Wednesday, 24 April 2024, 04:15

gaulislam edisi 549/tahun ke-11 (14 Sya’ban 1439 H/ 30 April 2018)

 

 

Assalaamu’alaikum, Bro en Sis yang dirahmati Allah. Kamu semua pasti udah pada tahu kalo beberapa waktu di sosmed rame pada ngebahas soal UNBK, khususnya matematika dan kimia yang katanya susah pake banget. Nah, gaulislam mo ikut ramein ah, gapapa, yah. Dikit doang, kok. Hehe…

So, seperti yang Bro en Sis tahu, banyak banget peserta UNBK yang ngeluh karena soal UNBK-nya susah. Keluhan ini bertebaran di medsos akun-akun Kemdikbud. Katanya sih, soal-soal yang keluar sama yang dipelajari beda. Bahkan sampe ada yang komen minta supaya Bapak Mendikbud ngerjain soalnya sendiri biar tahu gimana susahnya. Duh, duh, duh…

Nanggepin komen-komen yang bejibun, Mendikbud menyiarkan kalo soal UNBK yang sekarang itu berstandar HOTS alias Higher Order Thinking Skills yang lebih mengutamakan daya penalaran dari pada hapalan. Tujuannya, ya, apalagi kalo bukan untuk meningkatkan daya dan mutu pendidikan di Indonesia.

Tapi pertanyaannya, tepatkah langkah ini dilakukan? Kalo tepat, kenapa justru ada banyak pelajar yang mengeluhkan susahnya soal? Belum diajarin, atau belum belajar? Atau saat pelajaran tuh siswa yang ngeluh justru lagi bolos sekolah? Humm… (mikir keras).

 

Mendikbud didemo KPAI

Nggak cukup ngeluh di akun sosmed Kemendikbud, para peserta UNBK juga pada ngeluh ke KPAI. Buat nanggepin keluhan yang nggak cuma satu-dua ini, KPAI akhirnya malah demo ke Kemendikbud perihal soal UNBK yang susah dan nggak sesuai sama kisi-kisi. Walhasil…makin panaslah persoalan ‘soal UN yang susah banget’ ini di semua media.

Aduhai…bikin pusing aja. Kenapa, sih, soalnya dinilai susah kayak gitu? Emang soalnya susah pake buanget jadi nggak bisa dikerjain sama sekali? Atau malah karena siswanya yang males belajar, jadi mau soalnya susah atau gampang, tetep dianggep susah. Atau jangan-jangan malah gurunya yang lupa ngajarin materi karena nggak peduli? Bingung sendiri, kan?

Kalo kita liat dari sudut pandang KPAI yang ngebela peserta UN alias pelajar, so pasti, yang salah adalah Mendikbud. Karena dinilai mencantumkan soal-soal berstandar HOTS ke soal UNBK tanpa wacana atau pengumuman dulu. Istilahnya sih, dadakan gitu. Pas ditanyain ke guru-guru di sekolah-sekolah juga banyak yang nggak tahu menahu kalo ada soal berstandar HOTS. Dan mereka ngakunya, sih, kaget ada jenis soal yang kayak gitu di UNBK.

Beda lagi kalo kita ngelihat dari sudut pandang Mendikbud. Walaupun nggak secara gamblang bilang kalo yang salah itu siswa karena terlalu fokus pada materi alias hapalan, padahal kurikulum udah pake kurtilas (yang mengacu supaya murid lebih eksplor dan kreatif). Mendikbud beralasan kalo soal berstandar HOTS ini sengaja dikeluarkan untuk mengetahui tingkat kesulitan tertinggi yang bisa dicapai para siswa.

Nah, dari dua kubu ini (KPAI en siswa vs Mendikbud) kira-kira yang mana benar?

Kalo ditanya mana yang bener sih, kayaknya dua-duanya malah kurang bener. Fifty-fifty, lah, yaw. Kenapa? Karena memang ada kesalahan baik dari pihak murid, guru, pemerintah (Mendikbud), bahkan KPAI sendiri.

Sobat gaulislam, buat ningkatan mutu dari UNBK sendiri, soal HOTS memang bagus untuk dikeluarkan. Tapi pemerintah seharusnya memberi wacana terlebih dahulu, memberi pengarahan dan pelatihan  kepada para guru dan kalo bisa uji coba dengan pelajar yang bersangkutan. Karena yang menjalani adalah pelajar. Perlu digaris bawahi, pelajar yang bersangkutan adalah pelajar Indonesia. Bukan luar negeri. Karena bisa jadi, soal berstandar HOTS di luar negeri sukses karena memang pola berpikir pelajar di sana sesuai dengan metode HOTS. Sementara karakter pelajar di luar negeri pastinya beda sama karakter pelajar di Indonesia. Jadi, nggak terjamin HOTS di Indonesia bakalan sukses sebelum di uji coba ke pelajar yang bersangkutan.

