan oleh Allah Ta’ala, padahal kamu termasuk orang yang rajin ibadah, jangan pernah berburuk sangka kepada Allah. bahwa Allah Ta’ala nggak sayang sama kamu. Buang jauh-jauh deh pikiran nggak produktif kayak gitu. Sebaliknya kita berdoa memohon ampun atas kesalahan yang nggak kita sadari, atas dosa-dosa kecil yang mungkin aja luput dari pengamatan kita. Sembari tentunya kita bersabar atas cobaan yang diberikan oleh Allah Ta’ala ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Sungguh keadaan seorang mukmin itu sangat menakjubkan, karena semua keadaannya menjadi kebaikan bagi dirinya: jika mendapat nikmat ia bersyukur, maka itu mejadi kebaikan baginya, dan jika ditimpa musibah ia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR Muslim)

Wah, keren banget kan? Seorang muslim itu memang seharusnya seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di atas. Kalo dikasih nikmat bersyukur dan kalo diberi musibah bersabar. Insya Allah jika kita bersyukur dan bersabar dengan kondisi kita tersebut, keikhlasan kita dalam beramal baik nggak akan ternoda. Nggak usah berburuk sangka (apalagi kepada Allah Ta’ala), karena kalo berburuk sangka keikhlasan kita bisa rusak. Berarti selama ini kita beribadah kepada Allah belum maksimal dan nggak optimal. Belum sepenuhnya ikhlas. Sebab, gimana pun juga kondisi kecewa-bahagia, sedih-gembira, suka-duka, kaya-miskin, sehat-sakit, sukses-gagal adalah bagian dari ujian yang diberikan Allah Ta’ala. Jadi, nggak perlu berburuk sangka, kan? Sebaiknya kita bersabar agar keikhlasan beribadah hanya kepada Allah Ta’ala yang selama ini kita semai berbuah pahala dan nggak ternoda gara-gara kita buruk sangka.

 

Berburuk sangka kepada manusia?

Sobat gaulislam, berburuk sangka kepada teman pun nggak dibolehkan. Kalo ada teman yang meminta maaf kepada kita atas kesalahannya, ya kita terima. Nggak usah kita berburuk sangka bahwa dia minta maaf tuh pura-pura aja karena ada maunya dari kita. Nggak perlulah, kalo dia minta maaf, kita maafkan.

Nggak usah merasa turun derajat kalo kita memaafkan teman yang udah berbuat salah sama kita. Tak perlu merasa rugi hanya dengan memberi maaf kepada teman yang telah melukai perasaan kita. Memang, ada yang bilang bahwa waktu bisa menyembuhkan luka, tapi kita tak akan pernah lupa pada sakitnya. Pernyataan itu boleh-boleh aja sih, tapi apa iya kita akan begitu tega kalo ada orang yang mau minta maaf sama kita terus kita cuekkin dengan alasan nggak ada untung?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah menyampaikan sabdanya: “Shadaqah tidak mengurangi sebagian dari harta, dan Allah tidak menambah kepada seorang hamba karena maaf melainkan kemuliaan, dan seseorang tidak bertawadhu’ karena Allah, melainkan Allah meninggikannya.” (Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin, hlm. 233)

Dari Uqbah bin Amir, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzhalimimu.” (HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Baghawy)

Subhanallah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kita untuk lemah-lembut, bahkan kepada orang yang telah menzhalimi kita. Kita ngasih maaf kepada orang yang udah ngelukain hati kita. Hebat. Padahal, banyak di antara kita yang masih gengsi karena ego kita yang gede banget. Ngerasa hal itu amat hina jika dilakukan. Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang lebih mulia dari kita, mengajarkan kita untuk gampang ngasih maaf, bahkan kepada orang yang telah menzhalimi kita.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ketika kita meyakini bahwa dendam, sakit hati, dan kebencian adalah jawaban paling benar di dunia ini, dan itu satu-satunya jawaban, maka pengetahuan, pengalaman, dan kesadaran kita akan kalah, tak berguna, dan lumpuh total.

Boleh dibilang pengetahuan adalah sumber petunjuk, pengalaman adalah guru, dan kesadaran adalah reminders alias peringatan, namun hal itu belum cukup. Sebab, pengetahuan kita akan menunjukkan kita jika kita mau menerima petunjuknya, pengalaman akan menjadi guru kalo kita mau belajar kepadanya, dan kesadaran akan menjadi reminder kalo kita mendengarkannya.

Nah, nggak mungkin kan selamanya kita dendam dan berburuk sangka sama orang? Emang sih, sebelum kita tahu banyak hal tentang kehidupan dunia ini, kayaknya kitalah yang ngerasa paling benar atas apa yang kita lakukan. Kita menghibur diri kita bahwa kita wajar ngelakuin apa pun yang kita suka. Termasuk menjadi pendendam dan tukang berburuk sangka kepada orang lain. Tapi ketika begitu banyak menyimak ‘hikmah’ dari segala peristiwa di dunia ini, kita mulai sadar. Kita akan lebih bijak menikmati dunia ini. Pengetahuan, pengalaman, dan kesadaran kita akan menjadikan kita dewasa dan bukan mustahil kalo akhirnya kita mau menerima perbedaan, mau mengampuni orang-orang yang telah berbuat buruk kepada kita. Karena kita tahu dan yakin, bahwa tak selamanya manusia itu buruk, dan tak selalu manusia itu berbuat baik. Manusia tuh dinamis. Asal kita mau mengubah (kepada kebaikan tentunya), insya Allah bisa. Tul nggak?

