Friday, 19 April 2024, 12:05

 gaulislam edisi 234/tahun ke-5 (24 Jumadal Uulaa 1433 H/ 16 April 2012)

 

Hari ini, 2,5 juta murid SMA dan SMK mengikuti Ujian Nasional. “Totalnya 2.580.446. Laki-laki 1.281.022 dan Perempuan 1.299.420,” ujar Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan (Mendikbud), M. Nuh, dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Kamis (12/4/2012) lalu (detik.com/16/04/2012)

Detik.com juga melaporkan bahwa menurut Mendikbud M. Nuh, siswa-siswi itu merupakan murid dari 27 ribu sekolah di seluruh Indonesia. Jumlah sekolah paling banyak ada di Jawa Timur, sebanyak 2.568. Jumlah kelas yang disiapkan untuk ujian ini sebanyak 148.352 ruangan dengan jumlah pengawas mencapai 296.704 orang. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengadakan ujian ini total mencapai Rp 600 miliar. Jika dibagi rata-rata, setiap siswa biayanya mencapai Rp 50 ribu.

Tepat di hari pertama Ujian Nasional ini, gaulislam yang secara rutin terbit setiap hari Senin sejak 29 Oktober 2007 lalu pengen ikut meramaikan berita seputar Ujian Nasional. Eh, lebih pas disebut memanfaatkan momen Ujian Nasional kok. Sebab kalo berita udah pasti kalah sama media cetak maupun media elektronik (termasuk internet) yang getol memberitakan pernak-pernik Ujian Nasional. Tulisan khas dari gaulislam adalah bagaimana membahas setiap persoalan yang muncul di tengah kehidupan manusia untuk diberikan penilaian dan solusinya menurut sudut pandang Islam. Ya, sebagai muslim kita memang harus menjadikan Islam sebagai cara hidup, sebagai aturan hidup. Itu sebabnya, sudut pandang kita wajib Islam dalam menilai setiap persoalan, termasuk dalam hal ini adalah Ujian Nasional.

Bro en Sis rahimakumullah, baca judul gaulislam edisi 234 di tahun ke-5 ini mungkin ada di antara kamu yang berpikir bahwa gaulislam jadi bacaan dewasa banget. Judulnya dipilih kata yang formal sehingga kesannya serius. Lha, memangnya kalo remaja kudu nyantai terus ya? Sekali-kali bolehlah serius. Apalagi kalo gaulislam juga dibaca para guru dan kakak-kakak mahasiswa, kan nggak seru kalo judulnya berbau remaja terus. Tul nggak?

Eh, kok jadi ngelantur sih. Hehehe.. iya. Maksudnya dengan pilihan judul seperti ini gaulislam ingin berbagi informasi dan juga wawasan bahwa Ujian Nasional saat ini, yang dari tahun ke tahun identik dengan kecurangan, terus dilihat dari produk pendidikan ala kapitalisme yang udah nyata di depan kita, ingin mengajak kamu semua merenung. Ya, merenung sejenak. Apa benar sistem pendidikan kapitalisme saat ini menghasilkan manusia seutuhnya? Ya, seutuhnya. Pikiran dan perasaannya dibangun dengan cara yang benar dan baik. Harus kompak antara pikiran dan perasaan. Nggak boleh pikiran bagus tapi perasaannya jelek. Nggak boleh juga perasaannya oke, tapi pikirannya jeblok. Keduanya harus serasi. Sehingga menunjukkan ciri khas sebuah produk peradaban, atau minimal produk khas dari sebuah sitem pendidikan.

Gengsi sekolah

Bro en Sis pembaca setia gaulislam, saya sendiri memang pengajar di sebuah pesantren dan pusdiklat (pusat pendidikan dan latihan) keterampilan. Di kedua tempat ini saya mengajar keterampilan menulis dan jurnalistik. Kemampuan menulis ini harus dipelajari oleh peserta didik sebagai bekal tambahan. Sehingga para santri di pesantren tidak saja memiliki kemampuan dalam tsaqafah Islam dan bahasa Arab, tetapi mereka juga dibekali keterampilan di bidang media (broadcast, clothing, desain grafis, foto dan video)—dan salah satunya adalah materi menulis dan memodifikasi website. Dua keterampilan terakhir ini saya ajarkan untuk para santri di pesantren tersebut. Sementara di pusdiklat keterampilan saya hanya mengajarkan keterampilan menulis dan jurnalistik untuk semua jurusan yang ada di situ: fotografi dan videografi, desain grafis, teknik komputer dan jaringan serta jurusan menjahit dan tatabusana.