Sementara bagi para pelajar, yang namanya ujian nggak mungkin gampang semua. Kalo gampang, bukan ujian namanya. Kalaupun susah banget soalnya sampe ngerjainnya untung-utungan, sebaiknya introspeksi ke diri sendiri. Walaupun misalkan 60% kesalahan orang lain, tapi sisanya adalah kesalahan kita sendiri. Apakah kita sudah belajar dengan sempurna? Belajar plus-plus doa kepada Allah Ta’ala. Atau cuma belajar aja, lupa doa kepada Allah. Atau jangan-jangan, nggak pernah belajar dan nggak berdoa sama sekali? Ayo…inget-inget!

 

Nobar ‘Dilan’ di Hardiknas? Untung nggak jadi!

Bro en Sis pasti udah tau kan sama film ‘Dilan’ yang lagi rame-ramenya. So, nggak cuma didemo KPAI dan para peserta UN karena soal UN yang susah banget, Kemdikbud juga banyak dikritisi para pengguna akun sosmed karena renca nobar film ‘Dilan’ dan ‘Yowis Ben’ di Hardiknas nanti. Aduhai, bukannya selesai masalah, eh, malah nambah masalah baru.

Bro en sis pasti tahu dong, berita yang nggak kalah hotnya ini, sama yang soal UNBK susah banget. So pasti. Heran juga, kok ada aja orang yang punya ide nobar film tema ‘kisah romansa SMA’ di Hari Pendidikan Nasional. Romansa sama pendidikan. Dilihat dari sisi mana pun, nggak nyambung, tuh dua kata itu, walaupun ditambahin ‘romansa SMA’. Karena di film ‘Dilan’, bagian pendidikannya cuma ngejadiin sekolah sebagai latar utama aja. Sisanya? Yah…gombal-gombalan garing ala kerupuk kering, plus tentunya ngajarin untuk berbuat maksiat pula. Parah!

Eh, film “Yowis Ben” yang dijadwalkan bakal ikut diputar juga sebelas dua belas lah, tema intinya sama film “Dilan”. Untungnya nggak jadi tayang. Setidaknya menurut pemberitaan beberapa hari lalu. Tapi nggak tahu deh kalo tiap sekolah ngadain sendiri nanti di tanggal 2 Mei. Jangankan ada anjuran, nggak ada anjuran pun udah pada semangat nonton kok. Waduh!

 

Duh, remaja zaman now

Tinggal itung hari sampe ketemu tanggal 2 Mei. Hari Pendidikan Nasional. Tapi masalah-masalah yang nyangkut pendidikan, alih-alih menyusut, kok malah membludak dan jadi hot news, yah? Dari yang sering banget kedengeran, banyaknya kekerasan murid terhadap guru, guru pada murid, murid pada sesama murid, sampai pelajar yang hamil di luar nikah akibat pacaran yang kebablasan.

Kalo semua masalah itu dijejalin, klop-lah, julukan remaja milenial saat ini: KASIHAN.

Gimana nggak kasihan? Pelajar banyak yang nggak siap belajar karena metode belajar alias kurikulum yang diganti-ganti. Dari mulai KTSP tahun sekian, sampe kurtilas. Padahal belum tentu juga pelajar Indonesia mampu nerima pembelajaran dengan baik menggunakan kurikulum yang katanya sukses di negara luar. Sia-sialah alesan supaya standar pembelajaran setingkat sama taraf pembelajaran internasional, kalo yang belajar malah nggak masuk sama sekali materi yang diajarin.

Belum lagi pesatnya teknologi bikin budaya-budaya luar gampang masuk dan parahnya, meresap di jiwa-jiwa remaja jaman sekarang. Budaya-budaya luar yang nggak sesuai dan seringkali berlawanan sama adat ketimuran dan mayoritas pemeluk muslim, dengan mulusnya ngerusak remaja. Belum selesai membersihkan ‘perbudakan’ bekas jaman penjajahan dulu, eh, udah dijejelin jadi konsumen di era modern.

Hal-hal yang disebut di atas bikin remaja-remaja kurang punya motivasi dan semangat buat ngeraih masa depan yang cemerlang. Berlebihan? Nggak, kok. Faktanya, emang gitu. Karena banyak remaja yang ngerasa nggak bisa lagi ngejar pembelajaran beralih sama hal-hal yang instan dan cenderung jadi konsumen, yang ngonsumsi, bukannya produsen alias yang bikin. Kopi aja jangankan mau ngegiling, nyeduh doang aja males, pengennya yang langsung diminum aja. Duh, balada remaja milenial.

Remaja-remaja milenial bakalan semakin nggak terkontrol dan jatuh kualitas dan semangat ngeraih masa depannya kalo kehidupan dalam masyarakat juga ngga baik adabnya. Secara umum, bisa kita perkirakan, apakah adab atau etika dalam masyarakat baik atau nggak. Ya, jawaban pastinya, nggak.

