Friday, 6 December 2024, 21:17

gaulislam edisi 550/tahun ke-11 (21 Sya’ban 1439 H/ 7 Mei 2018)

 

 

Pekan kemarin (tepatnya tanggal 2-5 Mei 2018) ada sekitar 5000 pemuda pelajar dikumpulkan di Lapangan PPPON Cibubur, Jakarta. Mereka nggak sekadar ngumpul gitu aja, lho. Iya, mereka mengikuti kegiatan Kemah Pendidikan dan Apel Kebangsaan Pemuda Pelajar Indonesia. Widih, ada makan-makan dong. Hadeuuh, yang diincer makanan melulu kamu mah. Hehehe.. biasanya sih emang begitu, kok. Nggak mungkin lah kalo orang ngumpul sebanyak itu nggak dikasih makan. Hmm.. bener juga. Tapi fokus tulisan ini bukan ke situ, Bro en Sis. Hehehe…

Sobat gaulislam, menurut Deputi Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Asrorun Niam Sholeh, “Kegiatan ini untuk peneguhan komitmen pemuda pelajar Indonesia untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Asrorun Niam menjelaskan kegiatan tersebut dilaksanakan oleh tiga organisasi kepemudaan pelajar, yakni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan Pelajar Islam Indonesia (PII) yang difasilitasi oleh Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora.

Oya, ditegaskan juga oleh Asrorun Niam Sholeh bahwa para pemuda pelajar akan meneguhkan komitmen untuk meningkatkan pendidikan yang berkeadaban, mencegah terjadinya kekerasan dan eksploitasi di dunia pendidikan, menanggulangi bahaya narkoba, terorisme, dan kenakalan remaja, serta ujaran kebencian dan penyebaran hoaks.

Selain Apel Kebangsaan, kegiatan ini diisi juga dengan pendidikan, lomba vlog konten positif, seminar kebangsaan, latihan bela negara, lomba menulis surat kepada presiden, olahraga, serta apresiasi seni dan budaya. (antaranews.com, 2/5/2018)

Oya, Menpora Imam Nahrawi juga ngasih semangat di acara tersebut, “Yang penting lagi, saya berdiri di sini menemani adik-adik semua untuk bersama-sama menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meski kita berbeda-beda, namun kita semua adalah Indonesia. Saya ingin kegiatan yang baik ini bisa kalian sebarkan di media sosial masing-masing. Jadikan kegiatan positif bukti bahwa tidak ada perbedaaan di antara kalian, semua terbingkai dalam Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.” (kemenpora.go.id)

Secara umum sih, dari kegiatan tersebut bagus-bagus aja kok. Hanya perlu ditegaskan aja, sebenarnya mau dibawa ke mana para pemuda pelajar kita ini. Gimana pun juga, pemuda pelajar yang rata-rata usia remaja ini perlu bimbingan dan arahan dengan tujuan dan target yang benar dan jelas. Komitmen dan konsistensi dalam membina mereka juga tentu aja diperlukan. Nggak dibiarkan begitu aja menurut cara mereka sendiri, apalagi diarahkan ke jalan yang sesat. Plus, solusinya wajib menyertakan akidah dan syariat Islam, lho. Tanpa itu, nggak akan bener. Percayalah!

 

Problem umum remaja

Menurut Asrorun Niam Sholeh dalam pemberitaan tersebut, menyoroti tentang pendidikan, mencegah kekerasan di dunia pendidikan, menanggulangi bahaya narkoba, serta ujaran kebencian dan penyebaran hoaks. Ini bagus sebenarnya, walau ada yang kurang, yakni bahaya pergualan bebas dan perzinaan di kalangan pemuda pelajar. Mengapa ini nggak dimasukkan ke dalam agenda tersebut? Atau mungkin sebenarnya ada tapi wartawan lupa nulis di berita tersebut? Ah, nggak tahu sih. Tetapi intinya memang problem remaja ini banyak banget. Mungkin itu sekadar pembatasan pembahasan saja.

