Tuesday, 19 March 2024, 15:38

gaulislam edisi 481/tahun ke-10 (10 Rabiul Akhir 1438 H/ 9 Januari 2017)

 

Berita or cerita bohong alias hoax itu sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Nggak cuma zaman kiwari. Hanya saja, ketika internet (dan khususnya melalui media sosial) menjadi sarana efektif dan efisien untuk penyebaran informasi dan opini, hal itu dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab untuk sebarkan informasi yang tidak saja salah, tetapi masuk kategori bohong.

Hah, sejak lama? Sebagai muslim tentu saja kita wajib percaya dengan al-Quran. Silakan lihat surah al-Hujuraat ayat 6 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Adanya firman Allah Ta’ala ini, berarti menunjukkan bahwa sejak zaman dulu kita sudah diajarkan untuk waspada menerima kabar dari orang fasik, apalagi munafik dan kafir. Jelas itu wajib dicek kebenarannya. Nggak asal telan, nggak asal share. Wajib diteliti dulu. Itu artinya pula, kita jangan ikut-ikutan nyebarin tanpa tahu kebenaran berita atau cerita yang kita dapatkan dari internet atau media sosial dan sejenisnya.

Sobat gaulislam, kenapa sekarang pemerintah seperti merasa darurat hoax ya? Padahal potensi hoax itu sejak mulai ada internet di Indonesia pada awal 90-an dan menjadi booming di tahun 2000-an ketika ada media sosial macam Youtube, Facebook, Twitter, lalu disusul WhatsApp, Telegram, dan lain sebagainya. Oh, mungkin karena sudah tak terkendali lagi, sehinga perlu penertiban. Atau, oh mungkin informasi yang disebar sudah mendekati taraf mengadu-domba antar golongan. Banyak kemungkinannya.

Jujur saja, sebenarnya saya sendiri mengapresiasi niat Kemenkominfo untuk perang melawan hoax dengan mendeklarasikan masyarakat anti-hoax. Tetapi saya tidak setuju jika kemudian digunakan pihak tertentu (termasuk pemerintah) untuk memberikan stigma (pemburukkan citra) bahwa yang melakukan itu adalah kaum muslimin. Bahwa kaum muslimin ada yang melakukan penyebaran hoax, kita akui. Tetapi itu kan tidak semua muslim lakukan hal itu. Malah jika mau dilihat di media sosial, umumnya penyebar hoax adalah mereka yang bukan muslim, atau setidaknya yang muslim tapi fasik, munafik, termasuk yang berpikiran dan berperilaku liberal.

Oya, dalam kamus sebenarnya hoax itu selain cerita atau berita bohong, juga diartikan memperdaya atau olokan (mengolok-olok). Nah, banyak tuh sekarang yang nyebarin kayak gituan. Apalagi menjelang Pilkada DKI bulan depan. Wuih, perang opini (termasuk sebar berita bohong) antar pendukung cagub sudah sangat dahsyat dan mengerikan.

 

Antara hoax dan framing

Sobat gaulislam, kamu perlu tahu istilah ini dan perbedaan di antara keduanya. Hoax jelas cerita atau berita bohong alias nggak ada faktanya. Kalo framing? Framing itu tidak berbohong, tetapi pelakunya mengambil fakta tertentu yang tidak utuh dari keseluruhan fakta yang ada kemudian ditonjolkan untuk memberi kesan tertentu kepada pemirsa atau pembaca. Ini cara media mengemas informasi. Ya, framing memang tidak berbohong, tetapi membelokkan fakta dengan cara penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi, atau gambar, hingga meniadakan informasi yang seharusnya disampaikan. Framing bertujuan untuk membingkai sebuah informasi agar lahir citra, kesan, atau makna tertentu yang diinginkan media. Berarti framing itu untuk menggiring opini pembaca sesuai pesanan si pembuat berita atau pihak tertentu yang mendanai pemberitaan tersebut.

Eh, ada contohnya nggak? Banyak. Tetapi kita akan coba berikan yang cocok sesuai kondisi saat ini. Apa tuh? Ya, berita tentang penulisan “Fitsa Hats” yang jadi bahan olok-olok. Istilah “Fitsa Hats” terdapat dalam berita acara pemeriksaan Novel Chaidir Hasan Bamukmin saat diperiksa polisi sebagai saksi pelapor kasus penodaan agama yang menjerat Ahok. Ini memang fakta. Ada. Tetapi permasalahan utama yang terkait isi berita acara pemeriksaan malah nggak dibahas sama sekali dan masyarakat jadi tidak tahu. Artinya, masyarakat disibukkan dengan urusan tak penting, sementara berita pentingnya tidak diketahui. Nah, ini framing, Bro en Sis.

