Friday, 19 April 2024, 14:55

gaulislam edisi 649/tahun ke-13 (6 Sya’ban 1441 H/ 30 Maret 2020)

Alhamdulillah, jumpa lagi dengan buletin kesayangan kamu, ya. Edisi kali ini, di awal Sya’ban 1441 hijriah, tetap masih ada aroma Corona. Maksudnya, pembahasannya masih ada kaitannya dengan wabah Coronavirus. Namun, insya Allah bukan hendak menakut-nakuti, tetapi akan memberikan semangat meningkatkan iman untuk menguatkan imun.

Sobat gaulislam, di awal Maret lalu saat diumumkan adanya wabah yang udah masuk ke negeri kita, banyak orang khawatir dengan penyebaran Coronavirus di negeri kita, khususnya. Semua pihak dibuat kalang kabut alias bingung nggak keruan bin panik abis. Ada juga yang mungkin bak orang kebakaran jenggot sekaligus bulu keteknya. Panik luar biasa.

Ekspresi kepanikan beragam pada tiap orang. Ada yang buru-buru ke apotik nyari masker. Eh, harga masker naik jadi berkuadrat-kuadrat. Ada pula yang menimbun sembako untuk minimal sebulan lamanya. Itu sebabnya, mereka rela antri di apotek dan toko alat kesehatan serta pusat-pusat perbelanjaan. Tujuannya, untuk menyelamatkan diri dan keluarganya karena mendengar kota akan di-lockdown selama merajalelanya wabah.

Sekadar update aja, dan nulis jejak di tulisan ini, perkembangan wabah Coronavirus di negeri kita udah cukup parah, Bro en Sis. Beberapa kota melakukan lockdown alias karantina wilayah masing-masing, meski negara belum memberlakukan secara serius, ya, karena sekadar himbauan. Setidaknya sampai tulisan ini dibuat dan diterbitkan pekan ini, di Senin terakhir bulan Maret 2020.

Update terbaru di tanggal 30 Maret 2020 pukul 09:00 WIB, di situs covid19.kemkes.go.id/ dicatat ada 1.285 kasus orang yang terinfeksi. Mengakibatkan 114 orang meninggal dunia (berarti sekira 8,9 %). Ada 64 orang sembuh (yakni sekira 5,0 %). Tercatat pula ada 1.107 orang dalam perawatan (86,1 %). Mengerikan? Bisa saja. Bikin panik? Bisa jadi.

Bagaimana dengan kondisi di dunia? Masih dari catatan di situs covid19.kemkes.go.id/, ada 198 negara yang terpapar Coronavirus. Sebanyak 634.835 orang terkonfirmasi alias yang tercatat sebagai orang yang positif terjangkit Coronavirus. Sejumlah 29.957 orang meninggal (sekira 4.7%).

Bro en Sis, itu data yang tercatat. Nggak tahu deh kalo yang nggak tercatat ada berapa. Di zaman modern ini penyebarannya bisa lebih cepat karena lalu-lintas orang bepergian antar negara juga lebih mudah. Waspadalah.

Sabar sejak awal

Oke, dua pekan beturut-turut kemarin kita udah bahas tentang ibadah meski di tengah wabah, juga tentang pola hidup bersih dan sehat serta doa dan dzikir plus tinggalkan maksiat. Nah, kali ini, kita mau fokus dikit deh tentang tawakal. Namun, dibahas juga tentang sabar. So, baca ampe tuntas ya.

Sabar? Ya, kamu rasa-rasanya udah pada tahu deh definisinya. Beneran. Oya, tetapi kita perlu jelaskan bahwa sabar di awal musibah itu akan mendapatkan ganjaran pahala yang besar. Mengapa? Umumnya, di awal-awal ketika mendapat musibah manusia akan melakukan denial alias penolakan. Wujudnya berupa marah, kesal, dan sama sekali nggak ridha. Kalo sampe seperti ini, boleh dikata belum lulus ujian sabarnya.

