Friday, 26 April 2024, 05:04

 gaulislam edisi 233/tahun ke-5 (17 Jumadal Uulaa 1433 H/ 9 April 2012)

 

Setelah 350 tahun lebih dijajah secara fisik, saat ini kondisi Indonesia  digempur oleh musik. Bagaimana tidak, bila hampir di setiap sudut kota yang namanya musik hampir tak pernah absen. Perhatikan saja mulai warung-warung kopi hingga plaza-plaza tinggi, semua full musik. Bajaj, metromini, taksi dan bus kota pun tak ketinggalan. Di kuping hampir tiap orang yang berpapasan di jalan, selalu ada earphone yang tersambung ke HP atau MP4.

Itu yang dalam skala kecil, gratisan dan tak butuh dana banyak. Kegandrungan akan musik ini ditangkap dengan cermat oleh pelaku bisnis untuk semakin mempertebal pundi-pundi uang mereka. Tayangan di televisi oleh stasiun apapun selalu ada program musiknya. Parahnya adalah jadwal tayang ini bertepatan dengan remaja-remaja seusia kamu harusnya pergi sekolah. Bukannya belajar, para remaja ini malah jejingkrakan nonton acara musik yang ditayangkan secara langsung. Kalo pun mereka sekolah siang, apa nggak dimanfaatkan waktunya buat belajar or ngerjain PR? Aneh!

Tak puas sampai di sini, didatangkanlah penyanyi mancanegara untuk meramaikan gairah musik di tanah air. Mulai dari zamannya NKOTB (New Kids On The Block), Colour Me Bad (kamu mungkin belum lahir pas tenarnya grup musik ini ya hehehe), Westlife, Justin Bieber, hingga yang lagi in si Katy Perry dan Lady Gaga yang kontroversi. Boro-boro gratis, tiket yang berharga ratusan ribu bahkan sampai jutaan rupiah ini terjual dengan cepat kok. Benar-benar Indonesia ini dihuni oleh remaja tajir yang mengeluarkan uang jutaan kayak lagi beli jajan gorengan seribu tiga.

 

Indonesia, surga para hedon

Bro en Sis rahimakumullah, yupz, dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta dan sebagian besar terdiri dari para remaja, Indonesia merupakan lahan empuk untuk memasarkan produk-produk hedon semisal musik ini. Omong-omong, apakah hedon itu? Hedon adalah sebutan bagi orang-orang yang memilih jalan hidup hedonisme (memuja kenikmatan jasad dan materi) bahkan cenderung bebas nilai. Di kalangan para artis dan pemusik, berkarya itu tak boleh dibatasi oleh apapun juga termasuk halal dan haram. Yang penting tujuan berkarya tercapai, uang mengalir, selebihnya minggir saja. Waduh, bahaya banget pikiran kayak gini.

Kondisi ini dibidik dengan cermat oleh para kapitalis. Indonesia yang dihuni oleh sebagian besar penduduk beragama Islam, dibuatkan sesuatu yang agak berbeda dibandingkan dengan negara lain. Seiring dengan geliat keislaman yang semakin marak di masyarakat, muncullah audisi “Idol” yang tidak melulu konvensional yaitu berpakaian minim dan seksi. Muncullah kelompok girlband berkerudung dan salah satunya mencuat dengan nama Sunni, pemenang audisi boy/girlband Indonesia (udah dibahas di gaulislam edisi 231).

Pemilihan nama Sunni sendiri dari sekilas seolah-olah adalah sebutan untuk mereka yang menganut ahlu sunnah wal jamaah. Gaya berpakaian mereka yang menunjukkan identitas muslimah sempat menimbulkan simpati sehingga banyak penonton yang akhirnya merelakan pulsa mereka terpotong demi mengirim sms dukungan. Ya, industri musik tetaplah industri yang menjadi anak buah kapitalisme dengan style hedonismenya. Meskipun berbusana muslimah, Sunni toh tetap harus berakrab-ria dengan lawan jenis. Tak cukup hanya bersalaman, mereka pun cipika-cipiki dengan lawan jenis. Tak ada sela bagi mereka untuk menolak misalnya atau pun menunjukkan bahwa mereka mempunyai prinsip sesuai dengan busana yang dikenakan. Nggak ada tempat bagi orang berprinsip apalagi prinsip Islam dalam industri musik ini.

 

Hak dan batil tak bisa bersatu

Musik memang mubah. Tapi kemubahan ini bisa mengantarkan kepada hal yang haram apabila tak memperhatikan instrumennya semisal lirik, skala prioritas, etika di dalamnya, dll. Ketika kamu lebih asyik nonton acara musik padahal sudah masuk waktu Maghrib misalnya, maka hal ini bisa mengantarkan pada keharaman. Belum lagi ketika konser ‘live’ yang di situ sudahlah campur-baur antara laki-laki dan perempuan, waktu sholat pun ditabrak saja. Mana sempat mikir wudhu, cari tempat sholat dan khusyuk beribadah ketika acara musik jejingkrakan nggak karu-karuan.

Keinginan menjadi selebritis pun membuat para remaja rela antri berhari-hari meninggalkan kewajiban belajar dan sekolah. Sholat? Boro-boro ingat. Padahal toh di dalam sana, para juri juga tak segan menghina Islam terutama bila peserta audisi suaranya jelek. Tahu nggak kamu apa yang disarankan Ahmad Dhani, salah satu anggota juri Indonesian Idol? Peserta yang bersuara jelek dan bertampang klimis (untuk nggak tega bilang jelek sih) disarankan untuk jadi juru dakwah saja. Penghinaan sekali!