Framing atau teori lainnya yang digunakan pengelola media massa memang menjadi senjata dalam medan perang opini. Di awal tahun 1980-an Ted Turner membangun CNN (Cable News Networking) sebagai kekuatan besar internasional sebagaimana kekuatan bangsa Amerika Serikat. Jaringan ini benar-benar mengudara secara internasional sehingga Ted Turner mengharamkan penggunaan istilah “luar negeri” di dalam siarannya, tak ada luar negeri bagi CNN.  Edward Said juga menilai, Times telah menjadi institusi yang sangat kuat dan berfungsi sebagai kekuatan yang nyaris sebanding dengan bangsanya sendiri (AS).

Sambutan bos CNN Ted Turner terkesan arogan pada acara pemberian penghargaan tertinggi jurnalisme penyiaran tahun 1989. “Kitalah para news director, orang yang paling berkuasa di dunia, karena kita mempengaruhi publik, kita menemukan definisi news. Kita memilih news yang kita anggap perlu ditonton publik dan kita menyensor sendiri”

Begitu juga pidato Murdoch yang arogan, “teknologi komunikasi tingkat tinggi telah terbukti menjadi ancaman yang jelas bagi rezim-rezim totaliter di manapun jua. Televisi satelit dapat melampui surat kabar-surat kabar dan televisi yang dikelola negara”. Oya, Murdoch ini raja media melalui bendera News Corporation dengan anak perusahaan seperti Fox Network, Star TV, Studio 20th Century Fox, koran The Times, The Sun, televisi kabel Fox News dan Fox Sports.

Eh, kalo kamu pernah nonton film James Bond berjudul “Tomorrow Never Dies” yang dirilis tahun 1997, ada lho tokoh antagonis yang mirip dengan karakter Murdoch. Namanya Carver. Di mata para pengamat didasarkan pada karakter Murdoch dan ambisinya mengendalikan sistem informasi global. “Sekarang informasi menjadi senjata baru” kata Carver, “dan satelit menjadi arteleri yang baru. Julius Caesar memiliki legioner, Napoleon memiliki pasukan, saya memiliki divisi saya sendiri; televisi, surat kabar, majalah dan malam ini (ketika itu Carver yakin akan dapat mengontrol seluruh pasar Cina)…saya akan mejangkau lebih banyak orang dibandingkan yang dapat di jangkau orang-orang lain, kecuali Tuhan sendiri”. Wedew!

Intinya, media massa menjadi pemegang kendali arus informasi dan opini serta kebijakan pemerintah maupun pemilik kepentingan lainnya yang bisa jadi malah memperdaya masyarakat secara umum. Waspadalah!

 

Remaja tanpa hoax

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Bebaskan dirimu dari hoax. Berita bohong nggak ada manfaatnya. Malah rugi yang didapat. Bagi diri kita dan juga orang lain. Itu artinya, kita sama sekali nggak boleh menjadi penyebar hoax dan sejenisnya.

Lalu, apa sikap terbaik kita dalam menerima informasi? Tabayyun alias cek kebenarannya: pengecekan, pemeriksaan, dan penelitian. Kalo dapetin info dari satu sumber, kudu mau mencari sumber lain untuk masalah yang sama. Nah, berat memang. Tetapi itu jauh lebih selamat daripada kamu maen share aja. Intinya sih, tidak mudah percaya dan tidak mudah membagikan informasi yang belum diketahui kebenarannya dan sumbernya. Ok?

Nah, omong-omong tentang sikap kita sebagai muslim dalam menerima berita, sebenarnya ada yang perlu kita ketahui lho selain bahwa kabar itu akurat dan sesuai fakta, yakni keberpihakan. Sederhananya: obyektif tapi sekaligus subyektif. Obyektif itu faktanya. Sementara subyektif adalah keberpihakan kita kepada Islam, karena kita sebagai muslim. Ini harus lho. Bahwa kita benci berita hoax, iya. Tetapi keberpihakan kepada Islam wajib. Ini khususnya berita dan opini yang terkait dengan Islam dan kaum muslimin.