Oke, terlepas dari nggak dibahasnya problem pergaulan bebas remaja dan perzinaan–wabilkhusus menyoroti bahaya pacaran karena dari situlah problem pergaulan bebas dan perzinaan dimulai—tapi niat baik untuk menyelesaikan problem pemuda pelajar perlu didukung dan diarahkan. Iya, didukung niatnya. Namun perlu diarahkan agar benar sesuai tujuan sejatinya. Sebab, yang udah-udah cuma dibahas secara umum dalam bingkai kebangsaan tanpa menyertakan Islam sebagai problem solving (pemecah masalah). Padahal, mayoritas negeri ini penduduknya memeluk Islam. Aneh dan kontradiktif kalo Islam nggak dijadikan solusi atas problem kehidupan.

Sobat gaulislam, untuk menyelesaikan problem remaja memang perlu kerjasama semua pihak. Mulai dari keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, pemuka agama, termasuk lembaga negara dan terutama banget pemimpin negara. Beneran lho, ini bukan problem ringan. Berat. Pake banget, malah. Nggak bisa mengandalkan hanya kepada institusi pendidikan semisal sekolah or pesantren. Nggak bisa kementerian terkait (kemendikbud, kemenpora) yang berjuang sendirian. Nggak bisa juga hanya dibebankan kepada para pemuda pelajar agar mereka sadar dan menjadi benar kehidupannya. Ini tugas dan tanggung jawab negara yang harus didukung semua pihak yang kompeten di bidangnya.

Sebagai contoh nih ya, untuk menyelesaikan maraknya peredaran narkoba, nggak cuma di sekolah digembar-gemborkan bahwa narkoba itu berbahaya. Tapi pihak kementerian kesehatan juga turun tangan untuk sosialisasi bahaya narkoba (termasuk merawat mereka yang sudah kecanduan narkoba), kepolisian juga terlibat aktif memburu bandar narkoba dan produsen narkoba, kepala negara bertanggung jawab menerapkan aturan dan sanksi yang tegas dan berat. Pemuka agama juga aktif menyadarkan dan memberikan arahan tentang tujuan hidup. Pokoknya, semua pihak terlibat.

Ah, itu sih udah, Bro en Sis. Nggak kurang-kurang mereka bekerjasama. Iya, sih. Udah bisa dilihat, tapi hasilnya belum jelas terbukti membawa manfaat. Lho, berarti selama ini sibuk kerja apa dan kerja untuk siapa? Hmm.. kamu bisa tahu sendiri deh. Gimana hasilnya sekarang. Tak jua selesai. Kenapa coba? Bisa jadi memang nggak konsisten dan nggak tegas. Sebab, aturan sih sepertinya ada, tapi nggak bisa dipake untuk kondisi tertentu. Tegas dan tajam sih, tapi kepada pihak yang berseberangan dengan pemerintah, dibilangnya sih, pihak oposisi. Tetapi kepada kelompoknya mah nggak diberlakukan.

Kok bisa? Lihat saja dalam kegiatan tersebut yang juga jadi sorotan adalah seputar ujaran kebencian dan penyebaran hoaks. Itu bagus jadi pembahasan. Tapi faktanya, ujaran kebencian yang dimaksud dituduhkan kepada lawan politik pemerintah saat ini. Sementara pelaku ujaran kebencian dari kelompok mereka aman-aman saja. Di media sosial bejibun tuh. Tapi yang ditangkepin yang menurut mereka melawan kepentingan pemerintah. Padahal, pemerintah juga banyak salahnya. Lebih gokil lagi dulu sempat beredar wacana bahwa hoaks yang membangun itu bagus. Widih, alesan aja tuh pemerintah. BTW, sekarang juga lagi rame tuh perang hastag. Kelompok yang pengen ganti presiden dan pengen presiden yang sekarang lanjut jadi presiden lagi tahun depan. Tapi, yang ditangkepin yang pengen ganti presiden. Tuh, nambah lagi ketidakadilan.

