Thursday, 25 April 2024, 14:14

gaulislam edisi 771/tahun ke-15 (3 Muharram 1444 H/ 1 Agustus 2022)

Ini sebenarnya pertanyaan untuk diri kita, jika ditanya sama orang lain tentang tujuan hidup. Punya jawabannya? Tentu saja. Namun, semua itu tergantung sudut pandang dan kemampuan berpikir setiap orang yang ditanya. Bisa berbeda-beda. Bisa jadi jawabannya ada yang punya tujuan hidupnya sekadar melampiaskan hawa nafsu. Sekadar untuk memenuhi keinginan makan, minum, dan mengumbar syahwatnya. Ada yang lebih mementingkan eksistensi diri, ingin dikenal banyak orang, ingin mendapatkan perhatian. Bisa jadi pula ingin mengejar tahta dan harta sekaligus. Biasanya akan dijabanin aja sih selama bisa mendatangkan cuan dan kebahagiaan diri. Banyak pula yang mengejar kebahagiaan hakiki dengan cara mendekatkan diri kepada penciptanya dan berbuat baik kepada sesama.

Meski terlihat banyak tujuan hidup, tetapi jika disederhanankan hanya ada dua, yakni tujuan dunia dan tujuan akhirat. Maka, apa yang dicari orang di dunia ini, jawabannya ada yang fokus mengejar dunia sampai melupakan akhirat, ada yang dunia dan akhirat dikejar sekaligus, ada pula yang fokus hanya pada tujuan akhirat dan melupakan dunia. Mana di antara ketiga hal itu yang benar? Mari kita runut terlebih dahulu sebelum memberikan jawaban langsung. Ya, kamu perlu membaca penjelasan ini secara pelan-pelan agar bisa dipahami dengan benar dan baik.

Sekarang coba kita tanya pada diri sendiri, siapa diri kita sebenarnya. Ada yang bisa menjawab? Ya, kita ini hamba Allah Ta’ala. Nggak asal ada di dunia ini. Bukan muncul begitu saja. Ada proses kehadiran kita di dunia ini. Mengapa bisa jumlahnya banyak dan terus berkembang biak (sekaligus ada yang selesai urusannya di dunia tempat berpijak ini alias meninggalkan dunia alias wafat), bisa bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, berbeda bahasa, berbeda agama, dan lain sebagainya. Itu sebabnya, dalam pencarian tujuan hidup sangat terpengaruh oleh kondisi-kondisi tersebut.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13)

Poin pentingnya ada di bagian akhir, khususnya tentang “takwa”. Ya, orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang paling bertakwa di antara manusia lainnya. Takwa kepada Allah Ta’ala, pastinya dong. Itu sebabnya, orang yang bertakwa dengan yang nggak bertakwa jelas beda kelas. Jangankan dengan yang nggak bertakwa, di antara yang bertakwa pun ada kelasnya, lho. Ada yang takwanya top, pertengahan, dan lemah. Beda-beda pula cara pandangnya, beda pula cara hidupnya. Jadi pada akhirnya sedikit berbeda pula cara meraih tujuannya.

Dunia fana, akhirat selamanya

Sobat gaulislam, banyak orang yang semangatnya menyala-nyala saat mengejar dunia, tetapi mendadak padam saat diminta mengejar akhirat. Why? Entahlah. Namun, bisa terjadi karena lemah iman dan takwa. Kata Imam Ibnu Jauzi, “Giliran mencari dunia, badan Anda sehat-sehat. Giliran mencari akhirat, tiba-tiba Anda sakit.”

Pada lain kesempatan, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah juga berkata, “Termasuk perkara mengherankan yang aku saksikan pada diriku dan pada manusia seluruhnya adalah kecenderungan diri untuk lalai dari (akhirat) yang ada di hadapan kita. Padahal, telah diketahui bahwa umur ini sangatlah pendek, sementara bertambahnya pahala di akhirat sana adalah sekadar amalan hamba di dunia ini.” (dalam Shaidul Khatir, hlm. 332)

Benar bahwa dunia itu fana. Ini banyak yang tahu, lho. Kamu juga kalo ada yang tanya soal itu bisa jawab. Anehnya, meski udah tahu kalo dunia itu fana, tetapi banyak di antara kita yang tetap terpesona dan mencari kebahagiaan untuknya. Berharap bahwa banyak harta, banyak anak, banyak kekayaan, memiliki jabatan dan kekuasaan, dan hal duniawi lainnya bisa memberikan kebahagiaan selamanya. Padahal tidak. Ini sih lebih karena terpukau jadi lupa diri. Tahu, tetapi jadi lupa diri. Waspadalah.

