Tuesday, 19 March 2024, 09:36

gaulislam edisi 472/tahun ke-10 (7 Safar 1438 H/ 7 November 2016)

 

Setelah Aksi Bela Islam 4 November 2016 lalu, cyber war tetap berlanjut. Jika sebelumnya rencana aksi yang dipublikasikan dengan sangat masif melalui jaringan internet (khususnya media sosial) dilawan oleh pihak yang nggak suka—yang juga melalui media sosial, kini cyber war berlanjut. Bahkan sebenarnya ketika hari pelaksanaan Aksi Bela Islam, cyber war juga digelar. Dalam kondisi kayak gini, kita butuh ilmu untuk menilai informasi dan opini antara yang benar dan yang salah. Harus bisa membedakan. Kalo nggak, ya bisa salah paham.

Sobat gaulislam, sebagai remaja kamu juga kudu cerdas dan bijak, lho. Nggak sembarangan nerima dan nyebarin info yang belum jelas. Pun, nggak asal belain satu kelompok dan menihilkan informasi dan opini dari pihak lain. Kita diajarkan untuk menerima informasi dengan cara cek en ricek alias tabayun—apalagi kalo berita disampaikan sama orang fasik (lihat deh panduannya di al-Quran surah al-Hujuraat ayat 6). Supaya apa? Supaya nggak asal setuju atau yang penting menolak. Tapi setuju karena ada alasan, dan menolak juga berdasarkan alasan yang benar dan sesuai fakta. Jangan ngikutin hawa nafsu belaka kayak yang dilakukan orang-orang nggak berilmu, apalagi nggak beriman.

Harus sesuai fakta? Tapi gimana kalo kita nggak tahu faktanya? Ya, tentu saja kamu kudu belajar mencari. Jangan malas dan cuma like and share tanpa ilmu. Bagaimana mencarinya? Jangan kudet, informasi banyak tersebar di internet dan media sosial. Bandingkan informasi yang sudah didapatkan dengan informasi lain yang berbeda dari yang sudah didapatkan. Cek mana yang benar. Kalo masih bingung, jangan langsung share (apalagi setelah diposting ke media sosial, kamu baru bilang: “ini dapat dari grup sebelah, nggak tahu itu benar atau nggak”). Lha, kalo nggak tahu benar apa nggak alias masih ragu kenapa malah di-share? Itu kelihatan–maaf, bodoh dan culun banget.

Kalo kamu termasuk yang suka mencari informasi dan opini di media sosial, mestinya sering dong ketemu dengan mereka yang rajin banget membagikan beragam informasi dan opini. Itu semua bikin kita bingung kalo nggak tahu ilmunya. Beneran lho. Mau percaya tapi belum yakin, mau menolak juga belum pasti salahnya. Nah, daripada bingung nggak karuan menghadapi cyber war ini, mending yuk kita baca sampai abis pembahasan di edisi kali ini. Ok? Sip!

 

Jangan sembrono “like and share

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sembrono atau ceroboh alias gegabah bin kurang hati-hati adalah perbuatan yang membahayakan. Bukan hanya berbahaya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Gimana jadinya kalo ternyata informasi yang kita sebar adalah berita bohong alias hoax. Apa jadinya juga kalo ternyata opini yang kita sebar (karena menganggap menurut hawa nafsu kita itu benar), eh justru opini yang dibangun tak berdasarkan fakta yang benar? Malu, sudah pasti. Dosa, juga sudah tentu. Bikin orang jadi ikutan salah? Jelas. So, pikirkan sebelum bertindak.

Ada baiknya kita membaca penjelasan terkait masalah ini. Saya dapatkan di website eramuslim.com. Singkatnya begini yang tertulis di sana. Imam Nawawi mengatakan, “Sesungguhnya di antara kebiasaan adalah mendengarkan suatu kebenaran dan kebohongan dan apabila seseorang membicarakan setiap yang didengarnya, maka sungguh ia adalah pendusta karena menginformasikan sesuatu yang belum terjadi. Kebohongan adalah menginformasikan tentang sesuatu yang bertentangan dengan yang sebenarnya–dan tidak ada persyaratan di dalamnya harus dengan sengaja.”

Dalam riwayat dari al-Mugirah dari Syu’ah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan durhaka terhadap ibu, mengubur bayi perempuan (hidup-hidup), melarang dari meminta sesuatu yang bukan haknya’ dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai kalian mengatakan ‘katanya, banyak bertanya dan menghambur-hamburkan harta.” (HR Bukhari)

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat al-Muhib ath-Thabari tentang makna dari “tidak menyukai kalian mengatakan,’katanya’.” Bahwa makna hadits ini mengandung tiga hal. Pertama, isyarat akan makruhnya banyak berbicara dikarenakan hal itu membawanya kepada kesalahan. Kedua, maksudnya adalah menceritakan dan mencari-cari omongan-omongan orang untuk kemudian dia informasikan. Seperti seorang yang mengatakan,”Si A telah mengatakan ini dan ada yang mengatakan dia mengatakan itu.” Larangan di sini bisa berupa teguran dari memperbanyak perbuatan itu atau bisa pula untuk sesuatu tertentu darinya, yaitu ketidaksukaan orang yang diceritakannya.