Sebagai pengajar saya memang punya harapan, punya obsesi (yang mungkin sama dengan guru lainnya) bahwa anak-anak didik saya bisa terampil dan berhasil ketika terjun di tengah masyarakat. Begitu pun dengan pihak penyelenggara pendidikan, dari mulai sekolah, kemudian dinas pendidikan di tiap kota/kabupaten, kanwil pendidikan di tingkat propopinsi hingga pemerintah pusat (kementerian pendidikan dan kebudayaan). Pastilah ingin kurikulum yang sudah disusun berhasil diterapkan dan buktinya banyak siswa yang berhasil. Ini wajar. Namun yang tidak wajar adalah berbuat curang. Hanya demi untuk menunjukkan bahwa sekolahnya hebat, yang diukur dari keberhasilan para siswanya yang lulus Ujian Nasional, tak segan pihak sekolah melakukan hal-hal tak terpuji, seperti membiarkan siswanya mencontek, mengintimidasi pengawas ujian, sampai menahan sementara lembar jawaban siswa sebelum dibawa ke dinas pendidikan setempat untuk dikoreksi oleh para guru lalu dibetulkan jika ada siswa yang salah menjawab. Termasuk dalam hal ini untuk ujian lokal, di dalam rapat guru harus ada kesepakatan menambah nilai murid-murid agar bisa masuk kategori naik kelas. Waduh! Buat apa ada ujian bagi siswa jika akhirnya guru yang menjawab soal-soal ujiannya atau nilai yang jeblok lalu ditambah agar masuk batas minimal kriteria kelulusan?

Di tempat saya mengajar memang tidak ada Ujian Nasional. Tetapi saya prihatin dengan berbagai cerita yang disampaikan beberapa rekan pengajar di tempat saya ngajar yang juga menyambi mengajar di beberapa sekolah umum yang tentu saja melaksanakan Ujian Nasional. Mengalirlah cerita seperti yang saya tulis sebelum paragraf ini. Memprihatinkan dan menyedih memang. Bahkan pernah ada seorang bapak yang masygul ketika mendengar cerita dari anaknya yang ikut UN. Sang anak malah dimarahi oleh gurunya gara-gara dia jujur tak mau mencontek. Lembar jawaban yang sedang diisinya direbut sang guru dan diisi oleh guru tersebut. Hadeeuh… demi gengsi sekolah, akhirnya curang, bahkan mengajarkan dan mempertontonkan kecurangan. Oya, mungkin nggak semua sekolah melakukan kekonyolan dan kecurangan, tapi yang pasti banyak yang melakukannya. Ah, menyebalkan. Inilah kondisi kondisi sistem pendidikan kita. Produk gagal dari sistem kapitalisme yang sekular.

Kurikulum yang sekularistik

Bro, nggak heran dong kalo kapitalisme mengadopsi sekularistik. Wong sekularisme adalah akidahnya kapitalisme kok. Sebuah sistem pasti akan melahirkan produk sesuai dengan asas yang menjadi landasan ideologinya. So, nggak usah heran kalo kurikulum pendidikan saat ini yang merupakan bagian dari produk sistem pun akhirnya sesuai kepentingan sistem itu sendiri. Jadinya? Ya ikut-ikutan sekuler dong!

Nah, kenapa bisa disebut sekuler? Perlu kita ingetin lagi nih bahwa sekuler itu adalah memisahkan antara agama dan kehidupan. Artinya aturan agama nggak boleh dan bahkan terlarang untuk ikutan ngatur kehidupan dunia. Udah ada jatahnya masing-masing. Nggak boleh saling ikut campur dan saling intervensi. Buktinya, kita bisa nemuin ada orang yang memiliki nama islami, tapi kelakuannya jauh dari ajaran Islam. Berasal dari keluarga Muslim, tapi kehidupannya bertentangan dan bahkan menentang Islam. Ini buah sekularisme, Bro.