Akhirat selamanya alias kekal juga kayaknya udah pada tahu bin sadar. Iya. Sudah sering dijejali dengan ceramah dan informasi seputar itu. Yakin akhirat itu abadi, tetapi ajaibnya banyak pula yang memandang dengan sebelah mata. Shalat diulur-ulur alias ditunda-tunda waktunya karena lebih mementingkan urusan dunia. Berat memang, apalagi kalo ada pekerjaan yang belum selesai tetapi keburu azan waktu shalat fardhu. Galau, antara melanjutkan kerjaan dan itu berarti cuan, dengan shalat yang jelas kewajiban. Bagi yang imannya kuat, jelas bakalan ngincer pahala shalat berjamaah di masjid dengan bergegas menuju masjid. Kalo nggak kuat, ya nerusin kerjaan dah. Dunia lagi yang dipikirkan. Astaghfirullah.

Tuh, kalo ngejar dunia kebangetan bisa bikin hati nggak tenang bin gelisah, Bro en Sis. Beneran. Al Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Kegelisahan, keresahan, dan kesedihan datang dari dua hal: Pertama, menginginkan dan berambisi terhadap dunia. Kedua, kurangnya melakukan amal kebaikan dan ketaatan.” (dalam ‘Uddatus Shabirin, hlm. 258)

Kayaknya kita perlu juga lho dapetin nasihat dari ulama tentang dunia. Dunia boleh saja dikejar untuk diraih, tetapi seperlunya saja. Dan, yang terpenting jangan melupakan akhirat. Lalu bagaimana caranya?

Nih, ada nasihat dari Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah yang berkata, “Barang siapa mengenal Rabb-nya maka ia akan mencintai-Nya. Dan barang siapa mengetahui (hakikat) dunia, maka ia akan zuhud terhadapnya.” (dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 314)

Ada lagi nggak? Haus nasihat nih. Sebab, tahu dunia itu fana tetapi hobi mengejarnya hingga lupa akhirat. Tahu juga akhirat itu abadi, tetapi sering nggak semangat untuk meraihnya. Duh, malu!

Indahnya nasihat dari Salamah bin Dinar rahimahullah, beliau berkata, “Ada dua perkara yang jika engkau lakukan, engkau akan meraih kebaikan dunia dan akhirat: Engkau melakukan sesuatu yang tidak engkau sukai jika Allah mencintainya, dan Engkau meninggalkan sesuatu yang engkau sukai jika Allah membencinya.” (dalam al-Ma’rifah wat Tarikh, jilid 1, hlm. 381)

Main game suka banget, kan? Ngaku aja dah, masa remaja emang lagi senang-senangnya main dan cari hiburan. Namun, apakah itu disukai Allah Ta’ala? Saya jadi ingat saat membahas kajian di Kitab Ta’limul Muta’allim, bab tentang giat, rajin, dan semangat. Nah, dalam bab tersebut mengutip hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh, Allah Ta’ala menyukai perkara-perkara yang luhur (mulia) dan membenci perkara-perkara yang hina”. Hadits ini ada penjelasannya dalam al-Jami’ ash-Shagir karya Imam as-Suyuthi.

Pembahasan ini memang terkait motivasi bagi para penuntut ilmu agar memiliki kesungguhan dan cita-cita tinggi dalam meraih ilmu. Anjuran sering bangun malam hari dan mengurangi makan. Sebab, mencari ilmu juga harus punya tujuan, yakni untuk menggapai keridhaan Allah Ta’ala, yang kebaikannya bisa kita dapatkan untuk dunia dan sekaligus akhirat.