Buktinya, kita bisa lihat orang-orang pacaran dan berbuat maksiat terang-terangan. Ngerokok depan anak kecil, perempuan, orang tua, nggak peduli orang yang ngehirup rokok bakalan keracunan atau ngga. Cuma dua contoh yang paling sering bisa dilihat, jelas mereka menunjukkan ketidak-beradaban. Belum terhitung contoh-contoh di lingkungan masyarakat yang tidak baik lainnya. Bisa dibayangin kan, gimana nasib remaja milenial di tengah derasnya arus budaya luar (barat) yang merusak, lingkungan masyarakat yang nggak baik adabnya, yang dapat menyebabkan ketidaksiapan belajar, dan menurunnya semangat meraih masa depan. Bahaya!

 

Dear my future life

So, Bro en Sis, remaja zaman now, what will you do in the future? Apa yang mau kalian lakuin di masa depan nanti? Yuk ah, pikirin dari sekarang! Jangan asal terbawa arus lingkungan. Meski orang-orang di sekitar kita menyepelekan belajar, kita jangan ikut-ikutan. Walau orang-orang di sekitar kita banyak yang maksiat dan nggak produktif hasilkan karya kebaikan, ya kita wajib tetap taat dan terus berkarya untuk sebarkan kebaikan. Harus, itu!

Sobat gaulislam, sebagai remaja yang bakalan nentuin gimana Indonesia dan Islam di masa mendatang, kita harus memaksimalkan dan tahu tujuan kita sedari awal. Supaya apa? Supaya di masa depan nanti, kita nggak cuma jadi pengikut yang diseret-seret arus globalisasi. Seharusnya kitalah yang mengendalikan arus dan ngebawa arus itu ke jalan yang lebih baik. Gimana caranya? Cus deh, kita liat tipsnya!

Pertama, tentukan tujuan. Kita udah dikasih kehidupan di dunia oleh Sang Pencipta, diberikan kesempatan untuk menikmati proses berusaha. Dalam kehidupan ini, bakal sia-sia kalo kita cuma jadi bebek yang bisanya ikut-ikutan doang. Itu sebabnya, kita harus tetapkan tujuan kita. Mau jadi apa kita di masa depan nanti? Apakah dokter, fotografer, penulis, ustadz or ustadzah, ulama, penghuni surga?

Kedua, belajar alias nyari ilmu. Yup, yup, setiap tujuan, nggak bisa tiba-tiba cliing…langsung bisa kecapai tujuan itu. No, no. Ada prosesnya. Dan salah satu proses yang harus ditempuh dan pasti akan ditempuh bagi siapapun yang memiliki tujuan adalah: BE-LA-JAR! Nggak cuma yang mau jadi dokter yang harus belajar, yang mau jadi juragan angkot juga harus belajar, loh! Belajar gimana jadi juragan yang adil buat staf-stafnya dan nggak semena-mena dan banyak lagi. Kalo males belajar, minim ilmu, mau se-W-O-W apapun tujuan kita, ke laut aja, deh!

Ketiga, berkarya dan berprestasi sebagai level up. Kalo di game, ada yang namanya level, yang ngasih tahu udah sampe level mana kemampuan avatar-nya. Masalahnya, kalo di kehidupan nyata, nggak ada yang rajin-rajin ingetin sampe di mana level kita. So, supaya kita tahu udah sampe mana level kita, cus lah, mulai berkarya dan dengan karya itu jadikan sebagai prestasi yang bisa dinilai, udah sampe mana, sih, level up kita di dunia. Beneran!

 

Ilmu agama vs ilmu umum

Sobat gaulislam, sudah mantepin hati buat masa depan kalian? Jangan lama-lama, ya, nanti keburu malas atau tergoda setan untuk berleha-leha. Bahaya! Oya, perlu kita ingat nih, bahwa kita adalah seorang muslim. Beragama Islam. Hamba Allah yang beriman. Dunia itu hal yang fana, nggak abadi. Cuma sesaat. Tapi akhirat lah kehidupan abadi kita.

So, jangan terlalu terlena sama hal-hal duniawi. Jangan pula terlalu fokus belajar hal-hal duniawi seperti matemarika dan IPA cuma karena cita-citanya pengen jadi dokter. Seimbangkan ilmu-ilmu dunia dengan ilmu-ilmu yang membawa keberkahan di akhirat juga (ilmu agama). Kalo bisa seimbanginnya lebih condong ke ilmu agama. Harus malah! Kenapa? Karena sebagai seorang muslim or muslimah, kita harus tahu tentang agama kita. Dan hukum mempelajari agama adalah wajib ain (wajib dilakuin masing-masing individu). Sementara ilmu umum kayak matematika or kimia yang katanya UNBK-nya susah banget itu hukumnya fardhu kifayah alias semampunya.

Tapi kalo bro en sis udah level tinggi pengetahuannya, jangan lupa tinggiin juga adab en etikanya, yah! Tunjukkan bahwa meski jadi generasi milenial, tapi jadilah generasi yang berbobot (cerdas bertakwa), bukan generasi sampah. Beneran. Sebab, percuma kalo ilmu yang didapet tinggi, tapi perilakunya nggak mencerminkan seseorang yang berilmu tinggi. Tunjukkin di mata dunia sebagai seorang muslim, yang nggak cuma pengetahuan kita yang tinggi, tapi juga beradab tinggi. Keep fight! [Zadia “willyaaziza” Mardha]