Namun, ketika mendapat musibah langsung bersabar, menerima, ikhlas, ridha, maka itu akan mendapatkan pahala yang besar. Memang sih, ini sepertinya hanya bisa dilakukan oleh mereka yang kuat ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Level ulama deh. Kalo kita-kita? Duh, malu rasanya. Namun, mudah-mudah kita bisa mengikuti jejak para ulama dalam bersabar di awal musibah. Berat memang, tetapi insya Allah kita memohon pertolongan kepada Allah agar dikuatkan.

Oh, beda ya sabar di awal musibah dengan saat musibah itu udah agak lama mendera? Iya. Sebab, biasanya kalo udah berhari-hari pada akhirnya akan menerima juga walau di awal melakukan penolakan. Nilainya beda dengan yang sejak awal sudah iklash menerima musibah. Ibaratnya gini, kalo di awal musibah langsung bersabar itu mantul alias mantap betul. Kalo udah berikutnya, boleh dibilang, ya mau gimana lagi. Jadinya semacam ‘terpaksa’ bersabar. Allahu a’lam.

Dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berkata, “Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR Bukhari, no. 1283)

Sobat gaulislam, semoga kita semua sudah sabar sejak awal, khususnya terkait Coronavirus ini, ya. Ini kehendak Allah Ta’ala. Menimpa negeri kita, bahkan mungkin daerah tempat tinggal kita. Tetaplah bersabar. Jangan panik, jangan pula meremehkan. Ini udah dibahas di edisi sebelumnya, ya. Silakan cek ulang.

So, jangan marah, jangan kesal, jangan menggerutu dengan wabah Coronavirus di negeri kita sehingga membuat kita nggak bisa bebas ngapa-ngapain. Berusahalah untuk tetap sabar dan menerima kehendak-Nya. Semoga bukan sekadar musibah, tetapi sebagai ujian bagi kita. Insya Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridho (terhadap ujian tersebut) maka baginya ridho Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Tawakal yang sebenarnya

Apa itu tawakal? Ehm, ini juga kayaknya di antara kita udah pada paham deh. Namun, nggak apa-apa, kita bahas ulang aja sebagai pengingat, ya.

Jadi begini, ada lho dari kita yang menyepelekan sesuatu. Misalnya, pas mau ujian sekolah. Udah dikasih tahu seminggu sebelumnya sama guru kita. Eh, tapi ada di antara kita yang nyantai. Nggak belajar. Malah banyak yang main gim segala. Lalu, bilang, “Pasrah deh. Siapa tahu besok tiba-tiba bisa ngerjain soal.” Waduh!

Itu sih bukan tawakal, tapi menyepelekan persoalan. Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, “Tawakkal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘Azza wa Jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata’.”

Ibnu Rajab rahimahullah juga mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Itu sebabnya, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada (bersiap siagalah).” (QS an-Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS al-Anfaal [8]: 60). Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS al-Jumu’ah [62] : 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha. (rumaysho.com)

So, dalam kasus wabah Coronavirus ini, berarti jelas kudu ada usaha juga dalam pengertian menjaga kesehatan diri, ya. Selain itu, usaha dalam bentuk dzikir dan doa serta meninggalkan maksiat.

Saya coba ambil penjelasan dari Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Kitab Fawaidul Fawaid (terjemahan) di koleksi perpustakaan pribadi saya (cetakan kelima, Juli 2018). Ringkasnya begini.

Tawakal kepada Allah ada dua macam. Pertama, tawakal kepada Allah sekadar untuk memperoleh semua kebutuhan duniawi, atau menghindar dari segala yang tidak diinginkan dan segala musibah yang ada.

Kedua, tawakal kepada Allah untuk memperoleh apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya, seperti iman, keyakinan, jihad, dan dakwah. Dua macam tawakal ini mempunyai keutamaan yang berbeda, dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahui perbedaan keutamaan antara keduanya.

Jika seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan sebaik-baiknya pada bentuk yang kedua, niscaya Allah akan memenuhi seluruh harapannya pada tawakal bentuk yang pertama. Sedangkan jika ia bertawakal kepada-Nya pada bentuk yang pertama saja, maka Allah tetap akan mencukupkan baginya; namun, buah dari tawakalnya itu bukan berupa sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.