Menjadi Idol atau idola, pernah nggak sih terbersit di benak para kontestan itu bahwa mereka memang pantas menjadi idola? Yang namanya idola itu berarti menjadi panutan, contoh dan teladan bagi remaja lainnya. Siap dan pantaskah mereka menjadi idola? Kalau kamu remaja cerdas, ih…males banget mengidolakan manusia yang serba mempunyai kekurangan seperti itu.

Bagaimanapun, hak dan batil itu tak bisa bersatu. Salah satunya harus menang terhadap yang lain. Tergantung manusianya akan memilih yang hak ataukah yang batil. Berkecimpung di dunia industri musik juga secara otomatis membuat seorang muslim harus memilih. Dan jelas, dunia hedon yang dilindungi oleh ideologi kapitalisme tentulah menjadi pemenang atas pilihan seseorang ketika dirinya memilih untuk berkecimpung di dunia ini. Tinggal penontonnya saja yang harus cerdas bersikap, apakah ikut terjerumus, lalai, ataukah waspada terhadap kesenangan dunia yang sesungguhnya hanya tipuan ini?

 

Luruskan tujuanmu

Agar tidak terlena, kamu harus mempunyai kepastian tujuan dalam hidup ini. Why? Karena banyak sekali pernik dunia yang melenakan dan seolah-olah menghasilkan kebahagiaan padahal sejatinya kesengsaraan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Musik biarkan saja menjadi salah satu instrumen untuk sedikit meramaikan dunia. Jangan menjadikannya dewa, idola atau bahkan tujuan hidup. Tak sedikit remaja yang hidupnya tak bisa lepas dari musik. Bila disuruh memilih, mending mereka nggak solat daripada ketinggalan acara musik. Ihh…naudzubillah. Semoga remaja ini bukan kamu ya?

Bro en Sis pembaca setia gaulislam, luruskan tujuan hidupmu bahwa sesenang-senangnya hidup di dunia itu hanyalah sementara. Ada perhentian abadi yang pasti akan dilalui semua manusia hidup yaitu mati. Setelah mati lalu apa? Nah, di sinilah keimanan kamu diuji. Mempersiapkan kehidupan setelah mati atau menganggap bahwa hidup ini ya kehidupan saat ini yang tak ada hubungannya dengan dunia setelah mati. Bagi kamu yang meyakini bahwa ada kehidupan dan perhitungan setelah mati, maka tentu saja tak mau menyia-nyiakan hidup hanya untuk musik saja. Begitu sebaliknya, jika kamu menganggap bahwa tak ada apa-apa setelah mati, maka pilihanmu itu membawa konsekuensi hidupmu hanya untuk bersenang-senang sesuka hati tanpa mengindahkan halal dan haram. Silakan. Setiap pilihan pasti akan mengandung konsekuensi masing-masing.

Hingar-bingar lampu panggung pertujukan itu bersifat sementara. Sama, seperti itu pula sementaranya hingar-bingar kehidupan dunia yang fana ini. Setelah semua lampu itu mati dan dimatikan, kamu pun kembali sendiri. Sepi. Tak heran banyak para pelaku di industri musik yang merasa kesepian dan kehilangan pegangan hidup sehingga minuman keras dan narkoba menjadi pilihan. Kan tidak semua, mungkin kamu menyanggahnya. Ya…memang tidak semua. Tapi kehidupan yang hedonis tanpa mempedulikan aturan dari Yang Mempunyai Aturan, inikah yang dimaksudkan?

Lihat saja para artis, penyanyi dan selebritis yang akhirnya menyadari bahwa Islam itu ternyata bukan hanya agama ritual semata tapi juga aturan hidup, mereka memilih berhenti dari panggung gemerlap itu. Bila tidak berhenti, mereka tahu bahwa sulit sekali mempertahankan yang hak dari yang batil. Ibaratnya minum susu yang murni, akan sangat tidak enak rasanya bila tercampur dengan air comberan meskipun hanya setitik. Jadi, pilihan hidup seorang anak manusia sangat berperan di sini dalam menentukan langkah hidupnya ke depan.

 

Finally…

Remaja cerdas adalah remaja yang tahu bagaimana menyikapi segala hal dalam hidupnya termasuk gempuran musik dalam segala lini. Musik dibiarkannya tetap dalam kemubahannya dan dinikmati sekadarnya. Ibarat garam, musik akan sangat merusak dan menganggu stabilitas iman dan hidup kamu bila digunakan over dosis. Banyak juga penelitian yang menyatakan bahwa suara-suara di sekitar kita termasuk musik bisa mengganggu kesehatan loh. Tapi kalau mendengarkan murotal atau suara-suara alam seperti desauan angin, cericit suara burung, atau gemericik air hujan, itu semua makin menyehatkan. Apalagi bila kita mau mendengar suara kesunyian ketika benak kita saling berdialog dan bermuhasabah menghitung dosa diri, wah…pasti makin sip.

Biarlah musik menjadi alunan yang biasa saja di sekitar kita, tak perlu mengistimewakan apalagi mendewakan. Toh ibadah kita juga tak bergantung pada musik, beda dengan ibadah agama lain yang memang tergantung dengan musik. Bahkan sepanjang sejarah mampu mengabadikan, musik atau hiburan adalah sesuatu yang paling belakang ketika sebuah peradaban berada di titik kemajuan. Sebaliknya, musik berada di titik terdepan ketika sebuah peradaban dilanda kemunduran. Kita bisa menilai sendiri, di titik manakah posisi kita sekarang? Kita bisa menilai dan merasakannya kok. Saat ini memang kondisinya rusak. Yuk berbenah! [ria: riafariana@gmail.com]