Wednesday, 30 July 2025, 23:18
HIV (1)

gaulislam edisi 927/tahun ke-18 (3 Safar 1447 H/ 28 Juli 2025)

Kita hidup di zaman aneh: virus ditakuti, tapi zina dimaklumi. Pemerintah panik waktu angka HIV remaja melonjak, tapi diem-diem adem waktu zina merajalela. Gaya hidup bebas makin mainstream, dan yang ngingetin malah dibilang toxic. Sekarang coba kamu pikirin: 2.700 remaja usia 15–19 tahun hidup dengan HIV per Maret 2025. Angka segede itu bukan muncul dari virus yang jalan-jalan, tapi dari syahwat yang dibiarkan bebas tanpa pagar iman. Ironisnya, solusi yang ditawarin ya gitu-gitu aja: seminar, kondom, ARV, dan edukasi “berperilaku aman”. Sebentar, aman menurut siapa? Aman dari penyakit, iya. Tapi aman dari dosa? Aman dari azab? Aman dari kerusakan akhlak dan masa depan? Nah, itu dia yang jarang dibahas. Karena yang tabu hari ini bukan lagi zina, tapi bicara soal larangan zina. Kok bisa?

Zaman sekarang tuh aneh bin nyeleneh. Orang-orang bisa takut banget sama virus, tapi adem ayem aja sama dosa. Takut kena HIV? Wajar. Tapi yang bikin geleng-geleng kepala, kok ya nggak takut zina? Padahal justru dari situ awal mula virusnya. Ironisnya, ketika data Kementerian Kesehatan nunjukin data remaja yang kena HIV tadi, yang dipermasalahkan cuma soal kurang edukasi dan minim layanan kesehatan. Lah, zina yang jadi jalan utamanya malah nggak dibahas tuntas?

Kalo HIV udah kayak kabar langganan yang muncul tiap tahun, mungkin bukan penyakitnya yang ganas, tapi gaya hidup manusianya yang bebal. Gaya hidup bebas makin dilihat sebagai hak pribadi. Remaja yang “eksperimen” hubungan bebas dibilang “sedang eksplorasi jati diri”, dan yang ngingetin bahayanya perbuatan model gitu malah dicap “nggak toleran” atau “nggak ngerti realita”. Padahal jelas, yang makin real justru angka penyakitnya, bukan solusi dari program-program tambal sulam yang mereka jalankan.

Masalahnya, di gaul bebas

Sobat gaulislam, kita mesti jujur bahwa HIV bukan turun dari langit kayak hujan meteor. Dia menyusup lewat jalan-jalan yang dibuka sendiri oleh manusia, yakni gaya hidup bebas, seks bebas, dan pergaulan yang makin nggak kenal batas. Nah, kalo data Kemenkes bilang ada 2.700 remaja usia 15–19 tahun hidup dengan HIV, kita seharusnya tanya, mereka kena dari mana? Dan jawabannya–yang sering banget dihindari–adalah seks bebas, penyimpangan seksual, narkoba suntik, dan hidup tanpa pagar iman.

Tapi entah kenapa, banyak yang lebih milih sibuk ngomongin “akses informasi” dan “kesadaran kesehatan reproduksi”, daripada ngomong blak-blakan soal dosa dan zina yang jelas-jelas biang masalah tersebut. Ini kayak orang lihat rumah kebakaran, tapi malah sibuk nyalahin minimnya jumlah pemadam, bukan meneliti apa penyebab kebakarannya lalu mencari solusi agar bisa dicegah di kemudian hari.

Lucunya lagi, gaya hidup bebas ini dikemas dengan bungkus “kebebasan berekspresi”. Anak muda yang nolak zina malah dianggap kolot dan kurang gaul. Padahal, justru mereka yang masih jaga diri dari pergaulan bebas itu pahlawan kesehatan masyarakat. Nggak bawa penyakit, nggak merusak moral, dan insya Allah nggak nyeret temannya ke jurang nista, bahaya, dan dosa.

Oya, jangan lupa bahwa lingkungan juga jadi faktor pendukung. Ketika remaja gampang banget akses konten porno, nonton sinetron yang menormalisasi hubungan di luar nikah, plus sosmed yang penuh ‘flexing’ gaya pacaran toxic, maka rusaknya gaya hidup itu bukan cuma karena individu, tapi juga sistem yang membiarkan racun-racun ini tersebar tanpa filter.

Sementara itu, orang tua kadang cuek karena “anak sudah gede”, guru nggak berani ngomong soal zina karena takut dianggap nyerempet “urusan pribadi”, dan negara? Sibuk ngurusin kampanye pakai masker dan kondom padahal dosa zina lebih mematikan.