Oya, jangan kaget, sekularisme juga ikut menghancurkan pemeluk agama selain Islam, lho. Nggak percaya? Hmm… di negeri-negeri Barat, kini pemeluk agama Nasrani kian nggak taat pada ajarannya karena digerus sekularisme. Di Amsterdam, sebagai misal, 200 tahun lalu, 99 persen penduduknya beragama Kristen. Sekarang, hanya tersisa sekitar 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Sebagian besar mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Waduh!

Di Prancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali. Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.”

Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu. (Adian Husaini dalam tulisannya di Republika, 27 Juli 2004)

Nah, di negeri kita juga sama. Mungkin kalo di KTP sih pas di kolom agama tercantum Islam. Tapi, berapa persen sih yang taat menjalankan agamanya? Seenggaknya kalo pelaksanaan shalat aja yang jadi ukurannya, berapa persen sih yang rajin shalat? Memang sih harus ada survey. Tapi yang pasti, kalo ngelihat gelagatnya, masyarakat kita juga udah sekuler, lho. Lihat aja produknya saat ini. Siapa sih yang jadi ‘bintang utama’ di acara-acara berita kriminal?

Yap, mereka yang jadi bintang utama itu tangannya diborgol dan mengenakan baju bertuliskan “tahanan”. Banyak di antara mereka yang namanya tuh islami, jelas orang Islam. Tapi, ya kelakuannya udah jauh dari ajaran Islam. Eh, saya nulis gini bukan sok suci lho, tapi sekadar renungan aja ternyata banyak dari kita yang udah jadi sekuler. Benar-benar tragedi, Bro!

Itu sebabnya, jangan heran juga kalo kurikulum pendidikan nasional pun muatannya sekuler, mengejar aspek materi alias materislitik belaka. Alat ukur kesuksesan hanya dinilai dari keberhasilan secara materi. Tengok deh, sekolah bukan semata tempat mencari ilmu, tetapi sudah ‘nyambi’ jadi tempat sosialisasi dan menerapkan gaya hidup seperti yang kerap ditampilkan di banyak tayangan sinetron remaja saat ini. Menyedihkan banget.

Kurikulum pendidikan yang sekularistik itu juga nyata banget dari adanya pembagian sekolah umum dan sekolah agama. Pemisahan ini jelas merupakan bagian dari upaya sekularisme di bidang ilmu pengetahuan. Sebab, yang hebat tuh kalo menghasilkan pelajar yang handal di bidang keterampilan ilmu-ilmu umum, tapi juga beriman dan bertakwa. Ini baru hebat. Sebagai contoh, salah seorang imam mazhab yang terkenal, yakni Imam Abu Hanifah, selain master di bidang ilmu fikih dan tsaqafah Islam, tapi beliau juga pakar di bidang ilmu kimia. Wuih, keren banget kan?

Bro en Sis ‘penggila’ gaulislam, karena udah dibiasakan dipisah-pisahkan aturan agama dan aturan negara, maka akibatnya dalam kehidupan sehari-hari pun nampak jelas perilaku sekular itu. Ngakunya muslimah, tapi keluar rumah nggak pake kerudung dan jilbab. Ngakunya muslim, tapi makan dan minum yang haram. Ah, menyedihkan banget deh. Itu baru soal pakaian dan minuman lho, belum pelaksanaan syariat yang lainnya. Jadi, kita tuh sering ‘malpraktek’ dalam ber-Islam alias melaksanakan ajaran Islam nggak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt. dan RasulNya. Gawat!

Masa kegemilangan Islam

Bro en Sis rahimakumullah, untuk mencerdaskan kaum Muslimin dan rakyatnya secara umum, Khilafah Islamiyah menyediakan lembaga-lembanga keilmuan. Islam membangun ribuan al-Katatib, yakni wadah keilmuan untuk mempelajari al-Quran, menulis dan berhitung. Dibudayakan juga diskusi-diskusi keilmuan di masjid-masjid untuk melayani pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat soal fikih, hadis, tafsir dan bahasa. Bahkan Muqri Rasy’an bin Nazhif ad-Dimasyqi mendirikan lembaga keilmuan Quran (untuk mempelajari al-Quran) pada tahun 400 H di Damaskus. Sementara khusus untuk hadis, didirikan oleh Nuruddin Mahmud bin Zanky, juga di Damaskus. Selain itu, madrasah (sekolah) dan Jami’ah (universitas) juga didirikan.

Al-Hakam bin Abdurrahman an-Nashir telah mendirikan Universitas Cordova yang saat itu menampung (mahasiswa) dari kaum muslimin maupun orang Barat. Selain itu dibangun pula Universitas Mustanshirriyah di Baghdad. Sekadar tahu aja, universitas-universitas ini telah mencetak para ilmuwan yang pengaruhnya mendunia hingga saat ini melalui berbagai temuan-temuannya, seperti al-Khawarizmi, Ibnu al-Haisam, Ibnu Sina, Jabir bin Hayan, dan lainnya. (Muhammad Husein Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, hlm. 158-159)

Menurut Ibnu Haukal, di satu kota saja dari kota-kota di Sicilia ada 300 kuttab (serupa dengan sekolah dasar di jaman sekarang). Bahkan ada beberapa kuttab yang luas sehingga satu kuttab bisa menampung ratusan bahkan ribuan siswa. Dalam sejarah disebutkan bahwa Abul Qasim al-Balkhi memiliki sebuah kuttab yang ditempati 3.000 siswa. Kuttab Abul Qasim ini luas sekali sehingga untuk menginspeksi siswa-siswanya dan mengawasi keadaan mereka perlu dengan menunggang keledai karena bila dengan berjalan kaki akan memakan waktu lama (Dr. Mustafa as-Siba’i, Peradaban Islam; Dulu, Kini, dan Esok, hlm. 153-154). Masih banyak lagi sekolah dasar dan universitas yang dirikan, termasuk yang ada sampai sekarang adalah Universitas al-Azhar di Kairo.

Untuk mendukung pendidikan, maka pemerintah juga mendirikan banyak perpustakaan. Seperti perpustakaan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid (masa pemerintahan beliau antara 786-809 M) di Baghdad. Juga perpustakaan al-Aziz al-Fathimiy di Kairo yang menghimpun 1.600.000 jilid buku (Muhammad Husein Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, hlm. 160)

Hasil pendidikan dan penyediaan fasilitas yang bagus ini paling nggak dalam sejarah tercatat beberapa perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim. Beberapa di antaranya: bidang kedokteran (kaum muslimin berhasil mengembangkan teknik pembiusan untuk pertama kalinya dalam sejarah kedokteran dunia, dikembangkan juga teknik operasi, pendirian rumah sakit dan obat-obatan).

Dalam ilmu kimia (di sini kaum muslimin mengenalkan istilah alkali, menemukan amonia, teknik destilasi atau penyulingan, penyaringan, dan sublimasi, memperkenalkan belerang dan asam nitrit, mempopulerkan industri kaca dan kertas, serta penemuan lainnya). Dalam ilmu tumbuh-tumbuhan (melakukan penelitian terhadap tumbuh-tumbuhan yang bisa digunakan untuk pengobatan, bahkan mengklasifikasikan berbagai jenis tumbuhan).

Terus, dalam ilmu pengetahuan alam (penemuan neraca, penemuan pendulum untuk jam dinding, ilmu optik, dan telah mampu merumuskan perbedaan antara kecepatan cahaya dan kecepatan suara, termasuk kaum muslimin berhasil menemukan teknologi kompas magnetis untuk mengetahui arah mata angin); matematika (berhasil dikembangkan perhitungan desimal dan kwadrat, juga menciptakan berbagai rumus).

Termasuk perkembangan dalam ilmu astronomi (kaum muslimin berhasil membangun observatorium—teropong bintang–di Baghdad, Damaskus, Iskandariyah dan tempat lainnya untuk mengamati bintang); dan geografi (melakukan penjelajahan ke tempat yang belum dikenal, dan membuatkan petanya). Wah,  keren banget kan?

Bagaimana dengan para ilmuwannya? Wah, kayaknya udah banyak banget ditulis di berbagai buku ya. Kalo ditulis lagi di sini jadi bakalan panjang deh artikel ini. Silakan cari aja ya hehehe… (sekadar ngasih contoh, ada di buku “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”, karya Prof. Dr. Raghib as-Sirjani, atau “Peradaban Islam; Dulu, Kini, dan Esok” karya Dr. Mustafa as-Siba’i, eh, boleh juga hunting buku saya yang judulnya “Yes! I am MUSLIM”, di situ juga dibahas masa kegemilangan peradaban Islam).

