Friday, 26 April 2024, 18:19

 gaulislam edisi 578/tahun ke-12 (11 Rabiul Awwal 1440 H/ 19 November 2018)

 

Assalaamualaikum, temen-temen semua, pembaca setia gaulislam yang insyaa Allah dirahmati oleh Allah. Alhamdulillah, buletin ini masih diberi kesempatan untuk menemani kalian dalam menuntut ilmu. Eh, ngomong-ngomong tentang mencari ilmu, pas banget di edisi kali ini saya akan membahas tentang santri. Tidak hanya bagaimana pribadi seorang santri, namun yang lainnya seperti keseharian santri, sikap santri, adab menjadi santri, dan banyak lagi, deh. Nah, udah siap kan buat mempelajari ilmu adab lewat tema santri yang satu ini? Hayuk!

Apa sih santri itu? Kayaknya hubungannya sama ilmu penting banget sampai-sampai pas di awal nyinggung masalah ilmu aja udah langsung ingat santri. Jadi gini, Sob. Menurut para ahli, santri adalah panggilan untuk seseorang yang sedang menimba ilmu pendidikan agama Islam selama kurun waktu tertentu dengan jalan menetap di pondok pesantren. Tuh, garis bawahi, panggilan untuk seseorang yang menimba ilmu, loh (bukan nimba air, opss..). So, jangan tanyakan lagi seberapa dekatnya santri dengan ilmu. Sangat dekat.

Walau hidup mandiri, nyuci baju sendiri, cuci piring sendiri, beresin kamar, dan semua hal secara sendiri (tentu tanpa orangtua yang ikut mondok ya). Tapi pengalaman merantau yang jauh dari kampung halaman itu sangat berharga, dan ilmu yang bermanfaat insya Allah akan dia dapatkan. Apalagi lingkungan yang baik, yang selalu mengajak ke arah kebaikan walau kadang menjalaninya karena paksaan, takut dihukum, dimarahin sama pengasuh dan semacamnya. Berdasarkan pengalaman nih, semua yang awalnya paksaan itu akan menjadi keikhlasan tersendiri jika dilakukan secara istiqomah. Selain itu, insya Allah akan semakin mempermudah tujuan utama datang ke pesantren, yakni ridha Allah.

 

Antara kreatif dan nakal

Sobat gaulislam, tapi tak menutup kemungkinan bahwa santri itu sangat kreatif. Eits, kreatif dalam hal apa dulu ini? Ya, itu loh, kreatif dalam membuat celah, nyuri-nyuri kesempatan dalam monopoli, eh,  maksudnya kesempitan (hehehe..). Itu sih nakal dong ya.

Misalnya nih, ketika pengasuhnya lagi capek ngurusin santri yang bandel-bandel, lalu lengah dalam mengawasi kita, di situlah ide ‘kreatif’ datang untuk melanggar tata tertib di pesantren. Pelanggaran yang bisa dilakukan juga beragam, sih. Ada yang ngendap-ngendap nggak ikut pengajian habis Subuh, tidur dengan buku yang diberdirikan seakan-akan lagi baca, padahal mimpi indah, sampai yang kabur atau keluar pesantren tanpa izin. Karena, ya, kalau izin nanti nggak diizinin pasti. Toh, izinnya ke warnet. Lah? Mana mungkin diizinkan itu mah.

Santri, seperti yang sudah kita ketahui bersama, pasti lebih banyak mempelajari ilmu agama daripada ilmu umum yang biasanya diajarkan di sekolah-sekolah umum. Nah, kalau ilmunya banyak, tanggungjawab untuk mengamalkannya pun lebih banyak, dong. Apalagi kalau itu ilmu agama, pastinya nggak cuma dipelajari secara teori kan, kita mesti mengamalkannya. Itu artinya, kalo secara teori udah tahu, maka dalam pengamalannya jangan sampe berprinsip nggak mau tahu. Dosa banget, itu!

Eh, tapi jangan karena takut besar tanggungjawab, malah nggak mau ngaji. Justru hal itu seharusnya membuat kita tambah bersyukur. Why? Itu karena Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang menuntut ilmu, dan Allah juga telah menjanjikan derajat yang tinggi di dunia maupun di akhirat bagi si penuntut ilmu ini. Dih, emang mau jadi manusia yang tanpa ilmu plus rendah lagi derajatnya? Ogah, dong, ya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), …niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS al-Mujaadilah [58]: 11)

Mempelajari ilmu itu bisa jadi bagi sebagian besar orang emang gampang banget. Tapi mengamalkannya? Ya, nelen ludah, deh. Nggak sedikit santri-santri yang sehabis keluar dari pesantren, bahkan ada juga yang belum keluar, sikapnya, akhlaknya, sama sekali jauh dari identitas santri yang sebenarnya. Masih aja pacaran, kalau liburan pulang ke rumah buka kerudung, ninggalin sholat lima waktu, sama teman juteknya minta ampun, dan banyak lagi, deh.

