Tuesday, 19 March 2024, 17:55

gaulislam edisi 772/tahun ke-15 (10 Muharram 1444 H/ 8 Agustus 2022)

Sebenarnya nggak sampe hati nulis tema ini. Namun gimana lagi, perlu juga disampaikan hal-hal pahit kayak gini. Setidaknya, kita ingin memberikan kesadaran, bahwa masyarakat, khususnya teman-teman remaja kudu peka dan peduli juga soal ini. Perundungan alias bullying ini kerap terjadi, lho. Sering dibahas, diobrolkan di mana-mana, termasuk di buletin kesayangan kamu ini pernah bahas juga soal bullying ini. Kamu bisa cari deh edisinya di website kami. Sekadar bocoran, biar kamu gampang nyarinya, kalo nggak salah tahun 2014 (edisi 365) dan 2017 (edisi 510). Silakan langsung search, ya.

Kenapa sekarang dibahas lagi? Sekadar menegaskan bahwa bullying masih ada, dan tentu kudu diselesaikan. Minimal sekali kita protes karena nggak suka dengan perbuatan tersebut. Itu sebabnya, ditulis lagi di sini. Berharap banyak pihak sadar. Ini nggak bisa mengandalkan satu pihak saja, tetapi mestinya kerja bersama banyak pihak: remaja, orang tua, masyarakat, guru, institusi sekolah, ustaz, ulama, cendekiawan, termasuk tentunya peran negara. Sama-sama kerja dan bekerjasama.

Masih inget kan bulan kemarin (Juli) kasus perundungan (bullying) di Tasikmalaya? Ya, seorang bocah lelaki usia 11 tahun di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat meninggal dunia setelah mengalami depresi akibat perundungan oleh teman-temannya.

Menurut informasi di media massa, bocah itu diketahui dipaksa bersetubuh dengan kucing sambil direkam menggunakan ponsel. Video perundungan itu pun tersebar ke media sosial. Bocah tersebut sempat depresi hingga meninggal dunia saat menjalani perawatan di rumah sakit. Ini ngeri banget. Kok bisa-bisanya kepikiran melakukan perbuatan konyol dan amoral begitu? Dari mana mereka mendapatkan inspirasinya?

 Mirisnya lagi, di kasus lainnya ada siswa SMP tewas dikeroyok teman sekelas, jasadnya dibuang ke sungai. Udah lama sih kejadiannya (Januari 2022), tetapi baru ketahuan pelakunya 7 bulan kemudian (yakni bulan Agustus ini). Penyebabnya, korban melaporkan ke guru konseling bahwa dia menerima perundungan oleh pelaku yang menyebutnya “banci”. Pelaku ditegur guru konseling. Tak terima, dia mengajak lima kawannya untuk menjemput korban dan mengeroyoknya higga tewas. Jasadnya dibuang ke sungai.

Ini baru dua contoh kasus, lho. Masih banyak lainnya. Namun, sudahlah. Membeberkan fakta-fakta itu bikin miris, sih. Kok bisa setega itu, ya? Itu kan kawan sendiri. Teman satu sekolah. Teman main. Mengapa bisa kejam? Tak ada kasih sayang sesama teman. Mengerikan.

Salah siapa?

Sobat gaulislam, bingung juga mau menuding siapa. Sebab, banyak pihak bisa saja lalai dan salah. Problemnya bertumpuk-tumpuk. Namun, coba kita urai satu per satu, sekalian merunut aja, ya. Paling memungkinkan pihak yang mana, atau bisa saja semua pihak turut andil dalam masalah ini.

Kalo dari sisi remaja. Memang ada salahnya juga. Apa salahnya? Ya, itu tadi. Mereka tega melakukan perundungan (bullying) kepada teman sekelasnya. Teman mainnya. Murni karena kebodohannya? Atau ada yang mencontohkan? Siapa contohnya kalo ada? Kalo nggak ada, terinspirasi dari mana? Tayangan media sosial? Pemberitaan media massa? Atau dari mana? Gimana juga peran orang tua anak-anak yang jadi pelaku bullying dan korban bullying? Apakah ortu mereka mengawasi pergaulan anak-anaknya? Apakah sudah mendidiknya? Mengapa bisa lolos dari pengawasan sehingga anaknya jadi korban bullying dan ada yang jadi pelaku kejahatan bullying? Pihak sekolah bagaimana? Masyarakat sekitar seperti apa kepeduliannya? Tayangan di media massa atau di medis sosial yang seperti apa yang merusak cara berpikir pelaku bullying? Mana tanggung jawab negara? Duh, seabreg pertanyaan bisa saja dihamburkan. Namun, siapa yang mau jawab? Siapa yang bersedia bertanggung jawab?

Adakalanya di rumah anak-anak terlihat baik, tetapi begitu bergaul dengan kawan-kawannya di luar, ada yang jadi beringas, makin liar, tak terkendali. Mungkin mereka melihat tayangan di media sosial, kanal youtube kan belum tentu ada yang mau peduli untuk memfilter. Apa saja hadir melintas di beranda saat mereka menyaksikan sebuah tayangan video. Konten kreator juga ada yang cuma ngejar viral, tetapi isinya ngasal. Sekadar hiburan, sehingga isinya yang jelek atau tak beradab pun dipublikasikan. Tanpa sensor. Bisa saja isinya kekerasan verbal, makian dan cacian. Ada juga tayangan kekerasan fisik. Ngeri banget. Apalagi yang nonton anak kecil atau remaja baru baligh yang akalnya belum sempurna (ditambah minim didikan agama), ya mau gimana lagi. Kemungkinan error sangat tinggi.

