Saturday, 27 April 2024, 00:48

gaulislam edisi 464/tahun ke-9 (10 Dzulhijjah 1437 H/ 12 September 2016)

 

Alhamdulillah, gaulislam edisi 464 ini terbitnya tepat di hari Idul Adha 1437 H (12 September 2016). Ini sekaligus mengingatkan bahwa kita punya hari raya yang rasa-rasanya nggak seru kalo nggak disambut gembira dan nggak dirayakan. Semoga kamu semua masih ingat bahwa dalam Islam hanya ada ada 2 hari raya, yakni Idul Fithri dan Idul Adha. Selain itu, nggak ada yang perlu dirayakan. Kalo pun ada yang memperingati seperti Isra Mi’raj dan sebagainya, hanya sekadar pengingat bahwa kaum muslimin memiliki momen-momen tertentu yang perlu diingat dan dijadikan sebagai penyemangat untuk menjadikan Islam sebagai jalan hidup.

Sobat gaulislam, edisi kali ini sengaja menuliskan judul: berkorban demi Islam mulia. Ya, Idul Adha identik dengan qurban, yakni menyembelih hewan qurban bagi kaum muslimin yang memiliki kecukupan rezeki dan membagikannya kepada sesama kaum muslimin lainnya. Ini ibadah sunnah, semoga tahun ini kita juga bisa berqurban ya. Tentu saja, dengan niat ikhlas mengharap ridho Allah Ta’ala sebagai manifestasi dari ketakwaan kita kepada-Nya.

Oya, ini penulisannya berbeda ya, antara qurban dengan korban. Pengertiannya juga berbeda kok. Di KBBI juga dibedakan kok. Walau sebenarnya dalam ejaan bahasa Indonesia, nggak dikenal qurban, tapi adanya kurban. Tetapi memang korban dengan kurban berbeda makna. Agak tipis sih bedanya. Meski demikian, ya tetap beda.

 

Apa yang dikorbankan?

Ini nggak bicara panjang lebar tentang kurban or qurban, tetapi akan dibuat panjang dan lebar dalam mengupas korban. Tepatnya lagi: berkorban.

Kita mungkin denger bahwa ada orang yang mau berkorban waktu demi mendapatkan ilmu. Rela mengerahkan tenaga demi mendapatkan kepingan rupiah untuk menafkahi keluarga. Banyak orang mencurahkan pikirannya untuk mengorbankan waktu luangnya demi memberikan manfaat kepada orang-orang di sekitarnya. Tak sedikit dari kaum muslimin yang sanggup berkorban mengeluarkan infak terbaiknya dari harta yang dimilikinya untuk kemaslahatan kaum muslimin lainnya. Masih banyak lagi sikap berkorban lainnya. Intinya, banyak hal dalam kehidupan kita memang dipenuhi dengan semangat berkorban.

Bagaimana dengan berkorban demi Islam mulia? Drama kehidupan bersama Islam yang dimainkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membela Allah, Rasul-Nya, dan tentunya juga Islam sungguh sangat mengagumkan. Suatu ketika Zaid bin Datsinah bersama lima sahabat lainnya diutus Rasulullah menemani sekelompok kecil kabilah untuk mengajarkan Islam ke kabilah yang bertetangga dengan Bani Hudzail tersebut. Waktu itu, negara Islam sudah berdiri. Kejadiannya pasca Perang Uhud.

Sayangnya, enam utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dikhianati. Tiga di antaranya syahid. Tiga lagi menjadi tawanan dan dijadikan budak untuk dijual (termasuk Zaid bin Datsinah). Waktu itu, Zaid hendak dibeli oleh Shafwan bin Umayyah, untuk kemudian dibunuh sebagai balasan atas kematian ayahnya, Umayyah bin Khalaf, yang tewas di tangan kaum Muslimin saat Perang Badar. (Bales dendam nih ceritanya?)

