Monday, 1 September 2025, 19:00
071403300_1756377214-Capturesss

gaulislam edisi 932/tahun ke-18 (8 Rabiul Awwal 1447 H/ 1 September 2025)

Marah itu wajar, Bro en Sis. Apalagi kalo lagi ditindas, dicuekin, atau diperlakukan nggak adil. Rakyat kebanyakan lagi marah, nih. Mereka udah lama nahan kecewa: harga kebutuhan pokok naik, pajak mencekik, lapangan kerja makin sempit, sementara pejabat pamer harta tanpa empati karena di-upload di medsos. Wajar kalo akhirnya rakyat marah, wajar kalo mereka turun ke jalan. Tapi masalahnya, kalo marah itu nggak punya arah, gampang banget dibelokin. Marah bisa berubah jadi rusuh, rusuh bisa berubah jadi salah langkah. Dan inilah yang keliatan dari demo tanggal 25-31 Agustus kemarin.

Seperti yang kamu saksikan di berbagai timeline medsos dan kanal media massa, ribuan orang turun ke jalan, bawa spanduk warna-warni, teriak pakai toa sampe serak, panas-panasan di bawah matahari. Ada yang sampe kreatif bikin poster sindiran, ada juga yang orasi kayak motivator–cuma minus musik latarnya aja. Tapi, meski udah capek jungkir balik, hasilnya? Nihil. Aspirasi mereka nggak ditanggepin serius sama pejabat. Kayak masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Bahkan bisa jadi nggak masuk kuping sama sekali alias memantul sempurna, soalnya telinganya udah ketutup headset wireless mahal dan hatinya udah beku.

Akhirnya apa? Demo yang awalnya adem ayem, cuma sekadar unjuk rasa damai, lama-lama naik level jadi panas. Kayak mie instan yang kelamaan direbus–awalnya lembut, eh kebablasan jadi lembek, beleber ke mana-mana. Rusuh! Situasi yang tadinya mirip konser akustik berubah jadi mosh pit rock hardcore. Jadinya, ketika demo damai nggak diladeni, pas rusuh ditembaki. Ngeri.

Dan yang lebih greget, kalo udah chaos begini, biasanya muncul “pemain cadangan” yang ikut nimbrung. Provokator! Itu lho, orang-orang misterius yang suka banget manas-manasin. Pertanyaannya, siapa mereka? Ya bisa siapa aja: intelijen yang pura-pura jadi mahasiswa, polisi nyamar pake hoodie, tentara yang lagi “main sipil”, masyarakat yang sekadar cari sensasi, atau bahkan pihak asing yang hobi banget ngail di air keruh. Komplit, kan?

Kondisinya jadi kayak nongkrong di warung kopi. Awalnya adem, ngobrolin bola atau film baru. Tiba-tiba ada satu orang nyeletuk, “Eh, kamu tadi dikatain tuh sama dia.” Padahal nggak ada yang ngomong apa-apa. Nah, yang disulut langsung panas, naik pitam. Berantem deh! Sementara yang nyulut? Dia malah santai, duduk manis sambil ngunyah gorengan bakwan, nonton ribut-ribut kayak lagi nonton sinetron live. Klasik banget.

Begitu pun yang awalnya anteng demo, tiba-tiba ada provokasi, jadi rusuh. Situasi makin panas. Gas air mata beterbangan, batu melayang ke udara, polisi dan massa saling dorong kayak lagi main game “push rank”–cuma ini nyata dan taruhan nyawa. Jalanan yang tadinya cuma penuh orasi, berubah kayak arena gladiator.

Nah, dari kericuhan itu, efek domino nggak bisa dihindarin. Mulailah muncul aksi penjarahan. Beberapa rumah pesohor jadi sasaran, termasuk rumah anggota DPR dan bahkan menteri keuangan. Kaca jendela pecah, pagar dirobohin, mobil mewah dirusak, barang-barang (termasuk barang pribadi) diangkut kayak lagi belanja gratis di supermarket pas midnight sale.

Tentu aja, penjarahan itu salah. Haram. Mau bagaimanapun alasannya, ngambil barang orang lain tanpa hak ya tetap dosa. Tapi… coba kita tengok dari sisi lain: kenapa bisa sampai meledak kayak gini? Rakyat itu ibarat balon. Kalo ditekan terus, lama-lama pecah juga. Ditambah penyusup dan provokator yang bermain liar, jadinya tak terkendali. Bukan mau demo, tapi sengaja bikin chaos.