Gimana tuh pelaksanaannya? Begini. Ketika kamu mengetahui bertebaran berita yang memojokkan Islam dan kaum muslimin, cek terlebih dahulu. Harus obyektif. Bila benar ada berita tersebut tapi isinya tak sesuai fakta, maka kita nasihati yang menyebarkan berita itu (lebih bagus lagi nasihat ke yang bikin berita itu). Bagaimana jika benar? Misalnya, ada seorang pejabat muslim yang korupsi dan faktanya memang benar adanya. Tentu saja, kita menjelaskan kepada masyarakat bahwa Islam tidak mengajarkan hal itu. Kesalahan ada pada pelaku korupsi. Keberpihakan kita kepada Islam harus ditunjukkan. Jangan kemudian malah membenci Islam hanya karena ada oknum pejabat muslim yang korupsi. Itu nggak adil. Kamu nggak usah minder. Akui saja sebagai fakta, tetapi keberpihakan kita kepada Islam nggak boleh luntur.

Oke deh, intinya sih nggak usah percaya begitu saja dengan berita hoax. Oya, umumnya (walau tidak selalu) berita hoax itu isinya bombastis dan provokatif, tidak masuk akal, berlebihan, tidak konsisten, tidak mencantumkan sumber valid dan sejenisnya. Capek memang, karena kita jadi kerja keras mencari sumber informasi yang benar. Tetapi bukankah dulu para periwayat hadis juga adalah orang-orang yang gigih mencari kebenaran? Tirulah mereka. Sebagai contoh adalah Imam Bukhari.

Kamu tahu Imam Bukhari? Mestinya tahu, dong ya. Ya, Imam Bukhari dalam meriwayatkan hadits selalu menerapkan metode ilmiah yang sangat detail. Beliau menggunakan standar keshahihan hadits yang sangat tinggi. Dengan metode demikianlah keshahihan hadits-hadits Imam Bukhari dapat dipertanggungjawabkan.

Beliau sama sekali tidak meriwayatkan hadits kecuali ia telah menyeleksi para perawi dan benar-benar yakin akan keshahihan hadits tersebut. Imam Bukhari selalu membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkannya, menyaringnya kemudian memilah mana yang menurutnya paling shahih. Dalam sebuah riwayat Imam Bukhari mengatakan: “Aku susun kitab al-Jâmi‘ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”

Imam Bukhari hafal ratusan ribu hadits lengkap beserta sanad dan pengetahuan para perawinya. Kendati demikian tidak semua hadits yang beliau hafal kemudian ia riwayatkan dan ia masukkan ke dalam kitabnya, melainkan ia menyeleksi dengan sangat ketat sanad dari hadits tersebut, apakah ia bersambung atau tidak. Keadaan para perawi hadits tersebut tidak luput dari pemeriksaannya, apakah ia tsiqah atau tidak. Sehingga ketika ia mendapati seorang perawi yang diragukan kejujurannya, ia pun meninggalkan hadits tersebut untuk tidak ia riwayatkan. Adapun jika perawinya tidak jelas kapabilitasnya atau terlebih lagi jika perawinya jelas akan kebohongannya, maka dengan tidak ragu ia tinggalkan hadits tersebut. Beliau berkata, “Aku tinggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan.”

Imam Bukhari dalam perjalanannya mencari hadits telah bertemu banyak sekali para perawi hadits dan ulama. Dengan teliti ia mencatat keadaan para ulama dan perawi tersebut, untuk nantinya ia jadikan bahan pertimbangan mengenai mereka. Demi mendapatkan sebuah hadits tidak tanggung-tanggung Imam Bukhari berjalan dari satu negara ke negara yang lain, meskipun jarak antara negara-negara tersebut sangatlah jauh. Berharap mendapatkan keterangan tentang sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi, seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz dan lainnya. Beliau mengatakan, “Aku telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali Aku mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.” (sumber tulisan: pcimmesir.com)

Sobat gaulislam, kalo semua kaum muslimin sehebat Imam Bukhari dalam menerima dan menyebarkan kabar (hadits), kayaknya yang bikin hoax nggak bakalan ada deh. Para penyebar hoax bakalan sepi order.

Gimana, siap jadi remaja tanpa hoax? Siap perang melawan hoax? Oya, yang pasti kita kudu siap menyebarkan kebenaran Islam hingga banyak orang tertarik dengan Islam dan mau berjuang menegakkan Islam agar diterapkan sebagai ideologi negara. Itu baru keren! [O. Solihin | Twitter @osolihin]