Zaid ditanya oleh Abu Sufyan: “Hai Zaid, aku telah mengadukanmu kepada Allah. Sekarang, apakah engkau senang Muhammad berada di tangan kami menggantikan tempatmu, lalu engkau memenggal lehernya dan engkau kembali kepada keluargamu?”

“Demi Allah!” jawab Zaid lantang, “Aku tidak rela Muhammad menempati suatu tempat yang akan dihantam jerat yang menyiksanya, sementara aku duduk-duduk dengan keluargaku.”

Abu Sufyan terkesan banget tuh dengan kata-kata Zaid. Bibirnya menyunggingkan senyuman sinis sambil bilang, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang mencintai sahabatnya seperti kecintaan sahabat-sahabat Muhammad,” kata Abu Sufyan geram di tengah kekagumannya. Kemudian, Zaid pun dibunuh. Subhanallah, ini memang cinta luar biasa, dan tentunya pengorbanan yang ruar biasa.

Membela dan memperjuangkan Islam, sebagai bentuk kecintaan kepada agama Allah ini, membuat Khubaib, temannya Zaid yang juga diutus Rasulullah dalam misi tersebut, rela melepaskan nyawanya sebagai bentuk pengorbanan tertingginya.

Sebelum syahid, beliau memandang musuh-musuh Allah dengan marah sambil meneriakkan doa, “Ya Allah, sesungguhnya telah sampai kepada kami risalah Rasul-Mu, maka besok sampaikan kepadanya apa yang membuat kami demikian. Ya Allah, hitunglah (bilangan) mereka (dan lemparkan mereka) berkali-kali, bunuhlah mereka dengan sekali lumat, dan janganlah Engkau biarkan mereka hidup seorang pun dari mereka!” Mendengar teriakan Khubaib, mereka menjadi gemetar. Dengung suara itu seolah merobek-robek nyawa mereka. Kemudian, Khubaib pun dibunuh. (dalam Kitab ad-Daulah al-Islamiyah, Taqiyuddin an-Nabhani, trj. hlm. 100-101)

Sobat gaulislam, kamu tahu Perang Badar kan? Yup, perang besar dalam sejarah peradaban di masa awal penyebaran Islam yang diemban oleh sebuah negara Islam pimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukti cintanya kaum muslimin kepada Islam. Sehingga ketika agama Islam ini terancam akan dihancurkan oleh gembong dan antek-antek kafir Quraisy, maka perlawanan atas kecintaan kepada ajaran Islam ini diwujudkan dalam Perang Badar al-Kubro di bulan Ramadhan pada tahun kedua hijrah.

Hasilnya? Menurut al-Maqrizi dalam kitabnya yang berjudul Imta’al Asma’, menghitung bahwa jumlah gembong alias petinggi kaum kafir Quraisy yang binasa dalam pertempuran tersebut sebanyak 27 orang, dan yang tewas setelah perang sekitar 20 orang. Termasuk di antara korban tewas adalah petinggi kafir Quraisy adalah Abu Jahal dan Abu Lahab. Oya, dalam Islam nggak cuma dikenal Perang Badar doang, tapi banyak perang lainnya, dan saya yakin itu juga bagian dari efek kekuatan cinta. Allah Ta’ala. bahkan mencintai mereka yang berperang di jalan-Nya. Dia berfirman: “Sesungguhnya Allah mencintai (menyukai)  orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS ash-Shaff [61]: 4)

Begitulah jalan (dan mungkin akhir) hidup para pecinta kebenaran. Risikonya memang besar. Bahkan sangat boleh jadi jauh lebih besar pengorbanannya ketimbang ketika kita mencintai pekerjaan kita, atau studi kita. Dalam urusan pekerjaan dan studi saja adakalanya banyak di antara kita yang berusaha mati-matian untuk mempertahankannya. Ada banyak orang yang mempertaruhkan segala yang dimilikinya demi sebuah pekerjaan yang dicintainya setengah mati. Ia akan berkorban dan siap menderita untuk mempertahankan jabatan dalam sebuah pekerjaan. Kalo bukan karena cinta, karena apa lagi? Tapi ternyata, kecintaan seperti itu masih kalah mulia dengan kecintaan kepada kebenaran Islam. Berkorban demi Islam mulia, demi kemaslahatan kaum muslimin dengan landasan iman dan takwa kepada Allah Ta’ala.