Wajib lho, faqih fiddien

Kamu tahu istilah faqih fiddien? Yup, yang jelas jangan kamu plesetkan jadi faqih fi-gim. Hehehe.. sebab artinya jadi lain. Kalo yang pertama artinya paham dalam agama, yang kedua, paham or ahli dalam gim. Wasyah…

Nah, setiap muslim wajib menjadikan dirinya faqih dalam urusan agama. Sebab, belajar ilmu agama itu wajib ‘ain (nggak bisa diwakilkan kepada orang lain. Harus diri sendiri). Kalo ilmu umum; kayak fisika, kimia, ilmu kedokteran, matematik dan sejenisnya, itu masuknya wajib kifayah (nggak mesti kamu bisa. Kalo ada yang lain yang udah bisa, kewajibanmu untuk mendalami ilmu tersebut udah gugur alias tertunaikan).

Ngomong-ngomong soal pendidikan, kita tengok tentang tujuan pendidikan dalam Islam. Yakni, mencetak manusia yang berakal dan berpikir atas dasar Islam dan membentuk jiwa manusia dengan meletakkan seluruh kecende­rungannya atas dasar Islam. Ini bisa terwujud kalo peserta didik, akalnya dipenuhi oleh pengetahuan-pengetahuan Islam, en nggak cuma difokuskan kepada ilmu umum saja.

Itu sebabnya, dalam sistem pendidikan Islam, negara akan memprioritaskan ilmu aga­ma ketimbang ilmu umum untuk dipelajari. Meski demikian, nggak berarti ilmu umum jadi ‘warga’ kelas dua. Bisa aja bareng beriringan. Agama dapet, ilmu umum juga berhasil diraih. Jadi jalan dua-duanya.

Jadi jangan heran kalo banyak kaum muslimin di masa kejayaan Islam, selain mereka faqih fiddien, juga ahli pertanian, kimia, fisika, astronomi, kedokteran, dan sejenisnya. Hebat sekali bukan? Lagian orang-orang yang punya ilmu itu kan dinilai lebih tinggi derajatnya ketimbang orang yang nggak berilmu. Allah Swt. berfirman (yang artinya): “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujâdalah [58]: 11)

Untuk masalah ilmu ini, Rasulullah saw. bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا  

“Tidak boleh iri hati kecuali terhadap dua perkara yaitu terhadap seseorang yang dikaru­niakan oleh Allah harta kekayaan dan dia memanfaatkannya untuk urusan kebenaran (kebaikan). Juga seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah lalu dia memanfaat­kannya (dengan kebenaran) serta mengajarkan­nya kepada orang lain” (HR Bukhâri dan Muslim)

Khusus dalam bidang pendidikan nih, menurut Islam, sekolah diposisikan sebagai sarana pertama untuk mengenalkan Allah Swt., akidah Islam, dan sistem hukum Islam, serta mendidik siswa agar paham dan mengerti praktik sistem hukum Islam. Sebab, Islam bukan sekadar ajaran ritual, melainkan sistem hidup yang bersifat ideologis dan politis. Setelah itu, barulah sekolah ditempatkan sebagai wahana untuk menuntut ilmu, sains, dan teknologi untuk memperoleh manfaat dari hasil-hasil temuan dan produk akal manusia berupa industri dan sains.

Dengan demikian, tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan tentu saja pandai menghiasi kehidupannya dengan amal shaleh. Lha, kalo sekarang? Duh, Kapitalisme udah menggerus kepribadian kita: akhlak yang rusak, termasuk kualitas penguasaan ilmu pengetahuannya yang kurang bagus. Jadi, kalo masih banyak pelajar yang nggak lulus UN, tentu kesalahan bukan cuma pada pelajar tersebut, tapi ideologi yang mengatur kehidupan ini yang wajib disalahkan. Itu sebabnya, mending “talak tiga” aja terhadap Kapitalisme, dan ganti dengan syariat Islam.

Oke deh, kalo pengen seperti di masa kejayaan Islam, saat Khilafah Islamiyah masih berdiri, mari kita perjuangkan tegaknya ‘rumah’ milik kita itu. Yuk, kampanyekan penerapan Islam sebagai ideologi negara. Tentu, itu dilakukan jika kita mau sama-sama bangkit dari keterpurukan ini. Tetep semangat! [solihin | Twitter @osolihin |Blog: www.osolihin.net]