Mendidik anak di zaman sekarang emang berat. Tantangannya banyak. Apalagi smartphone harganya murah, dan banyak keluarga bisa membelinya. Bisa mendapatkan apa saja dari benda pipih itu, dan semua ‘tersihir’. Bisa jadi orang tua yang punya anak kecil juga tak peduli. Masing-masing punya smartphone, lalu asyik fokus menatap layar ponsel. Geser-geser klik, scroll klik dan seterusnya. Nggak ada waktu untuk mengecek anak-anaknya yang dibekali smartphone, apakah yang ditonton aman atau berbahaya. Duh, ngeri banget.

Sulit merunut siapa yang paling bisa disalahkan. Sebab, ini udah menyangkut banyak pihak. Namun, jika mau berpikir sejenak dan merenung, setidaknya ada tiga pilar penegakkan sebuah hukum yang utama. Pertama, takwa individu. Kedua, kontrol masyarakat. Ketiga, penerapan aturan dan sanksi oleh negara.

Ketiga hal ini kalo mau dirunut bisa kita teliti. Kesalahan utama ada di mana, bahkan bisa jadi ketiga-tiganya salah. Beneran lho. Takwa individu itu erat kaitannya dengan ilmu yang dimiliki setiap individu agar dengan ilmunya tersebut mengantarkannya untuk mengokohkan keimanan dan ketakwaannya serta beramal shalih. Bisa dimulai dari pendidikan dan pengawasan di keluarga, bisa dilanjut di sekolah atau pesantren. Jika banyak individu yang takwa, maka pengaruh buruk dari luar tidak lantas mudah merusak individu tersebut.

Seandainya takwa individu banyak yang minim, kurang kuat, setidaknya masih ada penjagaan alias kontrol dari masyarakat. Cuma, jika takwa individu blong, kontrol masyarakat juga nggak jalan, ya nggak bisa nahan. Jebol juga pada akhirnya.

Harapannya ada pada penerapan aturan dan sanksi oleh negara. Nah, pertanyaannya, apakah penerapan aturan dan sanksi oleh negara saat ini sudah menjamin mencegah atau menuntaskan berbagai persoalan, khususnya yang terkait bullying? Nggak juga, kan? Buktinya, terus berulang dan terus memakan korban. Menyedihkan.

Kalo mau dibuat pahit, ya salah semua pihak: individu, masyarakat, dan juga negara. Tugas semua pihak menyadari kesalahan ini dan memperbaikinya bersama. Perlu kerjasama dan tujuan yang sama, yakni upaya perbaikan kepribadian generasi ini.

Hormati dan jaga

Sobat gaulislam, kehormatan diri dan kehidupan manusia itu harus dijaga. Dihargai. Itu sebabnya, dalam Islam, nggak boleh menghina orang. Nggak boleh berkata kasar, memaki orang, mengejek, dan mencela. Dilarang. Apalagi kalo sampe melukai dan membunuh. Jelas berdosa dan lebih berat sanksinya.

Allah Ta’ala berfirman (yang atinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.” (QS al-Hujurat [49]: 11)

Ayat ini, bagi kita kaum muslimin, udah jelas, kok. Ada larangan untuk menghina dan mengejek. Bullying atau perundungan juga ada yang sifatnya kata-kata. Orang yang dihina dan diejek jadi merasa minder, lalu kena mental berujung depresi bahkan ada yang bunuh diri. Hati-hati.

Dari Abdullah bin ‘Amru. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Seorang muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR Bukhari)

Dari Abu Musa berkata, “Wahai Rasulullah, Islam manakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab, “Siapa yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR Bukhari)

Itu sebabnya, mestinya takut ya dengan peringatan dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melalui al-Quran dan hadits. Jangan malah nantangin. Berbuat baiklah dengan kawan sekelas, kawan sepermainan, kawan satu sekolah, sahabat satu pondok dan lain sebagainya. Jangan malah saling membenci, saling menghina, saling mengejek. Aduh, itu bukan perilaku seorang muslim. Ngeri banget kalo ada yang mem-bully lalu membunuh. Udah dobel tuh dosanya. Dosa besar.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS al-Maidah [5]: 32)

Dari Ibnu Mas‘ud Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Mencaci maki orang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Muttafaqun ‘alaih)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Yuk, sadar diri dan sadarkan teman-teman yang lainnya. Agar mereka kenal Islam, tahu ajarannya, dan cinta kepada sesama muslim. Ini bisa jadi karena dakwah kita belum sampe ke mereka. Bisa juga dakwah kita sudah sampe ke mereka tersebab kemudahan sarana komunikasi dan informasi saat ini, tetapi hal buruk lebih memikat mereka. Ini tantangannya.

Maka, tetaplah istiqomah dalam kebenaran Islam, tetap semangat menyebarkan kebaikan Islam, dan terus gelorakan perjuangan dakwah agar banyak kaum muslimin, khususnya kawan-kawan remaja yang akhirnya banyak sadar dan hijrah ke jalan yang benar bersama Islam. Ini tugas kita semua. Jangan sampe ada lagi yang di-bully, lalu mati. Naudzubillah min dzalik. Yuk, kita niatkan untuk menyelamatkan kehidupan kaum muslimin dan sesama manusia pada umumnya. Bismillah, ya. [O. Solihin | IG @osolihin]