Ini juga terjadi pada persoalan remaja, lho. Udah jelas problem remaja yang paling banyak itu di pergaulan bebas, yang bermula dari pacaran. Eh, kok film seputar pacaran macam film “Dilan” malah di-endorse sama presiden dengan puja-puji setinggi langit walau kata-katanya bikin pegel perut karena kita jadi tertawa terus. Emang kayak gimana? Ah, kamu pura-pura nggak tahu aja. Itu lho, yang dengan sudut kamera yang pas sehingga menjadi booming. Nah, itu bocorannya. Lengkapnya silakan cek langsung di youtube deh! Hehehe…

 

Bela negara, bela Islam

Sobat gaulislam, kalo kita punya rumah, tentunya kita juga bakalan merawatnya, memeliharanya, dan nggak bakalan ngebiarin rumah tuh ancur atau isi rumah kita dikuras perampok or maling. Untuk menjaga keamanan penghuninya, bisa aja kita pasang alarm dan menempatkan satpam. Kita bisa lihat tuh rumah-rumah mewah di perumahan-perumahan elit. Penjagaannya ketat banget.

Nah, ibarat rumah tadi, maka negara juga kudu kita jaga. Tugas utama menjaga emang pemerintah, tapi dalam kondisi tertentu perlu juga lho peran dari kita-kita sebagai rakyatnya. Penjagaan ini tentunya dimaksudkan agar negara sebagai pelindung rakyat bisa tetap bertahan dan berdaulat. Nggak boleh ada kelompok atau negara lain yang merongrong kedaulatan negara kita. Dalam pandangan Islam, tuh kelompok atau negara lain dianggap sebagai pengacau dan akan dilawan.

Sekadar contoh aja, kayaknya pemerintah Indonesia adem ayem aja ya? Aceh pernah diacak-acak GAM (Gerakan Aceh Merdeka—meski udah berdamai tapi MoU itu merugikan Indonesia, lho), Papua digerogoti OPM (Organisasi Papua Merdeka), Maluku dirongrong RMS (Republik Maluku Selatan). Seharusnya kaum separatis itu ditumpas.

Oya, kalo soal bela negara, sebenarnya Islam udah mengajarkan lebih, lho. Beneran. Semoga kamu juga masih inget dengan perjuangan kaum Muslimin di negeri ini yang mengusir penjajah Inggris, Portugis, Belanda, dan Jepang. Mereka menggelorakan semangat perang melawan penjajah. Mereka rela berkorban, dong. Korban harta dan bahkan nyawa. Ini semua bisa kita baca di buku-buku sejarah.

Tekanan-tekanan yang begitu kuat dari penjajah, membuat kaum santri berontak. Dalam kondisi seperti ini, menurut Ahmad Mansur Suryanegara (dalam buku Menemukan Sejarah, hlm. 240, dengan mengutip pernyataan Harry J. Benda), fungsi pesantren pun berubah. Lembaga pendidikan ini kemudian berubah menjadi a centre of anti-Deutch sentiment (sebagai pusat pembangkit anti-Belanda). Jadi sangat wajar jika sejarah kemudian mencatat beberapa aksi pemberontakan kaum santri (Santri Insurrection) seperti di Cirebon (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri di Sumatera Barat (1821-1838), dan Perang Aceh (1873-1908). Bahkan Anthony Reid (1969), menyatakan bahwa di Aceh ini Belanda jatuh-bangun melawan santri-santri Aceh. Para ulama tidak pernah absen melancarkan gerilya hingga tahun 1942. Belanda pun kewalahan.

Lebih jauh lagi di masa kekhilafahan Islam masih ada. Ah, jadi inget sama sikap berani Sultan Abdul Hamid II, yang pernah berkomentar dengan tegas, tatkala Theodore Hertzl (penggagas gerakan Zionis Israel) meminta tanah Palestina di tahun 1897,  “Tanah itu bukan milikku, tetapi milik ummatku.”  Mendengar komentar seperti ini karuan saja Hertzl murka. Hebat sekali bukan? Inilah bentuk tanggung jawab penguasa terhadap kedaulatan dan keselamatan negara.

Rasa-rasanya kita perlu belajar juga nih kepada Khalifah al-Mu’tashim yang membela kehormatan seorang wanita yang telah dinodai kehormatannya oleh seorang penguasa Romawi. Nah, karena yang melakukannya adalah pejabat negara Romawi, maka itu sama artinya ingin menginjak-injak kedaulatan dan kehormatan negara Islam.

Suatu ketika seorang muslimah di kota Amuria—terletak antara wilayah Irak dan Syam—berteriak minta tolong karena kehormatannya dinodai oleh seorang pembesar Romawi. Teriakan ini ternyata terdengar oleh Khalifah Mu’tashim, pemimpin umat Islam saat itu. Kontan saja ia mengerahkan tentaranya untuk membalas pelecehan itu. Bukan saja sang pejabat, tapi kerajaan Romawi langsung  digempur. Sedemikian besarnya tentara kaum muslimin hingga diriwayatkan ‘kepala’ pasukan berada di Amuria sedangkan ‘ekornya’ berakhir di Baghdad—bahkan masih banyak tentara yng ingin berperang. Fantastic! Untuk membayar penghinaan tersebut 30.000 tentara musuh tewas dan 30.000 lainnya menjadi pesakitan. Itu wujud perhatian Khalifah (pemimpin kepada rakyatnya) sekaligus demi mempertahankan kedaulatan negara dari musuh-musuh Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam juga pernah mengeluarkan perintah bahwa siapa aja yang memberontak atau membangkang kepada pemerintahan yang sah, maka itu harus diperangi dan boleh membunuhnya. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Arfajah yang berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (Khalifah), kemudian dia hendak memecah-belah kesepakatan kalian atau menceraiberaikan kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”

Itu semua dalam sistem Islam, lho. Bandingin deh ama sistem demokrasi yang memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa atau daerah. Hal itu sering dipakai sebagai alat untuk melakukan gerakan sparatis. Apa yang terjadi di Indonesia dan Irak adalah contoh nyata. Barat mengopinikan kepada dunia bahwa masing-masing bangsa berhak untuk hidup merdeka.

Mereka ikut campur dengan motif-motif politik ataupun ekonomi untuk mengambil untung dari konflik antara suatu daerah atau etnis dengan pemerintahan pusat tersebut. Apalagi Konggres AS siap meratifikasi UU Perlindungan Minoritas yang memberikan kewenangan kepada Angkatan Bersenjata AS untuk mengintervensi negara mana pun yang dianggap melakukan penindasan kepada minoritas. Kini dunia Islam dipecahbelah, dikerat-kerat menjadi lebih dari 50 negara. Menyedihkan dan tragis banget.

Oke deh sobat, semoga ini menjadi tambahan wawasan buat kita semua. Semoga dengan informasi seperti ini, kita jadi lebih kenal dengan Islam dan bangga menjadi Muslim. Bela negara dan tentu saja bela Islam.

Eh, negara yang mana nih? Tentu saja negara yang menerapkan Islam sebagai idelogi. Ya, Khilafah Islamiyah. Kalo sekarang, karena bukan negara Islam, ya kita dakwahkan saja terus agar kaum muslimin di negeri kita ini, termasuk para pemuda dan remajanya sadar bahwa hanya dengan Islam saja kita akan berjaya. Dakwahkan kepada kaum muslimin supaya mau meninggalkan nasionalisme dan aturan lainnya yang memang bukan berasal dari Islam. Semangat pol dan istiqomah dalam perjuangan dakwah Islam.

Kita cinta negeri ini, Indonesia. Itu sebabnya, kita nggak akan membiarkan negeri ini dipimpin oleh orang yang menjadi boneka dari musuh-musuh Islam, dan nggak rela negeri ini diatur dengan sistem kapitalisme-sekularisme, apalagi sosialisme-komunisme. Hanya Islam yang akan menyelesaikan masalah ini, dunia-akhirat. So, kita perjuangkan demi tegaknya Islam sebagai ideologi negara, sebab itu bagian dari bela negara. [O. Solihin | IG @osolihin]