Selama ini yang dirasakan rakyat, tekanan datang bertubi-tubi: harga sembako naik kayak main jet coaster, pajak makin mencekik dompet, lapangan kerja sempit kayak celana skinny jeans, perusahaan banyak yang gulung tikar, dan karyawan di-PHK massal. Sementara itu, di sisi lain layar HP kita disuguhi berita pejabat pamer harta: jam tangan harga miliaran, mobil mewah, pesta ulang tahun heboh, liburan ke luar negeri sambil flexing. Rakyat yang nonton cuma bisa ngelus dada–itu pun kalo masih kuat, karena isi dompet udah tipis duluan.

Akhirnya, amarah pun meledak. Orang-orang yang tadinya cuma ikut demo buat teriak aspirasi, kebawa suasana jadi ikut-ikutan rusuh. Ada yang kalap, ada juga yang emang cari kesempatan dalam kesempitan. Jadilah rumah pejabat kayak “level bonus” di game: masuk, ambil apa aja yang bisa diangkut. Dari elektronik, perabot, sampe barang-barang kecil pun nggak luput.

Kalo dipikir, fenomena ini nyesek banget. Di satu sisi, jelas itu kriminal. Nggak ada pembenaran. Tapi di sisi lain, kita juga ngerti kenapa rakyat bisa sefrustrasi itu. Mereka udah jenuh banget dengan ketidakadilan yang menumpuk. Ibaratnya kayak kamu lagi diet ketat, tapi tiap hari dipamerin konten mukbang burger keju tiga lapis. Lama-lama bisa khilaf juga. Akhirnya, nyemil lagi.

Angin perubahan

Sobat gaulislam, di sinilah kita perlu mikir lebih dalam, bahwa akar masalahnya bukan sekadar “rakyatnya brutal” atau “pejabatnya lalai”. Akar masalahnya ada di sistem yang bikin pejabat gampang korup, gampang flexing, dan rakyat gampang tertekan. Selama sistemnya masih sama, penjarahan mungkin bisa reda hari ini, tapi besok-besok bisa kejadian lagi. Mereka yang menjarah cara berpikirnya sama dengan mereka yang sedang dijarah hartanya. Bisa jadi nanti akan melakukan hal yang sama ketika punya jabatan dan berkuasa. Apa itu nggak ngeri karena bikin lingkaran kerusakan?

Kerusuhan udah terjadi, penjarahan udah kejadian, dan suasana negeri makin kayak drama Korea–penuh konflik, tapi ending-nya masih misterius. Nah, di titik ini muncul satu pertanyaan besar: sebenarnya semua ini akan mengarah ke mana?

Demo itu kayak alarm di HP. Suaranya bikin kaget, bikin orang bangun. Tapi setelah bangun, ada dua pilihan: kamu lanjut beraktivitas atau malah pencet tombol snooze terus tidur lagi. Begitu juga dengan demo. Bisa jadi momentum perubahan, tapi perubahannya ke arah mana?

Kalo arahnya salah, bisa makin chaos. Kayak rumah yang kebakaran, tapi malah disiram bensin. Lah, makin habis dong! Misalnya, cuma ganti pejabat doang tapi sistem tetep sama, ya hasilnya itu-itu lagi. Wajah baru, gaya lama. Muka doang yang beda-beda tiap pemilu, nakalnya sama. Karena sistemnya bikin mereka nakal.

Tapi kalo arahnya bener, ini bisa jadi titik balik yang luar biasa. Bayangin kalo perubahan itu bukan cuma tambal sulam, tapi bener-bener ngubah sistem dari akar. Dari yang sekarang bobrok jadi sistem yang adil, manusiawi, dan tentunya sesuai sama aturan Allah Ta’ala.

Sayangnya, banyak orang kalo dengar kata “perubahan” langsung mikirnya cuma soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Padahal bukan itu inti masalahnya. Sama aja kayak kamu ganti cover buku catatan biar keliatan keren, tapi dalemnya masih penuh coretan jelek. Tetep nggak bikin nilaimu bagus. Nah, negara juga gitu. Mau presidennya A, B, atau Z sekalipun, kalo sistem yang dipakai masih rusak, hasilnya tetep rusak. Kapitalisme itu bikin sengsara. Jangankan dijalankan dengan benar, dijalankan asal-asalan juga tetap bikin rusak.