Eh, kenapa tuh? Ada yang salah? Padahal di pesantren itu udah tempat yang the best buat memperbaiki sikap? Kira-kira apa, ya? Jangan-jangan aturannya yang kurang ketat, hukuman yang kurang bikin jera, atau emang karena pengasuhnya aja yang kurang awas, atau bahkan malah santri-santrinya sendiri yang bandelnya minta ampun. Nah, dari sekian banyak fakta tersebut, apa dong penyebab mereka bandel? Apa ada yang salah?

Pasti ada yang salah lah. Salah satunya, banyak santri yang kalau mempelajari adab, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Alhasil, tetep kosong aja, deh.

 

Adab lebih utama

Di antara ilmu al-Quran, fikih, hadis, ada satu ilmu yang sangat penting untuk dipelajari dan diaplikasikan terlebih dahulu, yakni adab. Kenapa adab sangat penting? Nih, dari Yusuf Bin al-Husain berpesan,“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Nah, tuh. Mengerti saja tidak cukup. Harus paham. Makanya adab itu penting. Banyak kasus penghafal al-Quran, penghapal hadis yang tingkahnya nggak baik. Entah itu sombong, suka ngeremehin orang, cuek, nggak tanggungjawab, ngomongnya kasar. Waduh, itu sih tahu doang tapi sama sekali nggak paham apa yang sudah diketahuinya.

Kalian tahu kenapa ulama-ulama salaf terdahulu itu hebat-hebat? Ya, so pasti karena adab mereka yang luar biasa baik. Bahkan, saking adab itu penting bagi mereka sampai-sampai Ibnul Mubarok berkata, “Kami mempelajari masalah adab itu selama tiga puluh tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama dua puluh tahun.”

Tuh, hebat, kan. Lebih banyak belajar adabnya dibanding belajar ilmu yang lain. Kalau adab udah dipahami benar-benar, secara perlahan apa yang kita usahakan, niat untuk menjadi lebih baik lagi, semua itu akan membuat Allah mempermudah segala niat dan tujuan kita tadi.

Tapi nih, kalau kita nggak ada niat untuk berubah menjadi lebih baik, usaha pun nggak ada, mau sebaik apapun lingkungannya, ya nggak bakal bisa. Toh, kan semua berdasarkan niat dan aksi.

Nah, kalau niat sudah diluruskan, usaha pun sudah dilakukan secara perlahan oleh pihak yang hendak berubah, maka tahap selanjutnya ialah pihak pendukung. Maksudnya pendukung di sini seperti guru, pengasuh, teman-teman sekitar, dan paling utama, orangtua.

Kita, kalau sudah menjadi santri, sudah seharusnya menjaga diri kita, akhlak kita supaya selalu baik. Walau memang kita ini manusia yang sering khilaf ya, susah juga kalau mau baik selalu, tapi setidaknya harus ada usaha buat jadi baik. Jangan pasrah aja sama apa-apa dari diri kita yang belum baik dengan alasan bahwa kita merupakan manusia yang lemah. Usaha, biar Allah yang tuntun. Gitu caranya. Jangan mengampuni diri sendiri ketika berbuat salah, misalnya dengan mengatakan, “maklumlah manusia itu nggak ada yang sempurna”. Ini sih namanya malas memperbaiki diri.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS ash-Shaff [61] 2-3)

Nah, dengan firman Allah di atas, bisa kita renungkan, bagaimana Allah marah kepada orang-orang yang tidak mempertanggungjawabkan ucapannya. Berarti kalau santri nih, sudah tentu tidak hanya menuntut ilmu, tapi juga menyebarkan ilmu. Kalau seandainya apa yang disampaikannya itu adalah baik, namun semua itu tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan, apa nggak takut dengan kebencian Allah kepada orang yang bermaksiat?

Apalagi nih, buat yang udah hapal al-qur’an, hapal hadits, kamu udah lebih dari mengerti hukum-hukum dasar yang Allah berikan terutama tentang akhlak dan adab. Jadi, jangan main hapal aja. Amalin itu juga harus bin wajib, loh ya.

Selain itu, santri itu harusnya udah terbiasa menghargai guru, menghargai orangtua, dan jadi pribadi yang asyik di mata teman-teman kita. Mereka adalah sumber keberkahan ilmu dan keridhaan Allah. Kalau sebagai santri nggak memahami adab terhadap guru maupun orangtua, duh, gawat!

Apa yang kita pelajari bisa-bisa sama sekali nggak ada gunanya. Jangankan buat orang lain, buat diri sendiri aja nggak jamin. Naudzubillah.

Inget, ya. Bukan seberapa banyak ilmu yang kita dapat, melainkan seberapa banyak ilmu yang sudah kita amalkan yang akan membuat kita sukses di dunia dan di akhirat. So, untuk para santri di mana pun, yuk, kita berusaha untuk mengamalkan segala ilmu yang sudah kita dapatkan. Fighting!

Jangan sampe deh, jadi santri yang kurang adab. Ilmu bisa jadi banyak, tapi kalo nggal mengamalkan dan adabnya justru buruk, bisa jadi itu sih nananya santri oplosan. Nggak banget, deh!

Jadi, sadar diri, luruskan kembali niatnya dalam belajar, siapkan diri untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapat. Berusaha dan berdoa agar kamu bisa menjadi santri yang beradab. [Natasha ADW | IG @natashaara11]