Aksi tanpa solusi

Kalo boleh jujur–dan harusnya emang jujur–cara negara menangani masalah HIV remaja tuh kayak orang tambal ban bocor, tapi pakunya masih nancep di bannya. Jadinya kalo bocor terus, ya wajar. Meski itu bocor alus. Lha wong sumber kebocorannya nggak dicabut, malah diajak kompromi.

Kemenkes udah bikin tiga jenis intervensi seperti intervensi perubahan perilaku, intervensi biomedis, dan intervensi struktural. Tapi coba deh kita kulik satu-satu.

Pertama, soal intervensi perubahan perilaku. Oke lah, ini niatnya bagus. Ada penyuluhan, edukasi HIV, promosi tes, bahkan pendekatan teman sebaya. Tapi tunggu dulu. Mau ngubah perilaku kayak apa pun kalo pacaran, seks pranikah, dan gaya hidup bebas yang dianggap normal di kalangan remaja tetap dibiarkan, itu namanya solusi sia-sia.

Ibaratnya, edukasi ini kayak ngajarin berenang ke orang yang udah tenggelam duluan–terlambat dan setengah-setengah. Bahkan, kadang edukasinya pun membingungkan. Di satu sisi bilang “hindari perilaku berisiko”, tapi di sisi lain masih ngeboleh-bolehin “seks yang aman”. Lah, emang ada seks bebas yang aman dari dosa dan murka Allah Ta’ala?

Kedua, intervensi biomedis? Kalo yang ini lebih ke teknis: deteksi dini, terapi ARV, penanganan klinis. Bagus secara medis. Tapi ini cuma ngurangin dampak, bukan menghentikan sumbernya. Umpama ada pabrik yang terus-terusan buang limbah ke sungai, lalu solusi kita cuma bersihin air sungainya doang, ya bakal kotor terus lah!

Nah, yang lebih serem, kadang intervensi medis ini dipakai buat melegalkan gaya hidup bebas. Alasannya, karena bisa diobati, jadi nggak apa-apa deh berzina asal ‘safe sex’. Hadeuh, ini kayak orang ngasih jas hujan ke maling biar nggak kehujanan waktu nyolong plus dikasih tahu tempat penyimpanan duitnya. Salah arah, Bro en Sis!

Ketiga, intervensi struktural. Katanya sih mau ngubah lingkungan sosial, ekonomi, dan hukum. Tapi nyatanya, lingkungan kita makin permisif. Tayangan TV, media sosial, iklan, bahkan kurikulum pendidikan pun kadang justru memperhalus jalan menuju perzinaan. Bukannya dibasmi, malah dikasih panggung. Bahaya bener.

Dan yang lebih tragis, solusi yang ngakar pada agama justru dihindari. Padahal Islam udah jelas bilang: “Jangan dekati zina!” sebagaimana dalam al-Quran surah al-Isra ayat 32. Tapi di dunia nyata, zina malah didekati dengan slogan: “Hak tubuhku, pilihanku.” Hasilnya? Ya 2.700 remaja kena HIV. Dan itu baru yang ketahuan. Gimana yang belum ketahuan? Wallahu a’lam.

Tujuan dari program intervensinya sih udah ada niat, tapi tanpa dasar akidah dan panduan syariat, semua jadi tambal sulam doang. Virusnya bisa dihindari, tapi sumbernya dibiarkan berkembang biak. Itu malah lebih membahayakan.

Mengunci akar masalahnya

Sobat gaulislam, di tengah dunia yang makin ribet ini, seringkali orang lupa bahwa solusi terbaik itu bukan reaktif, tapi preventif. Dan Islam, dari sejak 1400 tahun lalu, udah kasih resep pencegahan paling manjur buat semua problem moral, termasuk soal pergaulan bebas yang berujung penyakit. Tapi ya itu tadi, resep ini sering dicuekin karena katanya “nggak relevan sama zaman.”

Padahal, justru Islam tuh paling ngerti tabiat manusia. Itu sebabnya, aturan-aturannya itu bukan buat ngeribetin, tapi buat ngejaga. Nih, kita bahas satu per satu, biar nggak ada dusta di antara kita.

Pertama, Islam nggak cuma melarang zina, tapi melarang yang mendekatinya. Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra [17]: 32)

Bukan cuma dilarang zina, tapi “jangan deket-deket” aja udah warning keras. Islam ngerti banget, manusia itu punya hawa nafsu. Sekali dideketin, sekali dikasih ruang, ya bablas. Itu sebabnya Islam tegas melarang pacaran atau semisalnya. Pegang-pegangan yang bukan mahram? Dosa. Chatting mesra sama bukan pasangan halal? Bahaya. Ini semua benteng biar nggak terjerumus. Catet, dah!