Oya, kalo kita masih merasa benar sendiri, berarti kita belum belajar dari pengetahuan yang udah kita dapetin, kita belum ngambil pengalaman dan mengikuti peringatan. Hawa nafsu atau ego kita belum terkalahkan. Hmm… jadi inget doktrinnya Samurai yang mengajarkan: “winning first than fighting” (taklukkan nafsumu lebih dahulu, baru bertempur). Doktrin militer menggariskan: “be warrior than soldier” (jadilah jagoan lebih dahulu, baru bergabung menjadi pasukan tempur). Jan Christian Smuts mengingatkan: “Orang tidak kalah oleh lawannya melainkan kalah oleh dirinya” (e-psikologi.com; pembahasan: penyembuhan luka batin bagi orang dewasa)

Ngomong-ngomong soal hawa nafsu dan ego kita, jadi inget kisahnya Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu yang urung menghajar orang yang telah mencelanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat al-Bukhari, dari hadis Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, bahwa ada seseorang yang meminta izin untuk bertemu Umar bin Khaththab. Setelah orang itu diizinkan, dia berkata, “Wahai Ibnul-Khaththab, demi Allah, engkau tidak memberi kami yang banyak dan tidak membuat keputusan di antara kami secara adil”.

Umar pun marah besar mendengarnya, bahkan hampir saja dia memukulnya. Al-Hurr bin Qais segera berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah pernah berfirman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh’ (QS al-A’raaf [7]: 199). Dia adalah termasuk orang-orang yang bodoh.”

Maka Umar pun mengurungkan niatnya untuk menghajar orang itu setelah dibacakan ayat ini. Setelah itu pikirannya terus menerawang terhadap Kitab Allah. (Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin, hlm. 228)  

 

Antara berburuk sangka dan dendam

Sobat gaulislam, kalo udah jadi orang yang pendendam biasanya kita akan memikirkan terus masa lalu kita dan nyaris selalu berburuk sangka. Kita akan tetap merasa kecewa dan sakit hati kepada mereka yang telah melukai perasaan kita. Kita akan memeliharanya dalam jangka waktu lama. Kita tetap begitu, padahal orang lain sudah berubah. Setiap kali inget orang yang telah menzhalimi kita, kita bertambah sebal dan rajin menyiapkan strategi untuk membalas luka di hati kita. Kalo setiap saat kita begitu, bisa-bisa bikin stres deh. Beneran. Hidup ini untuk dinikmati dengan benar dan baik. Bukan dengan stres. Mulailah bersikap dewasa dan menghargai setiap perubahan. Ya, kita harus menghargai. Kalo dulu teman kita menghina kita, tapi kini ketika dia meminta maaf kepada kita, berarti insya Allah dia udah mulai berubah. Setidaknya ingin menghapus kejahatannya kepada kita.

Itu sebabnya, menjadi pendendam itu nggak baik. Nggak ada untungnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari; keduanya bertemu tapi saling memalingkan mukanya. Dan yang paling baik di antara keduanya ialah yang memulai lebih dahulu mengucapkan salam” (Muttafaqun ‘Alaihi: dalam kutipan Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc, MA, Kuliah Akhlaq, hlm. 144)

Jadi, mulai sekarang berlapang dadalah. Juga harus ngakuin bahwa setiap manusia pasti punya kesalahan. Permintaan maaf itu sebagai bukti bahwa ia pernah berbuat salah ingin menebusnya. Karena definisi dari maaf sendiri adalah pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, cetakan ke-3, 2003, hlm. 693). Mau kan kita mengampuni mereka yang telah berbuat salah kepada kita? Yup, jangan terus pelihara dendam dan buruk sangka ya.

Memaafkan seseorang yang udah berbuat zhalim kepada kita jauh lebih baik daripada berburuk sangka terhadap mereka. Khawatir, keikhlasan kita jadi ternoda gara-gara kita memelihara sifat su’uzhan alias berburuk sangka. Di dunia ini nggak selamanya bisa menyenangkan kita. Kadang pahit dan menyakitkan yang selalu hadir dalam hidup kita. Tapi yakinlah, itu bagian dari ujian Allah Ta’ala kepada kita. Semoga saja dengan ujian itu iman kita bertambah. Nggak usah nyari ‘kambing hitam’ atas kesusahan yang kita alami, apalagi berburuk sangka kepada Allah Ta’ala. Soalnya, khawatir keikhlasan kita jadi rusak karena sifat su’uzhan tersebut. Jadi dosa, malah yang didapat. Naudzubillahi min dzalik.

Sobat gaulislam, ada baiknya kita merenungkan firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujuraat [49]: 12)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Hati-hatilah kamu dari prasangka, karena sesungguhnya sangkaan itu merupakan sedusta-dustanya berita.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Oke deh, semoga pembahasan singkat ini bisa memberikan pemahaman buat kamu agar lebih baik lagi dan menjaga keikhlasan semua tetap bersih tak ternodai (atau tak dirusak) oleh sifat su’uzhan ini. Semoga paham ya. Sip deh! [O. Solihin | Twitter @osolihin]