Ketiga, adapun menceritakan perbedaan dalam permasalahan agama, seperti perkataan, ”Si A telah berkata begini, si B telah berkata begitu.” dan yang menjadikannya makruh adalah memperbanyak hal itu. Karena tidaklah aman sesuatu yang terlalu banyak dari suatu kesalahan. Dan ini terhadap orang tertentu yang menginformasikan berita itu tanpa diteliti terlebih dahulu akan tetapi orang itu hanya bersikap taqlid (mengikuti) orang yang didengarnya tanpa adanya kehati-hatian, hal ini dipertegas dengan hadits, “Cukuplah seseorang disebut pembohong apabila menceritakan setiap yang didengarnya.” (HR Muslim)

Sobat gaulislam, dengan demikian diperlukan kehati-hatian dalam menyampaikan berita atau informasi dari setiap yang didengarnya kepada orang lain sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu akan kebenaran dari berita tersebut.

Informasi yang disampaikan sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu akan menjadikan informasi yang disampaikannya itu mengalami penambahan ataupun pengurangan dari apa yang sebenarnya dia dengar dari sumbernya, dan ini termasuk kebohongan karena dia telah menyampaikan sesuatu yang berbeda dari hakikatnya.

Imam Nawawi mengatakan bahwa seyogyanya setiap orang yang sudah sampai usia taklif (terbebani hukum) menjaga lisannya dari semua perkataan kecuali suatu perkataan yang tampak di dalamnya kemaslahatan. Dan kapan saja berbicara sama maslahatnya dengan tidak berbicara maka disunnahkan untuk menahan dari membicarakannya karena hal itu bisa mengarahkan perkataan yang mubah menjadi haram atau makruh dan ini banyak terjadi.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata yang baik atau diam.” (Muttafaq Alaih)

Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini secara tegas menyebutkan seyogyanya seseorang tidak berbicara kecuali apabila perkataannya itu adalah kebaikan, yaitu yang tampak di dalamnya kemaslahatan dan kapan saja dia meragukan adanya kemaslahatan di dalamnya maka hendaklah dia tidak berbicara. (Riyadhus Shalihin hlm. 445)

 

Obyektif sekaligus subyektif

Mc.Luhan, penulis buku Understanding Media: The Extensive of Man, menyebutkan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Ya, dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan media massa adalah realitas yang sudah diseleksi. Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lainnya. Surat kabar pun, melalui proses yang disebut “gatekeeping” lebih banyak menyajikan berbagai berita tentang “darah dan dada” (blood and breast) dari pada tentang contoh dan teladan. Itu sebabnya, kita nggak bisa, atau bahkan nggak sempat untuk mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media. Boleh dibilang, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa.

Itu sebabnya, dalam dunia tulis-menulis–apalagi jurnalistik–seringkali teori nggak sama dengan pratiknya. Dalam menulis berita, apalagi itu adalah media asing yang punya kepentingan menyudutkan Islam, seringkali berita berubah jadi opini. Hampir semua berita yang disajikan sudah diseleksi dulu sebelum tayang untuk pembaca. Seluruh isi berita diedit oleh pihak berwenang sebuah penerbitan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari penerbitan tersebut. Jadi, akhirnya memang nggak ada yang obyektif jika itu berkaitan dengan ideologi tertentu. Oya, kondisi kayak gini, bisa terjadi di media sosial, lho. Waspada ya. Jangan asal percaya aja.

Saya sampaikan di sini, berdasarkan pengalaman juga tentunya, bahwa tidak pernah ada yang namanya media massa yang obyektif dalam pemberitaan. Sebab, jika memang ada, semua pesan yang ada seharusnya menjadi menu berita sebuah media. Nyatanya? Nggak begitu. Semua sudah disaring, sampai-sampai sekadar surat pembaca pun itu akan ditampilkan setelah diseleksi di sana-sini, mungkin ditambahi ini dan itu oleh redaksinya.

Nggak usah bingung. Itu wajar saja kok. Selama saya bekerja di penerbitan Islam, memang selalu harus ada keberpihakan kepada kepada sesuatu, dalam hal ini berpihak kepada kebenaran. Cenderung membela Islam. Kamu kudu tahu, mana mungkin kan kita yang menggembar-gemborkan kampanye antipacaran, tapi tiba-tiba memasukkan tulisan yang justru propaganda pacaran? Itu sebabnya, memang tidak ada media yang obyektif beneran. Tidak satu pun di dunia ini. Semua berjalan sesuai dengan visi dan misi yang telah dibuatnya.

Oke, berangkat dari kenyataan ini, apa yang bisa kita lakukan ketika akan menulis? Di sinilah kamu kudu belajar juga tentang kesadaran politik. Unsur pendukung kesadaran politik itu adalah pandangannya mondial alias mengglobal, dari kelas RT sampe kelas dunia. Kedua, kudu dilakukan dengan zawiyatun khashah alias sudut pandang yang khas. Nah, itu artinya kamu kudu bertindak subjektif dan objektif. Kok bisa? Iya, itu artinya, setiap kamu menyeleksi berita atau akan membuat tulisan, pastikan kamu udah bertindak objektif sekaligus subjektif. Kok? Masih bingung?

Begini penjelasannya. Cara paling mudah untuk melakukan ini adalah saat kamu membaca, menyaring berita, mengumpulkan data dan fakta, pastikan itu objektif. Artinya, memang fakta dan data itu benar adanya. Bukan hasil karangan, tebakan, atau prasangka lainnya dari pikiranmu. Semua data itu kudu didapatkan dengan hasil seobjektif mungkin. Bahkan bila perlu dari sekian banyak sumber. Nah, kalo kebetulan ada perbedaan dalam penyajian fakta itu, pastikan kamu kroscek dengan mengandalkan subjektivitas kamu sebagai seorang muslim. Ya, sudut pandang Islam itu harus dipakai dalam bersikap. Jadi, standar untuk melakukan penilaian itu adalah sudut pandang Islam. Bukan yang lain. Di sinilah mengapa kita harus subjektif. Iya dong, masak kita mau percaya kepada kabar dari selain Islam? Tul nggak?

Bagaimana kalo berita dari kalangan Islam justru khawatirnya malah yang salah? Oke, kita bisa menilai suatu informasi atau data atau fakta itu salah atau benar adalah dari tingkat kenyataan di lapangan dengan membandingkan hasil investigasi dari orang lain untuk masalah yang sama itu. Sebab, meski membela Islam, bukan berarti kita mengabaikan aspek profesionalisme. Nggak lha ya. Kita justru kudu bisa membangun keberpihakan kepada Islam itu dengan cara mengkoordinasikan antara fanatisme, militansi, dan juga profesionalisme. Artinya, kita nggak mudah terkecoh oleh kabar dari pihak-pihak yang menyudutkan Islam, tapi juga terhindar dari taklid buta terhadap informasi yang muncul. Jadi, kudu main cantik memang.

Sobat gaulislam, tugas kita dalam menulis (termasuk dalam menerima) berita tentang Islam dan kaum muslimin, tentunya kita pastikan sumbernya dari kalangan kita sendiri. Boleh juga dari kalangan yang lain, asal benar-benar sudah terbukti kenyataannya. Sekali lagi, ini bukan menafikan peran media asing dalam memberikan informasi kepada kita, tapi kita sekadar bersikap waspada. Jangan sampe kita malah menjadi mesin penghancur bagi Islam itu sendiri.

Nah, inilah yang saya maksud mengapa kita harus pandai dalam menilai suatu informasi atau data. Salah-salah, malah bikin berabe di kemudian hari. Jadi, carilah data sesusai prosedur dalam pencarian data dan informasi sumber berita pada umumnya, tapi sudut pandang penilaian tetep dengan kerangka berpikir Islam. Objektif tapi sekaligus subjektif. Kita males tuh dikibulin terus dengan pemberitaan aneh bin ajaib media asing (termasuk di media sosial) yang nggak suka dengan kebangkitan Islam.

Ketelitian dan keakuratan memahami peristiwa politik, mutlak harus kamu miliki. Kenapa? Sebab, banyak peristiwa politik yang sering dikamuflase alias diputar-balikkan faktanya. Dan kerap menutup-nutupi berita. Misalkan, beberapa orang oknum dari peserta Aksi Bela Islam 4 November 2016 yang menyerang polisi, tapi aneh bin ajaib yang muncul di koran dan di media sosial adalah unjuk rasa berakhir anarkis. Sebaliknya ketika puluhan polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah massa pendemo, yang muncul dalam berita adalah, upaya pembelaan diri polisi karena diserang ribuan massa. Wah, ini kan nggak benar. Maka, akhirnya kamu memang kudu obyektif juga. Begitu, Bro en Sis!

Jadi, mulai sekarang menulislah (termasuk menerima berita) dengan data selengkap-lengkapnya dan seakurat-akuratnya. Tapi ingat, hasil akhir dan arah berita atau opini itu adalah dengan sudut pandang Islam. Kudu ada keberpihakan kepada Islam yang tinggi. Memang harusnya begitu kok. Sudah siap terjun dalam cyber war dalam genggamanmu? Pastikan dulu imanmu diperbarui agar tetap kokoh, ilmumu ditambah, dan akhlakmu dan adabmu diperbagus. Baru deh bisa lebih siap. Semangat! [O. Solihin | Twitter @osolihin]