Lebih lanjut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menuliskan bahwa bentuk tawakal hamba yang paling agung adalah tawakal dalam hal memohon hidayah, memurnikan tauhid, mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan memerangi para pelaku kebatilan. Itulah tawakal para Rasul Allah dan para pengikut utama mereka.

Beliau menjelaskan pula bahwa adakalanya tawakal muncul dari keterpaksaan. Yaitu, seseorang baru bertawakal kepada Allah ketika sudah terhimpit dan tidak menemukan tempat untuk berlindung. Ketika merasa semua upayanya buntu, hati terasa sempit, dan mulai melihat bahwa hanya Allah tempat satu-satunya, maka ketika itulah dia baru bertawakal kepada-Nya. Namun, tawakal semacam ini tidak melahirkan jalan keluar dan kemudahan atas kesusahan yang ada.

Adakalanya pula sikap tawakal lahir dari sebuah pilihan, bukan keterpaksaan. Yaitu, seseorang bertawakal di saat sebab-sebab (jalan) untuk mencapai keinginannya masih terbuka. Jika sebab itu termasuk sesuatu yang diperintahkan oleh syariat, maka meninggalkan sebab itu termasuk perbuatan tercela. Sementara, jika sebab itu dilaksanakan dengan konsekuensi pengabaian tawakal, maka meninggalkan tawakal juga tergolong sikap yang tercela. Pasalnya, bertawakal hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan umat Islam dan nash al-Quran. Maka, yang wajib dilakukan oleh seorang hamba dalam situasi ini adalah melaksanakan kedua-duanya.

Lalu bagaimana mewujudkan tawakal? Makna tawakal dapat terwujud dengan melaksanakan sebab-sebab yang diperintahkan-Nya untuk mewujudkan apa yang diinginkan. Orang yang tidak berupaya tidak dikatakan telah bertawakal. Sebagaimana harapan yang tidak dibarengi dengan upaya untuk mewujudkannya merupakan angan-angan kosong belaka; bergitu pula, tawakal yang tidak dibarengi dengan upaya hanya mencerminkan suatu kelemahan, atau kelemahan yang mengatasnamakan tawakal.

Rahasia dan inti dari tawakal adalah menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala semata. Mengupayakan suatu sebab tidak menodai tawakal selama hati tidak bergantung dan tidak condong kepada sebab tersebut. Karena, meskipun seseorang mengucapkan: “Aku bertawakal kepada Allah,” namun tawakalnya itu tidak ada artinya selama hatinya masih bergantung, condong, dan lebih percaya kepada selain Allah. (Fawaidul Fawaid, hlm. 113-115)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Jadi, sabar dan tawakal di masa wabah ini secara singkat kita petakan begini. Bersabar sejak awal wabah datang. Jangan menggerutu, panik, kecewa, apalagi nggak ridha atas kehendak-Nya. Lalu, tetap tawakal, yakni menyandarkan hati hanya kepada Allah Ta’ala. Memang tetap mengupayakan sebab, tapi jangan sampe tuh sebab membuat noda pada tawakal kita.

Misalnya nih, agar terhindar dari Coronavirus, lalu hanya mengandalkan bersih-bersih diri, menjadikan social distancing satu-satunya cara memutus mata rantai penyebaran virus, lockdown jadi semacam keyakinan pasti untuk meyelesaikan wabah ini. Sehingga shalat di masjid shaf-nya jadi lebar-lebar banget padahal shalat jamaah. Nggak gitu. Karena, itu artinya kita masih percaya bahwa sebab tersebut sebagai keyakinan pasti, bukan tawakal kepada Allah, walau bilang: “ini tawakal kepada Allah”.

Oke deh, intinya, ya. Tawakal hanya kepada Allah dan jangan sampai suatu sebab untuk mewujudkan keinginan menodai tawakal kita kepada Allah karena lebih diyakini ketimbang keyakinan kepada Allah Ta’ala. Paham, ya? Semoga. [O. Solihin | IG @osolihin]