Di sinilah Islam kasih jawaban. Perubahan yang hakiki bukan cuma soal ganti orang, tapi ganti aturan hidup. Ya, dari aturan bikinan manusia yang penuh kepentingan ke aturan Allah Ta’ala yang pasti adil. Islam udah ngasih blueprint lengkap: dari cara ngatur ekonomi biar nggak ada rakyat yang kelaparan, sampai cara ngatur pejabat biar nggak gampang korup. Tentu, aturan hidup lainya juga sudah tersedia dalam Islam. Tinggal laksanakan.

Keren banget kan? Kalo semua itu diterapkan, bakal damai sejahtera. Pajak zalim nggak ada, harga kebutuhan pokok stabil, rakyat gampang cari kerja, pejabat nggak bisa flexing harta karena semua amanah harus dipertanggungjawabkan. Dan yang paling penting: rakyat tenang karena tahu hidup mereka diatur sesuai dengan aturan yang Maha Tahu, Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maidah [5]: 3)

Menurut Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wat Tanwir (Tafsir Ibnu ‘Asyur) menjelaskan, “Maka setiap orang Muslim di setiap zaman yang mengamalkan apa yang diturunkan Allah kepada mereka dalam al-Quran, maka ia berpegang pada Islam. Maka disempurnakannya Islam ketika ayat ini turun adalah kesempurnan Islam untuk semua tujuan dari penyampaian al-Quran (yaitu seluruh manusia). Adapun sebelum ayat ini turun, maka Islam juga sudah sempurna bagi orang-orang di masa itu.”

Nah, sekarang tinggal pilih: kita mau lanjut pencet snooze dan tidur lagi di bawah sistem Kapitalisme yang rusak ini, atau bangkit beneran buat wujudkan perubahan sejati dengan Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara?

Peran remaja muslim

Sobat gaulislam, kita, para remaja muslim, mau ambil posisi di mana? Jadi pemain inti atau cuma penonton yang sibuk bikin story IG dengan caption “chaos vibes #prayforindonesia”?

Jujur aja, banyak di antara kita yang kalo ada demo gede, reaksinya cuma dua. Yakni ikut nimbrung, tapi cuma buat konten. Pose di tengah kerumunan, angle harus estetik, biar feed IG keliatan rebel banget. Ada juga yang jadi komentator dadakan di medsos. Upload tweet panjang ala-ala politikus, padahal sehari-hari tugas sekolah aja masih numpuk di meja.

Padahal, kalo mau jujur, masa depan negeri ini tuh bukan di tangan provokator atau pejabat yang doyan flexing. Masa depan ada di tangan generasi muda. Yap, kita ini! Cuma masalahnya, kita mau jadi generasi kayak apa? Generasi yang cuma bisa marah-marah, atau generasi yang mikirin solusi?

Islam ngajarin kita buat nggak sekadar ikut-ikutan arus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu juga menghadapi masyarakat yang bobrok: kesyirikan, ada penindasan, ada kesenjangan sosial. Mirip banget sama kondisi sekarang, kan? Tapi beliau dan para sahabatnya yang sudah menjadi pengikutnya nggak bikin rusuh di pasar Mekah sambil bawa spanduk. Beliau datang dengan ide besar, dengan solusi yang nyambung sampai ke akar masalah: Islam sebagai sistem hidup.

Nah, di sinilah kita, remaja muslim zaman now, seharusnya masuk. Jangan ikut rusuh, tapi pikirin perubahan yang bener. Jangan cuma jadi “penonton sejarah”, tapi berusaha jadi bagian dari sejarah.

Itu sebabnya, keren banget kalo kamu semua serius belajar Islam, ngerti gimana cara Islam ngatur politik, ekonomi, sosial, hukum, dan aspek kehidupan lainnya terus ngejelasin itu ke orang lain dengan bahasa yang asik dan gampang dimengerti. Kamu bisa jadi generasi yang bukan sekadar tukang komplain, tapi generasi yang bawa solusi.

Intinya, percuma kalo kita marah, tapi marahnya tanpa arah. Percuma kalo kita semangat demo, tapi abis itu balik lagi ke rutinitas tanpa mikirin langkah selanjutnya. Itu sama aja kayak nonton anime shounen panjang. Udah ikutin ratusan episode, tapi pas sampai ending kamu lupa inti ceritanya apa. Nggak jelas, Bro.

Jadi, tugas kita sekarang, bukan cuma update story pas demo, tapi update iman biar makin kuat. Bukan cuma ngeramein kerumunan, tapi rame-rame ngejalanin Islam bareng-bareng. Bukan cuma nyinyir soal pejabat korup, tapi siap belajar biar kelak kita yang jadi pemimpin yang amanah.

Itu artinya, jangan mau cuma jadi penonton yang pasif. Sebab dalam Islam, setiap generasi punya peran. Dan remaja muslim hari ini punya PR gede: ikut mikirin, ikut bergerak, ikut berjuang biar perubahan yang lahir bukan ke arah makin rusuh, tapi ke arah makin lurus sesuai aturan Allah Ta’ala.

Introspeksi, deh!

Sobat gaulislam, akhirnya kita bisa lihat sendiri, bahwa demo kemarin itu ibarat alarm keras yang bikin kita kebangun dari tidur panjang. Tapi alarm doang nggak cukup kalo kita masih milih tarik selimut lagi. Rakyat udah teriak, udah turun ke jalan, udah nunjukin rasa sakit hati mereka. Pertanyaannya sekarang, “Kita mau biarin semua ini jadi kenangan chaos, atau kita bener-bener belajar sesuatu dari sini?”

Sebagai remaja muslim, kita harus sadar bahwa perubahan sejati bukan datang dari rusuh, bukan juga dari penjarahan, apalagi cuma dari marah-marah di jalan. Perubahan hakiki lahir ketika kita balik lagi ke aturan yang paling adil, yakni aturan dari Allah Ta’ala. Islam udah kasih kita panduan lengkap, tinggal kita mau jalanin atau nggak.

Dan jangan salah, peran kita nggak kecil, lho. Justru besar banget! Kita ini generasi yang lagi disorot, yang punya energi, kreativitas, dan suara lantang. Kalo semua itu dipakai cuma buat ikut-ikutan rusuh, ya sayang banget. Tapi kalo dipakai buat ngasih contoh, ngajak teman-teman biar sadar, dan nunjukin kalo Islam punya solusi nyata–itu baru keren, itu baru pahlawan zaman now.

So, keren banget kalo kita bener-bener jadi generasi yang berani bilang, “Aku nggak cuma marah, tapi aku juga tahu arah.” Jadilah generasi yang nggak gampang kebawa provokator, tapi bisa jadi motivator. Generasi yang nggak sekadar jadi viewers sejarah, tapi jadi aktor utama yang ngubah jalan cerita negeri ini.

Jadi, mulai dari sekarang, yuk kita refleksiin bareng: demo kemarin itu tanda atau teguran? Kalo tanda, tandanya apa? Kalo teguran, tegurannya buat siapa? Mungkin jawabannya: buat kita semua. Buat pejabat yang sombong, buat rakyat yang gampang emosi, dan terutama buat kita, remaja muslim, biar nggak cuma jadi penonton, tapi siap jadi agen perubahan.

Ya, sebab masa depan Indonesia bukan ditentukan sama siapa provokator paling lihai, tapi sama siapa yang paling taat sama aturan Allah Ta’ala. Dan percayalah, perubahan sejati cuma bisa lahir dari situ. Dari Islam yang diterapkan di diri kita, keluarga kita, masyarakat sekitar, dan tentu negara kita. Ada takwa individu, adam kontrol masyarakat, dan ada penerapan aturan dan sanksi oleh negara. Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara.

So, remaja muslim, pilihan ada di tangan kita: mau ikut yang rusuh, atau ikut yang lurus? Jangan sampe cuma marah tanpa arah, akhirnya jadi salah langkah dan berakhir rusuh. Maka, pilihan normal bin waras, ya tentu ikut mereka yang lurus mendakwahkan dan memperjuangkan agar Islam menjadi tegak dan diterapkan di negeri ini. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *