Saturday, 27 April 2024, 03:25

gaulislam edisi 763/tahun ke-15 (7 Dzulqa’dah 1443 H/ 6 Juni 2022)

Berutang bukan nggak boleh. Silakan saja. Tapi cobalah berpikir ulang sebelum berutang. Apakah hal itu mendesak sehingga nggak ada jalan lain kecuali berutang? Apakah jika harus berutang, ada kepastian untuk bisa membayarnya sesuai dengan perjanjian atau nggak? Jangan sampe deh berutang tapi cuma enak pakenya aja, giliran bayar susahnya minta ampun. Ngutangnya melas, bayarnya males. Berabe, kan?

Sudah jamak kita saksikan, orang yang berutang ternyata sulit ketika diminta mengembalikan utangnya. Banyak faktor yang membuatnya demikian. Beberapa di antaranya: ia tidak punya niat kuat untuk membayar utangnya (ini gawat, harus diubah cara pandangnya); ia memang benar-benar belum bisa membayarnya karena uangnya masih diinvestasikan (selidiki terlebih dahulu, apa jenis usaha yang ditanamkan investasinya, jangan-jangan usaha yang nggak produktif); uangnya sudah ada, tapi dia harus menggunakannya untuk keperluan mendesak yang harus segera dibereskan (perlu dilakukan investigasi: bener nggak seperti itu? Jika benar ya kita harus atur kembali jadwal pembayarannya). Setidaknya beberapa kondisi tersebut kerap terjadi di antara para pengutang. Dan, nggak menutup kemungkinan ada kondisi lainnya, yang intinya “sulit membayar utang”.

Sobat gaulislam, cobalah kita melihat fakta. Ada banyak penunggak utang malah merugikan yang mengutangi. Contohnya para konglomerat yang punya perusahaan raksasa, omzet bisnisnya miliaran rupiah. Tentu saja, modalnya dari pinjaman bank. Jelas mereka berutang statusnya, tuh. Tapi, nggak sedikit kan yang akhirnya gagal melunasi kewajibannya bayar utang? Bukan semata karena mereka bisnisnya bangkrut, tetapi lebih karena ekonomi biaya tinggi, salah satunya korupsi. Selain itu, juga karena bank memang menerapkan sistem riba, sehingga kreditor dicekik hampir mati. Termasuk utang luar negeri Indonesia yang jumlahnya udah ribuan triliun itu. Tak tahu akan bisa terbayar kapan, karena utang berikut bunganya akan terus menjerat sampai sekarat. Jangan-jangan nanti ‘judulnya’: Indonesia for Sale! Gawat.

Itu sebabnya, slogan “jangan mudah berutang” sangat tepat. Utang itu, manis di awal tapi pahit belakangan. Jangan pula kita tergiur iming-iming janji manis pemberi utang yang menerapkan sistem riba, karena bisa-bisa kita kehilangan segalanya akibat tak mampu membayar utang plus bunganya. Itu namanya diporotin ampe cuma kolor doang yang tersisa. Bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Rugi dunia-akhirat pula. Di dunia sengsara, di akhirat menanti hukuman bagi para pemakan riba. Sekali-kali coba nonton serial dokumenter “Dirty Money” di Netflix, terutama episode Payday. Eh, nggak usah jauh-jauh, beberapa waktu belakangan kan rame juga orang yang tersiksa dengan tagihan ribawi dari perusahaan pinjol alias pinjaman online. Waspadalah!

Bro en Sis, kita nggak akan membahas masalah utang para konglomerat dan utang negara, karena itu lebih disebabkan kerusakan sistemik, yakni bobroknya sistem kapitalisme. Tapi, kita bicara yang sederhana aja, ya. Hal-hal yang dekat dengan kehidupan kita. Bahwa kita meminjam uang ke saudara kita yang lain, tentu wajib membayarnya, dong. Meski nilai pinjamannya tak seberapa. Sebab, itu adalah utang.

So, 1 rupiah pun jika itu utang, wajib dibayar. Agar hubungan di antara kita yang berutang dan mengutangi tetap terjalin dengan baik. Mereka yang memberi utang sudah bekerjasama baik dengan kita, maka kita harus melakukan kerjasama yang baik juga untuk melunasi utang sesuai kesepakatan. Sebisa mungkin harus diusahakan dilunasi. Sebagai wujud komitmen kita dalam berakad. Iya nggak sih?

Jadi, pikirkan beberapa kali sebelum memutuskan untuk berutang. Berutang memang cara termudah dan solusi saat kepepet. Meskipun, tidak bisa begitu aja kita dapatkan dengan mudah uang utang. Hal itu disebabkan beberapa hal: pertama, bisa karena orang yang akan kita mintai bantuannya tidak bisa. Kedua, mungkin juga jumlah uang yang ingin kita pinjam terlalu besar bagi ukuran teman yang akan kita mintai bantuannya. Ketiga, sangat boleh jadi karena track record alias rekam jejak kita sangat buruk dalam hal sulitnya membayar utang, sehingga banyak orang tidak mau memberi pinjaman kepada kita. Hmm…. masih belum aman juga teryata.

Sebenarnya di negeri ini, kita juga terbiasa dimanjakan dengan utang, lho. Bayar listrik, telepon, internet, gas, air, dan sejenisnya. Itu semua dibayar setelah kita pakai, kan? Jadi hampir semua penduduk negeri ini adalah para pengutang. Pembelian barang, bisa juga diutangkan. Jangankan yang jumlahnya puluhan atau ratusan juta, sering juga yang harganya semangkuk bakso pun dibeli dengan cara utang (ini sih di film Adit Sopo Jarwo, ya?). Ya, mungkin ini soal sikap mental akibat belum bisa mengatur dan membedakan antara kebutuhan dengan keinginan.

‘Penyakit’ lainnya tentang utang adalah sangat gampang orang mengutang untuk sesuatu yang belum menjadi kebutuhan mendesak. Jika mengutang untuk beli beras, beli makanan pokok untuk kebutuhan rumah tangga, masih mendinglah. Karena itu bisa masuk dalam kategori kebutuhan mendesak. Tapi yang perlu dicurigai dan diwaspadai serta dipertanyakan adalah orang mau nekat berutang tapi untuk membeli mobil, membeli rumah, membeli segala keperluan konsumtif lainnya.  Padahal, sebenarnya dia belum perlu banget. Eh, celakanya lagi, banyak di antara mereka yang sebenarnya tak bisa membayarnya dengan benar. Itu namanya: ngutangnya semangat, bayarnya melempem. Tak baik punya sikap mental seperti itu. Inilah yang kemudian menjadi tepat bahwa utang itu manis tapi pahit. Manis ketika mendapatkan utang, tapi pahit ketika hendak melunasi. Dalam ungkapan lain, “orang yang mengutang ibarat mendapat harta karun. Namun ketika tiba waktunya untuk membayar, ia seperti orang yang kehilangan uang”

Pikirkan sebelum berutang

Sobat gaulislam, ada baiknya kita berpikir berkali-kali sebelum berutang. Sebab, cukup banyak keterangan dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang belum bisa membayar utang atau tidak mau membayar utang, jika dia meninggal akan merugikan dirinya sendiri. Meskipun dia meninggal sebagai syahid di medan jihad, tapi dia punya utang dan belum dilunasinya, maka dia tertahan untuk masuk surga sampai utangnya ada yang melunasinya.

Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, ‘wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu seandainya aku terbunuh di jalan Allah dengan penuh kesabaran dan mengharapkan pahala kepada Allah, selalu berada di depan dan tidak lari dari pertempuran, apakah Allah akan mengampuni dosa-dosaku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya.’ Ketika lelaki itu berpaling, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya atau menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang kamu katakan tadi?’Lelaki itu mengulangi perkataannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ya, kecuali utang. Begitulah yang dikatakan Jibril alaihi sallam kepadaku.” (Shahih an-Nasaai, no. 2958, jilid 2, hlm. 663)

Muhammad bin Jahsyi radhiallahu ‘anhu berkata, “Ketika kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau menghadapkan pandangannya ke langit, kemudian beliau meletakkan telapak tangannya di atas keningnya. Kemudian bersabda, ‘Subhanallah, bencana apa lagi yang turun?”

Keesokan harinya, aku bertanya, “Bencana apakah yang telah turun?” Kemudian beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada seorang yang terbunuh di jalan Allah, kemudian ia dihidupkan lagi, kemudian ia terbunuh, kemudian ia dihidupkan lagi, kemudian ia terbunuh, sedang ia masih mempunyai utang. Maka, ia tidak akan masuk surga, sehingga utangnya dilunasi.” (HR an-Nasai)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jiwa seorang mukmin itu terikat oleh utangnya, sampai utangnya dilunasi.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Imam ash-Shan’ani berkata, “Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang mayit yang terlilit oleh utangnya, selain itu juga mengandung anjuran agar seseorang melunasi utang sebelum kematiannya. Karena, utang menjadi salah satu hak yang paling wajib untuk dipenuhi. Jika utang yang dimaksud di sini adalah utang didapatkan dengan keridhaan dari pemilik/peminjamnya, lalu bagaimana dengan harta yang didapatkan dengan mengambil tanpa izin, merampas, atau merampok?” (Subuulus Salaam, jilid 2, hlm. 188) (backsound: ayo, segera bertobat wahai para koruptor!)

Abdullah bin ‘Amru meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala dosa orang yang mati syahid akan diampuni, kecuali utang.” (HR Muslim)

 Utang juga membuat pelakunya cemas di malam hari dan kehinaan di siang hari. Nggak tenang gitu, lho. Ya, namanya juga utang. Dia harus berusaha membayarnya. Malam hari nggak tenang karena memikirkan gimana cara bayarnya. Siang hari merasa hina dan minder ketika bertemu dengan orang yang mengutanginya. Meski mungkin saja yang mengutangi nggak nagih. Tetapi dia merasa tahu diri kalo utangnya belum juga ia lunasi. Dalam sebuah atsar disampaikan, “Utang adalah kecemasan di malam hari, dan kehinaan pada siangnya.”

Imam al-Qurthubiy berkata, “Para ulama berpendapat bahwa aib dan kehinaan di situ diakibatkan sibuknya hati dan pikiran serta perasaan cemas yang senantiasa menggelayutinya karena ingin melunasi utangnya. Ada perasaan minder ketika bertemu dengan orang yang mengutangi. Dan, merasa amat menderita karena telah menunda pelunasan utangnya sampai melebihi batas yang ditentukan” (Masaail fil Mudayanah Hatta la tughriqud duyuun, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 72, terj.)

Kalo ngelihat faktanya kayak gini, berutang ternyata memang bikin sengsara. Perasaan dan pikiran disibukkan dengan segala hal yang berkaitan dengan utang: bagaimana cara melunasinya; bagaimana jika belum lunas sampai batas waktu yang udah ditentukan; apa yang akan dilakukan kalo orang yang ngutangi minta duitnya dikembalikan segera karena dia juga butuh duit itu, dan kita belum ada buat bayar; dan perasaan lainnya.

Wah, ini memang problem. Itu sebabnya, sebisa mungkin jangan gampang untuk berutang, kecuali akan sanggup melunasinya. Atau memang sangat kepepet karena ada keperluan atau kebutuhan yang mendesak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sudah memberikan gambaran, bagaimana menderitanya orang yang berutang. Kita, jangan sampe menjadi orang yang menderita bin sengsara gara-gara punya utang yang banyak.

Jadi, jangan tergoda untuk berutang dan jangan membiasakan berutang. Pikirkan sebelum segalanya terlambat dan jadi sengsara di dunia dan di akhirat karena terlilit utang (apalagi ditambah ribanya). Ngeri!  [O. Solihin | IG @osolihin]