 

Saat ini dan selamanya

Sobat gaulislam, berkorban demi Islam mulia membuat kita harus lebih hati-hati. Sebab, khawatir pengorbanan tersebut malah nggak ada nilainya tersebab kita riya’ alias nggak ikhlas karena Allah, tetapi mengejar pujian manusia. Waduh, nggak asik banget. Udah capek-capek malah nggak dapat pahala.

Selain itu, berkorban demi Islam mulia kudu dimulai dari saat ini hingga selamanya. Ya, selama usia kita di dunia ini. Kita nggak tahu kan usia kita di dunia berapa lama lagi? Itu sebabnya, mumpung belum datang kematian, mulai sekarang juga dan mempertahankannya selama hayat masih di kandung badan.

Kamu bisa memulainya dengan mencintai Islam sepenuh hati. Tanpa cinta kepada Islam dari dalam diri kita sendiri, rasanya mustahil bisa menumbuhkan semangat untuk membela dan memperjuangkan Islam, apalagi mengorbankan diri demi Islam mulia. Itu sebabnya, tumbuhkan kecintaan mendalam kepada Islam dengan memulai mempelajari Islam. Ketika kita belajar Islam dengan ikhlas dan sungguh-sungguh akan membuat kita tahu lebih banyak ajaran Islam. Hal itu akan mendorong kita untuk terus memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan kita. Soalnya, nggak mungkin deh ada orang yang mencintai sesuatu tanpa tahu apa yang membuatnya harus mencintai sesuatu tersebut. Pasti ada alasannya.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Pernah dengar dan mungkin baca berita tentang perjuangan rakyat Palestina? Yup, apa pun motif perjuangannya, rasa-rasanya semua dilakukan karena cinta. Mungkin saja ada banyak rakyat Palestina yang berjuang melawan penjajah Israel karena cintanya kepada tanah airnya. Ia nggak rela tanah tumpah darahnya dijamah bahkan dirampas penjajah Israel. Kalo bukan karena cinta (paling nggak cinta terhadap tanah airnya), rasa-rasanya mereka nggak akan mau berjuang toh pati jiwa raga demi merdeka dari Israel.

Selain yang berjuang atas cinta kepada tanah airnya, nggak sedikit pula yang berjuang atas dasar cinta kepada Islam. Rakyat Palestina yang memahami kecintaannya yang mendalam terhadap Islam, tentunya mereka berjuang atas nama Islam. Ia akan melepaskan segala atribut yang mungkin saja tersandang di tubuhnya. Entah dia dari kalangan orang kaya atau orang miskin, tua-muda, laki-perempuan, dan orang awam atau terpelajar, ikut organisasi atau tidak, tapi demi cintanya kepada Islam, maka mereka akan bahu-membahu membela agama Allah ini untuk mengusir tentara Israel yang sudah jelas sebagai penjajah.

Rasa cinta yang bersemayam di dada setiap muslim Palestina kepada Islam memberikan pengaruh alias efek yang amat dahsyat dengan perwujudan membela, memperjuangkan, dan rela berkorban demi eksistensi Islam dan kehormatan kaum Muslim. Indah nian rasa cinta seperti itu. Saya yakin, kalo bukan karena cinta yang besar kepada Islam, tak mungkinlah mereka mau sepenuh hati berjuang dan bahkan berkorban.

Yuk, mulai saat ini dan selamanya, nyalakan terus api tauhid dan semangat membela Islam dengan keyakinan yang benar dan melakukannya dengan penuh keikhlasan. Tumbuhkan semangat juang dan mudah berkorban demi Islam mulia dan kemaslahatan kaum muslimin. [O. Solihin | Twitter @osolihin]