Fokus pada tujuan utama

Sobat gaulislam, tujuan mulia seorang muslim adalah meraih surga. Berharap rahmat dan ampunan Allah Ta’ala agar bisa meraih surga tersebut. Itu sebabnya, tetaplah dalam ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan segala perintah-Nya, dan juga meninggalkan larangan-Nya. Sebab, ketaatan yang akan menghantarkan kepada rahmat Allah Ta’ala. Maka, amal shalih yang kita kerjakan karena ikhlas semata mengharap keridhaan Allah akan bisa menembus rahmat dan ampunan Allah Ta’ala. Maka, berhati-hatilah dalam perjalanan di dunia ini. Jangan sampai salah jalan.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menuturkan, “Sejak manusia dilahirkan, mereka akan memulai perjalanannya. Perjalanan ini tidak ada ujungnya melainkan kepada surga atau neraka. Orang yang memahami hal ini pasti menyadari bahwa safar adalah sesuatu yang penuh kesulitan dan menghadapi paparan risiko berbahaya.” (dalam al-Fawaid, hlm. 165)

Surga yang ingin kita raih. Maka, luruskan niat dan maksimalkan ikhtiar. Jangan setengah hati. Kita berlomba dengan waktu yang terus berjalan dan datangnya ajal (yang dirahasiakan). Itu sebabnya, tetaplah dalam keimanan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Jangan lengah. Duh, saya juga beban jadinya nih. Khawatir cuma bisa nyuruh-nyuruh lewat tulisan, tetapi saya malah lalai. Naudzubillahi min dzaik. Kita saling mendoakan untuk kebaikan kita semua. Agar bisa bersabar atas segala ujian dan cobaan di dunia ini. Sebab, fokus kita adalah menggapai kebahagiaan di kehidupan akhirat, yakni mendapatkan surga. Jadi, kalo ada yang tanya, “apa yang kamu cari?” Ini jawabannya: surga.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Allah menyiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, kedudukan di negeri kemuliaan-Nya, yang tidak bisa dicapai oleh amal-amal mereka. Itu sebabnya, Dia menetapkan sebab-sebab berupa ujian dan cobaan bagi mereka agar mereka bisa mencapai kedudukan itu.” (dalam Fathul Bari, jilid 7, hlm. 433)

Oya, ada kabar gembira, nih. Kalo kita ingin meraih surga, maka raihlah ilmu. Semangatlah dalam mencari ilmu. Jangan kasih kendor.

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim, no. 2699)

Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata, “Seharusnya setiap penuntut ilmu berusaha untuk meraih manfaat dari ilmu diin. Karena ilmu itu akan mengantarkan pada Allah dan mempelajari ilmu adalah jalan yang paling singkat menghadap-Nya.”

Beliau menjelaskan lagi, “Siapa yang menempuh jalan dalam menuntut ilmu dan tidak berhenti dalam mencari ilmu, maka ia akan dihantarkan pada Allah dan dimudahkan masuk surga. Menuntut ilmulah jalan paling ringkas untuk masuk surga. Menuntut ilmu juga adalah jalan yang paling mudah untuk masuk surga. Ilmu ini akan menuntun pada berbagai jalan di dunia dan di akhirat untuk bisa masuk dalam surga.”

Pesan beliau lagi, “Ingatlah, tidak ada jalan untuk mengenal Allah, untuk menggapai ridha-Nya, untuk makin dekat dengan-Nya, melainkan melalui ilmu bermanfaat yang dengan sebab ilmu itu para rasul diutus oleh Allah, dan sebab Allah menurunkan kitab. Ilmu itulah penuntun dan pemberi petunjuk ketika seseorang berada dalam gelap kebodohan, syubhat (pemikiran sesat) dan keragu-raguan. Itu sebabnya, al-Quran disebut cahaya karena dapat menerangi jalan di saat gelap. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS al-Maidah [5]: 15-16) (penjelasan ini ada dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, jilid 2, hlm. 297-298)

Bro en Sis rahimakumullah, kita perlu tahu diri: siapa diri kita, mau ngapain di dunia ini, dan akan ke mana tujuan akhir kita setelah kehidupan dunia. Ini akan menjawab dengan benar pertanyaan: “apa yang kamu cari?”. Siapkan diri untuk berubah ke arah kebaikan, luruskan niat, maksimalkan ikhtiar dan fokuskan pada tujuan kebaikan untuk akhirat kita. Tetaplah memohon pertolongan Allah Ta’ala agar ditunjuki ke jalan yang benar. Berdoa agar senantiasa mendapatkan hidayah dan meraih taufik-Nya. Semoga dimudahkan. [O. Solihin | IG @osolihin]