Kedua, Islam mengarahkan cinta ke jalur yang halal, yakni nikah. Remaja sekarang banyak bilang, “Tapi kan cinta itu fitrah.” Betul. Cinta itu fitrah. Tapi nggak semua fitrah harus diturutin sebebas-bebasnya. Lapar juga fitrah, tapi masa karena lapar kita bisa nyolong makanan? Mikir, deh!

Islam ngajarin, kalo cinta ya salurkan lewat nikah. Nikah itu bukan cuma solusi biologis, tapi juga spiritual, sosial, dan moral. Ada tanggung jawab, ada keberkahan, dan yang jelas, nggak bikin penyakit!

Ketiga, Islam nggak cuma melarang, tapi juga membina lingkungan yang bersih. Kalo cuma ngelarang doang, semua sistem bisa. Tapi Islam itu membentuk lingkungan. Remaja diperintahkan jaga pandangan, orang tua disuruh jaga anak-anaknya, masyarakat diminta cegah kemungkaran, dan negara harus bikin aturan yang ngedukung hidup islami.

Coba pikirin, kalo media dikontrol biar nggak nyebarin konten amoral, kurikulum di sekolah ngajarin akhlak Islam, dan negara tegas ngelarang prostitusi dan zina, maka gaya hidup sehat bukan cuma slogan, tapi kenyataan. Beneran.

Keempat, Islam ngajarin takwa sebagai filter pribadi. Nggak semua tempat bisa diawasi CCTV. Tapi kalo dalam hati tertanam rasa takut pada Allah Ta’ala, maka itulah filter paling aman. Kata Imam Hasan al-Bashri rahimahullah, “Orang yang bertakwa adalah mereka yang menjauhi hal-hal yang diharamkan dan menunaikan berbagai kewajiban.”

Islam ngajarin bahwa takut dosa lebih penting daripada takut penyakit. Ya, karena dosa bukan cuma rusak badan, tapi juga merusak masa depan pelakunya di akhirat. Jadi, ketika warga dunia sibuk cari solusi setengah hati, Islam udah lama bawa solusi sejati. Nggak nunggu sakit baru bertindak, tapi sejak awal udah bikin sistem kekebalan spiritual dan sosial supaya penyakit–baik lahir maupun batin–nggak sempat berkembang.

Sobat gaulislam, kita ini hidup di zaman aneh. Virus ditakuti, tapi sumber virusnya dimaklumi. Orang sibuk pakai masker, rajin cuci tangan, rutin vaksin, tapi lupa menjaga hati dan syahwat. Padahal, penyakit paling mematikan kadang bukan yang menyerang badan, tapi yang menghancurkan iman dan akhlak.

Kita boleh khawatir soal HIV, boleh waspada soal virus-virus baru. Tapi jangan sampai kewaspadaan itu cuma sebatas kulit. Sementara lubang kebinasaan dibiarkan terbuka lebar lewat gaya hidup bebas, tontonan cabul, pergaulan tanpa batas, dan pacaran yang katanya positif padahal negatif banget! Dan, dosa pula.

Islam ngajarin kita untuk takut pada Allah Ta’ala lebih dari sekadar takut pada virus. Karena virus bisa mati kalo kita sehat, tapi dosa zina bisa nempel sampai mati–bahkan bisa kebawa sampai ke akhirat. Ngeri, kan?

So, buat para remaja, jangan cuma jaga kesehatan fisik, tapi juga jaga iman. Jangan cuma jauhi HIV, tapi juga jauhi zina. Jangan cuma ikut tren hidup bersih diri, tapi juga hidup bersih dari maksiat.

Sekarang saatnya kita balik mindset. Bukan cuma safe sex yang penting, tapi safe soul. Bukan cuma bebas dari virus, tapi juga bebas dari murka Allah Ta’ala. Sebab, kita bukan cuma hidup untuk dunia. Kita punya tujuan mulia di akhirat kelak. Maka jangan kotori hidup yang singkat ini dengan dosa yang efeknya panjang, baik di dunia maupun akhirat.

Kalo virus bisa dicegah dengan vaksin, maka zina dicegah dengan takwa. Dan kalo kamu pengen hidup tenang, sehat, dan penuh berkah, maka jauhi zina, dekatilah Allah. Sehingga nggak ada lagi yang cuma fokus bahas virus yang kudu dihindari, tapi zina malah dimaklumi. Udah ah, waktunya ganti pola pikir dan sistem kehidupan sebelum jadi korban berikutnya. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *